"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)
"Terkadang, menjaga batas bukan hanya soal peraturan, tetapi tentang menjaga hati agar tetap bersih dari penyesalan di masa depan." *** Zahra dan Hafiz mulai berbicara lebih sering melalui pesan singkat. Apa yang dulu hanya sebatas membahas pelajaran kini berubah menjadi diskusi tentang hal-hal yang lebih personal. Malam-malam mereka kerap diisi dengan saling bertukar pesan, dan bagi Zahra, setiap notifikasi dari Hafiz seperti membawa kehangatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Zahra, aku punya pertanyaan," tulis Hafiz malam itu. Zahra yang sedang membaca langsung meraih ponselnya, penasaran dengan apa yang akan dikatakan Hafiz. "Apa itu, Hafiz?" balas Zahra cepat, mencoba menyembunyikan rasa antusiasnya. Hafiz membalas dengan cepat, "Menurutmu, apa tujuan kita hidup? Maksudku, apa kita hanya menjalani semua ini untuk memenuhi harapan orang lain? Atau ada hal lain yang sebenarnya lebih penting?" Zahra terdiam sejenak membaca pesan itu. Kata-kata Hafiz menyentuh sesuatu yang selama ini sering ia pikirkan, tetapi tak pernah ia ungkapkan. Perlahan ia mengetik jawabannya., "Aku juga sering merasa seperti itu, Hafiz. Kadang merasa hidup ini seperti sebuah panggung, dan kita hanya memainkan peran yang diinginkan orang lain." Balasan Hafiz datang hampir seketika, "Itu yang sering aku pikirkan, Zahra. Hidup ini bukan hanya soal memuaskan ekspektasi orang lain. Kita harus mencari tahu siapa diri kita sebenarnya." Zahra membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Hafiz terasa seperti pengingat yang selama ini ia butuhkan. Ia merasakan ketenangan dalam setiap pesan yang dikirim Hafiz, seolah-olah Hafiz benar-benar memahami perasaan yang ia pendam. "Aku ingin menjadi seseorang yang berarti," Zahra mengetik perlahan, "Tapi kadang, aku merasa terjebak. Terjebak di antara apa yang aku inginkan dan apa yang diinginkan orang lain." "Kamu nggak sendiri, Zahra," balas Hafiz, "Kadang aku juga merasa seperti itu. Tapi percayalah, kita selalu punya pilihan, meskipun mungkin sulit untuk mengambilnya." Percakapan mereka terus berlanjut hingga malam semakin larut. Zahra merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang benar-benar mengerti dirinya. Hafiz bukan hanya teman belajar; dia adalah seseorang yang bisa mendengar tanpa menghakimi, seseorang yang bisa membuat Zahra merasa lebih ringan meskipun hanya dengan kata-kata. Namun, di balik kenyamanan itu, ada perasaan bersalah yang mulai tumbuh dalam hati Zahra. Ia tahu bahwa percakapan ini sudah melewati batas-batas yang seharusnya. Hafiz bukan siapa-siapa baginya, bukan keluarga, bukan juga seseorang yang secara resmi ada dalam hidupnya. Tapi mengapa hati ini begitu terikat? "Hafiz," Zahra mengetik dengan ragu, "Apa kamu pernah merasa bahwa ada hal yang salah, meskipun itu membuatmu bahagia?" Jawaban Hafiz datang beberapa menit kemudian, "Mungkin. Tapi aku pikir, perasaan itu hanya muncul karena kita terbiasa dengan aturan-aturan yang dibuat orang lain. Kadang, kita perlu mendengarkan hati kita sendiri." Zahra tak bisa membalas segera. Kata-kata Hafiz seakan menggema di pikirannya. Ia tahu Hafiz ada benarnya, tetapi ada bagian dari dirinya yang tetap merasa gelisah. Ia takut apa yang mereka lakukan ini akan membawa konsekuensi yang tidak diinginkan. "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32). Ayat itu tiba-tiba terlintas di pikirannya, seperti pengingat yang kuat. Zahra merasa dadanya sesak. Ia tahu apa yang ia lakukan ini mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi jika dibiarkan, segalanya bisa keluar dari kendali. "Hafiz, aku takut," Zahra akhirnya mengetik setelah lama terdiam. "Takut? Takut kenapa, Zahra?" balas Hafiz cepat. Zahra merasa sulit untuk menjelaskan perasaannya, "Takut bahwa ini salah. Takut bahwa kita terlalu jauh. Dan bahwa kita akan menyesal nanti." Hafiz tak langsung membalas kali ini. Beberapa menit berlalu sebelum pesan darinya akhirnya datang, "Zahra, aku juga merasa seperti itu kadang-kadang. Tapi percayalah selama kita tahu batasnya, semuanya akan baik-baik saja." Zahra ingin percaya kata-kata itu, tetapi hatinya tetap penuh dengan keraguan. Setiap kali ia mencoba menenangkan diri, pikirannya kembali ke percakapan ini, ke Hafiz. Ia mulai merasa bahwa ia telah melangkah terlalu jauh, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana menghentikannya. Malam itu, Zahra menatap ponselnya yang terus bergetar. Hafiz mengirimkan pesan lagi. "Zahra, kamu tahu nggak? Aku senang kita bisa berbicara seperti ini. rasa lebih ringan, lebih bebas. dan bebanku sedikit berkurang," "Aku juga, Hafiz," Zahra membalas, "Tapi aku takut perasaan ini akan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman." Lama tidak ada balasan dari Hafiz. Zahra menunggu dengan hati yang berdebar, takut apa yang akan Hafiz katakan. Hingga akhirnya, pesan itu datang. "Zahra, aku juga merasa seperti itu." Hati Zahra semakin gelisah. Ia tahu bahwa apa yang mereka lakukan ini bukan hanya sekadar berbicara. Ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh di antara mereka. Namun, Zahra tidak tahu apakah ia siap menghadapi konsekuensi dari perasaan itu."Rasa bersalah adalah tanda bahwa hati kita masih hidup. Jangan biarkan kesalahan kecil menjadi kebiasaan besar yang menghancurkan segalanya."***Zahra duduk di kamarnya, dengan tatapan kosong sambil, memandangi layar ponselnya yang terang. Percakapan dengan Hafiz malam tadi masih terngiang dalam pikirannya. Hafiz, dengan caranya yang lembut dan penuh perhatian, bisa membuka sisi hati Zahra yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Tapi di balik kehangatan itu, ada rasa bersalah yang mulai mencengkram kuat."Apa aku salah?" Zahra berbisik pada dirinya sendiri, jemarinya dengan gugup menyentuh layar ponsel. Pesan terakhir dari Hafiz belum ia balas, "Kalau ini salah, kenapa rasanya begitu menyenangkan?"Pikiran Zahra terganggu ketika suara notifikasi muncul. Pesan dari Hafiz. Ia ragu untuk membukanya, tetapi dorongan hatinya lebih kuat."Zahra, aku merasa senang kita bisa berbicara seperti ini. Kamu tahu, aku merasa lebih tenang setiap kali kita bicara."Zahra menghela napas panjang, menco
"Ketika godaan datang, ingatlah bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk menahan diri dan menjaga hati tetap bersih."Zahra menatap ponselnya dengan perasaan yang berkecamuk. Pesan dari Hafiz masih tertera di layar, meminta pertemuan yang tak terduga. Kata-kata Hafiz terasa lembut tetapi penuh tekanan di saat yang bersamaan. "Zahra, apa kita bisa bertemu? Saya ingin berbicara lebih banyak denganmu. Saya tahu ini sudah terlambat, tapi… saya merasa kita perlu bicara."Zahra menggenggam ponselnya erat-erat, ia ragu untuk membalasnya, "Mengapa dia ingin bertemu sekarang? Kenapa dia tidak bisa menunggu?" pikir Zahra. Tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk mengatakan "ya."Setelah beberapa menit dalam keheningan, Zahra akhirnya mengetik pesan balasan, "Kenapa harus sekarang, Hafiz? Bukankah kita bisa membicarakannya lain waktu?"Hafiz merespons dengan cepat, seolah-olah sudah menunggu balasannya, "Saya hanya merasa ini penting, Zahra. Saya tidak in
"Ketika berada di persimpangan hidup, ingatlah bahwa keputusan terbaik adalah yang mendekatkanmu kepada kebaikan, bukan hanya kepada kebahagiaan sesaat."***Pertemuan meteka itu, dimulai dengan kehati-hatian. Zahra dan Hafiz duduk berhadapan, mencoba menjaga jarak, tetapi kehangatan di antara mereka membuat semua terasa lebih dekat. Di setiap kata yang diucapkan, ada rasa nyaman yang sulit diabaikan."Jadi, bagaimana menurutmu tentang keputusan yang akan kamu ambil?" tanya Hafiz membuka percakapan, mencoba terdengar santai meskipun ia tahu ini adalah malam yang penting.Zahra menatap Hafiz dengan ragu, "Keputusan seperti apa yang kamu maksud?"Hafiz menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Tentang kita. Tentang perasaan ini. Aku tahu kita tak pernah membahasnya dengan serius sebelumnya, tapi aku merasa ini sudah waktunya."Zahra terdiam. Perasaan yang ia coba hindari selama ini muncul ke permukaan. Ia tahu, malam ini tidak akan seperti malam-malam sebelumnya. Ada sesuatu yang akan b
"Rasa bersalah adalah pengingat dari hati bahwa kita memiliki nilai yang harus dijaga. Namun, hanya dengan bertindaklah rasa bersalah itu dapat berubah menjadi kekuatan."***Zahra terbangun dalam gelap, dengan pikiran yang tak tenang. Hatinya seperti diselimuti kabut tebal, membuatnya sulit untuk berpikir jernih. Ia duduk di atas tempat tidur, mencoba mengatur napas, tetapi yang ia rasakan hanyalah beban berat di dadanya."Apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya lirih, matanya tertuju pada lantai tanpa fokus. Perasaan bersalah menguasai dirinya, mengalir seperti arus deras yang tak bisa dihentikan.Dalam keheningan malam itu, Zahra merasa seolah seluruh dunia menghakiminya. Ia mencoba mengingat percakapan terakhirnya dengan Hafiz, tetapi setiap ingatan hanya membuat dadanya semakin sesak.Telepon genggamnya tergeletak di meja kecil di samping tempat tidur. Pesan terakhir dari Hafiz masih ada di layar. Zahra ragu-ragu sebelum akhirnya membuka pesan itu lagi:"Aku harap kamu tidak terlal
"Setiap kesalahan adalah pengingat bahwa kita adalah manusia bisa . Tetapi kekuatan sejati terletak pada keberanian untuk memperbaiki dan melangkah maju."Hari-hari berlalu, dan Zahra merasa tubuhnya tidak seperti biasanya. Ada kelelahan yang tak wajar, dan perasaan mual sering kali menghampirinya tanpa alasan yang jelas. Pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan, namun ia mencoba menepis semuanya.“Zahra, kamu baik-baik saja?” tanya Hafiz melalui pesan singkat.Zahra memandang pesan itu cukup lama sebelum membalasnya. “Aku baik, Hafiz. Hanya sedikit lelah.”Namun, Zahra tahu bahwa jawaban itu hanya untuk menenangkan Hafiz. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa tidak baik-baik saja. Ada sesuatu yang salah, dan ia tak tahu bagaimana cara menghadapinya.malam yang sunyi , Zahra duduk sendiri di kamar. Ia mencoba merenungkan semua yang terjadi beberapa waktu terakhir ini. Perasaan gelisah itu semakin nyata, terutama ketika tanda-tanda itu semakin jelas.Zahra memejamkan mata, mencoba men
"Ketika badai kehidupan datang menghampirimu, ingatlah bahwa Allah adalah tempat berlindung terbaik." *** Zahra menatap hasil tes yang ada di tangannya. Nafasnya tercekat, tubuhnya bergetar luar biasa. Dua garis kecil yang muncul itu seakan menghancurkan seluruh dunianya. Hasil tes itu menjadi bukti atas semua kekhawatiran yang selama ini mengisi pikirannya. "Ini tidak mungkin," bisiknya, meskipun di dalam hati ia tahu bahwa semua tanda-tanda sebelumnya telah mengarah ke hal ini. "Ya Allah, Kenapa engkau memberiku ujian seberat ini? aku hanya ingin kebebasan tanpa harus tertekan olah kedua orang tuaku. Tapi, kenapa semua ini terjadi padaku. Bagaimana pandangan orang terhadapku setelah tau kalau aku hamil diluar nikah?. Ya Allah, engkaulah zat yang maha pengampun, maha mendengar, keluh kesah hambamu. Ampuni aku yang telah terjerumus dalam lemah kegelapan ini." Tangis Zahra pecah seketika itu, mengingat semua kejadian malam itu bersama Hafiz. Tubuhnya jatuh terduduk di lantai kama
"Dalam kegelapan yang paling pekat, cahaya Allah selalu menerangi jalan bagi mereka yang berserah diri."Hari itu, Zahra memutuskan untuk menghadapi Hafiz. Selama berminggu-minggu, ia berusaha menahan rahasia ini sendiri, tetapi semakin lama ia merasa tidak sanggup. Hafiz harus tahu, karena bagaimanapun, ini adalah tanggung jawab mereka berdua.Setelah kelas berakhir, Zahra memanggil Hafiz untuk berbicara. Suaranya terdengar gemetar saat ia berkata. “Hafiz, aku perlu bicara denganmu. Ini sangat penting.”Hafiz tampak bingung, tetapi ia mengangguk. Mereka duduk di sudut yang sepi, jauh dari keramaian.“Apa yang terjadi, Zahra? Kamu kelihatan berbeda akhir-akhir ini,” tanya Hafiz dengan nada penuh perhatian.Zahra menghela nafas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Hafiz aku hamil,” ucapnya pada akhirnya, suara lirihnya nyaris tenggelam oleh ketegangan yang memenuhi udara.Wajah Hafiz seketika berubah. Tatapannya yang semula lembut kini dipenuhi keterkejutan. “Apa? Zahra ini ...
Zahra merasakan beban yang semakin berat setiap harinya. Setiap langkah yang diambil, ia merasa seperti ada mata yang terus mengawasinya. Lingkungan di sekitarnya mulai berubah, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, hatinya terasa semakin terhimpit.Di sekolah, teman-temannya yang dulu selalu berbicara dengan santai, kini mulai menghindarinya. Beberapa bahkan berbisik-bisik di belakangnya, membuatnya merasa semakin terisolasi. Setiap kali dia berjalan melewati kelompok siswa, ia mendengar kata-kata yang menusuk, meskipun tidak pernah ada yang berani langsung menyapanya.Hari itu, saat ia istirahat, seorang teman sekelas yang dulu cukup dekat dengannya, tiba-tiba berbicara. "Zahra, kamu baik-baik saja? Kenapa belakangan ini kamu terlihat berbeda?" tanya teman itu dengan nada prihatin.Zahra mengangkat bahu, mencoba untuk tidak terlihat cemas. “Aku baik-baik saja,” jawabnya, meskipun hatinya terasa hampa.Namun, teman itu tidak puas dengan jawaban Zahra. "Aku dengar kamu sedang menga
Hafiz duduk sendirian di kamarnya, matanya terpaku pada layar ponsel yang bergetar di tangannya. Pesan dari Zahra yang baru saja mengungkapkan kehamilannya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Ia tahu tanggung jawab yang kini terjatuh di pundaknya, namun ketakutan akan reaksi keluarganya membuatnya ragu untuk mengambil langkah pertama."Apakah aku siap untuk ini?" gumam Hafiz dalam hati, merasa beban yang semakin berat setiap harinya.Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Ia membayangkan wajah ibunya yang penuh kasih dan ayahnya yang tegas, namun bayangan kegagalan dan kekecewaan mereka membuatnya merasa terjebak dalam dilema yang tak mudah.Hafiz menatap foto keluarganya yang terpajang di meja belajar. Senyum bahagia mereka saat liburan terakhir masih jelas teringat. Ia tahu bahwa keluarganya selalu menjadi sumber kekuatan dan dukungan, namun sekarang ia merasa dirinya tidak mampu memenuhi harapan mereka."Tidak bisa te
Zahra merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring waktu berlalu. Panggilan dari orang tuanya tidak datang dengan cepat, dan setiap menit terasa seperti jam. Akhirnya, suara langkah kaki terdengar mendekat, diikuti oleh pintu yang terbuka perlahan. Ibunya masuk terlebih dahulu, diikuti oleh ayahnya. Ekspresi wajah mereka menunjukkan keprihatinan yang mendalam. "Ibu, Ayah, ada apa?" tanya Zahra, mencoba menahan kecemasannya. Ibunya duduk di sofa, mengambil napas dalam sebelum berbicara. "Zahra, kami tahu bahwa ada sesuatu yang kamu simpan dari kami. Kami ingin kamu terbuka sekarang." Zahra menunduk, merasakan tekanan berat di dada. "Aku... aku tidak tahu harus berkata apa." Ayahnya duduk di sebelah ibunya, matanya tajam menatap putrinya. "Kamu tahu betapa kami peduli padamu. Jangan biarkan rahasia ini merusak hubungan kita." Zahra menghela napas panjan
Setelah kabar tentang kehamilan Zahra tersebar, sekolah menjadi sangat berbeda. Di setiap lorong, di ruang kelas, dan di kantin, bisikan-bisikan terdengar di mana-mana. Semua orang seolah-olah memiliki pendapat mereka sendiri tentang apa yang terjadi, dan hampir tidak ada yang peduli untuk mengetahui kebenaran dari sisi Zahra. Beberapa teman-temannya mengejek, beberapa menghindari, dan yang lainnya hanya bisa menatapnya dengan penuh kasihan.Zahra, yang biasanya merasa percaya diri di tengah-tengah teman-temannya, kini merasa terasing. Setiap kali dia melangkah di koridor, dia bisa merasakan tatapan tajam yang jatuh padanya. Seolah-olah setiap langkah yang dia ambil penuh dengan penilaian, setiap helaan napasnya disorot dengan sinisme yang tak bisa dihindari.Ia berjalan melewati kelompok teman sekelasnya, dan mereka berhenti berbicara. Beberapa dari mereka mengalihkan pandangan, sementara yang lainnya tampak terbata-bata, mencoba mencari kata-kata yang t
Zahra merasakan tubuhnya semakin lemah saat duduk di bangku kelas. Kepalanya berputar-putar, dan meskipun ia berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran yang sedang diajarkan, pikirannya terus melayang. Setiap napas yang dihirupnya terasa semakin berat. Namun, Zahra mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya, takut jika orang lain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.Satu jam berlalu, dan semakin lama, tubuh Zahra terasa semakin tidak terkendali. Tiba-tiba, perasaan pusing yang sangat hebat datang, dan dalam sekejap, Zahra terjatuh dari bangkunya. Tubuhnya jatuh ke lantai dengan keras, dan suara benturan itu langsung memecah keheningan ruang kelas. Semua mata langsung tertuju pada Zahra yang tergeletak di lantai, tak bergerak."Aduh! Zahra!" seru Aisyah, yang duduk tak jauh dari Zahra, segera berlari menuju sahabatnya. Ia menunduk, mencoba memeriksa keadaan Zahra, tetapi ia merasa cemas saat melihat wajah Zahra yang pucat dan tubuhnya yang kaku.S
Zahra berjalan gontai menuju kelas, merasa pusing setiap kali langkahnya menginjak lantai. Sejak beberapa hari terakhir, pusing yang tak kunjung hilang membuatnya sulit berkonsentrasi. Tubuhnya terasa lemah, dan mual yang datang begitu mendalam hampir membuatnya tak sanggup bertahan. Namun, Zahra berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan rasa sakit itu. Dia tidak ingin dianggap lemah, tidak ingin ada yang tahu bahwa sesuatu yang besar tengah terjadi pada dirinya. Hari demi hari, dia mulai merasa semakin terjebak. Setiap kali menatap cermin, Zahra merasa melihat perubahan yang semakin jelas. Tubuhnya yang dulu tegap kini terlihat lebih kurus, wajahnya semakin pucat, dan matanya tampak lelah. Meski demikian, dia berusaha tersenyum kepada teman-temannya, berharap mereka tidak melihat tanda-tanda yang semakin jelas. Tetapi, dia tahu, tak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Ketika bel berbunyi, menandakan pergantian jam pelajaran, Zahra duduk di bangkunya, berusaha menahan gejala-gejal
Hafiz menatap layar ponselnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Pesan dari Zahra masih terbuka di hadapannya, tetapi kali ini, dia merasa lebih sulit untuk menanggapinya. Perasaannya tidak lagi ringan seperti dulu, ketika hubungan mereka baru dimulai. Semua terasa lebih rumit, lebih berat, dan dia tidak tahu bagaimana harus meresponsnya."Aku tak tahu harus bagaimana, Hafiz. Aku butuh bantuanmu," begitulah isi pesan terakhir Zahra.Perasaan bersalah menggelayuti dirinya. Bagaimana dia bisa mengabaikan pesan itu? Bukankah dia seharusnya berada di samping Zahra sekarang, memberikan dukungan, bukan terperangkap dalam kebingungannya sendiri?Hafiz menggenggam ponselnya lebih erat, berpikir keras. Pertemuan pertama mereka begitu sederhana. Senyum Zahra, canda tawa mereka, semuanya terasa seperti permainan yang menyenangkan. Namun, saat kenyataan datang dengan segala kompleksitasnya, semuanya berubah. Zahra hamil. Dan itu adalah kenyataan yang tidak bisa mere
Zahra duduk di ujung tempat tidur, matanya menatap kosong ke depan. Semua yang terjadi begitu cepat, seperti sebuah badai yang datang tanpa peringatan. Ketakutannya semakin mendalam saat ia memikirkan tentang masa depannya. Ketika Aisyah menanggapi dengan penuh empati, Zahra merasa sedikit lebih tenang, tetapi bayangan ketakutan dan rasa bersalah masih menghantuinya. "Aisyah, kamu benar-benar yakin akan tetap ada untukku?" Zahra bertanya, suaranya terdengar rapuh. Aisyah menatap sahabatnya dengan mata yang penuh keyakinan. "Zahra, kita telah melalui banyak hal bersama-sama. Aku akan tetap ada, apapun yang terjadi," jawab Aisyah dengan suara yang penuh kepastian. "Hidup ini bukan tentang apa yang kita hadapi sendirian, tapi tentang bagaimana kita saling mendukung saat kita merasa paling lemah." Zahra menunduk, menelan kata-kata sahabatnya dengan perlahan. Aisyah tidak hanya berbicara tentang hal-hal yang sederhana. Setiap kalimat yang kelu
"Kadang, rahasia kita menjadi beban yang semakin berat seiring berjalanya waktu. Namun, kebebasan datang ketika kita memutuskan untuk melepaskannya."Zahra mulai merasakan perubahan fisik yang tidak bisa disembunyikan lagi. Beberapa minggu setelah keputusan untuk mengungkapkan kehamilan kepada orang tuanya, tubuhnya menunjukkan tanda-tanda yang semakin jelas. Meskipun masih bisa menyembunyikan perutnya yang mulai membesar dengan pakaian longgar, perasaan cemas dan kebingungan semakin mendalam. Ia tidak bisa lagi menahan perasaan yang mulai mempengaruhinya.Di sekolah, Zahra merasa semua mata tertuju padanya. Beberapa teman mulai menyadari bahwa ia tampak berbeda, tidak hanya secara fisik, tetapi juga dalam sikapnya. Sebagian besar mulai mendekatinya dengan penuh kekhawatiran, namun tidak sedikit yang memperlakukannya dengan penuh penilaian. Bahkan beberapa guru pun mulai curiga dengan perubahan sikap yang semakin pendiam.“Ada yang aneh denganmu, Zahra. Apa kamu baik-baik saja?” tanya
"Tidak ada yang lebih berharga dalam hidup ini selain dukungan dari orang yang kita cintai."Zahra duduk di ruang tamu, memandangi kedua orang tuanya yang tengah sibuk berbicara. Ayahnya dengan wajah serius, ibunya dengan ekspresi penuh pertanyaan. Ia tahu, semua yang terjadi saat ini pasti akan mengubah segalanya. Keputusan yang ia buat dan ungkapkan tadi adalah langkah besar, namun itu bukanlah hal yang mudah untuk dijalani."Zahra," suara ibu memecah kesunyian, "kamu yakin dengan apa yang kamu katakan? Apa benar kamu hamil?"Zahra mengangguk, suaranya hampir tak terdengar. “Ya, Bu. Aku … aku sudah melakukan tes dan hasilnya positif.”Ibunya menundukkan kepala, sementara ayahnya menatapnya dengan tajam, ada kekecewaan yang tampak jelas di wajahnya. "Zahra, kenapa kamu tidak memberitahukan kami lebih awal? Apa yang sebenarnya terjadi?" Ayahnya bertanya, dengan nada suaranya penuh amarah, meskipun ada sedikit kekhawatiran yang terlihat di matanya.Zahra merasakan hatinya berat, dan ra