Dia menundukkan kepalanya dan cepat-cepat membubuhkan tanda tangan, tidak lagi memperhatikan pria di sebelahnya.Pria itu masih terus mengoceh. "Bukan begitu maksudku. Bukankah hidup kita sudah semakin membaik akhir-akhir ini? Kita sudah ganti rumah, ganti mobil, apa lagi yang kamu inginkan? Aku sudah bekerja sangat keras di luar ..."Yudha menyentuh dagunya dan mengambil kesimpulan tanpa pikir panjang, "Wanita ini akan segera menyesal."Yara memelototinya."Apa aku salah?" Yudha beralasan, "Jelas pria ini bisa menghasilkan uang dan memberikan kehidupan yang baik untuk wanita ini. Sebaliknya, si wanita ..."Namun, sebelum dia selesai mengatakannya, wanita yang tidak jauh dari situ sudah selesai tanda tangan dan berdiri hendak pergi. Pada saat yang sama, tidak ada yang menyangka bahwa pria di sebelahnya, yang baru saja bicara sok kuat tiba-tiba berlutut.Laki-laki itu memeluk betis si wanita. "Maafkan aku, aku tahu aku salah. Jangan bercerai. Jangan bercerai, oke?""Lepas! Aku sudah mua
"Halo," kata Yara dengan suara kering. "Kami bercerai secara sukarela. Bisakah kita melanjutkan prosesnya secepat mungkin?"Yudha menoleh ke arahnya. Suasana hati yang tadinya tenang menjadi jengkel lagi.Mereka sudah duduk di sini, kenapa Yara masih harus bersikap tidak sabaran seperti itu?Dia berkata dengan nada dingin, "Ikuti prosedurnya."Yara kembali menatapnya dengan mata merah.Suara Yudha masih tetap dingin seperti biasanya. "Sudah keinginan keluarga sejak awal. Kakekku sangat menyukainya, dan ibunya juga sangat puas denganku."Mata Yara melebar beberapa saat. Dia tidak menyangka Yudha akan mengatakannya seperti itu.Dia menghela hidungnya dan berganti posisi duduknya, merasa tidak nyaman."Jadi itu artinya, kalian berdua nggak ada perasaan sama sekali?" Pegawai itu bertanya lagi."Benar."Yara mendengar jawaban Yudha dan merasakan telinganya bergemuruh. Dia hanya ingin semua ini segera berakhir.Pegawai itu meletakkan akta nikah dan mulai memeriksa perjanjian perceraian."Sud
Dia berjalan pergi secepat mungkin tanpa menoleh ke belakang, dan dia tidak akan menoleh ke belakang.Yudha terdiam disana, menyaksikan sosok Yara yang perlahan mengecil dan akhirnya menghilang.Dia tiba-tiba tertawa pelan, menoleh ke arah Revan. "Apa-apaan wanita itu. Kita bukannya nggak akan ketemu lagi."Revan tiba-tiba mendengar seperti ... suara bosnya tercekat?Dia tidak berani berkata apa-apa, tetapi dia melihat jelas kata-kata perpisahan dari punggung Yara. Kali ini, dia benar-benar tidak ingin mempertahankan Yudha lagi.Saat Yudha kembali ke mobil, dia berkata ingin makan. Dia agak merasa kosong dalam dirinya, pasti karena lapar.Revan bertanya ragu-ragu, "Nona Lubis ingin dipanggil juga?""Nggak, dia pergi terburu-buru tadi, dia pasti sangat sibuk."Revan tidak berkata apa-apa. Faktanya, dia tidak pernah memanggil Yara dengan sebutan Nona Lubis. Nona Lubis yang dia sebut adalah Melanie.Yudha pasti langsung menyadari hal ini dan wajahnya berubah suram.Pada saat inilah, telep
Malam harinya, Yudha dipanggil pulang ke rumah keluarga besar lagi.Begitu Yudha datang, Agnes menariknya ke samping dan bertanya, "Beneran sudah bercerai? Kudengar perceraian itu sangat merepotkan sekarang, ada semacam masa tenang.""Bu, apa yang kamu inginkan?" Sepanjang hari ini, Yudha merasa kesal. "Bukannya ibu yang setiap hari ingin kami bercerai?"Agnes mendesah. "Ibu nggak pernah bilang nggak setuju, cuma ... ah, pikirkan saja sendiri."Saat makan malam, semua orang diam membisu. Entah kenapa, suasananya sangat menyedihkan."Kakek." Felix yang pertama memecah keheningan. "Akhir-akhir ini Rara nggak di Selayu. Kalau Kakek kangen ...""Nggak di Selayu?" tanya Yudha dengan suara berat. "Ke mana dia?"Felix meliriknya dan lanjut berkata kepada Kakek Susilo, "Kamu bisa telepon kapan saja.""Baguslah, biar nggak terlihat, nggak jadi pikiran." Nada bicara Kakek Susilo terdengar tidak senang."Rara juga perlu keluar jalan-jalan," kata Tanto di samping untuk mencairkan suasana. "Biarkan
Tak lama kemudian, dia segera tersadar.Setelah Yudha dan Melanie menikah, Melanie pasti akan pindah ke kamar itu. Barang-barangnya pasti merusak pemandangan.Akan tetapi, dia sudah mau berangkat besok. Satu-satunya kesempatan untuk pergi ke sana adalah malam ini."Oke, aku ambil sekarang." Yara menutup teleponnya, menoleh ke arah Siska dan berkata, "Aku harus pergi ke rumah keluarga besar.""Kenapa? Kakek ..." Siska agak khawatir sejenak."Nggak." Yara tersenyum pahit. "Yudha minta aku pergi mengambil barang-barang dari sana."Siska tertawa jengkel. "Bajingan ini memang penuh drama, sebanyak uang yang dia punya."Melihat Yara benar-benar akan pergi, dia bangkit untuk mencegahnya. "Dibuang sajalah. Nggak bisa?"Dia mau tak mau mulai menebak-nebak, "Mungkinkah Yudha enggan melepaskanmu dan berubah pikiran, ingin menemuimu dengan segala cara?""Jangan khawatir, aku pergi ke sana cuma untuk bertemu Kakek." Yara sudah lama menyadari obsesi Yudha terhadap hal semacam ini dan tidak ingin tam
Yudha tidak berkata apa-apa dan berbalik memasuki vila.Yara buru-buru mengikutinya. Dia benar-benar tidak mendengar dengan jelas kata-kata Yudha tadi. Dia samar-samar mendengar "kalau aku", tapi mungkinkah?Dia yakin pasti dia salah dengar.Memasuki rumah, Yara melihat Agnes, Tanto, dan Liana sedang berbincang di ruang tamu.Begitu dia masuk, suasana seketika hening.Yara sedikit gugup, menundukkan kepalanya dan menyapa semua orang. "Bu ... oh, Bibi ....""Dia mau ambil barang-barang." Yudha menyela Yara dan memerintahkan, "Ikuti aku ke atas."Yara tersenyum kepada orang-orang itu. "Aku naik dulu.""Tunggu." Tak disangka, Agnes menghentikannya.Yara langsung merasa seperti menghadapi musuh yang kuat."Bu," kata Yudha lagi, nada bicaranya jelas tidak sabar. "Dia cuma mau ambil barang-barang, lalu pergi.""Kenapa? Kamu takut dia aku apakan?" Agnes berdiri dan berjalan mendekat. Tatapannya tanpa sadar menyapu perut Yara.Dia menghampiri Yara dan berkata dengan nada tidak senang, "Kenapa
Kakek Susilo mengerjap keras.Yara tersenyum melalui air matanya. "Kakek, ini benar-benar aku. Aku ke sini mau pamitan, sekalian ambil barang-barangku.""Mau diambil semua?" Kakek Susilo jelas tidak senang. Kalau barang-barangnya masih di sana, dia masih bisa berharap Rara akan kembali. Sekarang, mau dibawa pergi semua ....Dia mendesah dalam-dalam. "Entah kamu ambil atau dibiarkan, Kakek akan selalu merasa kamu masih tinggal di sini.""Kakek ..." Yara merasa semakin tidak enak.Namun, semuanya sudah terjadi. Yang baru akan segera datang. Punya hak apa dia, sebagai yang lama, untuk datang ke sini?Dia menahan tangisnya, mengobrol dengan Kakek sebentar, berjanji untuk sering mengobrol di telepon, lalu pergi.Yudha tidak ada di depan pintu. Dia pasti sudah kembali.Yara pergi ke kamar. Barang-barangnya membereskan barang-barangnya satu demi satu. Di akhir, dia menyadari yang kurang adalah satu setel baju tidur.Dia mencari ke dalam dan ke luar bolak-balik, tetapi masih tidak ketemu."Ane
Yudha kembali ke kamar penuh berbagai macam pikiran.Tadi Yara mengatakan ada baju tidur yang belum ketemu. Sepertinya dia ingat pernah melihatnya di suatu tempat.Dia mencari di kamar tidur tetapi tidak ketemu, jadi dia pergi ke kamar mandi dan menemukan baju tidur Yara tergantung di jendela.Dia mengulurkan tangan dan menarik celana itu. Warnanya kuning kekanak-kanakan dihiasi gambar bebek cemberut.Yudha mengerutkan keningnya kesal, memikirkan bahwa bebek ini mirip Yara. Dia mengangkat tangan untuk melempar celana itu ke tempat sampah, tetapi akhirnya berhenti.Dia membawa celana itu kembali ke kamar tidur, melipatnya dengan rapi, dan menaruhnya di dalam lemari.Berbaring di tempat tidur, dia melirik ke arah lemari dari waktu ke waktu, merasakan emosi tidak dikenal yang membara di dadanya, membuatnya seperti sesak dan sulit bernapas.Akhirnya, dia hanya berbalik memunggungi lemari dan perlahan-lahan mulai tenang.Ibu Siska tinggal di daerah perumahan lama yang tidak bisa dimasuki mo
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid