Asyik sekali mereka bercerita mengenang zaman masih menjadi mahasiswa dulu. Tawa yang sesekali menggema hingga ke luar rumah. Mulut bicara sambil mengunyah cemilan. Di meja panjang yang berada di pinggir ruangan, tersedia aneka masakan, minuman, buah, dan puding. Di dalam toples dan piring yang ada di karpet bawah, dipenuhi cemilan. Pertemuan mereka telah direncanakan oleh Yovan jauh-jauh hari. Reuni kecil-kecilan untuk kembali menjalin silaturahmi sesama alumni. Bahkan yang dari luar kota juga menyempatkan untuk datang. Jika bukan kali ini, lalu kapan lagi. Tidak mungkin mengkoordinir beberapa orang untuk bisa datang di suatu acara. Kesibukan yang berbeda-beda membuat waktu luang mereka pun tidak sama. Makanya malam ini merupakan keberhasilan Yovan bisa mengumpulkan mereka semua, setelah tertunda beberapa pekan.Delia yang duduk di samping Mei hanya makan buah dan kacang almond. Tidak berselera melihat nasi dengan lezatnya aneka lauk pauk."Lia, kamu nggak makan nasi?" tanya Yovan.
"Jika boleh jujur, saya masih mencintainya." Pengakuan yang membuat Barra terkejut sekaligus merasakan amarah yang menggelegak dalam dada. Namun ia masih diam, menyembunyikan kepalan tangan dalam saku celana. Jika masih kuliah dulu, dia bisa saja langsung menghantam orang yang mengaku seperti itu. "Tapi Anda jangan khawatir, tak ada sedikitpun niat saya untuk merebut Delia dari, Anda. Apalagi diam-diam mencurangi Anda. Walaupun saya juga tahu kisah kalian berdua. Termasuk adanya perempuan bernama Cintiara." Kalimat terakhir Yovan kembali mengejutkan Barra. Ternyata sejauh itu Yovan tahu seluk beluk tentang dirinya. Padahal ini masalah yang paling pribadi baginya. "Dari mana Anda tahu?""Maaf, saya nggak bisa menyebutkan namanya. Saya hanya sekedar tahu saja tentang kalian berdua. Selain itu, saya nggak akan ikut campur. Kecuali Delia sudah kembali sendiri." Selesai bicara Yovan pergi meninggalkan Barra dan menghampiri teman-temannya yang lain.Begitu tenangnya Yovan bicara. Seolah t
Kejutan yang luar biasa bagi Barra mendengar nama kedua perempuan itu disebut. Ini bukan suara sumbang yang meragukan. Sungguh, sejak awal bayangannya bukan mereka pelakunya."Kamu kenal baik dengan dua wanita itu?" tanya Barra menahan geram."Kenal. Saya dulu pernah bekerja di usaha katering milik ibu mereka. Tapi sudah lama saya berhenti.""Kenapa berhenti?""Sebab gaji saya nggak tentu dikasihnya. Mereka sering telat bayar gaji karyawan."Barra diam beberapa saat. "Oke, kamu boleh pergi," perintah Barra.Tanpa menunggu lama, lelaki itu segera bangkit dan berlalu dari sana. Tinggallah Barra dan Remy duduk berdua."Kamu nggak nyangka kan, Bro?" tanya Remy yang dijawab gelengan kepala oleh Barra. Memang ia sama sekali tidak kepikiran ke sana. Dipikir pengirim bunga itu memang pria yang menginginkan istrinya. Untungnya Delia bukan tipe perempuan yang mudah terbawa perasaan. Hanya karena mendapatkan perhatian sendikit saja, contohnya mendapatkan kiriman bunga itu. "Orang bisa berubah k
Habis Maghrib Samudra telah rapi berpakaian, kemeja warna blue sky dan celana jeans hitam membalut tubuh proporsionalnya. Wangi parfum dan jam tangan melengkapi penampilannya malam itu.Beberapa saat ia mematung di depan cermin lemari. Menatap sendiri tubuhnya yang telah rapi dan siap untuk pergi. Dadanya berdebar-debar. Ini kali pertama ia akan melewati akhir pekan untuk bertamu di rumah seorang gadis. Semenjak ia mencintai Delia begitu dalam, tak pernah ia melirik wanita lain. Hingga kenyataan tentang hubungan darah itu terungkap, tapi Samudra masih butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa semuanya bukanlah mimpi. Kemudian menyadari bahwa ia harus membuka hati.Samudra menarik napas dalam-dalam, kemudian meninggalkan kamarnya. Melaju di tengah gerimis yang mengguyur kota. Dua hari ini dia telah merencanakan semuanya setelah tahu banyak siapa gadis itu melalui seorang rekannya. Mobil Barra berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua di komplek perumahan elite. Pagar bercat hitam ti
Samudra memperhatikan sang adik yang sedang mengelap netranya menggunakan tisu. Dadanya berdenyut melihat air mata Delia. Air mata yang mewarnai hari-hari wanita itu beberapa bulan yang lalu.Barra merangkul istrinya. Baginya sang istri hanya terharu dan bahagia. Ia yakin Delia tidak tahu perasaan Samudra terhadapnya.Sebentar kemudian senyum terbit di bibir perempuan yang tengah hamil itu. Delia bangkit kemudian duduk di sebelah Samudra dan memeluk pundak sang kakak. "Alhamdulillah, akhirnya aku akan punya kakak ipar," ujarnya pelan sambil tersenyum.Tangan Samudra mengusap lengan adiknya sambil menatap lekat wajah Delia. Kebahagiaan Pak Irawan terselip rasa getir dalam dadanya, karena beliau memahami perasaan putranya. Andai saja sejak dulu ia memberitahu hal yang sebenarnya, tentu Samudra tidak akan sampai mencintai adiknya sendiri. Pria itu merasa sangat bersalah.Meski Delia ikut bahagia karena sang kakak akhirnya mendapatkan tambatan hati, tapi ada satu rasa yang terkurung di da
Di balkon ruang tamu lantai dua, Samudra menatap malam yang kian pekat. Terbayang wajah sendu Delia yang menatapnya dengan lekat. Sang adik menunjukkan keharuan dan kebahagiaannya saat mendengar kabar kalau dirinya hendak meminang seorang gadis. Kebahagiaan seorang adik untuk kakaknya, hanya itu yang Samudra rasakan. Minggu depan dia akan mengawali sebuah hubungan baru. Diva akan mengisi ruang hatinya yang selama ini dipenuhi cintanya pada Delia. Dia akan menikah dan menua bersama-sama dengan gadis itu yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya.Nanti dirinya akan bersama-sama di pelaminan dengan Delia. Tapi bukan sebagai pasangan seperti yang pernah diimpikannya dulu. Mereka akan berdiri di sana dengan pasangan masing-masing.Semoga saja Barra bisa menjadi suami yang baik, setia, dan bertanggungjawab pada adiknya. Menjadi ayah yang hebat untuk anak-anak mereka nanti."Sam, kamu belum tidur?" tanya Pak Irawan yang tiba-tiba muncul dan berdiri di sebelahnya."Belum, Pa.""Kenapa? Mau lam
Delia memperhatikan buket bunga di tangannya, kemudian senyum terbit di bibirnya yang sensual. Nama Barra tertera di kartu kecil yang ada di antara rangkaian bunga. Ada selarik kalimat manis tertulis di situ. [Good morning, my wife. Beautiful flowers for your beautiful day. From your husband. Barra.]Berarti tadi hanya pura-pura saja saat Barra bertanya tentang buket bunga. Padahal dari dirinya sendiri.Wanita itu mengalihkan perhatian saat ponsel di atas meja berdering. "Halo, Mas.""Sudah tau siapa pengirim bunganya?""Yeay, Mas bisa aja. Tadi sok curiga pula siapa yang ngirim bunga."Terdengar suara Barra yang tengah tertawa. "Aku sengaja bikin surprise untukmu. Gimana, suka?""Suka, thanks, Mas. Bentar lagi aku meeting ini. Mas, jadi meeting juga, kan?""Masih jam sepuluh nanti.""Ya udah. Aku siap-siap dulu.""Oke, Sayang."Hups. Delia jadi kaget mendengar Barra menyebutnya 'sayang'. Kata yang baru pertama kali ia dengar dari mulut suaminya. Wanita itu menyimpan ponselnya di da
Gadis umur tiga puluh tahun itu melangkah masuk dan berdiri di sebuah foto berukuran besar yang tergantung rendah di tembok ruang tamu lantai dua. Foto papanya dan foto keluarga mereka waktu itu. "Akhirnya aku akan menikah, Pa. Restui aku," ucapnya mengusap foto sang papa sambil berderai air mata. Lantas mengambil foto itu, duduk di kursi dan menatap gambar lelaki tampan yang mengukir jiwa raganya."Dokter Samudra adalah pria yang baik, Pa. Walaupun aku baru mengenalnya. Dia pria terbaik di antara sekian laki-laki yang mendekatiku. Dia juga yang bisa membuatku lupa pada Bre. Ah, papa nggak kenal Bre, tapi Mama El mengenalnya. Cowok yang membuatku jatuh cinta pertama kali." Diva terus bicara dengan potret sang papa. Mengurai rindu yang kerap menyesakkan dadanya.Dari ujung tangga seorang wanita setengah baya menyaksikan itu semua. Meski pantas dipanggil ibu, tapi Diva sudah terbiasa memanggil Mbak pada Mbak Erna. Wanita itu pun terharu. Dialah saksi perjalanan hidup Diva semenjak gadis
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan