Diva tersenyum menyambut kepulangan Samudra jam dua belas malam. Sejak tadi ia memang belum tidur karena menunggu kepulangan sang suami dari simposium disalah satu ballroom hotel di Surabaya. "Mas, mandi dulu biar aku buatin teh hangat," kata Diva setelah mengambil jas dan tas dari tangan suaminya."Nggak usah bikin teh. Air hangat saja," jawab Samudra sambil merangkul istrinya masuk ke dalam.Samudra langsung mandi, sedangkan Diva membawakan segelas air hangat dari dapur dibawa ke kamar mereka."Bagaimana acaranya tadi? Lancar, Mas?" Diva bertanya sambil duduk di sebelah sang suami yang baru selesai mandi."Alhamdulillah, lancar. Besok masih sehari lagi. Mas minta maaf kalau masih sibuk di akhir pekan. Kita nggak bisa staycation."Diva tersenyum, tapi kemudian berubah sedih. "Nggak apa-apa. Aku juga lagi haid sekarang. Tadi sepulang kerja pas mau mandi, aku datang bulan. Padahal aku berharap kalau bulan depan ada kabar gembira."Samudra yang sebenarnya sangat lelah, fokus memperhati
"Sayang, ada apa?" Barra menjajari langkah istrinya."Kita pergi dari sini, Mas," jawab Delia memeluk lengan sang suami dan melangkah cepat tanpa menoleh.Barra terus mengikuti dan tidak bertanya lagi. Ia sekarang paham bagaimana harus menyikapi Delia. Tentu ada sesuatu yang membuatnya panik seperti itu. Rasa mengalami trauma itu sungguh luar biasa. Setelah merasakan sendiri, akhirnya ia bisa memahami. Terbesit penyesalan atas sikap dinginnya pada Delia dulu. "Kita pulang?" tanya Barra ketika mereka sampai di tempat motor terparkir.Delia masih diam sambil memperhatikan ke arah warung tadi. Barra menoleh untuk melihat ke arah yang sama. Namun ia tidak melihat ada kejanggalan di sana. Bahkan dia juga tidak mengenal satu pun orang-orang di warung tadi. Tidak biasanya Delia panik seperti itu. Dia terbiasa menghadapi apapun dan hanya takut pada dirinya ketika mereka baru menikah."Sayang, duduk dulu atau kita langsung pulang?" Sabar sekali Barra menanyai istrinya."Kalau kita pulang aku
Dua bulan kemudian ....Perut Delia kian membuncit di kehamilan delapan bulan lebih dua minggu. Namun bentuk tubuhnya tidak banyak berubah kecuali dadanya yang kian membusung dan panggulnya yang sedikit melebar. Gerakannya masih lincah dan tidak bisa berjalan pelan kalau tidak ditegur oleh suami dan Mbak Ida sewaktu di kantor. Namun begitu, dia tetap seperti kebanyakan perempuan hamil. Merasakan pegal di kaki dan pinggangnya karena menahan beban di perut yang kian berat. Tapi pekerjaan jalan terus. Dia tidak akan mengambil cuti sebelum seminggu dari hari perkiraan lahiran yang ditetapkan oleh dokter. Padahal Barra maupun papanya sudah memintanya untuk cuti dan istirahat di rumah. Hanya Delia saja yang degil karena tidak ingin bosan duduk diam di rumah."Kamu enak, Lia. Hamil sebesar ini badanmu masih langsing, perutmu aja yang membesar. Aku hamil dulu, seluruh tubuhku ikut bengkak. Jalanpun ngangkang," kata Mei saat mereka janjian makan siang di luar. "Iya, aku tahu. Tapi hebat, dal
Sebenarnya Mbak Ida mengajak Delia periksa ke klinik bersalin terdekat, karena rumah sakit tempat dokter Yunita bertugas lumayan jauh dari kantor.Namun Delia tetap bersikeras periksa ke dokter langganannya. Siapa tahu kalau memang mau lahiran, bisa langsung ditangani oleh dokternya sendiri. Terpaksa Mbak Ida menyuruh sopir perusahaan mengantarkan ke rumah sakit tempat Samudra yang juga bekerja di sana."Ada apa, Dek. Kamu mau melahirkan?" tanya Samudra tergesa-gesa menghampiri Delia yang melangkah menuju ruangan dokter Yunita. Kebetulan diperjalanan tadi Delia mengirimkan pesan pada sang kakak kalau mau bertemu dokter kandungannya."Dari tadi perutku tegang dan terasa nyeri, Mas.""HPL-nya masih dua mingguan lagi, kan?""Iya, sih.""Oke, mungkin maju dari perkiraan." Samudra menyuruh seorang perawat untuk memberitahu dokter Yunita bahwa Delia sudah sampai rumah sakit. Tidak lama dokter berhijab abu-abu keluar ruangan dan mempersilakan Delia masuk. Samudra tertahan di luar karena tid
Barra menceritakan sekilas kejadian setelah mereka pulang. Mei merasa bersalah dan meminta maaf berkali-kali. "Maaf banget, Mas. Kalau tau gitu saya nggak mau diajak keluar. Sekarang bagaimana keadaan Delia?""Nggak apa-apa, Mbak. Delia sedang istirahat di kamar. Saya nggak nyalahin Mbak Mei. Saya hanya ingin tahu, apa ada sesuatu yang membuat Delia tiba-tiba kontraksi tadi?" Barra khawatir jika istrinya kembali bertemu dengan Aksa. Atau ada kejadian lain yang membuat istri lincahnya tiba-tiba drop."Apa Delia nggak cerita sama, Mas Barra?""Cerita apa?""O, kalau gitu biar Delia aja yang cerita, Mas." Suara Mei terdengar takut."Ceritakan saja nggak apa-apa. Biar saya tahu apa yang membuat Delia dibawa ke rumah sakit tadi."Diam sejenak. Kemudian Mei menceritakan pertemuan mereka dengan Cintiara. Semua diceritakan apa adanya. Tidak ada yang dikurangi atau ditutupi. Sebenarnya Mei sendiri kalau tidak ditahan Delia, pasti sudah mendamprat perempuan itu."Terima kasih. Mbak, udah mau ce
Barra tersenyum sambil mengecup kening istrinya. "Kita masuk dulu. Mas mau mandi, setelah itu baru cerita." Diajaknya sang istri masuk kamar."Mas, tadi dari kantor, ya?" Delia tidak puas dengan jawaban suaminya."Sini, kamu duduk manis dulu. Tunggu Mas selesai mandi. Oke!" Barra menyuruh Delia duduk di ranjang. Pria itu segera melepaskan kemeja yang dipakainya, kemudian masuk ke kamar mandi. Delia kembali berdiri untuk mengambilkan minum.Tidak butuh waktu lama untuk Barra membersikan diri. Dia keluar dengan handuk yang membelit pinggang. Pada saat bersamaan Delia masuk membawakan segelas teh hangat yang ditaruhnya di atas meja rias. "Mas, tadi bilang kalau nggak balik ke kantor. Tapi waktu aku bangun, Mas sudah nggak ada. Keluar kata Mak Ni."Setelah berpakaian dan menyisir rambutnya, Barra duduk berhadapan dengan sang istri. "Tadi Mas ada keperluan di luar. Tapi bukan ke kantor." Barra menarik napas sejenak. "Kamu tadi jadi makan siang bareng Mei?""Jadi.""Kamu nggak ingin cerita
"Mau nambah nasi?" tanya Barra saat melihat nasi di piring Delia hampir habis."Nggak, Mas. Aku udah kenyang. Oh ya, nanti mampir sebentar ke toko perlengkapan ibu dan anak ya. Aku mau beli korset.""Tadi janjinya langsung pulang, kan?"Delia tersenyum. "Sebentar saja. Perlu banget lho korset itu. Aku harus make setelah lahiran. Mereka beliin perlengkapan untuk bayi saja karena bahagia mau lahir cucunya, sedangkan ibu yang sedang melahirkan dilupakan," jawab Delia. Mereka yang dimaksud adalah mamanya sendiri dan mama mertua. Delia tidak perlu membeli perlengkapan bayi lagi karena sudah dicukupi oleh dua mamanya. Barang-barang itu menumpuk di salah satu sudut apartemen. Membuat Barra tak sabar untuk segera mengajaknya pindah ke Dream House."Oke, habis itu kita langsung pulang.""Siap, Pak Barra!" jawab Delia dengan mengangguk hormat. Membuat Barra tersenyum lebar melihat polah istrinya.* * *Langit kota Surabaya biru cerah pagi itu. Delia menatap arakan awan putih bergerak perlahan
Mobil yang dikemudikan pria bertopi perlahan menepi setelah beberapa menit ia meninggalkan rumah sakit.Ia terbayang wajah perempuan yang baru saja di tolongnya. Delia. Wanita cantik yang bertahta dalam hatinya sejak dulu hingga sekarang ini. Seorang gadis yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama saat mereka bertemu di sebuah pesta ulang tahun sang kakak yang kini mendekam di penjara. Delia sedang menemani Melia waktu itu. Gadis periang yang ternyata telah memiliki seorang kekasih, tapi tidak membuat perasaannya pupus. Sayang cintanya tak berbalas, meski pada akhirnya Delia telah putus dengan lelaki berwajah oriental itu. Delia tetap membangun jarak terhadapnya, terlebih setelah peristiwa mencekam itu terjadi. Ia juga tahu bahwa Delia mengalami depresi usai kejadian yang dipicu oleh ulah sang kakak. Kemudian tidak tahu kabarnya sama sekali setelah dia pergi ke Manado karena ada pekerjaan di sana. Dan tak sengaja bertemu lagi pagi itu di Taman Bungkul, tapi Delia pergi ketak
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan