Lelaki setengah baya itu menarik napas dalam-dalam sambil bersandar pada punggung kursi. "Dua hari yang lalu, Om bicara banyak dengan papamu. Sampai sekarang dia masih menyayangkan keputusanmu menikah dengan Johan.""Ya, meskipun diam. Aku tahu kalau papa masih belum bisa menerima. Padahal Johan sudah banyak berubah, Om. Aku juga sudah cerita banyak kan tentang apa yang terjadi dibalik peristiwa itu.""Papamu keras kepala, Ka. Juga tidak mau berkaca dengan apa yang telah ia perbuat di masa lalu.""Allah saja memberikan pengampunan pada manusia yang benar-benar bertaubat. Tapi sudahlah, itu hak papa untuk menentukan sikapnya.""Kamu yang sabar. Om support kamu, juga ada mamamu dan Marina yang selalu dukung kamu. Sikap papamu yang seperti itu karena sebenarnya dia sangat menyayangimu."Mahika mengangguk. Kemudian pamitan ingin membesuk Johan siang itu. Tidak sabar rasanya untuk segera memberitahu sang suami tentang jenis kelamin anak mereka.* * *Senyum bahagia jelas terlihat di bibir
Bayi cantik itu nyaman di gendongan sang papa. Tak henti Barra mengagumi duplikatnya dalam versi perempuan. Alisnya yang tebal, hidungnya, bentuk dagu dan matanya semua milik Barra. Benar kata Mei, karena jengkel setengah mati sama Barra di awal kehamilan, akhirnya si anak lahir persis seperti Barra dan hanya jenis kelaminnya yang sama seperti Delia."You're daddy's girl, baby," bisik Barra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah si cantik. Kebahagiaannya tidak bisa ia lukiskan dengan kata-kata. Delia hanya bisa berdecak lirih melihat ulah sang suami dan bayi kecilnya. "Barra, nggak usah bolak-balik kamu ciumi. Dia masih rentan banget itu," tegur Bu Diyah pada putranya. Geram juga sama sang anak yang asyik nguyel-nguyel bayinya."Sini, dibaringkan saja." Bu Diyah mengambil sang cucu dari gendongan Barra. Kemudian menidurkan di box bayi sebelah tempat tidur Delia."I love you. Mas mau pulang dulu ya. Mau jemput Riz," pamitnya pada sang istri. Tidak sungkan mengecup kening Delia, meski a
Mahika duduk di tepi pembaringan sambil menunggu telepon dari Aksara. Dari pantulan cermin lemari di hadapan, ia bisa melihat perubahan bentuk tubuhnya yang kian bulat berisi. Dada membusung, panggulnya membesar, dan lengannya sudah tak alang kepalang bentuknya. Berat badannya naik berkilo-kilo. Ia iri pada Delia yang baru saja melahirkan, tapi tubuhnya tetap ramping. Perutnya saja yang masih bergelambir. Tapi untuk pulih tak butuh waktu lama. Sebulan kemudian dijamin Delia sudah kembali seksi. Mahika jadi iri. Mungkin setelah dirinya bersalin nanti, butuh waktu lama untuk kembali melangsingkan diri. Seperti ketika setelah melahirkan Jelita dulu. Habis uang berapa saja untuk menunjang tubuhnya kembali ke bentuk semula. Di samping dia juga rajin berolahraga saat itu.Namun apapun perubahan tubuh, Mahika sangat menikmatinya. Dia lebih mengedepankan kebahagiaan untuk Johan dan dirinya sendiri. Ia yakin Johan tak akan mempermasalahkan dirinya yang berubah menjadi perempuan gemuk. Ponse
Barra dan Delia duduk berdua di atas ranjang setelah memastikan anak-anak tidur semua di temani Mak Ni. Delia terlihat masih dingin, sedangkan Barra tampak tak sabar ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi."Apa yang Mas rahasiakan dariku?" tanya Delia menatap mata Barra yang dinaungi alis tebal."Rahasia apa? Mas nggak ngerahasiain apapun darimu." Barra tidak mengerti maksud pertanyaan istrinya."Yakin?" sahut Delia cepat."Sayang, Mas nggak paham." Barra bingung."Aku sudah tahu apa yang sebenarnya Mas ketahui selama ini. Aku tahu Mbak Mahika menikah dengan Johan. Mas, sudah tahu tapi menutupi itu semua, bahkan menjawab nggak ngerti setiap kali kutanya. Mas selalu bilang tidak tahu dan tidak tahu. Apa yang ingin Mas lindungi?"Sekarang Barra mengerti masalah itu yang menjadi puncak sikap dinginnya Delia. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya."Mas nggak melindungi apapun. Kamu sedang hamil dan Mas harus tetap menjaga supaya emosimu stabil. Mas nggak
Sementara Delia yang kecewa, hanya berusaha untuk membuat dirinya kembali tenang. Ia paham posisi Barra. Ia mengerti dengan keprofesionalan yang berusaha di jaga suaminya. Namun ia juga tidak memungkiri kalau hatinya sangat kecewa. Apalagi merasa dibohongi apapun alasan Barra harus berbohong padanya.Kepergian Melia memang sudah takdir, tapi caranya pergi yang membuat Delia butuh beberapa tahun lagi untuk benar-benar bisa menghilangkan traumanya. Peristiwa kelam itu sampai kapanpun rasanya tidak akan pernah bisa ia lupakan. Namun pasti bisa ia terima dengan lapang dada tanpa trauma. Hanya butuh waktu untuk itu.Satu jam saling diam dan hanya dibatasi tembok. Akhirnya Barra bangkit dan membuka pintu ruang kerja perlahan lalu menghampiri Delia yang diam memejam. "Sayang, Fia nangis," ucapnya pelan.Tanpa memandang sang suami, Delia bangkit dan langsung naik ke kamar anak-anak. Sedangkan Barra kembali menunggu di sofa luar sambil menikmati suara derasnya hujan di luar.* * *Pagi yang di
"Sayang, kamu masih marah sama mas?" tanya Barra setelah mereka sampai di kamar. Saat itu Delia sedang membuka pintu kaca untuk mengambil baju ganti di walk in closet."Nggak," jawab Delia singkat. "Aku nggak akan lagi mencampuri urusanmu, Mas." Jawaban yang justru membuat Barra malah khawatir karena itu sudah menjadi bentuk respon ketidakpedulian. "Sayang, maafkan mas. Nggak ada maksud apapun dengan mas menyembunyikan semua ini. Tahu kan alasan Mas apa?""Aku nggak akan mempermasalahkan hal itu lagi. Itu hak kamu. Aku nggak akan ikut campur internal perusahaan, Mas. Aku tahu Mas profesional." Delia menatap sekilas lantas masuk kamar mandi.Bunyi kran menyala untuk beberapa lama. Di luar kamar Barra gelisah menunggu. Ia ingat apa yang di katakan oleh Samudra kemarin. Inilah kali pertama Barra curhat dengan kakak iparnya. Beruntung Samudra pria yang bijaksana. Mungkin sebenarnya juga kecewa, tapi dia bisa bersikap realistis dan berpikir secara logis. Sedangkan wajar kalau Delia selalu
Meski kecewa sama sang suami, tapi ia tidak akan mengabaikan kewajiban sebagai seorang istri. Tadi malam pun sebenarnya ia tahu bagaimana kelabakannya Barra, tapi ia memilih tidur karena belum bisa melayaninya."Nanti Mas susul ke dokter Yunita.""Nggak usah. Aku juga belum pasti ke sana jam berapa?""Nggak apa-apa nanti Mas tungguin di sana. Mas juga ingin tahu kamu punya keluhan apa," jawab Barra sambil meraih jam tangan untuk dipakainya. "Aku nggak punya keluhan apa-apa. Aku hanya butuh kontrasepsi supaya aku nggak hamil lagi dalam waktu dekat ini."Senyum modus Barra merekah. Baginya itu merupakan signal baik dari sang istri. Di dekatinya wanita yang tengah mengecek isi tasnya. Kemudian mengecup keningnya. "Mas tunggu di ruang makan!" Barra bergegas keluar kamar lebih dulu.Delia masih mematung menatap cermin. Untuk kesekian kalinya ia harus menepikan ego. Meski kecewa karena dibohongi, tapi alasan Barra cukup masuk akal untuk dimengerti. Dan dia harus menerima kenyataan yang sed
"Mama!" Suara kecil itu memanggil dari luar kamar.Delia dan Barra saling pandang. "Nah, kubilang apa!" kata Delia sambil menatap suaminya. Membuat Barra bergeser turun dari daerah "kekuasaannya.""Iya, Sayang. Bentar!" teriak Delia sambil memakai lagi bajunya. Riz tak sabar dan terus menggedor pintu kamar. Sedangkan Barra juga tergesa mengenakan celana. Kemudian membuka pintu. "Maaf, Pak Barra. Mas Riz ngotot mau nyari mamanya. Udah minum susu tapi nggak mau tidur. Nanti kalau ketiduran di sini, biar saya gendong ke kamarnya." Mak Ni merasa bersalah dan tak enak hati."Nggak apa-apa, Mak Ni," jawab Barra lantas menggendong putranya dan membawanya ke ranjang.Wajar saja kalau Riz belum tidur. Biasanya Barra masih mengajak sang anak bermain sampai bocah laki-laki itu mengantuk. Sedangkan sepulang dari rumah sakit tadi Barra kembali ke kantor setelah mengantar Delia pulang. Terus jam setengah delapan sampai rumah lagi langsung mandi, makan, salat, dan berusaha menjalankan misinya. Ter
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan