Barra dan Delia juga sempat tidur di rumah sewa milik Dani. Rumah minimalis modern yang hanya ada dua kamar, ruang tamu, dapur yang menyatu dengan meja makan. Hampir setiap rumah di sana memiliki alat penghangat ruangan. Rumah Dani juga dipenuhi oleh furnitur yang cantik dan karpet berwarna cerah.Delia suka memperhatikan rumah-rumah milik penduduk yang ditemui di sepanjang perjalanan mereka. Desain rumah yang gambarnya selama ini familiar digunakan untuk desktop PC, tablet, iPad, iPhone, android, atau menjadi gambar tampilan di kalender. Sekarang Delia melihatnya dengan nyata. Negeri kiwi itu bagaikan lukisan yang nyata."Besok kita stay di hotel saja, Mas. Lusa kita sudah menempuh perjalanan panjang," kata Delia sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya."Kamu capek."Delia menjawabnya dengan senyuman. "Kita bisa jalan-jalan di sekitar sky tower saja. Atau di dermaga lihat Yacht dan kapal pesiar.""Oke, Sayang," jawab Barra sambil mengeratkan rangkulannya.* * *Aksa berjalan terg
Suasana di rumah Pak Irawan sangat meriah malam itu. Mereka mengundang para kerabat dan tetangga untuk datang di acara tujuh bulanan kehamilan Diva. Lantunan doa sudah selesai. Sebab sejak pagi tadi juga ada acara khatam Al-Qur'an dan selesai jam tiga sore.Acara tujuh bulanan Diva berbeda dengan acara yang dilakukan oleh Delia setahun yang lalu. Tujuh bulanan untuk kehamilan Delia sangat sederhana. Hanya ada pengajian dan mengundang kerabat dekat saja. Tapi kali ini serangkaian adat Jawa sangat kental mewarnai acara Diva dan Samudra. Mereka mengadakan sungkeman, siraman, pecah telur, memutuskan janur, brojolan, pecah kelapa, ganti busana, dan jualan rujak.Wangi bunga menguar dari sisa air yang digunakan untuk mandi tadi. Samudra dan Diva telah berganti pakaian dan duduk di antara para kerabat. Tetangga sudah sudah pulang selesai acara. Sekarang mereka akan mengadakan gender reveal party di dalam ruang tamu. Balon dua warna menjadi icon jenis kelamin anak. Biru untuk anak laki-laki
Cintiara menghempaskan diri di atas pembaringan. Tubuhnya terasa remuk redam. Sudah lama dia tidak melakukan message di salon. Relaksasi dan segala pelayanan salon yang biasa ia lakukan sebulan sekali dengan tagihan yang dibayar oleh Barra. Fasilitas itu sekarang tidak dapat dinikmatinya. Yang tersisa sekarang hanya sesalan dan kebencian. Delia telah menghancurkan mimpinya. Namun ia pun tidak bisa berbuat apa-apa. Cinta Barra bukan untuknya lagi.Gadis itu bangkit dari pembaringan. Kemudian melangkah keluar rumah. Di seberang jalan sana ada seorang ibu-ibu yang biasa di mintai warga sekitar perumahan untuk memijat badan. Tubuhnya sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Terlebih beberapa hari ini badannya terasa meriang."Saya tunggu setengah jam lagi, Bu. Karena saya juga mau mandi dulu," ucapnya pada wanita yang menemuinya di teras rumah."Njih, Mbak."Baru saja memasuki halaman rumahnya kembali. Sebuah taksi berhenti di belakangnya. Siska turun dari sana dengan tampang yang kusut."M
"Kenapa, Pak Barra?" tanya Mahika heran."Saya menolaknya," jawab Barra tegas.Mahika terdiam kemudian memerhatikan profil gadis yang baru bekerja di perusahaan Omnya setengah tahun ini. Padahal dia bekerja sangat baik sejauh yang Mahika tahu."Dia staf kami, Pak Barra. Lumayan bisa di andalkan.""Sudah berapa lama dia kerja dengan Anda?""Setengah tahun ini.""Baru setengah tahun dan Bu Mahika sudah mempercayakan proyek ini padanya? Walaupun Mbak Mahika bilang nanti tetap dipantau oleh orang kepercayaan Pak Robby.""Pengalaman kerjanya banyak, Pak Barra. Dan dia lumayan handal menurut saya.""Tapi saya menolak. Lagian kenapa Bu Mahika mau mundur? Apa Ibu ingin kembali ke Jombang?""Nggak, Pak Barra.""Lantas ....""Saya akan menikah."Barra tersenyum. "Kabar baik ini. Tapi apa Bu Mahika ingin berhenti berkarir? Kenapa proyek yang sudah berjalan baik akan digantikan orang untuk mengawasi.""Nggak juga. Saya akan tetap bekerja." Entahlah, Mahika belum sanggup untuk menjelaskan. Dia mas
Delia masih diam di depan wastafel kamar mandi. Ada yang bergejolak dalam perutnya dan membuat mual. Hanya saja tidak bisa dimuntahkan. Barra dengan sabar mengusap punggungnya. Menemani sampai sang istri merasa nyaman. Barra mengambil satu tali rambut untuk mengikat rambut Delia. Pria itu membawa sang istri keluar kamar mandi dan duduk di tepi pembaringan. Memang semenjak pulang dari New Zealand, Delia sangat sibuk dengan pekerjaan. Istirahat juga kurang."Kamu perlu periksa. Kita ke tempat praktek Samudra sekarang," kata Barra sambil melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam."Biar Mas telepon Samudra dulu." Barra hendak meraih ponselnya di atas meja rias. Namun Delia menahan lengannya. "Nggak usah, Mas.""Kenapa? Kamu sakit dan pucet gitu. Kamu harus periksa.""Nggak usah," bantah Delia lagi dengan suara meninggi yang membuat Barra bingung dan menatap heran istrinya."Mak Ni bilang kamu juga nggak mau minum obat. Gimana bisa sembuh kalau seperti ini
Siska tampak terkejut bertemu Barra dan Delia. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang pias. Tanpa menyapa, wanita itu melangkah cepat meninggalkan mereka.Delia juga tidak peduli, perutnya yang mual makin terasa hendak muntah melihat wanita itu. Dia segera masuk mobil, begitu pula dengan Barra. Namun Barra penasaran, untuk apa Siska pergi ke dokter kandungan? Bukankah dia tidak memiliki suami?Mobil melaju pelan di tengah lalu lintas kota. Barra masih memikirkan hendak membawa sang istri makan di mana. Sedangkan Delia dengan wajah masam tidak sedikit pun memandang ke arah suaminya. Barra jadi tahu kenapa sepulangnya dari kantor kemarin, sang istri mematikan ponselnya. Ternyata dia tidak hanya kesal tapi marah padanya. Masyaallah, karena dihamili akhirnya dimarahi. Sepanjang perjalanan, mereka juga tidak membahas tentang Siska. Delia benar-benar telah berhenti untuk mengambil tahu tentang kehidupan perempuan mantan dari suaminya."Sayang, mau nggak makan ayam rica-rica di Cak Dasar?
Pria itu melangkah cepat ke arah Delia yang sedang membenahi kerah blouse yang dipakainya. "Sayang, kamu muntah lagi?" tanya Barra menjajari langkah istrinya.Delia mengangguk pelan. "Kita langsung pulang saja, ya.""Mas, habisin dulu makanannya.""Nggak usah, kita langsung pulang saja."Keduanya melangkah kembali ke tempat duduknya tadi. "Kamu kenapa, Delia? Keliatan pucat gitu," tanya Samudra yang khawatir melihat wajah pucat sang adik saat Delia menghampiri mereka."Masuk angin, Mas. Jadi aku mau pulang dulu ya." Delia meraih tasnya yang ada di atas tikar.Barra berpamitan juga pada iparnya, kemudian menggandeng tangan sang istri pergi dari sana.Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika mereka sampai di rumah. Sepi. Tentu Riz sudah tidur. Delia mengetuk pelan pintu kamar. Dia ingin melihat anaknya sebelum masuk ke dalam peraduannya sendiri."Riz tidur jam berapa, Mak," tanya Delia pada Mak Ni yang membuka pintu. Barra juga ikut masuk untuk melihat putranya yang ter
Malam yang dingin. Bediding sebutannya. Suhu yang teramat dingin di tengah musim kemarau. Biasanya akan berlangsung hingga bulan Agustus, di mana itu menjadi puncak musim kemarau.Barra meraih remote untuk mematikan AC. Kemudian membenahi selimut sang istri yang tidur meringkuk karena kedinginan. Dilihatnya jam dinding, sudah pukul tiga pagi.Delia bergerak merubah posisi tidurnya, meringkuk menghadap sang suami. Barra mengecup kening sang istri. "I love you," bisiknya. Tak ada balasan seperti biasanya. Kejengkelan masih merajalela di hati Delia. Jengkel karena dihamili oleh suaminya sendiri.Wanita itu menyibakkan selimut dengan cepat, lantas turun dan menuju kamar mandi. Di wastafel ia muntah lagi seperti hari sebelumnya. Barra menemani hingga selesai. Kemudian membopong istrinya kembali ke pembaringan. Mengambilkan segelas air hangat dari dispenser.Iba dan khawatir juga ia melihat Delia yang lemas dan pucat. Sangat berbeda antara kehamilan pertama dan kedua ini."Sayang, Mas ambi
Tangan Johan membingkai wajah sang anak. Mereka saling tatap dalam diam. Mata bening itu memandang sang ibu. Minta penjelasan, siapa pria yang bolak-balik menciuminya."Ini Bapaknya Ubed." Mahika bicara sambil tersenyum, meski hatinya menangis haru.Saat tangan Johan terulur untuk menggendong, Ubed tidak menolak. Meski masih kebingungan, bocah itu tidak memberontak meski diciumi bapaknya berulang kali.Mereka bertiga melepaskan rindu. Mahika juga mengabadikan momen pertemuan perdana itu dengan kamera ponselnya."Agustus ini aku dapat remisi, Ka," ucap Johan dengan mata berbinar."Alhamdulillah. Aksara sudah memberitahuku waktu dia baru pulang dari menjengukmu, Mas.""Ya, Alhamdulillah banget. Semoga segalanya dipermudahkan," kata Johan sambil mencium kening Mahika. Mahika juga menceritakan tentang kedua orang tuanya. Papanya ingin rujuk, tapi sang mama masih belum terbuka hatinya."Doakan saja semoga mereka bisa bersatu lagi," ucap Johan."Aamiin. Aku harap juga begitu, daripada hidu
"Mama sudah nyaman hidup seperti ini, Ka. Fokus ibadah saja sekarang," jawab wanita yang selama ini terbiasa dipanggil Bu Raul. Bahkan setelah bercerai pun para tetangga masih memanggilnya dengan sebutan itu. Wanita yang masih menampakkan gurat kecantikannya memandang sang anak yang duduk di sampingnya."Papa tampak bersungguh-sungguh, Ma." Mahika mencoba meyakinkan. Sebab tadi papanya sampai menangis mengutarakan penyesalannya. Meski Mahika pernah murka, tapi rasa iba untuk sang papa tetap ada."Papamu hanya lelah hidup sendiri nggak ada yang ngurusi. Berapa kali dia sudah mengkhianati mama. Selama ini mama diam pura-pura nggak tahu. Demi keutuhan rumah tangga ini. Mama pikir dia hanya bermain-main lalu kembali pulang. Nyatanya ada benihnya yang tumbuh di rahim wanita lain."Mahika senyap. Tidak mungkin akan memaksakan jika mamanya merasa tidak nyaman. Sang mama sendiri sebenarnya sudah tidak ingin mengingat hal menyakitkan itu lagi. Dia juga sudah bilang memaafkan perbuatan suaminya
Jam tiga mereka telah bersiap untuk berangkat. Mak Ni menggandeng Riz masuk mobil dan mendudukkan di car seat. Sedangkan Delia menggendong Fia. Samudra juga telah bersiap hendak mengajak keluarganya berakhir pekan di rumah mertuanya. Sudah lama mereka tidak menginap di sana. Tinggallah Pak Irawan dan Bu Hesti yang melambaikan tangan ke arah anak, menantu, dan cucunya yang bergerak pergi dengan kendaraan masing-masing. "Tahun depan, kita hanya tinggal berdua di rumah, Pa. Nira pasti ikut suaminya juga," kata Bu Hesti sambil memandang Pak Irawan."Iya. Sudah semestinya begitu, Ma. Tugas kita membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka bertemu jodohnya. Setelah itu kita harus ridho jika akhirnya harus berjauhan. Toh mereka juga bisa datang sewaktu-waktu. Kalau kita kangen sama cucu juga nggak jauh kalau ingin menemui." Pak Irawan menghibur istrinya sambil mengajak wanita yang telah mendampinginya puluhan tahun masuk ke dalam rumah.* * *Agustus merupakan puncak musim kemarau. Walau
Tiga bulan kemudian ....Rumah megah itu terlihat semarak di pagi yang cerah. Beberapa mobil terparkir di halaman depan rumah. Para kerabat dengan sabar duduk menunggu acara di mulai. Mereka berpakaian laiknya menghadiri sebuah acara resepsi.Hari itu memang acara lamarannya Xavier dan Nira. Di salah satu sudut dinding ada backdrop dengan nuansa putih berkombinasi kuning keemasan. Hiasan bunga hidup semerbak wangi memenuhi penjuru ruangan. Bunga yang terdiri dari mawar putih, mawar merah muda, melati, dan bunga peony kesukaan Nira. Warnanya beraneka macam di sana. Ada putih, merah, kuning, dan merah muda. Bunga yang melambangkan bentuk cinta, romansa, dan keindahan.Nira yang memakai kebaya warna tosca tampak duduk anggun di dampingi Delia dan Diva. Dua kakaknya itu kini berhijab rapi sudah dua bulan ini. Sepulang dari umroh, Bu Hesti mengajak dua anak perempuannya dan sang menantu untuk berhijab. Ajakan yang disambut baik oleh mereka. Tepat jam sembilan pagi beberapa mobil memasuki
Di tempat lain, Cintiara tidak bisa tidur karena harus menggendong keponakannya yang sejak tadi menangis. Bayi perempuan yang baru dilahirkan dua minggu yang lalu itu tidak mau di tidurkan di kasur.Sementara Siska tidak mau menyusui. Wanita itu memilih meringkuk memeluk guling. Tidak peduli."Tidurkan saja, nanti kamu capek dan besok kamu harus kerja," seloroh seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya Cintiara."Kasihan, Ma. Sebenarnya dia kehausan dan mau minum ASI.""Kasihkan saja susu yang kamu buat tadi.""Dia nggak mau," jawab Cintiara sambil terus menimang-nimang bayi tak berdosa itu.Kegagalan usaha Siska untuk menggugurkan kandungannya telah berakibat fatal pada bayinya. Kelopak matanya yang indah hanya bisa berkedip-kedip menatap lurus ke atas, tapi telinganya tidak bisa merespon suara apapun yang ada di sekitarnya. Tidak ada reflek kaget saat ada suara keras di dekatnya. Bahkan matanya tidak berkedip atau mengerutkan wajah seperti pada umumnya bayi yang terkejut.Cintia
Setiap pilihan pasti akan ada konsekuensinya. Dampak dari lingkungan, circle pertemanan, dan pekerjaan. Mahika juga harus siap jika muncul banyak pertanyaan saat anaknya masuk sekolah nanti. Sebelumnya semua itu sudah ia pikirkan secara detail. Perjalanannya pun tentu tidak akan mudah setelah ini. Namun ia yakin Ubaidillah akan tumbuh menjadi anak yang kuat.Mahika menyusut air mata kemudian melipat lagi kertas istimewa itu dan menyimpannya ke dalam tas. Dipandanginya bayi mungil yang terlelap di dalam kelambu. Lalu beralih melihat ke arah ponselnya yang berpendar. Ada pesan masuk dari Aisyah yang mengucapkan selamat atas kelahiran putranya, juga mengabari bahwa besok mereka akan datang sekeluarga untuk menengok Mahika dan anaknya.[Besok kami akan datang, Mbak. Anak-anak aku izinkan nggak masuk sekolah sehari, aku dan Mas Yuda juga akan libur. Ibu, Nur, dan anaknya juga akan ikut. Tapi suaminya nggak bisa ikut karena lagi tugas.]Buru-buru Mahika membalas pesan itu. Dia bahagia menun
Di dalam mobil, Barra menunggu Delia yang masih diam. Mereka sekarang sudah berada di parkiran rumah sakit. Parcel buah dan kado telah siap di bangku tengah. Tapi seandainya Delia berubah pikiran, Barra langsung mengajaknya pergi. "Ayo, kita turun, Mas!" ajak Delia pada akhirnya. Barra mengangguk dan langsung membuka pintu. Kemudian mengambilkan parcel dan kado yang tadi mereka beli dalam perjalanan. Pria itu tersenyum pada wanita cantik yang mengaitkan tangan di lengannya. Dengan senyuman, ia ingin menguatkan wanita hebat yang amat dicintainya.Mereka menaiki lift untuk ke lantai dua, di mana Mahika di rawat. Sayangnya tadi Delia tidak sempat mengabari Samudra kalau mau menjenguk Mahika. Kalau hari aktif kerja, pasti kakaknya itu ada di rumah sakit. Tapi hari Minggu begini, biasanya dia mengajak istri dan anaknya ke rumah mertua atau ke rumah orang tua mereka sendiri.Sekarang Barra dan Delia berdiri di depan kamar perawatan Mahika. Tampak di depan pintu ada beberapa pasang sandal.
Kebahagiaan menyelimuti Mahika dan Johan. Pria itu tidak sedetikpun beralih beralih dari anak dan istrinya. Baik keluarga Johan maupun Mahika memberikan ruang untuk pasangan suami istri itu menikmati kebersamaan yang tak lebih dari sehari semalam.Mereka juga tidak peduli dengan kasak kusuk di luar kamar karena status Johan yang masih menjadi narapidana. Tentu saja perbincangan itu bermula dari beberapa orang yang melihat Johan di antar oleh petugas rutan, kemudian diceritakan kepada pengunjung lainnya. Namun pihak rumah sakit juga sudah diberitahu sebelumnya. Samudra termasuk mengambil peran, memberikan masukan bahwa Johan tidaklah berbahaya.Johan sendiri hanya ingin memanfaatkan waktu bersama putranya tanpa peduli telah menjadi bahan pergunjingan."Mas, masih ingat dokter Samudra 'kan?" tanya Mahika saat keduanya makan buah apel. Mahika sudah bisa berjalan dan kini mereka duduk berhadapan. Johan duduk di kursi menghadap Mahika yang duduk di tempat tidurnya.Sementara Bu Hanum dan m
Matahari pagi terbit dari balik gunung di sebelah timur sana. Cuaca lumayan cerah setelah kemarin sore hujan deras mengguyur mayapada. Mahika berdiri di balkon apartemen sambil mencari sinar mentari pagi. Pertemuannya dengan Delia, Barra, dan Samudra beberapa minggu yang lalu masih ia pikirkan hingga sepagi ini. Sebenarnya apapun penerimaan dan pendapat mereka tentang dirinya dan Johan, tak menjadi masalah baginya. Mahika juga paham bagaimana perasaan keluarga Delia setelah terjadi kasus itu. Dirinya tidak bisa memaksa mereka untuk benar-benar tulus memaafkan. Namun Mahika berdoa supaya kelak, pintu maaf dengan keikhlasan dari keluarga besar Pak Irawan akan diberikan untuk Johan. Semoga mereka juga mengerti dan percaya bahwa kejadian itu ada andil besar teman-teman Johan.Mahika juga tidak bisa mengontrol pemikiran orang sesuai keinginannya. Tidak bisa. Apalagi untuk menyetir pemahaman orang lain tentang semua penjelasannya. Namun ia bisa mengontrol diri supaya menerima apapun pandan