Setelah berusaha cukup keras akhirnya Ardiaz berhasil membujuk sang istri untuk pulang ke rumah bersamanya. Walau sepanjang perjalanan Adinda hanya terus menangis dan tak mengatakan apa-apa. Ardiaz merasa tidak tega melihatnya. Walau dia sendiri masih kebingungan harus memberikan respon seperti apa atas kabar yang baru saja didengarnya.Ardiaz sangat terkejut mendengar berita kehamilan yang disampaikan Adinda. Seandainya janin itu adalah anaknya, maka pasti dia akan langsung sujud syukur karena bahagia. Tapi apa yang dia dengar justru membuat kecewa.Sebagaimana manusia normal pada umumnya, tentu Ardiaz tidak rela jika istrinya harus mengandung benih dari laki-laki lain. Tapi melihat kesedihan dan keputus asaan yang tampak jelas di wajah Adinda, rasanya dia tidak mampu mengutarakan keberatannya. Cintanya pada Adinda terlalu besar.Ardiaz tahu saat ini Adinda sedang terpukul. Kenyataan itu tidak hanya berat baginya tapi juga bagi Adinda. Dari pada menggugat masalah lebih jauh, Ardiaz m
Seorang laki-laki berbadan tinggi tegap dengan setelah jas yang begitu rapi memasuki loby rumah sakit. Kedatangannya telah menjadi pusat perhatian para petugas medis atau pun pengunjung yang ada di sana. Penampilannya saja mudah membuat orang menduga bahwa dia bukanlah golongan orang biasa.“Permisi. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang resepsionis saat dihampiri oleh laki-laki itu.“Beritahukan di mana kamar pasien atas nama Arrasya Alvarendra,” ujarnya.Sang resepsionis pun segera memberikan informasi yang diinginkan. Saat mengetahui yang akan dikunjungi adalah pasien VVIP, dia semakin yakin bahwa laki-laki itu bukanlah orang biasa dan dia tidak ingin sampai melakukan kesalahan.Setelah mendapatkan petunjuk tentang kamar Rasya, laki-laki itu pun pergi dengan langkah mengikuti arahan resepsionis. Dia adalah Reganza Aditama, kakak sepupu dari Rasya. Ayah Regan merupakan kakak dari ibunya Rasya.Tak berbeda dari Rasya yang bergelut dalam bidang bisnis, Regan pun telah menjadi C
Malam itu Ardiaz berhasil menenangkan istrinya walau dengan susah payah. Keesokan harinya, Adinda juga tidak masuk kerja dan mengajukan izin dengan alasan tidak enak badan. Dia tidak sepenuhnya berbohong karena memang sejak pagi dia sudah mual-mual dan muntah sampai beberapa kali.Adinda mengalami morning sickness yang biasa terjadi pada ibu hamil. Tubuhnya bahkan sampai terasa lemas. Pada saat seperti itu, Ardiaz juga tak kalah memainkan peran pentingnya sebagai seorang suami. Ardiaz tetap perhatian pada Adinda dan kandungannya walau tahu itu bukanlah anaknya.Ardiaz menunjukkan sikap siaga dan bertanggung jawab. Mulai dari memijat tengkuk sang istri, membuatkan teh hangat untuk mengurangi mual dan juga membawakan sarapan ke kamar. Perhatian Ardiaz membuat Adinda kembali mempertanyakan sikap sang suami.“Kenapa kamu sangat perhatian padahal kamu tahu dalam kandunganku ini adalah anak orang lain,” ujar Adinda yang sedang berbaring lemas di tempat tidur. Mendapat pertanyaan demikian, A
Kunjungan ke panti asuhan membuat Adinda menyadari satu hal penting. Sekarang dia tahu apa tujuan Ardiaz membawanya ke sana. Setelah keluar dari panti, ekspresi wajah Adinda berubah menjadi murung. Dia benar-benar tertampar dengan pelajaran yang dia dapatkan.“Kenapa, Din?” tanya Ardiaz saat mereka berdua sudah berada di dalam mobil. Dia memperhatikan Adinda yang terlihat bersedih.“Aku merasa tidak nyaman. Bagaimana bisa aku berkomentar buruk tentang ibunya Faraz sementara aku juga melakukan hal yang tidak jauh berbeda dari perempuan itu. Seperti dirinya, aku juga tidak menerima kehadiran anak ini dengan baik,” ungkap Adinda.Adinda sadar terlalu banyak keluh yang sudah dia utarakan atas kehamilan yang tak diharapkan. Perlahan dia mengusap perutnya yang masih rata. Dia mulai berpikir bagaimana perasaan sang bayi jika tahu bahwa kehadirannya tidak diinginkan.“Bukankah hubungan ibu dan anak sangat terikat? Katanya janin dalam kandungan bisa merasakan apa yang dirasakan oleh ibunya. Ak
Sikap Adinda kembali menjadi pendiam setelah pertemuan tak sengaja dengan Anifa. Dia tidak banyak memberikan penjelasan. Untung saja saat di mall Ardiaz langsung berinisiatif untuk mengalihkan topik dan mencairkan suasana. Namun tetap saja Adinda yakin pasti adik iparnya merasa curiga.Sekarang Adinda menjadi cemas. Dia berpikir bagaimana akan menghadapi keluarganya dengan berita kehamilan itu.“Bagaimana jika Anifa menceritakan kejadian hari ini pada ayah dan ibumu, Mas?” ujar Adinda setelah mereka tiba di rumah.“Memang apa masalahnya kalau Anifa memberitahu orang rumah?” balas Ardiaz justru merasa begitu santai. Sangat berbanding terbalik dengan Adinda yang terus gelisah.“Apalagi kau tahu sendiri bahwa mama dan papa memang sangat ingin segera mendapatkan cucu. Aku yakin mereka akan sangat bahagia jika mendengar kabar tentang kehamilanmu,” imbuh Ardiaz.“Tapi, Mas. Kamu tentu tidak lupa bahwa anak ini bukanlah anak kandungmu. Seharusnya aku tidak lupa bahwa ini bukan hanya tentang
Ardiaz menenangkan Adinda agar perdebatan mereka tidak terjadi di rumah orang tuanya. Sesungguhnya Ardiaz memang belum membicarakan lebih jauh dengan istrinya terkait resign kerja. Itu baru sebatas rencananya sendiri saja.Tapi dari respon Adinda, Ardiaz bisa melihat tampaknya sang istri tidak menyukai rencana itu. Ardiaz bisa mengerti bahwa Adinda sejak awal telah terbiasa menjadi wanita mandiri. Namun kondisinya yang sudah berbadan dua membuat Ardiaz berpikir akan lebih baik jika Adinda tidak terlalu terbebani dengan pekerjaan.Ardiaz pun memberi pengertian setelah mereka pulang. Bahkan tanpa menunggu Ardiaz menjelaskan, Adinda sudah lebih dulu melayangkan protes.“Apa maksud Mas Ardiaz mengatakan lebih baik aku berhenti kerja?” tanya Adinda.“Tenang dulu, Din. Ayo kita duduk dan bicarakan semuanya baik-baik,” ajak Ardiaz. Adinda pun menurut dan mereka berdiskusi di sofa ruang tamu.“Sebenarnya itu baru rencanaku saja. Aku hanya memikirkan kebaikanmu,” ujar Ardiaz memulai penjelasan
Pada dasarnya Alvia adalah perempuan yang memiliki empati tinggi. Dia turut prihatin mendengar masalah yang menimpa Adinda. Dia menunjukkan kepeduliannya dengan tidak membiarkan Adinda melakukan pemeriksaan kandungan sendirian.Alvia mengutarakan maksudnya untuk menemani Adinda. Adinda sempat menolak tapi Alvia juga tidak mau menurut.“Aku bisa menemui dokter sendirian,” kata Adinda.“Pokoknya aku akan ikut denganmu. Kalau kamu merasa tidak nyaman, bagaimana kalau kita gantian saja? Aku akan menemanimu melakukan pemeriksaan kandungan dan sebagai gantinya kamu harus menemaniku menjaga tunanganku, bagaimana?” tawar Alvia. Mau tidak mau Adinda akhirnya menyepakati hal itu.Alvia menemani Adinda menemui Dokter Sellia. Dokter mengatakan kondisi kandungannya cukup sehat walau tetap ibunya harus banyak istirahat. Berbeda dengan Adinda yang tampak biasa saja, Alvia justru sangat antusias selama proses pemeriksaan.Setelah keluar dari ruangan dokter dan ditanya oleh Adinda mengenai hal itu, Al
Setelah beberapa saat akhirnya Alvia datang bersama seorang dokter dan perawat. Alvia sempat menceritakan adegan yang baru saja terjadi, walau dokter tidak bisa turut menyaksikan langsung sebab genggaman tangan Rasya sudah lebih dulu dilepas oleh Adinda.Dokter pun memeriksa kondisi Rasya. Sementara itu Adinda melanjutkan niatnya untuk pergi dari sana. Dia berpamitan dan meninggalkan ruangan tanpa menunggu penjelasan dokter. Semakin lama berada di sana membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Alvia juga tidak mencegahnya.Lagi pula Adinda merasa tidak enak hati pada Alvia. Entah bagaimana perasaan Alvia saat mendengar tunangannya mengingau nama perempuan lain. Adinda tidak ingin keberadaannya di sana semakin memicu kesalah pahaman.Adinda berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit. Pikirannya masih sibuk mengingat apa yang terjadi pada Rasya. Adinda juga memperhatikan pergelangan tangannya yang merupakan bekas genggaman laki-laki itu.“Apa ini? Kenapa aku merasakan sesuatu yang berbed
Setibanya di rumah sakit, Adinda langsung menemui mertuanya. Hani dan Hairi cukup terkejut dengan kedatangan Adinda yang tiba-tiba. Apalagi mereka melihat Adinda kembali ditemani oleh Rasya. Ada perasaan tak suka yang Hani pendam dalam hatinya ketika melihat menantunya pergi bersama laki-laki lain.“Lho Adinda kok bisa datang ke sini? Sama Pak Ahyan?” sapa Hairi ketika Adinda menyalami mereka.“Iya, Pa. Adin ingin menjenguk Mas Ardiaz. Adin diantar teman,” jawab Adinda.“Bayimu bagaimana, Sayang? Maaf kami belum sempat menjenguknya sama sekali. Lagi pula seharusnya kamu tidak bepergian jauh dalam masa pemulihan seperti ini,” ujar Hani. Dia berusaha untuk menyampingkan rasa tidak sukanya pada Rasya.“Tidak masalah, Ma. Aku juga mengerti kondisinya. Bayiku aku tinggalkan bersama mama di rumah,” jawab Adinda.“Bagaimana keadaan Mas Ardiaz?” tanya Adinda langsung pada intinya.Adinda sudah mendengar semuanya dari penuturan Rasya. Tapi dia ingin mendengar jawaban langsung dari kedua mertua
“Apa kamu sama sekali tidak tahu tentang perkembangan kondisi Ardiaz?” tanya Rasya langsung disambut gelengan cepat oleh Adinda.“Maksudnya setiap hari saya memang mendapat kabar tentang Mas Ardiaz dari keluarga mertua saya. Tapi sejujurnya saya merasa ada yang aneh dan sedang mereka sembunyikan dari saya,” kata Adinda.Rasya tampak menghela napas sejenak. Dia sudah menebak jika pihak keluarga tidak memberitahu Adinda dengan jujur. Dia bisa maklum karena mungkin kondisi Adinda masih dalam proses pemulihan pasca melahirkan.“Jadi kamu tidak tahu kalau Ardiaz akan dipindahkan ke rumah sakit di luar negeri?”“Apa?” ujar Adinda jelas merasa syok. Dia tidak pernah mendengar apa pun tentang hal itu.Rasya mengerti kebingungan di wajah Adinda. Dia pun menjelaskan seperti informasi yang dia dapat dari orang suruhannya. Ardiaz sudah dioperasi berkali-kali namun belum juga menunjukkan perkembangan yang signifikan. Dokter di rumah sakit itu sudah angkat tangan dan memberi rujukan agar Ardiaz dip
“Mas Rasya pasti hanya bercanda. Semua itu tidak mungkin benar,” elak Adinda.“Saya serius, Adinda. Saya adalah ayah kandung dari bayi ini,” tegas Rasya. Dia sudah tahu bahwa Adinda tidak akan percaya begitu saja dengan perkataannya.“Tidak, Mas. Mohon maaf jika kesannya ini terlalu vulgar. Tapi saya tidak pernah tidur dengan Mas Rasya jadi bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi. Mengenai anak ini, mungkin Mas Rasya tahu dari Alvia kalau dia bukanlah anak kandung saya dengan Mas Ardiaz. Tapi saya tahu betul siapa laki-laki yang sudah menjebak dan menodai saya pada malam itu,” ucap Adinda dengan nada bergetar pada ujung kalimatnya. Hatinya masih terasa nyeri setiap kali mengingat malam naas yang dia alami.“Hotel Gardenia kamar nomor 304.”“Apa? Kenapa Mas Rasya bisa tahu tempat itu?” ujar Adinda dengan perasaan yang semakin melesak tak karuan.“Karena saya adalah pelakunya, Adinda. Saya yang sudah merenggut kesucianmu malam itu,” jawab Rasya mengakui segala rahasia dan beban yang se
Doa-doa keluarga dan orang tercinta seolah tak bekerja. Hari demi hari kondisi Ardiaz semakin memburuk dan menunjukkan penurunan. Orang tuanya khawatir berkepanjangan. Kondisi genting itu menyebabkan mereka tidak terlalu peduli pada Adinda dan bayinya yang baru saja dilahirkan.Perasaan Adinda pun tak jauh berbeda. Dia dan bayinya sudah dipulangkan dari rumah sakit. Tapi setiap hari pikirannya hanya tertuju pada Ardiaz. Dia sedikit mengalami kesulitan menghadapi peran sebagai ibu baru tanpa adanya sang suami di sisinya.Adinda sangat butuh dukungan. Hal itu membuatnya semakin merindukan Ardiaz. Untung saja Adinda pulang ke rumah orang tuanya sehingga ada ayah ibu yang membantunya bergantian mengurus si kecil. Bahkan anak itu belum juga diberi nama karena Adinda tetap teguh masih ingin menunggu Ardiaz.Adinda belum diizinkan pergi jauh untuk menjenguk Ardiaz secara langsung. Dia masih dalam proses pemulihan setelah melahirkan. Apalagi bayinya juga tidak bisa ditinggalkan dalam waktu ya
Adinda hanya saling pandangan Salma. Mereka cukup terkejut dengan permintaan Rasya yang ingin mengadzani anak pertama Adinda. Hening untuk beberapa saat. Tapi Salma langsung mengkondisikan situasi agar tidak terlalu canggung lebih lama.“Silahkan saja, Nak Rasya. Lagi pula di sini tidak ada laki-laki lain yang bisa mengadzani si kecil,” ujar Salma memperbolehkan. Rasya tampak tersenyum senang. Dia melakukan peran pertamanya sebagai ayah kandung si bayi walau dua perempuan di hadapannya sama sekali tidak mengetahui.Adinda turut mendengarkan lantunan adzan dari Rasya. Meski bacaannya juga tak semerdu dan sebagus Ardiaz. Hati Adinda kembali terasa pilu mengingat kondisi suaminya. Dia benar-benar melahirkan tanpa didampingi oleh Ardiaz.Hati Adinda sedih karena bukan Ardiaz yang pertama kali menggendong dan mengadzani anak mereka. Tapi semua itu justru dilakukan oleh orang lain yang menurut Adinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Sebenarnya Adinda merasa keberatan dengan izin yang diberi
Sudah tiga hari Adinda berada di rumah orang tuanya. Hampir setiap lima kali sehari dia menghubungi mertuanya untuk bertanya perkembangan kondisi Ardiaz. Dia terlalu fokus memikirkan kondisi suaminya hingga melupakan keadaannya sendiri yang sudah mendekati waktu persalinan.Hari itu rencananya orang tua Adinda akan pergi menjenguk Ardiaz sebab mereka memang belum berkunjung sama sekali. Lokasi rumah sakit yang masih termasuk daerah luar kota menyulitkan mereka untuk pulang pergi. Sebenarnya Adinda ingin ikut, tapi sejak pagi badannya terasa kurang sehat. Akhirnya dia pasrah tetap di rumah.Hanya Ahyan yang akan pergi ke sana. Sementara Salma akan tetap di rumah menemani putrinya. Mereka tidak bisa meninggalkan Adinda sendirian. Salma hanya menitipkan salam dan permohonan maafnya untuk keluarga besan.Sejak habis subuh Adinda merasa sakit pinggang. Salma yang tahu keadaan itu menduga sebagai tanda-tanda kelahiran yang semakin dekat. Dia pun sibuk memasak dan memaksa putrinya untuk mak
Setelah dari rumah sakit, Adinda terlebih dahulu pergi ke rumah yang dia tempati dengan Ardiaz. Dia mengambil barang-barangnya di sana untuk dibawa pindah sementara ke rumah orang tuanya. Anifa juga menemani dan membantunya berkemas. Sedangkan Rumini tampak kebingungan karena tidak tahu apa-apa.“Mas Ardiaz mengalami kecelakaan dan sekarang dia koma di rumah sakit,” tutur Adinda memberitahu. Terdengar Rumini mengucap istighfar dan ikut bersedih atas musibah yang menimpa majikannya.“Sementara waktu saya akan pulang ke rumah orang tua saya mengingat saya bisa melahirkan sewaktu-waktu. Bibi tolong tetap di sini dan jaga rumah ya,” pinta Adinda.“Lalu bagaimana dengan Mas Ardiaz, Non?” tanya Rumini.“Kondisi Mas Ardiaz tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke rumah sakit terdekat. Jadi Papa Hairi dan Mama Hani yang menjaganya di sana,” jelas Adinda.“Ya Allah…semoga Mas Ardiaz segera diberikan kesembuhan,” ucap Rumini mendoakan. Adinda dan Anifa mengamini dengan kompak.Setelah selesai me
“Ini tidak seperti yang mama pikirkan. Dia adalah Mas Rasya dan dia yang membantu mengantarku ke mari. Dia juga yang sudah menguruskan administrasi rumah sakit untuk Mas Ardiaz,” jelas Adinda tanpa diminta. Dia tidak ingin keluarga mertuanya salah paham mengenai kedekatannya dengan Rasya.“Mohon maaf, Tante. Apa yang dikatakan Adinda itu benar. Tadi saya hanya membantu,” timpal Rasya mengafirmasi. Namun tatapan Hani tetap tak bersahabat padanya.“Sudah, Ma. Harusnya kita berterima kasih pada Nak Rasya karena sudah membantu anak kita,” kata Hairi, ayah mertua Adinda.“Iya, Ma. Lagi pula Mbak Adin itu perempuan baik-baik. pikiran mama saja yang terlalu negatif. Sekarang yang terpenting adalah kondisi Mas Diaz,” imbuh Anifa yang juga ikut ke sana. Dia menyadarkan kembali tujuan kedatangan mereka ke rumah sakit. Setelah mendengarkan hal itu, Hani pun tidak lagi menaruh curiga pada menantu dan laki-laki yang menemaninya.“Bagaimana keadaan Ardiaz?” tanya Hani mengalihkan topik pembicaraan.
Adinda begitu terkejut saat mendapat kabar tentang kecelakaan yang menimpa suaminya. Seketika tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Dia pasti sudah terjatuh jika tidak ada Rasya yang langsung menopang tubuhnya.“Mbak Adinda kenapa?” tanya Rasya ikut panik. Saat itu Adinda juga tak menjawab apa-apa.“Kalau Mbak Adinda merasa tidak nyaman atau ada yang sakit biar saya antar ke ruang dokter. Kita periksa lagi ya?” tawar Rasya kebingungan sendiri. Adinda hanya diam dengan mata berkaca-kaca.“Suami saya mengalami kecelakaan,” tutur Adinda lemah.Rasya ikut terkejut mendengar kabar buruk itu. Sekarang dia mengerti apa yang membuat Adinda merasa bersedih seketika. Namun dia juga tidak pandai cara menghibur dalam situasi seperti itu.Perlahan Adinda menegakkan tubuhnya kembali. Rasya yang cukup sadar diri juga langsung menarik pegangan tangannya yang tadinya merengkuh Adinda. Kepanikan dan rasa takut masih tergambar jelas di wajah perempuan itu.“Apa yang akan Mbak Adinda lakukan sekarang?” tany