Hawa dingin terasa menembus jaket tebal yang dipakai Delia malam itu, ketika mereka tengah menikmati french fries, teh hangat, dan capuccino di rooftop lounge hotel bintang lima Batu Malang.Mereka sampai di kota Batu jam tiga sore tadi. Check in, Salat Ashar, istirahat, maghriban dulu baru hunting kuliner. Setelah itu mengisi waktu di rooftop lounge sambil menikmati suasana malam kota Batu dari ketinggian. Kerlip lampu kota bak taburan bintang yang memantul dari langit.Barra menumpukan sikunya di atas meja, kemudian mencondongkan tubuh pada Delia. "Waktu kamu pergi dari apartemen dan Mas menunggumu di Songgoriti kala itu, sebenarnya kamu menginap di mana?" Akhirnya Barra teringat lagi hal yang membuatnya sangat penasaran. Ia selalu lupa untuk menanyakannya."Yang mana?""Malam yang kamu nggak ngizinin Mas masuk rumah. Terus paginya kamu pergi bersama Mak Ni.""O, itu. Aku pergi ke Trawas Mojokerto." Pertanyaan sang suami hanya mengingatkannya tentang peristiwa malam itu di apartemen
Samudra terbangun saat merasakan dingin di tubuhnya. Selimut ditarik hingga menutupi dada. Lantas meraih arloji di atas nakas. Jam tiga pagi waktu setempat.Pria itu memandang ke sebelah. Diva masih tidur meringkuk menghadap ke arahnya dengan selimut yang menutupi hingga ke batas leher. Rambut lurusnya acak-acakan karena keliaran mereka beberapa jam yang lalu.Rasanya seperti mimpi semua yang ia lalui dalam beberapa hari ini. Akhirnya ia menikah di usia yang memasuki angka tiga puluh tiga tahun. Dan wanita disebelahnya ini adalah orang yang baru menghabiskan malam pertama dengannya.Memang benar, sekecil apapun peristiwa pasti ada tujuan disebaliknya. Ada hikmah meski hanya sekedar memberikan pengajaran dan pengalaman. Dikarenakan lampu seinnya yang ditabrak Diva, akhirnya ia mengenali gadis itu. Proses yang singkat tanpa banyak pertemuan, lantas menikah. Begitu mudahnya jalan menuju pernikahan jika Allah telah berkehendak. Semua di atur sedemikian rupa di tengah hatinya yang porak po
Mak Ni menggeser kotak kado ke hadapan Delia. Ada baby gift vouchers yang bernilai sangat fantastis. Di kartu ucapan selamat tertulis nama Yovan. Pria itu sengaja memberikan voucher supaya Delia bisa berbelanja dan memilih barang sesuai kebutuhan untuk bayinya. Bukan voucher belanja untuk dirinya, tapi untuk baby boy yang akan lahir lima bulan lagi."Mas Yovan ngasihnya banyak banget, Mbak?" Mak Ni memperhatikan voucher di tangan Delia. "Iya. Aku bisa belanja di retail yang tertera di voucher ini, Mak. Mungkin dia bingung mau ngasih apa, akhirnya ngasih voucher saja."Wanita setengah baya itu turut terharu, karena pernah menjadi saksi hubungan lelaki itu dengan majikannya. Bagi Mak Ni, Yovan adalah pria yang sangat baik, sopan, dan ramah. Dia mudah sekali bergaul dengan siapapun, termasuk pegawai rendahan seperti dirinya. Saat Delia putus dari Yovan, Mak Ni ikut merasakan patah hati."Mak, roti tawar masih ada?" tanya Delia yang tiba-tiba merasakan perutnya lapar. Padahal tadi sudah
Delia menjawabnya dengan senyuman lantas memejam. Sedangkan Barra masih memperhatikan wajah ayu yang terlihat masih menyimpan guratan kecewa. Apa yang mesti dilakukannya sekarang? Menemui Cintiara atau menelepon agar gadis itu tidak mengganggu hidupnya lagi, tapi baginya itu tidak mungkin. Jika bicara dengannya, berarti Barra kembali berkomunikasi. Banyak kemungkinan yang terjadi jika ia kembali bicara dengan mantannya. Entah bertemu langsung atau via telepon. Walaupun maksudnya untuk menghentikan gadis itu agar tidak terus-menerus meneror rumah tangganya. Memang ia telah menyakiti Cintiara, tapi bukan berarti ia harus mentoleransi tindakannya.Lalu bagaimana supaya Delia benar-benar mempercayainya? Berulang kali Barra menghela nafas panjang. Helaan nafas yang masih bisa di dengar jelas oleh Delia yang tengah memejam. Dia tidak bisa terlena meski telah berusaha. Benci sekali rasanya jika keraguan muncul lagi tiap kali ada perkara yang kembali mengungkit kisah lama suaminya.Rasanya t
Bau minyak kayu putih memenuhi penciuman saat pertama kali Delia membuka mata. Leher, dekat telinga, dan telapak tangan serta kakinya terasa hangat. Samar-samar ia melihat beberapa orang yang mengelilinginya. Ia juga merasakan tangannya di genggam oleh seseorang.Beberapa detik kemudian, Delia menangis hiteris. Bu Hesti memeluknya erat. "Istiqfar, Nak. Ayo, istiqfar. Barra nggak apa-apa, dia sedang ditangani dokter." Sambil terisak, Bu Hesti menenangkan putrinya. Di usapnya lengan sang anak sambil terus membimbing Delia untuk beristighfar.Diva turut mengusap-usap lengan adik iparnya. Sementara Samudra yang baru saja menutup telepon segera menghampiri sang adik. "Delia, ini Mas. Jangan khawatir, Barra nggak apa-apa. Dokter sedang menanganinya." Delia yang terisak dalam pelukan sang mama beralih menoleh pada kakaknya. Semudra memeluknya erat. Meski hatinya sendiri terasa hancur lebur. Ia seperti kembali teringat peristiwa tiga puluh dua tahun yang lalu. Delia seperti sang mama yang te
Akhirnya pesawat take off tepat pukul 14.40 menit. Di dalam pesawat, Delia lebih banyak melamun daripada bicara. Bu Hesti yang duduk di sebelahnya tak henti mengusap lembut tangan dan perut Delia. Sementara Pak Irawan bersandar sambil memejam. Pikirannya tak kalah semrawut. Peristiwa hari ini seperti sedang mengulang zaman masih mudanya. Tidak. Semoga kondisi Barra tidak separah dirinya waktu itu. Kasihan Delia, kasihan calon cucunya.Samudra yang duduk di bangku sebelahnya bersama sang istri, sering sekali menoleh pada Pak Irawan. Pemikirannya pun sama, dia juga terkenang kisah silamnya seperti sang papa.1 jam lebih 30 menit akhirnya mereka sampai juga di Bandara Soekarno-Hatta. Lutut Delia terasa lemas meski hati tidak sabar untuk segera melihat keadaan suaminya.Sesampainya di rumah sakit, rombongan Pak Irawan disambut oleh Pak Adibrata dan Bu Diyah. Wanita itu memeluk menantunya erat. "Bagaimana keadaan Mas Barra, Ma?""Masih di ruang ICU, Nak," jawab Bu Diyah sambil menangis.
Pria itu masih memejam saat Delia masuk. Kantung infus sepertinya baru selesai diganti."Hari ini kalau nggak ada kendala, setelah CT scan Barra akan dipindahkan ke ruang perawatan," ucap Samudra lirih di telinga adiknya. Delia menjawab dengan anggukan kepala. Lega kalau dipindahkan dari ICU. Bermakna kondisi suaminya tidak mengkhawatirkan lagi. Meski masih butuh perawatan untuk beberapa hari ke depan.Delia menggenggam jemari Barra. Spontan pria itu membuka mata dan mencari orang yang sedang menyentuhnya. Senyum menghiasi bibirnya yang masih pucat. Tangannya merespon genggaman Delia. Membuat wanita itu berdiri dan mendekat ke wajah suaminya. Bulir bening meluncur dari sudut mata Barra saat melihat Delia berkaca-kaca. Bibirnya bergerak mengucapkan kata maaf tanpa suara. Membuat Delia makin sedih. Harusnya dia yang minta maaf. Saat Barra berangkat, dirinya masih bermuram durja. Semalaman membiarkan Barra bicara tanpa tanggapan serius darinya. Bahkan mengantarkan ke bandara dengan paks
Delia lega melihat suaminya jauh lebih baik. Wajahnya tak sepucat kemarin. Dan selang oksigen pun telah dilepas. Barra juga berbaring setengah duduk."Mas, sudah makan?" tanya Delia menggeser kursi lebih mendekat pada sang suami."Belum. Mas nunggu kamu," jawab Barra lirih sambil tersenyum. Tubuhnya masih tampak lemas dan terasa pegal-pegal. Efek dari guncangan di pesawat waktu pilot melakukan manuver penyelamatan meski pada akhirnya berujung naas. Kepalanya juga masih pusing, tapi tak separah kemarin."Aku suapi ya!" Delia bangkit dan mengambil jatah makan untuk pasien. Nasi putih, sup daging, tempe, dan perkedel kentang. Ada juga sepotong puding di sebuah wadah persegi."Kamu makan dulu. Mas makan habis kamu saja," kata Barra."Nggak apa-apa. Aku sudah makan buah sebelum Maghrib tadi," jawab Delia sambil membuka plastik wrap yang menutupi mangkuk makanan. Kemudian mulai menyuapi suaminya. Barra mengunyah sangat pelan. Ia merasakan rahangnya kaku dan tubuhnya masih sakit jika dipak