Gadis umur tiga puluh tahun itu melangkah masuk dan berdiri di sebuah foto berukuran besar yang tergantung rendah di tembok ruang tamu lantai dua. Foto papanya dan foto keluarga mereka waktu itu. "Akhirnya aku akan menikah, Pa. Restui aku," ucapnya mengusap foto sang papa sambil berderai air mata. Lantas mengambil foto itu, duduk di kursi dan menatap gambar lelaki tampan yang mengukir jiwa raganya."Dokter Samudra adalah pria yang baik, Pa. Walaupun aku baru mengenalnya. Dia pria terbaik di antara sekian laki-laki yang mendekatiku. Dia juga yang bisa membuatku lupa pada Bre. Ah, papa nggak kenal Bre, tapi Mama El mengenalnya. Cowok yang membuatku jatuh cinta pertama kali." Diva terus bicara dengan potret sang papa. Mengurai rindu yang kerap menyesakkan dadanya.Dari ujung tangga seorang wanita setengah baya menyaksikan itu semua. Meski pantas dipanggil ibu, tapi Diva sudah terbiasa memanggil Mbak pada Mbak Erna. Wanita itu pun terharu. Dialah saksi perjalanan hidup Diva semenjak gadis
Barra tampak lebih santai meski mendengar nama itu disebut. Dia lebih fokus pada perbincangan dua keluarga. Samudra duduk tenang, Diva juga sumringah. Jauh berbeda dengan situasi saat ia bertunangan dengan Delia waktu itu. Pertunangan yang sekaligus menjadi hari pernikahannya.Semua serba terpaksa sehingga tidak ada wajah ceria baik dari dirinya maupun Delia. Yang ada hanya kemuraman dan wajah putus asanya Delia. Malam pernikahan yang seharusnya menggebu ternyata kelabu. Hingga mereka melalui malam pertama yang tak biasa. Itu pun mereka lakukan setelah pernikahan memasuki usia empat bulan.Namun ia bangga, kenangannya tidak menyamai lazimnya pernikahan pada umumnya. Suatu saat nanti akan menjadi cerita indah, yang bisa dikenangnya bersama Delia waktu keduanya telah menikmati hari tua.Beberapa menit kemudian, sebuah mobil memasuki halaman. Lima orang turun dari kendaraan. "Assalamu'alaikum," ucap seorang wanita memakai seragam seperti keluarga Rey yang lain. "Wa'alaikumsalam." Semua
Melihat Delia makan dengan lahapnya, membuat Barra lega. Sebab waktu sang adik hamil dulu mesti bedrest total dan sempat opname beberapa kali karena susah makan. Satu hal yang mengkhawatirkan Barra, Delia ini terlalu lincah jika bergerak. Berjalan pun tidak bisa pelan, minum vitamin juga harus selalu diingatkan."Kamu capek, nggak?" tanya Barra."Kenapa?""Aku ingin mengajakmu sebentar saja.""Ke mana?""Ke suatu tempat. Nggak akan lama kok. Setelah itu kita langsung pulang dan kamu bisa istirahat.""Ya, nggak apa-apa."Selesai makan Barra mengajak Delia mampir di sebuah yayasan yang khusus menampung anak-anak yatim pintu dan anak terlantar. Atau bayi yang dititipkan oleh orang tuanya dengan alasan tak sanggup lagi membiayai karena sudah terlalu banyak beban. Baru saja turun dari mobil, mereka mendengar keriuhan suara anak-anak yang bermain dan menangis. Kehadiran Barra di sambut seorang wanita setengah baya yang tersenyum sambil menyalaminya. "Apa kabar, Mas Barra?""Baik, Bu. Oh y
Dokter Yunita tersenyum. "Wow, destinasi impian itu. Saya rasa nggak masalah. Kondisi kehamilan Mbak Delia sehat. Mbak Delia juga dalam keadaan prima. Why not?" kata sang dokter sambil terus melanjutkan pemeriksaan. Melakukan USG dan melanjutkan dengan pemeriksaan leopold. "Kehamilannya sangat baik. Berat bayi juga sesuai umur. Ketuban nggak ada masalah. Kalian mau tahu jenis kelaminnya sekarang apa nanti?""Memangnya sudah kelihatan, Dok?" Tanya Delia."Sudah."Delia dan Barra menatap layar USG. "Laki-laki apa perempuan, Dok?" Barra yang bertanya, tak sabar."Jagoan, Mas Barra."Pria itu tersenyum sambil menatap istrinya. Pasti papanya sangat bahagia jika dikasih tahu. Lelaki terkadang seegois itu. Harus ada keturunan laki-laki yang akan melanjutkan trah keturunan mereka.Barra membantu istrinya untuk turun dari ranjang setelah selesai pemeriksaan. Mereka duduk berhadapan dengan dokter Yunita."Pada kehamilan trimester kedua biasanya memang dimanfaatkan oleh ibu hamil untuk liburan.
Seharian itu Delia menghabiskan waktu di perpustakaan rumah papanya. Ruangan yang di desain dengan furniture warna klasik. Rak jati tinggi dipenuhi buku-buku berbahasa asing dan bahasa Indonesia. Mamanya suka mengoleksi banyak jenis buku. Jika terselip novel di sana, itu pasti koleksi dari almarhumah sang kakak. Sebab Melia gemar membaca novel. Nira lebih suka menonton daripada membaca. Sedangkan Samudra, akan betah duduk seharian membaca buku tentang kesehatan di situ. Kalau Delia sendiri, lebih suka membawa bukunya ke kamar untuk dibaca sambil rebahan.Kali ini Delia membaca sebuah buku parenting koleksi sang mama. Dia duduk di sofa yang menghadap ke dinding kaca besar dan dari sana bisa melihat ke kolam renang dan taman samping rumah. "Hai!" Sapaan yang membuat Delia menoleh. Samudra tersenyum menghampiri sang adik, kemudian duduk di sofa yang satunya."Mas, baru pulang dari rumah sakit?" tanya Delia sambil menegakkan duduknya."Ya. Hari terakhir kerja. Oh ya, kata mama kamu mau
Sesi foto dengan keluarga besar telah selesai. Para tamu undangan juga sudah banyak yang pamitan setelah mengucapkan selamat kepada kedua pasang pengantin. Termasuk Yovan yang naik ke pelaminan untuk menyalami Delia dan Barra. "Selamat ya. Semoga lahiranmu nanti juga lancar," ucap pria itu sambil tersenyum. Tatapan matanya mengandung seribu makna."Makasih sudah menyempatkan untuk datang," jawab Delia tak berani menatap lama netra sang mantan."Kamu akan jadi istri dan mommy yang hebat, Lia." Mamanya Yovan memeluk Delia beberapa saat dengan wajah haru."Terima kasih, Tante. Semoga Tante selalu sehat dan panjang umur.""Xie xie, Lia."Delia mengangguk dan menatap lekat wanita setengah baya berwajah oriental dihadapannya. Bu Ema juga menyalami Pak Irawan dan Bu Hesti. Sedangkan Yovan mengucapkan selamat pada Samudra yang dikenalnya sangat baik. "Selamat, semoga Mas dokter dan istri selalu dalam kebahagiaan dan lindungan Allah.""Thanks, Van. Semoga kamu lekas bertemu jodoh yang sholehah
Malam setelah semua tamu orang tuanya berpamitan, Diva segera berkemas-kemas untuk perjalanan besok pagi. Mereka cukup membawa satu koper besar berisi pakaian untuk berdua, karena mereka hanya pergi selama tiga hari."Habis subuh besok kita berangkat. Kita mampir sebentar ke rumah papa untuk pamitan," kata Samudra setelah menggeser koper ke arah dinding kamar. "Oke," jawab Delia sambil tersenyum. "Delia nggak jadi pergi ke Auckland kan, Mas?""Nggak jadi. Nggak dibolehin sama mama. Lagian kalau menurut Mas, memang dia nggak usah bepergian jauh dulu selama hamil.""Tapi Delia ini energik anaknya. Aku udah lama tau dia, karena sering ikut Melia ke butik."Samudra tersenyum. Delia sudah pernah menceritakan hal itu padanya. Hening menerpa. Diva berdebar saat Samudra memandang dengan tatapan berbeda. Intens dan mesra. Gadis itu memberanikan diri untuk tersenyum. Dia harus tahu menyeimbangkan diri. Dia bukan lagi perempuan belia yang masih malu-malu dan banyak drama. Wanita itu membiarka
Hawa dingin terasa menembus jaket tebal yang dipakai Delia malam itu, ketika mereka tengah menikmati french fries, teh hangat, dan capuccino di rooftop lounge hotel bintang lima Batu Malang.Mereka sampai di kota Batu jam tiga sore tadi. Check in, Salat Ashar, istirahat, maghriban dulu baru hunting kuliner. Setelah itu mengisi waktu di rooftop lounge sambil menikmati suasana malam kota Batu dari ketinggian. Kerlip lampu kota bak taburan bintang yang memantul dari langit.Barra menumpukan sikunya di atas meja, kemudian mencondongkan tubuh pada Delia. "Waktu kamu pergi dari apartemen dan Mas menunggumu di Songgoriti kala itu, sebenarnya kamu menginap di mana?" Akhirnya Barra teringat lagi hal yang membuatnya sangat penasaran. Ia selalu lupa untuk menanyakannya."Yang mana?""Malam yang kamu nggak ngizinin Mas masuk rumah. Terus paginya kamu pergi bersama Mak Ni.""O, itu. Aku pergi ke Trawas Mojokerto." Pertanyaan sang suami hanya mengingatkannya tentang peristiwa malam itu di apartemen
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan