Dia berbicara lebih sungguh-sungguh, "Melly, pikirkanlah. Aku ibumu. Akankah Agnes tetap mengizinkanmu menikah dengan Yudha kalau aku masuk penjara?"Melanie tidak berkata apa-apa, itu benar-benar kekhawatiran terbesarnya.Namun, meminta 10 juta pada Yudha .... Alasan apa yang bisa dia buat? Dia sangat kesal, tidak seharusnya dia mempercayai Silvia, si bodoh ini."Melly, cepatlah, mereka akan menelepon lagi nanti." Silvia mendesak dari samping."Berhenti mendesak, menyebalkan." Melanie menggeram. "Bukankah waktu itu aku sudah kirim 10 miliar? Kenapa masih kurang lagi?"Silvia ragu-ragu sebentar. "Uang muka sudah dibayar 4 miliar. Sisa 6 miliar ... aku investasikan di saham.""Apa katamu?" Mata Melanie membelalak. "Silvia, kamu gila? Kamu punya otak buat main saham? Berapa sisanya sekarang? Buang sekarang juga.""Jangan, jangan dijual sekarang. Nanti pasti bisa naik." Silvia jelas merasa bersalah."Berapa banyak yang tersisa?" Melanie sangat marah sampai-sampai suaranya bergetar.Silvia
Siska masih menjaga kamar Yara.Setelah mendengar perkataan Gio di siang hari, mereka bertiga memutuskan untuk bergantian menjaga, tidak pernah meninggalkan Yara sendirian."Siska, pulang saja, aku baik-baik saja." Yara benar-benar tidak enak, tidak ingin menyusahkan siapa pun lagi."Aku tinggal sendirian juga bosan." Siska merapikan tempat tidur sederhana di sebelahnya. "Aku senang bisa bersamamu, jangan usir aku."Yara menggerakkan bibirnya tak berdaya. Dia merasa sejak Gio tiba, mereka bertiga bertingkah aneh, seolah-olah mereka mengawasinya karena takut akan terjadi sesuatu padanya.Karena tidak bisa membujuk, dia hanya bisa menyerah.Saat ini, pintu kamar terbuka dan tanpa diduga itu adalah Melanie.Tangan Yara seketika mengepal. Meski tak punya bukti, dia selalu merasa bahwa yang menimpa Santo ada hubungannya dengan Melanie."Apa yang kamu lakukan di sini?" Melihat Melanie, Siska langsung maju menamparnya. "Kamu nggak diterima di sini."Tamparannya begitu keras hingga Melanie mer
Dia mengatupkan rahangnya dan menatap benci pada Yara. "Kamu pasti nggak tahu. Saat aku di luar negeri, aku nggak bisa tidur semalaman, membayangkan kamu di sini tidur di samping Yudha. Membayangkan Zaina dan Santo masih melindungimu.""Aku jelas-jelas sudah mencuri bakatmu, merampas orang tuamu, hidupmu, pria yang paling kamu cintai, tapi kenapa?" Dia hampir berteriak, "Kenapa aku masih belum puas?"Yara merasa orang di hadapannya benar-benar gila. Gila."Aku akhirnya mengerti sekarang." Melanie mencengkeram lengan Yara. "Aku ingin kamu mati, hanya ketika kamu mati aku bisa tenang.""Aku bisa mencuri, tapi aku takut cuma bisa memilikinya sementara saja." Dia meremas lengan Yara keras-keras melampiaskan kekesalannya. "Hanya ketika kau mati, semua itu bisa benar-benar menjadi milikku.""Gila!" Yara mengibaskannya.Melanie tertawa tanpa peduli."Lihat, kamu bahkan nggak punya kekuatan untuk memukulku, Yara, kenapa kamu belum mati juga?""Kamu ingin lihat Zaina, Santo, Kakek Susilo, bahka
Yara berbaring dan menangis saat itu juga.Perkataan Melanie barusan terus terngiang-ngiang di benaknya, seolah-olah semua orang di sekitarnya menderita karena dirinya.Ternyata orang yang selama ini paling pantas mati adalah dirinya sendiri.Dia tidak tahu kesalahan apa yang telah dia lakukan, atau apa lagi yang bisa dia lakukan.Efek obat tidur menghantamnya dengan cepat. Dia jatuh tertidur di tengah kekacauan hatinya. Pikirannya serasa tetap terjaga sepanjang waktu.Dia seperti tertidur, tapi sepertinya tidak.Keesokan harinya, Yara terlihat lebih pucat lagi. Wajahnya kelabu dan matanya kusam."Apa yang terjadi?" Siska dilanda cemas. "Kapan Gio mau ke sini lagi?""Agak siang," jawab Felix tak kalah cemas. "Nanti aku ingatkan dia biar mendorong Rara lebih keras lagi."Mereka berdua berdiri di depan pintu. Merasa bahwa Yara di dalam kamar tampak seperti seseorang yang sudah sangat tua. Padahal dia jelas baru berusia 20-an."Melanie pasti bicara sesuatu lagi kemarin. Dasar anjing. Aku
Silvia mengerutkan kening. Pikirannya sudah curiga.Melanie terus membujuknya, "Bu, kalau kemungkinan terburuk itu benar-benar terjadi, kita berdua nggak boleh sama-sama masuk penjara. Nanti siapa yang bisa menjaga hubungan dengan dunia luar?""Bu, kalau kamu ditangkap, aku pasti akan mencari cara untuk mengeluarkanmu. Tapi kalau aku juga ikut ditangkap, habislah harapan kita.""Melly, pasti terjadi sesuatu, ya?" Silvia sangat waspada. Pembicaraannya melibatkan "ditangkap" dan "masuk penjara". Dia tidak sebodoh itu.Melanie tahu dia tidak bisa menyembunyikannya lagi. Polisi juga mungkin akan segera mencarinya."Bu, katanya ada ahli psikologi datang dari kantor polisi, membuka paksa mulut orang itu. Dia membeberkan semuanya.""Apa?" Silvia berdiri kaget. "Membeberkan semuanya? Bagaimana ini bisa terjadi?"Melanie mengangguk. "Geng yang kamu bayar itu mungkin akan segera tertangkap. Nanti ...""Habis sudah, habis sudah." Silvia ketakutan setengah mati. Jiwanya serasa melayang. "Aku akan
Melanie mengangkat gelas ke bibirnya, tetapi tidak meneguk.Matanya yang gelap diam-diam memperhatikan Silvia meminum anggurnya.Silvia jelas sangat senang. Mendapatkan uang, lalu melarikan diri ke luar negeri dan bersenang-senang di sana. Memikirkan hal ini membuat hatinya bersemangat, "Melly, tenang saja. Setelah Ibu bisa tinggal aman di luar negeri, kamu harus datang menemui Ibu.""Iya." Melanie meletakkan gelas anggurnya dan tersenyum."Kenapa kamu nggak minum?" Silvia melihat gelas Melanie masih penuh."Nggak apa-apa." Melanie menggelengkan kepalanya. "Bu, aku sebenarnya sangat berterima kasih padamu. Kalau semuanya berjalan lancar, aku benar-benar berniat ingin membahagiakan kamu sampai hari tua, agar kamu bisa menikmati hidupmu."Silvia mengerutkan kening. Kenapa Melanie tiba-tiba mengatakan hal ini? Dia merasa ada yang tidak beres.Wajah Melanie berubah. Kebencian muncul dalam sinar matanya. "Tapi manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Yara dan yang lainnya sangat menyebalka
"Ibuku tiba-tiba telepon tadi, dia minta aku datang dan tidur di sini," kata Melanie sambil menangis. "Jadi aku datang."Dia masih memegangi tubuh Silvia. "Saat aku tiba, aku lihat nggak ada pelayan lagi di sini, cuma ada dia. Dia sepertinya sudah minum cukup banyak saat itu.""Jadi aku tanya, apa yang terjadi? Dia nggak bicara apa-apa, dan cuma memintaku untuk menemaninya.""Lalu dia terus bicara yang aneh-aneh tanpa berhenti. Aku mulai curiga. Setelah didengarkan, ternyata dia seperti sedang membicarakan soal upacara pemakamannya."Melanie menangis semakin sedih. "Setelah itu, dia tiba-tiba jatuh dari sofa dan memuntahkan darah. Mengatakan padaku dan dia akan pergi, memintaku untuk menjaga diriku baik-baik.""Kenapa bisa sampai seperti ini?" Yudha sangat bingung. "Kenapa dia bunuh diri?""Entahlah, aku nggak tahu, dia nggak bilang apa-apa." Melanie menggeleng-gelengkan kepalanya."Kamu sudah telepon polisi?" Yudha bertanya.Melanie menggeleng lagi.Yudha bertanya lagi, "Apa aku perlu
Pemakaman Silvia sepenuhnya diatur oleh Yudha. Yang membuatnya cukup terkejut adalah Melanie bersikeras untuk hadir sebagai putrinya.Agnes juga hadir di sana.Dia tahu tentang Silvia membayar orang untuk membunuh Santo. Jadi, dia mencari kesempatan untuk mengajak Melanie membicarakannya secara pribadi."Masalah Santo nggak ada hubungannya denganmu?" Sebelah alisnya langsung terangkat saat bertanya. Tatapan matanya yang tajam merasuk ke dalam lubuk hati.Melanie belakangan ini terlalu sering berakting. Matanya bengkak dan seluruh wajahnya sembap, sehingga hampir tidak terlihat ekspresi apa pun. Tidak ada yang bisa mengungkap petunjuk sedikit pun.Dia menggelengkan kepalanya. "Aku nggak nyangka dia bisa segila itu."Agnes tidak bertanya lagi. Sejujurnya, dirinya mampu melakukan hal-hal yang lebih kejam daripada Melanie di masa mudanya. Tidak masalah selama dia berhasil."Nggak masalah." Suaranya dingin. "Bersikap baiklah setelah kamu menikah dengan Yudha."Melanie membungkuk dan melihat