Terlambat bagi Barra untuk mengajak istrinya menghindar. Lagipula kondisi hujan lebat yang membuatnya kesulitan untuk memgajak Delia menghindar dari sana."Mas, Mbak Mahika kenapa ada di sini? Apa dia hamil?" tanya Delia pada sang suami yang tengah menutup payung dan meletakkan di dekat pilar. Delia heran kenapa Mahika ada di dokter kandungan.Barra mengangguk. "Ya, Bu Mahika sudah menikah, Sayang." Tak mungkin menyangkal tidak, karena Delia tahu kalau mereka adalah rekan kerja. Kemudian Barra mengekori sang istri yang tergesa menghampiri Mahika. Satu hal yang masih jadi kebiasaan Delia semenjak kehamilan pertamanya. Yaitu suka sekali berjalan dengan langkah cepat. Barra terkadang hanya bisa menggelengkan kepala karena jengkel."Mbak Mahika," panggil Delia pada wanita yang tengah berbincang dengan asistennya. Mahika kaget saat menoleh dan melihat Delia sudah berdiri di sebelahnya. Pada saat yang bersamaan, Mahika menatap sejenak Barra yang berada di belakang sang istri. Lelaki itu me
Lelaki setengah baya itu menarik napas dalam-dalam sambil bersandar pada punggung kursi. "Dua hari yang lalu, Om bicara banyak dengan papamu. Sampai sekarang dia masih menyayangkan keputusanmu menikah dengan Johan.""Ya, meskipun diam. Aku tahu kalau papa masih belum bisa menerima. Padahal Johan sudah banyak berubah, Om. Aku juga sudah cerita banyak kan tentang apa yang terjadi dibalik peristiwa itu.""Papamu keras kepala, Ka. Juga tidak mau berkaca dengan apa yang telah ia perbuat di masa lalu.""Allah saja memberikan pengampunan pada manusia yang benar-benar bertaubat. Tapi sudahlah, itu hak papa untuk menentukan sikapnya.""Kamu yang sabar. Om support kamu, juga ada mamamu dan Marina yang selalu dukung kamu. Sikap papamu yang seperti itu karena sebenarnya dia sangat menyayangimu."Mahika mengangguk. Kemudian pamitan ingin membesuk Johan siang itu. Tidak sabar rasanya untuk segera memberitahu sang suami tentang jenis kelamin anak mereka.* * *Senyum bahagia jelas terlihat di bibir
Bayi cantik itu nyaman di gendongan sang papa. Tak henti Barra mengagumi duplikatnya dalam versi perempuan. Alisnya yang tebal, hidungnya, bentuk dagu dan matanya semua milik Barra. Benar kata Mei, karena jengkel setengah mati sama Barra di awal kehamilan, akhirnya si anak lahir persis seperti Barra dan hanya jenis kelaminnya yang sama seperti Delia."You're daddy's girl, baby," bisik Barra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah si cantik. Kebahagiaannya tidak bisa ia lukiskan dengan kata-kata. Delia hanya bisa berdecak lirih melihat ulah sang suami dan bayi kecilnya. "Barra, nggak usah bolak-balik kamu ciumi. Dia masih rentan banget itu," tegur Bu Diyah pada putranya. Geram juga sama sang anak yang asyik nguyel-nguyel bayinya."Sini, dibaringkan saja." Bu Diyah mengambil sang cucu dari gendongan Barra. Kemudian menidurkan di box bayi sebelah tempat tidur Delia."I love you. Mas mau pulang dulu ya. Mau jemput Riz," pamitnya pada sang istri. Tidak sungkan mengecup kening Delia, meski a
Mahika duduk di tepi pembaringan sambil menunggu telepon dari Aksara. Dari pantulan cermin lemari di hadapan, ia bisa melihat perubahan bentuk tubuhnya yang kian bulat berisi. Dada membusung, panggulnya membesar, dan lengannya sudah tak alang kepalang bentuknya. Berat badannya naik berkilo-kilo. Ia iri pada Delia yang baru saja melahirkan, tapi tubuhnya tetap ramping. Perutnya saja yang masih bergelambir. Tapi untuk pulih tak butuh waktu lama. Sebulan kemudian dijamin Delia sudah kembali seksi. Mahika jadi iri. Mungkin setelah dirinya bersalin nanti, butuh waktu lama untuk kembali melangsingkan diri. Seperti ketika setelah melahirkan Jelita dulu. Habis uang berapa saja untuk menunjang tubuhnya kembali ke bentuk semula. Di samping dia juga rajin berolahraga saat itu.Namun apapun perubahan tubuh, Mahika sangat menikmatinya. Dia lebih mengedepankan kebahagiaan untuk Johan dan dirinya sendiri. Ia yakin Johan tak akan mempermasalahkan dirinya yang berubah menjadi perempuan gemuk. Ponse
Barra dan Delia duduk berdua di atas ranjang setelah memastikan anak-anak tidur semua di temani Mak Ni. Delia terlihat masih dingin, sedangkan Barra tampak tak sabar ingin segera tahu apa yang sebenarnya terjadi."Apa yang Mas rahasiakan dariku?" tanya Delia menatap mata Barra yang dinaungi alis tebal."Rahasia apa? Mas nggak ngerahasiain apapun darimu." Barra tidak mengerti maksud pertanyaan istrinya."Yakin?" sahut Delia cepat."Sayang, Mas nggak paham." Barra bingung."Aku sudah tahu apa yang sebenarnya Mas ketahui selama ini. Aku tahu Mbak Mahika menikah dengan Johan. Mas, sudah tahu tapi menutupi itu semua, bahkan menjawab nggak ngerti setiap kali kutanya. Mas selalu bilang tidak tahu dan tidak tahu. Apa yang ingin Mas lindungi?"Sekarang Barra mengerti masalah itu yang menjadi puncak sikap dinginnya Delia. Ditariknya napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan istrinya."Mas nggak melindungi apapun. Kamu sedang hamil dan Mas harus tetap menjaga supaya emosimu stabil. Mas nggak
Sementara Delia yang kecewa, hanya berusaha untuk membuat dirinya kembali tenang. Ia paham posisi Barra. Ia mengerti dengan keprofesionalan yang berusaha di jaga suaminya. Namun ia juga tidak memungkiri kalau hatinya sangat kecewa. Apalagi merasa dibohongi apapun alasan Barra harus berbohong padanya.Kepergian Melia memang sudah takdir, tapi caranya pergi yang membuat Delia butuh beberapa tahun lagi untuk benar-benar bisa menghilangkan traumanya. Peristiwa kelam itu sampai kapanpun rasanya tidak akan pernah bisa ia lupakan. Namun pasti bisa ia terima dengan lapang dada tanpa trauma. Hanya butuh waktu untuk itu.Satu jam saling diam dan hanya dibatasi tembok. Akhirnya Barra bangkit dan membuka pintu ruang kerja perlahan lalu menghampiri Delia yang diam memejam. "Sayang, Fia nangis," ucapnya pelan.Tanpa memandang sang suami, Delia bangkit dan langsung naik ke kamar anak-anak. Sedangkan Barra kembali menunggu di sofa luar sambil menikmati suara derasnya hujan di luar.* * *Pagi yang di
"Sayang, kamu masih marah sama mas?" tanya Barra setelah mereka sampai di kamar. Saat itu Delia sedang membuka pintu kaca untuk mengambil baju ganti di walk in closet."Nggak," jawab Delia singkat. "Aku nggak akan lagi mencampuri urusanmu, Mas." Jawaban yang justru membuat Barra malah khawatir karena itu sudah menjadi bentuk respon ketidakpedulian. "Sayang, maafkan mas. Nggak ada maksud apapun dengan mas menyembunyikan semua ini. Tahu kan alasan Mas apa?""Aku nggak akan mempermasalahkan hal itu lagi. Itu hak kamu. Aku nggak akan ikut campur internal perusahaan, Mas. Aku tahu Mas profesional." Delia menatap sekilas lantas masuk kamar mandi.Bunyi kran menyala untuk beberapa lama. Di luar kamar Barra gelisah menunggu. Ia ingat apa yang di katakan oleh Samudra kemarin. Inilah kali pertama Barra curhat dengan kakak iparnya. Beruntung Samudra pria yang bijaksana. Mungkin sebenarnya juga kecewa, tapi dia bisa bersikap realistis dan berpikir secara logis. Sedangkan wajar kalau Delia selalu
Meski kecewa sama sang suami, tapi ia tidak akan mengabaikan kewajiban sebagai seorang istri. Tadi malam pun sebenarnya ia tahu bagaimana kelabakannya Barra, tapi ia memilih tidur karena belum bisa melayaninya."Nanti Mas susul ke dokter Yunita.""Nggak usah. Aku juga belum pasti ke sana jam berapa?""Nggak apa-apa nanti Mas tungguin di sana. Mas juga ingin tahu kamu punya keluhan apa," jawab Barra sambil meraih jam tangan untuk dipakainya. "Aku nggak punya keluhan apa-apa. Aku hanya butuh kontrasepsi supaya aku nggak hamil lagi dalam waktu dekat ini."Senyum modus Barra merekah. Baginya itu merupakan signal baik dari sang istri. Di dekatinya wanita yang tengah mengecek isi tasnya. Kemudian mengecup keningnya. "Mas tunggu di ruang makan!" Barra bergegas keluar kamar lebih dulu.Delia masih mematung menatap cermin. Untuk kesekian kalinya ia harus menepikan ego. Meski kecewa karena dibohongi, tapi alasan Barra cukup masuk akal untuk dimengerti. Dan dia harus menerima kenyataan yang sed