Bau minyak kayu putih memenuhi penciuman saat pertama kali Delia membuka mata. Leher, dekat telinga, dan telapak tangan serta kakinya terasa hangat. Samar-samar ia melihat beberapa orang yang mengelilinginya. Ia juga merasakan tangannya di genggam oleh seseorang.Beberapa detik kemudian, Delia menangis hiteris. Bu Hesti memeluknya erat. "Istiqfar, Nak. Ayo, istiqfar. Barra nggak apa-apa, dia sedang ditangani dokter." Sambil terisak, Bu Hesti menenangkan putrinya. Di usapnya lengan sang anak sambil terus membimbing Delia untuk beristighfar.Diva turut mengusap-usap lengan adik iparnya. Sementara Samudra yang baru saja menutup telepon segera menghampiri sang adik. "Delia, ini Mas. Jangan khawatir, Barra nggak apa-apa. Dokter sedang menanganinya." Delia yang terisak dalam pelukan sang mama beralih menoleh pada kakaknya. Semudra memeluknya erat. Meski hatinya sendiri terasa hancur lebur. Ia seperti kembali teringat peristiwa tiga puluh dua tahun yang lalu. Delia seperti sang mama yang te
Akhirnya pesawat take off tepat pukul 14.40 menit. Di dalam pesawat, Delia lebih banyak melamun daripada bicara. Bu Hesti yang duduk di sebelahnya tak henti mengusap lembut tangan dan perut Delia. Sementara Pak Irawan bersandar sambil memejam. Pikirannya tak kalah semrawut. Peristiwa hari ini seperti sedang mengulang zaman masih mudanya. Tidak. Semoga kondisi Barra tidak separah dirinya waktu itu. Kasihan Delia, kasihan calon cucunya.Samudra yang duduk di bangku sebelahnya bersama sang istri, sering sekali menoleh pada Pak Irawan. Pemikirannya pun sama, dia juga terkenang kisah silamnya seperti sang papa.1 jam lebih 30 menit akhirnya mereka sampai juga di Bandara Soekarno-Hatta. Lutut Delia terasa lemas meski hati tidak sabar untuk segera melihat keadaan suaminya.Sesampainya di rumah sakit, rombongan Pak Irawan disambut oleh Pak Adibrata dan Bu Diyah. Wanita itu memeluk menantunya erat. "Bagaimana keadaan Mas Barra, Ma?""Masih di ruang ICU, Nak," jawab Bu Diyah sambil menangis.
Pria itu masih memejam saat Delia masuk. Kantung infus sepertinya baru selesai diganti."Hari ini kalau nggak ada kendala, setelah CT scan Barra akan dipindahkan ke ruang perawatan," ucap Samudra lirih di telinga adiknya. Delia menjawab dengan anggukan kepala. Lega kalau dipindahkan dari ICU. Bermakna kondisi suaminya tidak mengkhawatirkan lagi. Meski masih butuh perawatan untuk beberapa hari ke depan.Delia menggenggam jemari Barra. Spontan pria itu membuka mata dan mencari orang yang sedang menyentuhnya. Senyum menghiasi bibirnya yang masih pucat. Tangannya merespon genggaman Delia. Membuat wanita itu berdiri dan mendekat ke wajah suaminya. Bulir bening meluncur dari sudut mata Barra saat melihat Delia berkaca-kaca. Bibirnya bergerak mengucapkan kata maaf tanpa suara. Membuat Delia makin sedih. Harusnya dia yang minta maaf. Saat Barra berangkat, dirinya masih bermuram durja. Semalaman membiarkan Barra bicara tanpa tanggapan serius darinya. Bahkan mengantarkan ke bandara dengan paks
Delia lega melihat suaminya jauh lebih baik. Wajahnya tak sepucat kemarin. Dan selang oksigen pun telah dilepas. Barra juga berbaring setengah duduk."Mas, sudah makan?" tanya Delia menggeser kursi lebih mendekat pada sang suami."Belum. Mas nunggu kamu," jawab Barra lirih sambil tersenyum. Tubuhnya masih tampak lemas dan terasa pegal-pegal. Efek dari guncangan di pesawat waktu pilot melakukan manuver penyelamatan meski pada akhirnya berujung naas. Kepalanya juga masih pusing, tapi tak separah kemarin."Aku suapi ya!" Delia bangkit dan mengambil jatah makan untuk pasien. Nasi putih, sup daging, tempe, dan perkedel kentang. Ada juga sepotong puding di sebuah wadah persegi."Kamu makan dulu. Mas makan habis kamu saja," kata Barra."Nggak apa-apa. Aku sudah makan buah sebelum Maghrib tadi," jawab Delia sambil membuka plastik wrap yang menutupi mangkuk makanan. Kemudian mulai menyuapi suaminya. Barra mengunyah sangat pelan. Ia merasakan rahangnya kaku dan tubuhnya masih sakit jika dipak
Seorang pria usia enam puluhan dan sang istri tersenyum saat pintu di buka oleh Samudra. Mereka datang sambil membawa parcel buah dan sekotak besar aneka rasa roti."Pak Broto dan Ibu, mari silakan duduk." Bu Diyah buru-buru berdiri menyambut tamu sekaligus mitra bisnis suaminya. Pak Adibrata menyalami mereka. Begitu juga dengan semua yang ada dalam ruangan menyalami sepasang suami istri yang sangat ramah itu. Ini kali kedua Pak Broto datang membesuk, yang pertama waktu Barra masih di ruang ICU dan belum sadarkan diri. "Bagaimana Mas Barra? Nggak trauma kan jika kita mesti meeting di Jakarta lagi?" goda Pak Broto sambil berdiri di sebelah Barra yang duduk di atas brankar."Insyaallah nggak, Pak," jawab Barra sambil tersenyum. Pertemuan mereka membahas tentang kecelakaan yang menimpa Barra, bicara tentang spekulasi apa yang menyebabkan terjadinya accident kemarin. Setelah itu pembicaraan tak jauh dari dunia perniagaan dan bisnis. Hanya Samudra saja yang berbeda profesi di antara mer
Barra membuka aplikasi pesan. Semua pesan yang masuk menanyakan kondisi dan keadaannya. Juga berisi doa agar dirinya lekas pulih. Barra membalasnya satu per satu dengan kalimat yang sama. Ucapan terima kasih dan mengabarkan bahwa dia sekarang baik-baik saja."Ada yang mengirimkan email juga, Mas.""Oh ya?""Iya. Tapi maaf, aku sudah membuka dan membacanya. Ada email dari Cintiara. Dia tahu Mas kecelakaan. Mungkin dia khawatir karena berkali-kali mengirimkan pesan bertanya keadaanmu." Delia bicara dengan wajah tenang. Kendati perasaannya sedang bergolak. Pria itu diam sejenak, kemudian beralih memeriksa emailnya. Benar yang dikatakan Delia. Cintiara berulang kali menanyakan kabarnya. "Maafkan Mas ya, karena tidak bisa mengganti email. Jadi dia masih bisa mengirimkan pesan. Tapi Mas nggak pernah membalasnya."Delia tersenyum meski hatinya pedih. Ia bisa memahami dan tidak akan menuntut hal itu pada suaminya. Sebab email itu sangat penting bagi Barra. Banyak pekerjaan yang terhubung ke
"Kenapa kamu nggak tidur?" tanya Barra lagi sambil bergerak miring menghadap istrinya."Aku barusan bangun. Oh ya, aku dapat pesan dari Yovan," kata Delia hati-hati.Barra yang masih mengantuk langsung membuka mata dan menatap layar ponsel yang sedang dipegang istrinya."Yovan nanyain kabarnya, Mas.""Kamu balas saja nggak apa-apa." Jawaban Barra malah membuat Delia ragu. Terlebih selama ini sang suami telah membangun tembok tinggi di antara dirinya dengan Yovan. Voucher dengan nilai sebanyak itu juga dilarang untuk dibelanjakan. Padahal laki-laki itu tidak pernah mengusiknya seperti yang dilakukan Cintiara.Delia mengembalikan ponsel di nakas sebelah tempat tidur. Padahal sebenarnya ia kasihan. Yovan bertanya baik-baik, sebagai bentuk kepedulian terhadap kabar suaminya. Delia hanya khawatir, setelah ia membalas pesan Yovan, nanti Barra juga membalas pesan dari Cintiara. Ah, sejauh itu pikiran Delia. Bisa jadi, Barra mungkin sedang mengujinya."Nggak kamu balas?" tanya Barra."Nggak,
Diva tersenyum menyambut kepulangan Samudra jam dua belas malam. Sejak tadi ia memang belum tidur karena menunggu kepulangan sang suami dari simposium disalah satu ballroom hotel di Surabaya. "Mas, mandi dulu biar aku buatin teh hangat," kata Diva setelah mengambil jas dan tas dari tangan suaminya."Nggak usah bikin teh. Air hangat saja," jawab Samudra sambil merangkul istrinya masuk ke dalam.Samudra langsung mandi, sedangkan Diva membawakan segelas air hangat dari dapur dibawa ke kamar mereka."Bagaimana acaranya tadi? Lancar, Mas?" Diva bertanya sambil duduk di sebelah sang suami yang baru selesai mandi."Alhamdulillah, lancar. Besok masih sehari lagi. Mas minta maaf kalau masih sibuk di akhir pekan. Kita nggak bisa staycation."Diva tersenyum, tapi kemudian berubah sedih. "Nggak apa-apa. Aku juga lagi haid sekarang. Tadi sepulang kerja pas mau mandi, aku datang bulan. Padahal aku berharap kalau bulan depan ada kabar gembira."Samudra yang sebenarnya sangat lelah, fokus memperhati
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan