Felix tidak punya pilihan lain selain menceritakan apa yang baru saja terjadi kepada Gio."Menurutku terlalu aneh." Dia benar-benar tidak mengerti. "Bukankah seharusnya dia langsung menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada adikku setelah mengetahuinya?"Gio mengerutkan kening. Benar saja, cinta dan kebencian di kalangan orang kaya ternyata lebih berdarah-darah dan menakutkan dari yang dia bayangkan.Nada bicaranya sedikit khawatir. "Dia juga melindungi dirinya sendiri.""Maksudnya?" tanya Felix. "Bukankah satu-satunya cara untuk melindungi dirinya adalah dengan membongkar kebohongan wanita itu?"Gio menggeleng, merasa khawatir masalah mental Yara akan semakin memburuk.Dia menjelaskan dengan kesabaran yang hampir tidak pernah dimilikinya, "Kejadian di masa kecil Yara serta perlakuan buruk dan kebencian dari orang tuanya meninggalkan trauma yang sangat serius di hatinya."Dia mendesah pelan. "Kalau orang lain saja mungkin sudah depresi berat, tapi karakternya sangat kuat dan dia punya
Mendengar hal itu, sebuah senyuman muncul di wajah Yara, dan sekujur tubuhnya terlihat sedikit lebih rileks.Gio langsung bertanya pada intinya, "Rara, orang tua seperti apa menurutmu yang pantas menjadi orang tua?""Orang tua?" Yara tidak menyangka Gio akan membicarakan hal ini dengannya.Gio memandangi perutnya. "Kamu akan menjadi ibu, apa kamu belum pernah memikirkan pertanyaan ini?"Yara tidak langsung menjawab.. Bukannya dia belum pernah memikirkannya, tetapi dia sudah memikirkannya sejak dia masih sangat, sangat kecil. Sampai kejadian naas itu terjadi saat dia berusia empat tahun. Dia mengira bahwa dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang ibu, jadi dia sudah sejak lama tidak pernah memikirkannya lagi.Namun, seiring bertambahnya usia, pemikirannya menjadi lebih mandiri. Ditambah dengan pengaruh Zaina pada hidupnya, dia masih memikirkannya sesekali.Orang tua sangatlah penting bagi tumbuh kembang seorang anak.Tanpa pikir panjang, dia menjawab, "Orang tua yang benar-benar menyay
Setelah Gio pergi, Yara memikirkannya sejenak.Dia tahu Gio memang benar. Kalaupun Yudha ingin berubah pikiran, dia tidak akan langsung memaafkannya.Sekalipun hanya untuk membalas budi, Yudha tidak berhak menyakitinya seperti ini.Saat makan siang, dia bertemu dengan Felix."Kak, ponselku ...."Felix langsung menjawab, "Ada di aku. Kamu mau pakai? Sekarang?"Yara mengangguk. "Aku mau telepon Yudha dan menjelaskan yang sebenarnya.""Oke." Felix berusaha untuk tersenyum. Dia tahu akhirnya akan jadi seperti ini. Dia tahu dirinya harus mengalah, tetapi dia tidak menyesal.Dia telah menyakiti Yara 20 tahun yang lalu, dan kali ini, dia ingin melindunginya.Felix membawa Yara ke kamarnya dan mengembalikan ponselnya."Tapi kamu nggak boleh telepon di sini, kamu harus ikut denganku." Dia mengingatkan Yara. "Kamu pakai baju yang tebal dulu, aku tunggu di tempat parkir."Yara mengangguk dan menyalakan ponselnya, dan benar saja, tidak ada sinyal.Sambil menelusuri ponselnya, dia berjalan kembali
Yara pun terharu. "Kak Felix, terima kasih.""Nggak masalah." Felix tidak berani mengambil risiko, memikirkan kemungkinan yang disebutkan Gio tadi.Sementara itu, Yudha menerima telepon dari Melanie."Yudha, tolong, ibuku terjadi sesuatu." Melanie menangis tersedu-sedu."Oke, jangan khawatir, aku ke sana sekarang." Yudha bangkit dan berniat untuk segera pergi ke rumah sakit."Yudha, kamu bisa menghubungi Rara?" Dalam beberapa hari terakhir, Melanie sudah menggunakan segala cara, tetapi Yara masih belum ketemu juga, jadi dia hanya bisa bertanya pada Yudha.Yudha mengerutkan keningnya. "Ada apa?""Yudha, ibuku butuh transfusi darah segera. Cuma Rara yang golongan darahnya sama." Melanie terus menangis. "Yudha, waktu ibuku donor darah untuk menyelamatkan nyawa Rara waktu itu ....""Aku akan berusaha, tenang saja." Yudha menutup teleponnya.Pendarahan Yara saat itu masih terngiang di benaknya. Apakah Yara sudah mendonorkan darahnya sekarang?Dengan sedikit ragu dan menelepon Revan terlebih
Felix tidak bisa menahan Yara. Dia hanya bisa membantunya masuk ke dalam lift dan pergi menuju ruang gawat darurat.Yara masih sangat lemah dan seluruh tubuhnya gemetar, terlihat seperti akan pingsan saat itu juga.Ketika mereka muncul di depan pintu IGD, mereka melihat Paman Santo dan Melanie di sana.Santo tiba-tiba berdiri dan berjalan penuh amarah.Felix sedikit khawatir melihat hal itu dan tanpa sadar mencoba melindungi Yara di belakangnya, tetapi Yara menghentikannya.Dia menggelengkan kepalanya dan berkata dengan lembut, "Nggak apa-apa."Felix dapat melihat ekspresi Santo seperti ingin melakukan sesuatu yang buruk. Dia menatap Yara dengan ragu-ragu. "Rara ....""Nggak apa-apa." Yara terengah-engah, mendorong Felix menjauh.Dia menatap Santo dan bertanya, "Paman, bagaimana keadaan Bibi?""Masih berani tanya?" Santo sangat marah, mengangkat tangannya dan menamparnya dengan cepat dan tepat. "Kalau bukan karena kamu ...."Sebelum dia selesai berkata, Yara terjatuh."Rara, Rara!" Fel
Perawat itu menoleh ke arah Yara, melihat Yara mengangguk pelan. Yara juga perlu menanyakan sesuatu secara langsung kepada Melanie.Setelah perawat itu pergi, Melanie berjalan ke samping tempat tidur, memandangi perut Yara dengan penuh cemburu dan benci."Anak haram di dalam perutmu itu benar-benar tangguh."Yara spontan melindungi perutnya dan berusaha bangkit duduk. "Melanie, kamu nggak perlu menyerang, aku sudah tahu semuanya.""Apa?" Melanie merasa firasat buruk dalam hatinya. "Apa yang kamu tahu?""Kenapa Yudha harus menikah denganmu!"Melanie mencengkeram pagar samping tempat tidur dengan keras. "Felix yang bilang?""Itu bukan urusan kamu." Yara berkata perlahan, "Melanie, jadi pencuri itu menyenangkan ya?"Emosinya semakin memuncak. "Dalam hidupmu, kamu merampok orang tuaku, identitasku, dan kekasih tercintaku. Melanie, apa kamu nggak takut akan pembalasan?""Hahaha ...." Melanie tertawa riang. "Pembalasan? Yara, lihatlah dirimu sendiri sekarang. Pikirkan semua yang telah kamu a
Saat keluar dari tangga, Melanie tersenyum.Dia melirik ke arah kamar. Melihat dengan jelas bahwa Yara belum bangun, suasana hatinya jadi lebih baik.Namun, setelah naik ke lantai atas, dia menyadari bahwa Zaina telah melewati masa kritis.Melanie mendapat firasat buruk di hatinya dan segera mencari kamar Zaina, dan melihat bahwa suasana di dalam sangat suram.Dokternya keluar dan menggelengkan kepala saat melihatnya.Di ranjang rumah sakit, mata Zaina menatap lurus ke langit-langit, tampak seperti melamun."Melly," Mata Santo merah dan air mata berlinang di wajahnya. Da berdiri memanggil Melanie. "Sini, bicaralah dengan ibumu."Melanie berdiri diam dan tidak bergerak, seolah-olah terpaku di sana.Dia tidak peduli hidup dan mati Zaina. Dia bahkan telah berencana ingin menggunakan nyawa Zaina untuk merangsang emosi Yara dan membuatnya keguguran.Namun, Yara tahu bahwa dia telah berbohong pada Yudha dan Zaina kini menjadi senjata terbaiknya.Kenapa dia malah akan mati?Melanie sangat kes
Zaina tertegun sejenak. Benar. Keluarga Lubis dulu begitu hangat dan harmonis.Mereka adalah pasangan yang penuh kasih dan menantikan putri mereka tumbuh dewasa, merencanakan masa depan putri mereka setiap hari. Sejak kapan segalanya mulai berubah?Atau mungkin, itu semua hanyalah pertunjukan yang disajikan anak itu untuknya dan Santo sejak awal."Santo ... uhuk, uhuk ...." Memikirkan hal ini, Zaina tidak bisa mengendalikan batuknya."Sayang, tenanglah, tenanglah! "Santo panik. "Aku ambilkan air, ya?"Zaina menggelengkan kepalanya sambil terbatuk-batuk. Dia tidak ingin melepaskan tangan Santo, dia takut dia tidak akan bisa menahannya lagi jika tangannya lepas."Nggak apa-apa, aku nggak apa-apa.""Sayang, jangan khawatir. Aku akan menjaga Melly. Aku akan memastikan dia menikah dengan keluarga Lastana dan hidup bahagia."Zaina tidak tahu harus berkata apa. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Dia tahu Santo juga tidak akan bisa menerimanya, sama seperti dirinya."Santo," katanya
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid