Yara pun terharu. "Kak Felix, terima kasih.""Nggak masalah." Felix tidak berani mengambil risiko, memikirkan kemungkinan yang disebutkan Gio tadi.Sementara itu, Yudha menerima telepon dari Melanie."Yudha, tolong, ibuku terjadi sesuatu." Melanie menangis tersedu-sedu."Oke, jangan khawatir, aku ke sana sekarang." Yudha bangkit dan berniat untuk segera pergi ke rumah sakit."Yudha, kamu bisa menghubungi Rara?" Dalam beberapa hari terakhir, Melanie sudah menggunakan segala cara, tetapi Yara masih belum ketemu juga, jadi dia hanya bisa bertanya pada Yudha.Yudha mengerutkan keningnya. "Ada apa?""Yudha, ibuku butuh transfusi darah segera. Cuma Rara yang golongan darahnya sama." Melanie terus menangis. "Yudha, waktu ibuku donor darah untuk menyelamatkan nyawa Rara waktu itu ....""Aku akan berusaha, tenang saja." Yudha menutup teleponnya.Pendarahan Yara saat itu masih terngiang di benaknya. Apakah Yara sudah mendonorkan darahnya sekarang?Dengan sedikit ragu dan menelepon Revan terlebih
Felix tidak bisa menahan Yara. Dia hanya bisa membantunya masuk ke dalam lift dan pergi menuju ruang gawat darurat.Yara masih sangat lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, terlihat seperti akan pingsan saat itu juga.Ketika mereka muncul di depan pintu IGD, mereka melihat Paman Santo dan Melanie di sana.Santo tiba-tiba berdiri dan berjalan penuh amarah.Felix sedikit khawatir melihat hal itu dan tanpa sadar mencoba melindungi Yara di belakangnya, tetapi Yara menghentikannya.Dia menggelengkan kepalanya dan berkata dengan lembut, "Nggak apa-apa."Felix dapat melihat ekspresi Santo seperti ingin melakukan sesuatu yang buruk. Dia menatap Yara dengan ragu-ragu. "Rara ....""Nggak apa-apa." Yara terengah-engah, mendorong Felix menjauh.Dia menatap Santo dan bertanya, "Paman, bagaimana keadaan Bibi?""Masih berani tanya?" Santo sangat marah, mengangkat tangannya dan menamparnya dengan cepat dan tepat. "Kalau bukan karena kamu ...."Sebelum dia selesai berkata, Yara terjatuh."Rara, Rara!" Fel
Perawat itu menoleh ke arah Yara, melihat Yara mengangguk pelan. Yara juga perlu menanyakan sesuatu secara langsung kepada Melanie.Setelah perawat itu pergi, Melanie berjalan ke samping tempat tidur, memandangi perut Yara dengan penuh cemburu dan benci."Anak haram di dalam perutmu itu benar-benar tangguh."Yara spontan melindungi perutnya dan berusaha bangkit duduk. "Melanie, kamu nggak perlu menyerang, aku sudah tahu semuanya.""Apa?" Melanie merasa firasat buruk dalam hatinya. "Apa yang kamu tahu?""Kenapa Yudha harus menikah denganmu!"Melanie mencengkeram pagar samping tempat tidur dengan keras. "Felix yang bilang?""Itu bukan urusan kamu." Yara berkata perlahan, "Melanie, jadi pencuri itu menyenangkan ya?"Emosinya semakin memuncak. "Dalam hidupmu, kamu merampok orang tuaku, identitasku, dan kekasih tercintaku. Melanie, apa kamu nggak takut akan pembalasan?""Hahaha ...." Melanie tertawa riang. "Pembalasan? Yara, lihatlah dirimu sendiri sekarang. Pikirkan semua yang telah kamu a
Saat keluar dari tangga, Melanie tersenyum.Dia melirik ke arah kamar. Melihat dengan jelas bahwa Yara belum bangun, suasana hatinya jadi lebih baik.Namun, setelah naik ke lantai atas, dia menyadari bahwa Zaina telah melewati masa kritis.Melanie mendapat firasat buruk di hatinya dan segera mencari kamar Zaina, dan melihat bahwa suasana di dalam sangat suram.Dokternya keluar dan menggelengkan kepala saat melihatnya.Di ranjang rumah sakit, mata Zaina menatap lurus ke langit-langit, tampak seperti melamun."Melly," Mata Santo merah dan air mata berlinang di wajahnya. Da berdiri memanggil Melanie. "Sini, bicaralah dengan ibumu."Melanie berdiri diam dan tidak bergerak, seolah-olah terpaku di sana.Dia tidak peduli hidup dan mati Zaina. Dia bahkan telah berencana ingin menggunakan nyawa Zaina untuk merangsang emosi Yara dan membuatnya keguguran.Namun, Yara tahu bahwa dia telah berbohong pada Yudha dan Zaina kini menjadi senjata terbaiknya.Kenapa dia malah akan mati?Melanie sangat kes
Zaina tertegun sejenak. Benar. Keluarga Lubis dulu begitu hangat dan harmonis.Mereka adalah pasangan yang penuh kasih dan menantikan putri mereka tumbuh dewasa, merencanakan masa depan putri mereka setiap hari. Sejak kapan segalanya mulai berubah?Atau mungkin, itu semua hanyalah pertunjukan yang disajikan anak itu untuknya dan Santo sejak awal."Santo ... uhuk, uhuk ...." Memikirkan hal ini, Zaina tidak bisa mengendalikan batuknya."Sayang, tenanglah, tenanglah! "Santo panik. "Aku ambilkan air, ya?"Zaina menggelengkan kepalanya sambil terbatuk-batuk. Dia tidak ingin melepaskan tangan Santo, dia takut dia tidak akan bisa menahannya lagi jika tangannya lepas."Nggak apa-apa, aku nggak apa-apa.""Sayang, jangan khawatir. Aku akan menjaga Melly. Aku akan memastikan dia menikah dengan keluarga Lastana dan hidup bahagia."Zaina tidak tahu harus berkata apa. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia tahu Santo juga tidak akan bisa menerimanya, sama seperti dirinya."Santo," katanya
"Ibu ... Ibu!"Yara tahu dia sedang bermimpi, jadi dia bisa memanggil Zaina dengan sebebas-bebasnya.Dalam mimpi itu, Zaina di ranjang rumah sakit terlihat lemah. Dia memegang Yara dengan satu tangan dan melambaikan tangan di belakang Yara dengan tangan lainnya."Ayo ke sini. Kenapa malu-malu sama anak sendiri?"Yara menoleh dan melihat Santo menyentuh hidungnya dengan canggung. Dia melangkah mendekat dan menggenggam tangan Zaina yang lain."Senang sekali, akhirnya keluarga kita bisa bersatu kembali." Mata Zaina yang penuh cinta menatap Yara sejenak, kemudian beralih kepada Santo, lalu kembali lagi beberapa kali.Akhirnya, tatapannya berhenti di wajah Santo. "Sayang, kamu harus menebusnya kepada Yara setelah aku pergi. Kita nggak pernah melakukan tugas sebagai orang tua selama bertahun-tahun. Ini penyesalan terbesarku.""Istriku, jangan bicara yang macam-cama." Santo berjongkok dan melindungi Yara di depannya. Dia lalu memeluk Zaina erat-erat. "Kamu harus panjang umur dan hidup bahagia
"Kalau nggak ada yang penting, aku tutup saja teleponnya," kata Felix dingin. "Melanie, kamu merasa bisa bercanda denganku?""Oke, oke, aku juga malas lama-lama denganmu." Melanie berkata tanpa daya, "Zaina sudah mati.""Apa?" Felix sangat terkejut.Melanie mengerutkan keningnya. "Memangnya kenapa? Apa kamu kenal dia?"Felix menggertakkan gigi penuh kebencian. "Melanie, meskipun dia bukan ibu kandungmu, dia sudah membesarkanmu selama lebih dari 20 tahun, kenapa kamu nggak punya hati nurani?""Jadi kamu sudah tahu?" Nada bicara Melanie masih ringan. "Nggak usah sok-sokan jadi orang baik di sini. Yudha juga adikmu sendiri, bagaimana kamu memperlakukannya saat itu?""Kamu!" Felix sangat marah."Jangan beri tahu Yara untuk saat ini. Rahasiakan selama mungkin." Melanie akhirnya menyatakan tujuannya.Jika Yara tahu sekarang bahwa Zaina sudah meninggal, Yara pasti akan mengungkapkan yang sebenarnya kepada Yudha.Tidak sekarang. Setidaknya sampai dia dan Yudha menyelesaikan pernikahan mereka.
Wajah Siska dan Felix seketika memucat.Tak berani bernapas, keduanya menatap Teresa dengan mata tak berkedip, menunggunya melanjutkan."Anak-anak Rara ...." Teresa mendesah panjang. "Sangat sulit untuk bisa dipertahankan."Felix langsung mengepalkan tinjunya.Siska bahkan merasa seolah-olah ada yang memukul kepalanya. Seketika itu juga dia tidak bisa berdiri.Dia melangkah maju dan menarik lengan Teresa, bahkan ingin berlutut di hadapan Teresa. "Dok, mereka sangat penting bagi Yara, tolong carikan jalan keluarnya."Felix mengangguk di sampingnya. "Ya, apa pun yang kamu minta, atau dokter spesialis apa pun dari dalam atau di luar negeri, tolong pastikan bayi-bayinya bisa selamat."Teresa mendesah. Sebagai dokter yang merawat Yara, mana mungkin dia tidak tahu bagaimana perasaan Yara terhadap bayi-bayinya?Jika dia bisa menyelamatkan mereka, dia akan berusaha sebaik mungkin, tetapi sekarang ....Dia tampak sedih dan berkata, "Tentu saja aku akan mencoba semaksimal mungkin untuk menyelama