“Assalamu’alaikum!”
Tepat di depan pintu, aku mengucapkan salam. Biasanya langkahku langsung masuk begitu saja. Tetapi, karena sekarang aku membawa seseorang, tentu ingin rasanya memberikan kejutan kepada orang yang ada di dalam rumah.“Wa’alaikumsalam.” Seseorang menjawab salamku. Suara itu milik ibu. Tak sabar ingin segera melihat ekspresi yang nanti dia tunjukan saat melihat kehadiranku.Pintu terbuka semakin lebar. Di sana berdiri seorang wanita paruh baya memakai gamis berhijab sangat anggun. Ya, dia ibuku. Untuk sesat dia bergeming, lalu senyumnya mengembang dengan netra yang mulai mengembun.“Ibu,” sapaku sambil meraih tangan kanannya dan menciumnya.“Zidan, akhirnya kamu pulang juga, Nak. Ibu pikir, kamu sudah nggak mau pulang lagi ke rumah.”“Aku pasti pulang, Bu. Tapi, nunggu waktu yang tepat.” Kuseka air matanya yang mulai t“Kamu kenapa, Ay?” tanyaku ikut gelisah.Faniza semakin erat meremas pahaku. Raut wajahnya semakin tak berdaya. Tangan yang satunya membungkam mulutnya seperti menahan sesuatu.“Faniza kenapa, Dan? Dia sakit?” Ibu ikut khawatir.“Kamar mandi?”Aku berusaha memancing pertanyaan agar situasi ini menjadi sedikit lebih jelas. Faniza tidak mengucapkan sepatah kata pun dan membuatku menjadi kebingungan.Tanpa diduga, kepalanya mengangguk. Itu artinya pertanyaanku tadi adalah jawaban yang Faniza inginkan.“Ya sudah, ayo cepat!”Seketika aku meraih tubuhnya dan menuntunnya pergi ke kamar mandi. Mulutnya tetap dibungkam rapat oleh tangannya.“Hoek! Hoek!”Beberapa kali aku m
POV Ibu***Kaki ini diayun bergantian menuju ke kamar Faniza. Tanganku membawa minyak angin untuk membaluri badan calon menantuku itu.“Kasihan Faniza, pasti dia kecapekan dan masuk angin sampai muntah-muntah begitu. Alhamdulillah dia belum sempat meminum es tehnya. Nanti kalau minum es, masuk anginnya jadi makin parah.”Aku bergumam. Bibirku mendadak tersenyum mengingat kembali tentang Zidan, mungkin tidak lama lagi ia akan menikahi wanita yang sedang beristirahat di kamar tamu. Tidak menyangka, akan secepat ini waktu berlalu. Dalam pikiranku masih teringat tentang masa kecilnya yang begitu bahagia. Sebentar lagi ia akan membahagiakan anak gadis orang untuk selamanya. Bahagia d
Setelah selesai mandi, aku bergegas pergi ke ruang tengah. Di sana sudah ada ayah yang menunggu. Mendadak jantungku berdebar semakin hebat. Tidak lama lagi, apa yang masih tersembunyi rapat akan terbuka dengan sangat lebar.Langkah kaki kian dekat menghampiri ayah dan ibu di sana. Meski rasanya sangat tak menentu, bibir tetap harus terukir sebuah senyuman yang sangat manis.“Ayah,” sapaku di hadapannya. Tangan mengulur kepadanya meminta untuk bersalaman.“Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang juga, Dan. Kata ibumu, kamu pulang karena mau menikahi seorang gadis yang sengaja dibawa ke sini. Anak Ayah memang sudah dewasa sekarang ya? Pulang mau mengenalkan calon istri. Kalau nggak begitu, pasti nggak bakalan pulang ‘kan, Dan?”
“Iya, terima kasih banget, Om—““Hus! Ayah, jangan om. Nggak enak didengarnya.” Ayah memotong ucapan Faniza. Kemudian, bibirnya pun mengembang.“Iya, Yah. Terima kasih. Pasti aku akan selalu mendokan kedua orang tuaku.” Faniza pun ikut tersenyum.Suasana seperti ini yang sangat kudambakan. Jika nanti kebohongan kami terbongkar, mereka pasti akan sangat murka. Semoga aku bisa menutupinya lebih lama lagi.“Ibu lupa, nggak tanya nama orang tuamu. Mereka namanya siapa?”Aku melihat Faniza untuk memastikan apakah dia siap untuk menjawab semua pertanyaan itu. Sepertinya dia baik-baik saja. Bibirnya pun masih dihiasi oleh senyuman cantiknya.“Kebetulan ayahku namanya sama kayak ayahnya Zidan.”“Wah, masa sih? Nama Aya
“Nggak, Bu! Aku akan tetap menikahi Faniza, Bu. Ibu jangan aneh-aneh. Mana mungkin ayah adalah ayahnya Faniza. Nggak masuk akal, Bu. Apa ayah pernah menikah sama ibunya Faniza? Kenapa aku bisa bersaudara sama Faniza? Apa ayah pernah berzina? Nggak mungkin, Bu!”Aku menolaknya mentah-mentah. Emosiku tidak terkontrol lagi.“Ayahku sudah meninggal, Bu. Nggak mungkin kalau ayahnya Zidan adalah ayahku. Namanya sama, tapi aku yakin orangnya beda, Bu. Percuma juga kalau mau datang menemui ibuku. Zidan saja dianggap ayahku. Mungkin ayahnya Zidan juga akan dianggap sebagai suaminya. Ibuku itu gila, Bu. Penjelasannya nggak bisa dipegang. Nggak jelas, Bu.”Faniza mendukungku. Dia terlihat sangat terkejut dengan pernyataan yang ibu ucapkan.“Ibu mohon sama kalian, undur sementara waktu saja. Ibu hanya ingin memastikannya dulu. Ibu nggak mau terjadi
“Zidan, tunggu sebentar saja, apa kamu nggak bisa?” tanya ayah lagi.“Nggak, Yah. Faniza nggak butuh tes DNA. Dia darah daging orang lain, bukan anak Ayah.”Sudah pasti aku tidak akan menyetujuinya begitu saja. Alasan yang mereka berikan tidak cukup bagiku. Seharusnya jelaskan semuanya. Tidak ada rahasia yang ditutupi lagi.“Zidan!” bentak ayah.“Yah, sudah. Biarkan mereka menikah.” Mendadak ibu menyetujuinya. Meski raut wajahnya terlihat layu.“Bu, kenapa kamu merestui? Kalau mereka—““Biarkan saja dulu, Yah. Ada saatnya nanti. Kita turuti dulu permintaan Zidan.” Ibu memotong ucapan ayah yang belum tuntas.Mendengarnya, aku pun bahagia. Namun, aku tidak memahami kalimat ibu. Ada saatnya nanti, apa maksudnya?“Kamu yakin, Bu?” tanya ayah masih tak percaya.Ibu mengangguk. Ayah ikut pasrah. Begitulah, apa pun permintaan ibu, ayah jar
“Maafkan Ibu, Wa. Gara-gara tindakan Ibu yang bukan-bukan malah jadi rumit seperti ini.”Nenek menjawab pertanyaan ibu. Aku belum bisa menerka percakapan ini. Sebenarnya apa yang sedang mereka bahas?“Salwa kira semuanya sudah baik-baik saja, Bu. Sudah lama juga, kita nggak pernah berurusan lagi sama mereka. Seharusnya nggak ada masalah lagi, tapi malah Zidan membawa wanita yang mungkin ada hubungannya dengan masa lalu itu. Aku heran, kenapa bisa seperti ini ya, Bu?”Secercah petunjuk mulai tersingkap. Jadi, mereka sedang membahas tentang aku dan Faniza. Tetapi, apa yang dimaksud tentang tindakan yang nenek lakukan di masa lalu? Aku semakin penasaran dan telinga harus lebih tajam mendengarkan percakapan mereka.“Iya, Ibu juga mengiranya seperti itu. Memang semuanya bermula dari Ibu. Ibu sangat menyesal.”
“Mi, dedek bayi lagi ngapain ya? Dia udah nendang-nendang lagi apa belum?”Aku mengelus perut Faniza yang semakin membuncit. Tidak terasa janin yang ia kandung sudah memasuki usia hampir sembilan bulan. Sebentar lagi, Zidan junior akan keluar dari persembunyiannya dan bersiap menatap dunia yang penuh tipu daya.Sampai detik ini, ayah dan ibu masih merestui kami meski sikapnya yang sangat berbeda. Kehangatan yang dulu kurasakan perlahan sirna. Mereka berbicara saat ada penting saja. Jika tidak, mulut mereka tidak berucap apa-apa.Faniza sempat ingin pergi dari sini. Namun, aku selalu menguatkannya. Ia pun kini sudah mulai mengerjakan shalat. Bukan karena aku yang menyuruh, tetapi kemuannya sendiri. Mungkin melihat kedua orang tuaku yang begitu rajin beribadah, hati kecilnya ikut terpanggil. Aku pun sama, diri ini mulai diperbaiki lagi. Semoga istiqamah sampai ajal menjemput nanti.Tentang rencana ibu dan nenek yang dulu mereka bicarakan, sampai
“Apa mungkin ini orang yang sama? Ah … kayaknya bukan. Eh tunggu, kayaknya aku pernah lihat orang ini, tapi di mana ya?” Isi di dalam kepalaku kembali memutar waktu ke belakang.“Oh iya, wanita di dekat lampu merah yang nolongin orang gila itu, iya ini kayaknya orang yang sama. Hmm, alamatnya di mana?”Aku pun membaca keterangan yang ada di dalamnya. Justru salah fokus tentang status perkawinannya. Di sana tertulis cerai hidup. Artinya saat ini wanita pemilik dompet ini adalah seorang janda. Aku yakin, orang ini bukan bu gurunya Alicia. Salah aku juga terlalu cuek dengan lingkungan sekolahnya anak gadisku. Dengan bu gurunya saja tidak mengenalnya. Apalagi posisinya sebagai guru baru.“Aku simpan dulu, tunggu sampai besok. Kalau nggak ada yang mencarinya, terpaksa aku yang harus mengembalikannya.”Dompet itu kusimpan di dalam laci meja kantor. Aku pulang malam. Jadi, tidak enak saat akan datang ke rumah jand
“Oh ya? Alis seneng dong, kalau lagi sama bu guru.” Sekilas aku melihatnya, karena saat ini sedang menyetir mobil.“Seneng banget dong, Pi. Bu guru baru sih, tapi Alis sudah seneng sama dia, Pi. Baik banget.”Nada bicaranya yang manja, membuatku menjadi tersenyum-senyum sendiri. Meski Alis berbeda dari anak seusianya, tetapi dia tetap merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Setiap harinya selalu ceria. Semoga hal baik seperti ini akan terus dirasakan olehnya sampai kapan pun. Andai saja, Faniza masih hidup, dia pasti akan sangat bahagia melihat anak gadisnya yang tumbuh cantik dan pintar seperti sekarang ini.Sejak kematian Faniza, aku menutup diri dari wanita lain. Hidupku fokus hanya untuk mengurus Alicia saja. Rasa cinta itu mungkin ikut mati bersama dengan kepergiannya untuk selamanya. Alasanku masih berdiri kokoh di dunia ini, hanya karena malaikat kecilku. Dia masih sangat membutuhkanku. Tentu saja, aku pun harus bisa sekuat baj
Aku mencoba membuka mata perlahan. Sejenak bergeming, saat mendapati diri ini sedang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Ingatan ini mencoba untuk lebih fokus dan kembali memutar waktu ke belakang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kenapa sekarang aku tak berdaya di ruangan bernuansa putih seperti ini?Saat serpihan ingatan itu mulai terkumpul, seketika itu terperanjat dan ingin bangkit dari pembaringan ini. Namun, badanku terasa sangat sakit. Ada seseorang yang melarangku bangun saat menyadari diri ini telah tersadar.“Zidan! Jangan bergerak dulu. Kamu sedang berada di rumah sakit, Dan. Kamu baru saja kecelakaan.” Ibu yang melarang dan seketika mendekatiku. Matanya sembap, mungkin air matanya tak mau berhenti.“Bu! Faniza sama Alicia di mana, Bu? Dia baik-baik saja ‘kan?”Pertama yang akan ditanyakan, tentu tentang istri dan anakku. Aku gusar saat melihat di ruangan ini hanya ada aku seorang
“Mi, bangun, Mi. Ayo kita pergi dari sini. Bangun, Mi.”Saat dini hari, aku sudah berusaha membangunkan Faniza dari tidurnya. Aku berniat pergi meninggalkan rumah ini tanpa permisi. Semua dilakukan agar pernikahanku baik-baik saja. Sudah dipikirkan berapa kali pun, tetap saja aku tidak ingin meninggalkannya. Cinta ini buta hanya untuk Faniza seorang.“Pi, kenapa kamu sudah membangunkanku sepagi ini?” Faniza mengerjap dan berusaha duduk di sampingku.“Mi, ayo kita pergi dari sini, Mi. Aku nggak mau berpisah darimu. Aku sangat mencintaimu, Mi. Ayo, Mi. kita pergi sekarang juga.”Faniza tertegun mendengrakan ucapanku. Matanya membelalak tak percaya. Keningnya pun mengerut.“Kamu gila, Pi? Kita nggak sepatutnya melakukan hal semacam itu, Pi. Kita turuti saja permintaan orang tuamu. Ayah pasti nggak akan menelantarkanku, Pi. Dia baik banget. Apalagi dia tau sekarang aku adalah anak kandungnya. Meski kita berpisa
Saat di dalam mobil, hingga sampai di rumah. Semua membisu. Amarahku sangat membara di dalam dada. Pertanyaanku lagi-lagi belum terjawab seutuhnya. Ada saja yang memotong bagian terpenting itu. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Kenapa juga harus aku yang menanggung perbuatan mereka. Sangat tidak adil.“Yah. Jelaskan sekarang juga.”Kami baru saja memasuki rumah. Namun, rasa penasaran di dalam dada ini sudah tidak tertahankan lagi.“Baik, Dan. Kita duduk dulu di sana. Kita bicarakan baik-baik.”Ayah menunjuk ke ruang keluarga yang cukup luas. Kami pergi ke sana dan duduk di tempat masing-masing.“Kamu harus dewasa ya, Dan. Pikirkan baik-baik apa yang seharusnya akan kamu lakukan nanti. Ayah hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kalian.”“Iya, Yah! Katakan sekarang, jangan lama-lama. Aku mau tau semua yang terjadi di masa lalu.”Aku tak sabar dan selalu menekan agar aya
“Mana mungkin kamu menikah sama anaknya mas Lutfan. Kamu nggak boleh menikah sama dia, Faniza. Jangan menikah sama anaknya mbak Salwa. Itu nggak boleh terjadi.”Aku tercengang mendengarnya. Dari mana ibu mertuaku mengetahui nama ibuku? Apa Faniza sudah memberitahukannya?“Bu, kenapa ibu tau nama istrinya ayah mertuaku? Aku belum pernah cerita apa pun sama Ibu ‘kan? Apa Ibu hanya mengarang saja?”Faniza pun heran sepertiku. Alisnya mengerut seolah kepalanya dipenuhi oleh banyak pertanyaan.“Kamu nggak boleh nikah sama dia, Faniza. Itu mas Lutfan, ayahmu.”“Bu! Ibu jangan seperti ini! Ibu itu gila. Jiwa Ibu terganggu. Ibu nggak boleh ngomong seperti ini, Bu. Mereka orang tua suamiku, Bu. Orang tuanya Zidan. Mereka ke sini ingin menjenguk besannya. Iya, Ibu sekarang sudah punya besan, Bu. Ada cucu Ibu juga. Aku sudah punya anak sama Zidan. Namanya Alicia, Bu. Ibu cepat sehat ya? Biar bisa cepat main sama
Perjalanan jauh telah dilewati. Kami memutuskan untuk mencari penginapan di dekat rumah sakit jiwa tempat mertuaku dirawat.Selama perjalanan, Alicia menjadi anak yang pintar. Dia menurut dan tidak rewel. Apa yang aku takutkan tidak terjadi dan Faniza tidak terlalu kelelahan. Aku sangat bersyukur. Saat di penginapan, kami tidur sejenak untuk mengistirahatkan badan dengan benar.“Capeknya sudah lumayan hilang ‘kan? Sudah makan dan membersihkan diri juga. Jadi, kita siap-siap pergi menemui ibunya Faniza sekarang. Jam besuknya sudah buka,” kata Ayah.Saat ini memang sudah hampir pukul sepuluh siang. Padahal niat dari rumah akan pergi membesuk saat masih pagi. Namun, menurut petugas yang ada di rumah sakit jiwa itu, waktu besuk mulai pada waktu siang dan sore hari. Jadi, mau tidak mau kami lebih lama berada di penginapan ini.“Baik, Yah.”
“Ayah sama Ibu mau bicara soal apa?” Aku bertanya membuka percakapan.Kami sudah berkumpul di ruang tengah. Faniza pun ikut duduk di sampingku seraya menggendong Alicia.Ada jeda keheningan yang terjadi. Mereka saling berpandangan dan ada sedikit gerakan mengangguk dari keduanya. Ayah menghela napas sebelum lisannya berkata-kata.“Dan, kapan kalian akan mempertemukan kami dengan ibunya Faniza? Selama kalian menikah, Ayah sama Ibu belum pernah bertemu dengan besan kami itu. Bukankah kita lebih baik bertemu meski hanya sekali? Apa pun keadaannya, kita harus tetap saling bertatap muka dan bersilaturahmi.”Kini giliranku yang saling bertatap dengan Faniza. Memang benar, menikah adalah menyatukan dua keluarga. Jadi, keduanya seharusnya sudah saling bertemu dan menjalin silaturahmi yang baik. Keadaan keluarga Faniza memang berbeda. Dia hanya punya satu orang tua yang masih hidup di dunia. Ya meski keadaannya seperti itu, tetap saja kita
Dari luar ruang bersalin, aku mendengar suara bayi menangis dengan sangat nyaring. Hatiku terenyuh penuh haru. Dada yang tadinya terasa menghimpit, kini mulai lega kembali. Jantungku pun sudah berdetak normal tidak seperti sebelumnya. Tanpa sadar air mata haru sudah merembes membasahi pipi.Sekitar satu jam aku menunggu tangisan itu. Faniza harus melahirkan dengan cara operasi ceasar. Oleh dokter, aku tidak diperkenankan untuk menemaninya agar menjaga kesterilan ruang operasi. Dengan berat hati, aku hanya bisa menunggu di luar sambil berdoa. Akhirnya, statusku kini sudah berubah menjadi ayah. Ibu yang berada di sampingku pun ikut saja menangis haru. Ayah juga ikut bersama kami.“Alhamdulillah, akhirnya Faniza sudah melahirkan anaknya, Yah,” kata ibu kepada ayah sambil menghapus air mata.“Iya, Bu, Alhamdulillah cucu kita sudah lahir.”“Tapi, Yah ….”“Sstt, sudah, Bu. Kita bicarakan nanti saja, menung