Seminggu berlalu cepat. Yara dan Safira mengirimkan empat sampel bersama-sama."Rara, kamu pasti bisa jadi perwakilan perusahaan kita kali ini."Setelah mereka kembali, semua orang langsung bergegas memberi ucapan selamat kepada Yara."Jangan bilang begitu. Desainmu juga bagus-bagus, cuma gayanya saja yang beda."Yara agak malu menerima pujian."Sekarang bebannya beralih ke tim produksi. Detail-detailnya bisa ditangkap semua nggak ya?"Jangan khawatir, waktunya setengah bulan. Kamu bisa pergi periksa perkembangannya ke sana kapan saja. Aku yakin nggak akan ada masalah.""Oh ya, mau pergi merayakannya nanti malam?"Mereka bertiga menatap Yara secara bersamaan."Oke, aku yang traktir."Yara setuju tanpa pikir dua kali. Dia sudah lama ingin mencari kesempatan untuk berterima kasih kepada mereka.Safira menyarankan untuk memanggil Anita juga.Yara langsung menelepon Anita. "Kak Anita, sedang ada waktu? Aku mau ngomong sesuatu.""Apa?" Anita masih seperti biasanya, menghargai kata-katanya s
"Oke, sepakat!"Mereka menunggu taksi di pinggir jalan dan Anita meminta Yara pergi dulu.Begitu Yara membuka pintu mobil, dia mendengar seseorang memanggil namanya."Rara! Rara!"Yara menoleh dan tidak menyangka ternyata itu adalah Silvia.Anita melirik Yara dan bertanya, "Kamu kenal dia?""Ibuku." Yara menggerakkan bibirnya dengan enggan.Dia tahu kepulangannya harus tertunda. "Kak Anita, kamu pulang dulu."Anita tertegun sejenak. "Aku ikut nyapa ibumu sebentar juga.""Nggak usah, nggak apa-apa kok. Kak Anita, cepat pulang. Sopirnya sudah nunggu."Yara mendorongnya masuk ke dalam taksi dan menunggu mobilnya pergi sebelum dia berjalan ke arah Silvia.Dia tidak menyangka akan bertemu Silvia di sini. "Kenapa kamu di sini?""Yara, Ibu kangen. Masa nggak boleh aku ketemu kamu?"Mata Silvia berbinar.Yara merasa aneh. "Bagaimana kamu tahu aku ada di sini?"Seperti dugaannya, Silvia terhenti karena pertanyaan itu. Tanpa menjawab, dia menarik Yara dan berkata, "Ikuti aku.""Mau ke mana?" Yar
Keesokan paginya, Yudha menunggu satu jam di depan hotel, tetapi Yara tidak kunjung muncul.Akhirnya dia tidak tahan lagi dan langsung menuju kamar 802.Alhasil, Yara masih tidak keluar juga setelah mengetuk pintu cukup lama.Petugas pembersih yang lewat bertanya padanya dengan hati-hati, "Pak, Anda mencari Nona Yara?"Yara sudah tinggal di sini cukup lama dan jadi akrab dengan para petugas kebersihan."Dia sudah keluar?" tanya Yudha dingin."Rasanya belum," jawab wanita pembersih itu sambil mengingat-ingat. "Nona Yara sepertinya tidak pulang tadi malam."Yudha mengerutkan keningnya. "Kalau ... laki-laki yang tinggal dengannya? Dia nggak pulang juga?""Hah?" Wanita pembersih itu tidak begitu mengerti. "Cuma ada satu orang yang tinggal di kamar 802, Nona Yara.""Dia tinggal sendirian?" Yudha agak terkejut.Petugas kebersihan itu menggelengkan kepalanya. "Sendirian. Saya belum pernah lihat orang lain datang ke sini. Nona Yara sepertinya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan selalu berangkat
Panggilan dari Melanie.Tanpa sadar, Yudha merasa tidak ingin mengangkat panggilan itu, tetapi panggilannya masih terus berdering sampai dia sampai di pintu lift.Dia tidak punya pilihan selain mengangkatnya."Yudha ... terjadi ... terjadi sesuatu ..."Suara Melanie gemetaran, terdengar jelas bahwa dia sedang menangis."Apa yang terjadi?""Rara, Rara ... dia menyayat pergelangan tangannya lagi!"Yudha terhuyung dan hampir menjatuhkan ponselnya.Tangannya berpegangan di dinding. Ketika dia memejamkan mata, matanya dipenuhi warna merah darah dan napasnya terasa seolah sedang dicekik."Yudha, cepat kemari. Kami sudah di Rumah Sakit Pusat, cepat kemari!""Oke, aku ke sana sekarang juga."Yudha menutup teleponnya dan butuh waktu lama untuk menggerakkan kakinya dan masuk ke dalam lift.Menyayat pergelangan tangannya lagi?Kali ini pura-pura juga atau bukan?Wanita ini benar-benar gila!Ketika mereka tiba di rumah sakit, Silvia menangis sesenggukan di koridor dan Melanie mencoba menenangkanny
"Siapa? Ada apa?"Silvia terbangun ketakutan, seakan separuh jiwanya hilang.Dia berteriak pada Yara. "Kamu gila apa lagi hah?"Yara tampak acuh tak acuh dan wajahnya sedikit kelam. "Apa kamu nggak ingin menjelaskan?""Menjelaskan apa?"Silvia membuang muka dengan rasa bersalah."Kamu minum terlalu banyak tadi malam dan terus mengatakan kamu tidak ingin bercerai. Aku mengirimmu ke atas untuk beristirahat, tapi aku tidak menyangka kamu akan melakukan sesuatu yang bodoh."Retorikanya hampir sama seperti sebelumnya.Namun, pada saat itu, dia sedang sangat sedih dan pergi minum bersama teman-teman sekelasnya ... Sedangkan kali ini, dia dalam keadaan sadar dan diculik ke rumah keluarga Lubis."Aku minum cuma sedikit tadi malam."Yara menatap dingin kepada Silvia. "Aku jelas-jelas ingat, kamu dan dua orang prialah yang membuatku pingsan.""Ngomong apa kamu ini?" Silvia berteriak lagi. "Pikiranmu pasti masih belum sadar sepenuhnya."Silvia tidak mau berhenti menyangkal. Yara pun malas bicara
Zaina terdiam di tempat dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka Yara mempunyai golongan darah panda."Kak Zaina?" Silvia berjalan perlahan-lahan membawa makanan seperti baru saja keluar membeli makan. "Kenapa kamu di sini?"Zaina segera melangkah maju dan menarik Silvia. "Dokter, ini ibu pasien. Golongan darah mereka pasti sama, 'kan? Pakai darah darinya."Sebelum dokter sempat bicara, Silvia menolak."Mana bisa?"Dokter dan Zaina menoleh terkejut pada saat yang bersamaan."Maksudku, aku sedang kurang sehat dan minum banyak obat akhir-akhir ini. Aku takut ada yang salah kalau pakai darah dariku."Zaina tampak agak malu.Dokter bertanya langsung. "Golongan darah Ibu B dengan RH negatif?""Bukan." Silvia menggeleng."Itu golongan darah saya," kata Zaina tiba-tiba dari sebelahnya. "Pakai darah saya.""Jangan!" Tanpa diduga, Melanie juga datang mencarinya.Dia melangkah maju dan meraih lengan Zaina. "Bu, mana bisa pakai darahmu. Kamu lupa bagaimana kesehatanmu akhir-akhir ini?""Melly
Yara tertegun sejenak, dan reaksi pertamanya adalah tidak percaya."Di rumah sakit ada bank darah, 'kan? Kenapa perlu ambil darah darimu?""Kamu punya golongan darah panda? Ngerti nggak golongan darah panda?"Silvia diam-diam sangat bangga. Melly memang pintar."Aku tahu." Yara merasa canggung dan bertanya setelah hening beberapa saat, "Ngomong-ngomong, aku kayaknya lihat Bibi Zaina sebelum aku pingsan.""Tentu saja dia sudah pulang lagi. Dia juga sedang sakit. Dia sudah ditemani Melanie, nggak usah ganggu dia."Silvia memperingatkan."Aku tahu." Yara tidak menaruh curiga sama sekali.Keduanya terdiam beberapa saat hingga polisi datang."Siapa yang menelepon polisi?""Saya." Yara melirik Silvia dari sudut matanya."Pak Polisi, mungkin ada salah paham di sini. Kami nggak mungkin menelepon polisi."Silvia berdiri dan meminta maaf.Polisi itu mengerutkan kening. "Apa yang terjadi? Siapa Anda?""Saya ibunya." Silvia menunjuk Yara di ranjang rumah sakit. "Emosinya sedang nggak stabil ...""
Kenapa tidak biarkan dia mati?Dia benar-benar lelah, berbaring dan melihat ke luar jendela.Tanpa disadarinya, cuaca telah sedikit berubah menuju musim penghujan.Karena Kota Selayu dekat pesisir, suhu di musim hujan tetap masih panas. Hanya anginnya saja yang jadi lumayan kencang. Suara siulan angin lamat-lamat terdengar saat suasana benar-benar sunyi."Apa kamu nggak capek mengulang lagi tipuan yang sama?"Yudha akhirnya angkat bicara. Tersirat kemarahan yang terpendam dalam nada suaranya.Tipuan yang sama?Yara tidak begitu mengerti dan menoleh ke arahnya. "Apa maksudmu?""Yara, kenapa kamu selalu menganggap seolah semua orang itu bodoh?"Dua tahun lalu, saat mereka putus, Yara juga menyayat pergelangan tangannya.Itulah pertama kali Yudha melihat darah yang begitu banyak. Sejak itu juga, dia jadi benci melihat darah.Seandainya dia tidak mendengar perkataan Silvia dan mengetahui bahwa Yara sengaja menambahkan darah palsu untuk menakutinya, dia sudah akan setuju mereka tidak jadi p
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid