Hari itu Mira benar-benar kelelahan, sehingga dia memutuskan istirahat seharian di apartemennya, padahal dia rencananya akan berbelanja pakaian bersama Leo. Kondisinya yang sedang hamil muda membuatnya sering muntah dan tidak enak badan.
"Sebaiknya kau istirahat saja, biarkan aku saja yang membelikan pakaian dan keperluanmu," ujar Leo setelah melihat kondisi Mira."Tidak perlu, Leo. Nanti merepotkan mu. Setelah aku sembuh, aku akan membeli semua keperluanku." Mira merasa sungkan selalu merepotkan pria ini."Sebaiknya mulai sekarang kau tidak usah mengatakan seperti itu, karena berani datang padaku, kau harus menerima resikonya, kau harus menerima semua pemberianku dan menerima jika aku mengatur semua kebutuhanmu," ujar Leo dengan arogan.Mira mengatupkan bibirnya mendengar perkataan lelaki itu, dia melihat sisi lain dari seorang Leo. Jika seperti ini, Leo tampak mirip dengan Hendri, apakah semua pria di keluarga Kusuma selalu bersikap demikian? Ya, mungkin saja, Meraka kan memiliki gen turunan yang sama, dididik dan dibesarkan di keluarga yang sama."Okelah ...." Akhirnya Mira menyerah pada sikapnya yang selalu tidak enakkan."Di rumah saja, ya. Nanti akan datang seorang pembantu paruh waktu ke sini," ujar Leo, sambil berlalu menuju pintu ke luar.Setelah Leo pergi, Mira hanya berbaring di sofa sambil menonton acara televisi, namun tak berapa lama dia segera mematikan televisi itu, dia merasa sia-sia menonton semua acara televisi namun tak mengerti bahasa mereka. Mira berpikir, dia akan tinggal cukup lama di sini, dia harus bisa menguasai bahasanya. Segera diambil ponselnya dan mencari aplikasi bahasa Jerman. Dia membaca masih dengan ejaan Indonesia, sebenarnya apasih lafaz dari kata-kata itu? Ting tong ....Tiba-tiba bel pintu dipencet seseorang dari luar, Mira segera menghampiri pintu dan mengintipnya dari sebuah lobang kecil dilapisi kaca di pintu. Tampak seorang wanita paruh baya berbadan tambun berdiri di sana, siapa ya? Mira segera membuka pintu tersebut."Halo, selamat siang, Nona. Saya Marni, pelayan baru anda," kata wanita itu dengan bahasa Inggris yang fasih."Marni? Apakah kau orang Indonesia?" tanya Mira antusias dengan bahasa Indonesia setelah mendengar wanita itu menyebut namanya yang khas asli Indonesia."Ah, benar, Nona. Saya dari Indonesia, senang sekali bisa bertemu dengan anda," ucap Marni berbinar senang, seolah menemukan keluarganya.Ya, bagi perantauan apalagi di negeri orang, bertemu dengan orang berkebangsaan yang sama bahagia sekali rasanya, mereka akan segera akrab serasa keluarga sendiri, menanggung beban bersama, senasib sepenanggungan."Ah, Bibi Marni, aku sangat senang bertemu denganmu, sehingga aku tidak perlu bicara dengan pelayanku sendiri memakai bahasa asing. Aku Mira, ceritakan padaku, bagaimana kau bisa menjadi pelayan internasional seperti ini." Mira menggandeng tangan Bibi Marni ke sofa mengajak bercengkrama di sana."Saya ke negeri ini dibawa oleh Den Leo dari Indonesia, Non. Dulu saya pelayan di rumah beliau ketika Den Leo masih SMA. Terus ketika dia kuliah di Amerika sampai sekarang saya mengikuti beliau terus," ujar Bibi Marni."Oh, ya ... Terus kenapa Bibi bekerja untukku juga? Apakah Leo yang menyuruhmu?" "Benar, Non. Den Leo menyuruh saya menjadi pelayan paruh waktu di rumah Non, sisanya saya akan menjadi pelayannya.""Memangnya Bibi nggak capek kerja di dua tempat?""Sama sekali nggak, Non. Kan rumah Non Mira cuma lima langkah dari rumah Den Leo, lagipula, hanya melayani keperluan bujang satu itu pekerjaannya sangat ringan sekali, Non Mira tidak perlu kuatir.""Baiklah, Bik. Apakah Leo membayar Bibi untuk bekerja di rumah saya?" "Ya tentu saja dong, Non. Mana mungkin orang tajir melintir kayak Den Leo tidak membayar saya lebih," ujar Marni terkekeh."Oya, Bik. Jangan memanggil saya Nona, saya calon seorang ibu, jadi kayaknya nggak cocok aja panggilannya.""Jadi, Non Mira lagi hamil? Kenapa Non Mira gak meminta Den Leo untuk menikahi Non? Kenapa kalian harus pisah rumah? Kalau kalian tinggal bersama kan, Bibi juga ringan kerjanya, biarlah tidak dibayar double, yang penting melihat Non Mira dan Den Leo hidup bahagia, saya juga ikut bahagia."Mira tertawa ngakak mendengar perkataan Bibi Marni yang panjang lebar, Bibi Marni benar-benar menyangka jika anak dalam kandungan Mira ada hubungannya dengan Leo. "Bibi Marni, Aku tidak ada hubungan perasaan dengan Leo, anak dalam kandunganku ini adalah anak kakaknya Leo, aku adalah kakak iparnya, maksudku mantan kakak iparnya, aku sudah bercerai dengan kakaknya, sekarang Leo ingin mengurusku demi keponakan dalam kandunganku." "Oh, kakak Den Leo? Saya hanya tahu kakak Den Leo itu adalah Den Hendri.""Ya, itu ... Kakaknya Leo kan cuma Hendri," ujar Mira sambil nyengir Kuda."Ya ampun, sekarang non Mira gak usah memikirkan yang tidak-tidak, Non Mira sedang hamil, Bibi yang akan merawat Non Mira" ujar wanita paruh baya itu tersenyum simpati pada Mira."Bibi Mirna, senang sekali ada Bibi di sini." Mira sangat bersyukur dengan kehadiran Marni di sisinya, keputusannya kabur ke tempat Leo sangatlah tepat. Di sini Mira merasa tinggal di negeri sendiri, dengan kehadiran Bibi Marni, dia tidak merasa kesepian lagi.*****Sore hari Leo datang membawa banyak barang, paper bag berisi berbagai jenis pakaian dijinjingnya dengan tangan kanan, dan kantong-kantong sebelah kiri membawa berbagai macam sabun dan kosmetik."Leo, kau belanja banyak sekali!" pekik Mira setelah melihat Leo."Ini belum semua kubeli Kakak Ipar, aku lupa membelikanmu sepatu dan sandal, besok akan aku belikan lagi," ujar lelaki itu."Baiklah, kalau kau mau membelinya aku ikut ya, aku sekalian ingin jalan-jalan." "Apakah kondisimu sudah baikan?" "Iya, tadi Bibi Marni membuatkan aku sup daging yang segar sekali, aku jadi lahap makan. Dia juga membuatkan aku wedang jahe sehingga mual-mualku berkurang," ujar Mira dengan mata berbinar."O, syukurlah kalau begitu. Kau harus terus sehat demi anakmu.""Leo ....""Ya." Bulu mata Leo berkibar memandang Mira."Terima kasih kau mengirim Bibi Marni ke sini," ujar Mira dengan pandangan tulus. "Ya, besok aku jemput. Aku pergi dulu," ujar Leo berjalan ke arah pintu keluar dengan acuh tak acuh.Mira menatap punggung laki-laki itu hingga menghilang di balik pintu, cara berjalan Leo mengingatkannya pada Hendri, postur mereka hampir sama, hanya saja tubuh Hendri lebih kekar dan berotot. Wajah merekapun memiliki kemiripan, hanya saja sorot mata Leo sedikit kalem dan murah senyum, tidak seperti Hendri yang memiliki sorot mata tajam dan bibir lelaki itu selalu mengatup, jarang tersenyum memperlihatkan muka sangar dan dingin. Namun Mira sangat terpukau ketik melihat pertama kali lelaki itu tersenyum bahkan tertawa, memperlihatkan sederet giginya yang tersusun rapi, di pipi sebelah kanannya ada lesung pipi yang manis. Waktu itu Mira pulang kerja motornya mogok dan dia kehujanan, terpaksa dia mendorong motor itu ke bengkel, tiba-tiba ada mobil berhenti mendadak di sampingnya, Hendri muncul dari jendela."Kenapa motormu?" tanya Hendri."Mogok," jawab Mira singkat."Masuklah, biar kuantar pulang, hari sudah malam dan hujan pula." Hendri membuka pintu mobil menyuruh Mira masuk."Tidak, terima kasih," jawab Mira sambil melangkahkan kakinya kembali."Perempuan itu bahaya pulang malam-malam, apalagi jalan kaki seperti ini." Hendri menghentikan jalannya dengan mencekal lengannya."Apa peduli anda, Pak." Mira masih memperlihatkan muka juteknya."Kubilang masuk."Hendri benar-benar memaksa tetapi wanita di depannya sepertinya tidak takut sama sekali kepadanya, bahkan gadis itu cenderung melawan. Hendri memicingkan mata geram, baru kali ini ada seorang wanita yang berani meninggikan suara di hadapannya, apakah gadis ini mau cari mati?"Kalau aku masuk terus motor aku gimana? Dibiarkan di sini?" Suara Mira meninggi, benar-benar tidak senang dengan ucapan lelaki itu."Parmin, bawa motornya ke bengkel. Biar saya bawa mobil sendiri!" perintah Hendri kepada supirnya."Baik, Pak." Supir itu patuh pada Hendri.Huh, kasian supir itu, paling tidak ada pilihan, gerutu Mira dalam hati."Ayo masuk," ujar Hendri membuka pintu depan.Tetapi Mira malah masuk ke tempat duduk di belakang."Benar-benar gadis ini ya, selalu membuatku emosi," gumam Hendri. Hendri segera menyeret Mira yang berada di bangku belakang mendorongnya ke kursi di sebelah pengemudi."Kau duduk di belakang, kau anggap aku supirmu?" hardik Hendri."Apalagi, sih? Aku kan sudah masuk ke mobilmu!" pekik Mira yang merasa tidak senang di seret oleh Hendri."Aduh! Augh!"Ketika Hendri akan berjalan, Mira memekik kesakitan. Hendri pun mengurungkan kakinya, terlihat Mira memegangi rambut panjangnya yang di urai, tangan satunya memegang kepalanya. Rupanya ada beberapa helai rambut yang menyangkut di kancing kemeja Hendri."Pak, jangan bergerak, Pak. Sakit nih."Mira bangkit berdiri, berusaha melepaskan rambutnya yang sudah tergulung kusut di kancing kemeja Hendri. Hendri hanya diam saja, berdiri sangat dekat dengan gadis itu, membuat jantungnya berdetak lebih kencang, Mira yang sudah kedinginan karena kehujanan, tangannya gemetar menguraikan simpul sembarangan yang di bentuk rambutnya, tetapi yang paling membuatnya gemetar adalah posisi berdirinya sekarang, dekat dan menempel di tubuh lelaki itu. Sehingga dia kesulitan melepaskan rambutnya, jalinan rambutnya malah semakin kusut.Mencium aroma shampo di rambut gadis itu membuat Hendri tidak tahan untuk tidak menghirup aroma rambut gadis itu, posisi Mira yang menundukkan kepala, membuat lelaki itu bebas menghirup aroma shampo itu bahkan mencium rambut gadis itu."Sudah belum? Kok lama sekali?" tanya Hendri kemudian setelah beberapa menit kemudian tetapi rambut gadis itu belum juga terbebas dari jeratan kancing Hendri."Belum, Pak. Ini susah," jawab Mira."Kalau susah, digunting saja," ujar Hendri kemudian."Digunting? Bapak pengen membuat rambut saya botak?" sembur Mira, bahkan air ludahnya sampai muncrat ke muka Hendri, sehingga lelaki itu harus mengelap mukanya dengan tangan beberapa kali."Ha ... Ha ...." Hendri tidak kuasa menahan tawa mendengar ketolonan hakiki gadis ini."Hei, bego! Ini cuma sebagian kecil rambut kamu, kok sampai kepikiran kalau rambutnya sampai botak, sih?" ucap Hendri masih ada sisa tawa di sana.Mira terpana melihat senyum dan tawa lelaki itu dari jarak yang sangat dekat. Dia menatap lesung pipi pria ini yang terlihat sangat manis. Tanpa dia sadari Hendri sudah mematahkan rambutnya dari kancing kemejanya, sehingga masih tertinggal di kancingnya rambut patah yang cukup banyak."Ayo masuk mobil, jangan cuma bengong saja." Hendri menepuk pipi Mira dengan pelan menyadarkan gadis itu yang terpesona padanya."Ha! Oh ... Rambutku, kok dipatahin, Pak! Padahal saya memanjangkannya selama bertahun-tahun," keluh Mira."Gak usah lebai, nanti juga bakal tumbuh lagi," ujar Hendri ketus, sepertinya lelaki itu kembali lagi menjadi batu es.Sarah datang lagi mengunjungi Hendri di kantornya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Walaupun ketika Mira masih di sini, wanita itu akan bebas melenggang menemui Hendri di kantornya. Sudah menjadi rahasia umum bagi karyawan di kantor Hendriyanto jika Sarah mutlak menjadi penyebab keretakan rumah tangga bosnya. Para karyawan di kantor ini telah menjadi saksi bagaimana kisah cinta antara bos dan karyawan ini, bagaimana bos mereka mengejar Mira dengan menyingkirkan rasa malu dan meruntuhkan keegoannya.Awal pertemuan mereka sebenarnya bencana yang tidak disengaja bagi Mira. Sudah satu tahun menganggur setelah lulus kuliah, dan berjibaku mencari kerja, mengesampingkan rasa malu setiap saudara atau tetangga akan menanyakan, kerja di mana? Berpendidikan tinggi-tinggi akhirnya nganggur juga. Pada awalnya Mira tidak menggubris cemoohan yang tertuju padanya, namun sejak ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal, Mira terpacu mencari kerja menggantikan ayahnya mencari nafkah. Hari itu Mira be
Mira berkunjung ke apartemen Leo di sore hari. Tujuannya sebenarnya mencari bibi Marni, dia selalu merasa pusing, sehingga tidak selera makan. Dia ingin bibi Marni memijit punggungnya yang sakit. Leo tidak masalah jika Mira selalu berkunjung, lelaki itu justru gembira dengan kedatangannya. Saat Mira berkunjung ternyata Leo sedang makan malam sendirian. Melihat apartemen Leo, Mira begitu terpukau, ternyata ruangannya lebih luas dari apartemennya, memiliki tiga kamar namun dua kamar berada di ruang atas. Di bawah tangga dijadikan rak buku yang berjajar rapi, membuat Mira benar-benar terkesan, Leo memang seorang pembelajar yang pintar."Apartemenmu ternyata tingkat, ya?" seru Mira membuka obrolan di ruang makan."Ya," jawab Leo singkat sambil menyuap makanan."Aku akan sering ke mari untuk membaca semua koleksi bukumu, ada buku-buku novel tidak?" tanya Mira antusias."Sayangnya tidak, buku itu semua buku non fiksi," ujar Leo."Dari buku sebanyak ini gak ada buku novel? Ah, sayang sekali
Tiga bulan sudah Mira berada di negeri Adolf Hitler ini, musim gugur telah tiba, membuat daun maple berserak di setiap sudut jalan. Mira sedikit was-was karena nanti dia akan melahirkan ketika musim dingin datang. Dia sudah menyiapkan sebuah nama untuk putrinya kelak yang berhubungan dengan musim dingin. Salju, winter, mantel? Mira tersenyum geli jika membayangkan itu semua, tetapi jika mengingat Leo ada di sini, rasa cemasnya sedikit berkurang.Malam hari Mira akan mengajak Leo makan malam bersama, makan masakan rumahan yang dibuat Bibi Marni sudah cukup, dia juga tidak tahan dengan udara dingin di luar."Kau akan pergi?" tanya Mira setelah melihat Leo sudah bersiap dengan mantel abu-abunya dan mengenakan sepatu kulit."Ya.""Padahal aku ingin makan malam bersamamu," keluh Mira."Kalau begitu ikutlah denganku, di sana juga ada acara makan-makan," ajak Leo."Acara apa? Memangnya boleh ngajak orang lain?""Terbuka untuk umum. Sebaiknya segera pakailah mantelmu, jangan lupa memakai syal
Hubungan Mira dan Zahira semakin berkembang dan akrab. Mira sudah berbagi semua masalah pada Zahira, tidak ada yang perlu ditutupinya lagi. Berbagi masalah dengan seorang sahabat membuatnya begitu lega, Zahira begitu perhatian sehingga hari-hari Mira lebih bahagia dan semangat. Leo sudah mendaftarkan Mira di program Megister, minggu depan Mira sudah bersiap mengikuti perkuliahan. Mira dan Zahira selalu menghabiskan waktu di akhir pekan atau saat-saat tertentu. Mengingat jarak flat Zahira dan apartemen Mira yang agak jauh, Mira segera menemui Leo pada sore hari. "Leo, aku meminta ijin agar Zahira dapat tinggal bersamaku, aku butuh seorang teman, lagipupa apartemenku memiliki dua kamar kosong. Boleh ya?" "Apakah kau bahagia jika Zahira bersamamu?" "Tentu saja, Zahira sahabat yang baik, dia juga wanita yang cerdas, dia bisa menularkan energi positif untukku," jawab Mira. "Baiklah, yang penting kau senang." Mira bahagia sekali, dia segera memberitahu Zahira, awalnya Zahira meno
Zachary selesai menyerahkan proposal desertasinya kepada profesor Zigler. Di lorong kampus dia bertemu Leo, lelaki itu tampak tampan dengan mantel abu-abu silver. Segera Zachary menghampiri Leo."Assalamualaikum, Brother.""Walaikumsalam, Ustaz Zachary.""Bagaimana, jadi ikut kajian nanti malam? Syekh Salman nanti yang akan mengisi materinya," ujar Zachary mensejajari langkah Leo."Insyaallah, Ustaz. Kenapa bukan Ustaz yang mengisi kajiannya?" "Saya tidak bisa datang awal, saya ada penelitian, saya akan mengisi kajian besok sore untuk para akhwat," ucap Zachary.Leo sekarang sedang semangat mengikuti kajian. Dia juga sering bertemu dan mengajak diskusi Zachary seputar keagamaan terutama ilmu fiqih dan muamalah. Sebagai lulusan magister ilmu kajian Dakwah universitas Madinah, Zachary memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni."Ustaz, aku memiliki kasus, apakah kau bisa membantuku?" ucap Leo."Tentu, jika bisa aku pasti membantumu.""Sepupuku seorang pria di Jakarta, memiliki kakak laki-l
Sepulang berbelanja, hati Mira menjadi murung. Zahira sengaja membuatkan susu hamil sebelum mereka beranjak untuk istirahat. Awalnya Mira tidak selera untuk meminumnya, namun setelah dibujuk Zahira dengan alasan anak dalam kandungannya dia meminumnya."Zahira, tidurlah bersamaku. Suasana hatiku sedang tidak baik." Zahira dengan senang hati mengabulkan permintaan Mira. Dia tidak akan mengabaikan temannya dalam kondisi hamil dan lemah. Zahira tahu, temannya itu tidak baik-baik saja. Siapa yang akan baik, dalam kondisi hamil diabaikan oleh suaminya."Ayo tidurlah, hari sudah malam," kata Zahira setelah melihat Mira tidak juga memejamkan mata, padahal malam sudah begitu larut."Aku tidak bisa tidur Zahira, akhir-akhir ini banyak kejadian yang mengingatkan aku pada Hendri." Mira menghembuskan napasnya kasar."Untuk apa lagi kau mengingat laki-laki brengsek itu, sudahlah lupakan dia. Kau mengingatnya sampai tidak bisa tidur, di sana lelaki itu setiap malam tidur di pelukan wanita lain. Kua
Hendriyanto pulang bekerja sudah jam sepuluh malam, akhir-akhir ini dia menjadi workaholic, dia tidak memikirkan hal lain selain kerja, kerja dan kerja. Sesampai di rumah, dia dikejutkan kehadiran Sarah yang menunggunya di sofa ruang tamu, senyuman Sarah yang begitu menggoda membuat Hendriyanto tertegun, dia sudah beberapa Minggu tidak menemui wanita itu."Baru pulang, Mas?" sapa Sarah dengan suara yang menggoda, dia menyingsingkan gaun malamnya yang sebatas lutut."Kau, ke sini? Kenapa bisa masuk?" tanya Hendriyanto keheranan."Mas Hendri ... Aku sudah menjadi kekasihmu kembali sudah setengah tahun, kau dengan suka rela memberi kode akses apartemenmu, masak kau lupa," ucap Sarah sambil menghampiri Hendriyanto yang tengah melepaskan jasnya, wanita itu membantunya."Oya, kapan? Aku kok gak ingat," ujar Hendriyanto masih merasa heran.Sarah hanya mendengus lemah, dia juga membantu Hendriyanto melepaskan dasi dan sepatu lelaki itu, dia tidak menanggapi ucapan Hendriyanto, Sarah menyadari
Kehamilan Mira sudah memasuki sembilan bulan, karena kehamilan pertama dia mulai cemas. Mira tidak tidur dengan nyenyak, kesulitan untuk menggerakkan tubuhnya. Kecemasannya kadang berlebihan, dia selalu membayangkan bagaimana sakitnya melahirkan, seandainya dia memiliki suami yang peduli mungkin kecemasannnya akan sedikit berkurang. Hari sudah menunjukkan jam dua dini hari, namun Mira tak juga bisa memejamkan matanya, dia bermaksud ke kamar Zahira agar dia merasa sedikit tenang, seandainya tiba-tiba Mira akan melahirkan ada seseorang di sisinya.Ternyata pintu kamar Zahira tidak terkunci, lampu kamarnya juga dalam keadaan menyala. Mungkinkah Zahira masih terjaga tengah malam begini? Mira segera masuk ke kamar Zahira tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, takut mengganggu atau membangunkan gadis itu. Terdengar suara Isak tangis, membuat Mira sedikit terkejut. Terlihat Zahira tengah terpekur di atas sajadah, berdoa dengan sangat khusuk. Bahu gadis itu tampak terguncang, bahkan suara Isak
Edi menemani Hendriyanto ke dokter Pamungkas, klinik mereka ada di lantai satu, Edi memang selalu mengikuti Hendriyanto kontrol, karena segala jenis surat menyurat dan tagihan rumah sakit Edi yang mengurusnya. Ketika mereka selesai pemeriksaan, dokter mengambil sperma Hendriyanto dan akan mengeceknya di labolatorium, hasil kemarin tidak ada masalah pada kesuburan lelaki itu, tetapi kenapa kejantanannya tidak bisa ereksi? Ketika keluar dari ruang dokter, tidak sengaja melihat Mira yang akan menuju ke kasir pembayaran, mata Mira memicing menatap lelaki yang masih jadi suaminya itu keluar dari ruang praktek dokter andrologi. Hendri yang melihat Mira tentu mendengus kesal, dari tadi ditungguin kenapa wanita ini malah berada di sini. Ditelpon tidak diangkat, di kirimi pesan juga tidak dibalas, boro-boro dibalas, dibaca saja tidak. "Mas Hendri, kenapa kau keluar dari ruang praktek dokter andrologi? Apa anu-mu bermasalah?" Wajah Hendri langsung menegang mendengar pertanyaan Mira, sedangk
Sementara Hendriyanto sudah semangat empat lima ingin menjemput Mira. Dia memarkirkan kendaraannya di tempat Mira tadi memarkirkan mobilnya. Namun Hendriyanto tidak melihat keberadaan mobil wanita itu, apakah sudah dibawa oleh temannya? Waktu sudah menunjukkan jam satu lewat lima belas menit, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan wanita yang ditunggunya. Hendriyanto keluar dari mobil, berdiri mondar-mandir dengan gelisah. Apakah wanita itu sengaja mangkir dari pertemuannya? Hendriyanto menunggu selama sepuluh menit lagi, tetapi masih juga Mira tidak muncul, lelaki itu semakin tidak sabar. Lelaki itu langsung saja berjalan menuju ke kantor dosen, untuk mencari Mira. Sampai di kantor dosen, Hendriyanto bertanya pada seseorang yang ditemuinya, orang itu menunjukkan di mana letak kantor Mira, ketika dia menuju kantor Mira, di lorong dia bertemu dengan Jovan, Hendriyanto hapal betul jika lelaki itu bersama Mira waktu pesta itu. "Maaf, permisi ... Apa anda kenal Mirayanti, dosen di sini
"Halo, Cantik. Bagaimana keadaanmu sekarang?" sapa dokter itu dengan ramah. Mira menoleh ke sumber suara, tetapi matanya membelalak melihat siapa yang datang."Hasbi?" "Astaga! Mira?"Dokter Hasbi juga terkejut melihat teman lamanya berada di hadapannya, empat tahun tidak bertemu, tentu saja Hasbi sangat penasaran dengan kabar temannya yang dia bantu melarikan diri dari suaminya."Mira, jadi ini anakmu yang itu?" Hasbi mendekati Mira dengan senyum mengembang."Iya, yang kau bantu dulu.""Ternyata waktu cepat sekali berlalu, kau sudah besar, Nak." Hasbi mengelus kepala Winter yang kini dibalut oleh kain kasa."Halo, Sayang. Om ini teman Mama kamu, namamu Winter, bukan?" sapa Hasbi pada anak kecil di hadapannya."Jadi Om dokter temannya Mama Wintel?""Iya, senang banget melihatmu tumbuh besar dan sehat seperti ini.""Tapi aku cekalang lagi gak sehat, Om? Ini kepala aku cakit," ujar Winter membuat Hasbi tertawa, benar juga dia kan lagi sakit."Mira, bagaimana kabar kamu? Setelah melari
"Siapa Winter?" Hendri memang sungguh kepo dengan anak itu, bagaimanapun dia sudah melihat anak itu tadi, sikapnya yang terkesan dingin kepada Mira sesungguhnya hanya menutupi perasaannya yang menggebu dan penasaran dengan kehidupan istrinya sekarang ini. "Itu ... Winter, Winter itu anaknya Zahira. Zahira temanku satu rumah, kami sudah tinggal serumah sejak di Jerman, dia sudah seperti saudariku sendiri." "Oh? Ya, sudah. Nanti kita jemput bersama, bye ... Sampai jumpa nanti siang." Mira hanya terperangah melihat lelaki itu berlalu dari parkiran dengan berjalan tegap. Bahunya yang lebar dan tubuhnya yang jangkung sungguh mempesona terlihat dari belakang, kulitnya yang dulu putih, kini terlihat kecoklatan, justru menambah aura maskulin lelaki itu. Mira tersenyum licik, yah ... Begitu terus Hendri, memang tujuanku begitu. 'Aku harus bersikap sok jual mahal terus, kalau perlu judes dan acuh tak acuh, agar dia semakin penasaran. Kalau perlu kupanasi dengan jalan dengan lelaki lain, j
Pagi-pagi sekali Hendriyanto sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan di dekat rumah Mira, dari pinggir jalan ini, tampak dengan jelas pintu gerbang rumah istri pertamanya itu. Hendriyanto tidak perlu susah payah mencari keberadaan rumah Mira, cukup memerintah Edi maka semua urusan beres, memang sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu dapat diandalkan untuk semua tugas yang dia perintahkan, baik itu kantor ataupun tugas diluar pekerjaannya.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, memang masih terlalu pagi, tetapi Hendri tidak ingin terlewat untuk melihat wanita itu keluar dari rumahnya. Pukul tujuh tepat pagar rumah bercat putih dan abu-abu itu terbuka, sebuah mobil Innova yang terparkir di garasi-pun sudah menyala. Hendriyanto duduk tegak dari duduk bersandarnya, mengamati dengan konsentrasi, dengan siapa Mira hidup di rumah ini? Dia tidak ingin langsung bertamu jika belum menyelidiki, tidak lucu jika ternyata Mira tinggal bersama laki-laki lain dan dia berk
Apa yang menimpa Waluyo tidak jauh berbeda dengan yang tengah dialami Hendriyanto sekarang. Semua pikiran lelaki itu tercurah sepenuhnya pada Mira, wanita yang dia nikahi empat tahun yang lalu. Selama ini Hendriyanto menganggap bahwa Mira bukanlah wanita yang dia cintai, sepenuhnya cintanya hanya untuk Sarah, tetapi ketika dia bertemu kembali dengan wanita itu setelah begitu lama tidak bertemu, kenapa perasaannya jadi tidak karu-karuan begini? Apakah ada yang salah? Perasaan marah, cemburu, rindu campur aduk menjadi satu. Melihat Mira memakai gaun yang sepenuhnya tertutup bahkan kepalanya juga tertutup justru membuat Hendriyanto terpesona, padahal tidak terlihat seksi sama sekali, tetapi aura Mira yang elegan seperti seorang ratu Inggris itulah yang membuat Hendriyanto terpikat dengan sangat dalam. 'Benarkah aku membenci Mira selama ini? Apakah tidak ada perasaan cinta secuilpun untuk wanita itu? Kenapa perasaanku seperti ini?' banyak pertanyaan yang bersemayam di benak lelaki itu.
Hendriyanto tidak lama menghadiri acara pesta Leo, setelah dia memberi kata sambutan tentang kerjasama universitas dengan perusahaan yang tengah dirintisnya, dia segera mengajak Sarah pulang, Waluyo dan pasangannya juga ikut pulang, tetapi Darmawan masih betah di suasana pesta tersebut. Hendriyanto dan Waluyo memang sama sekali tidak senang di pesta tersebut, alasannya sudah pasti tentang wanita masa lalu mereka yang datang juga ke pesta itu yang keihatannya tampak begitu bahagia, apakah wanita-wanita itu sudah melupakan mereka? Atau bahkan sudah menghapus nama mereka di hatinya? Hendriyanto dan Waluyo Hadi sama saja orangnya, seorang lelaki dewasa yang memiliki ego yang tinggi. Kedua lelaki itu merasa sangat tidak nyaman jika wanita yang dulu begitu mencintainya sekarang malah tidak menganggapnya ada, harusnya dia yang membuang wanita-wanita itu, kenapa sekarang mereka berdua yang merasa dibuang? Di buang? Itu sesuatu yang sangat hina, mereka benar-benar merasa terhina. Waluyo me
Mira memasuki aula acara dengan linglung, tungkainya terasa lemas dan pikirannya menjadi kacau. Wajahnya memerah antara menahan amarah dan hasrat terpendam. Setelah mencapai mejanya, dia melihat Leo sudah duduk di sana, sebelahnya duduk dengan manis kakak seniornya Jovan. "Darimana saja kau? Ke toilet kok lama sekali?" tanya Zahira kuatir."Mira! Apakah tasmu ketemu? Aku sudah menunggumu lama," seru Jovan yang merasa senang melihat wanita incerannya, matanya nampak berbinar."Iya, ada kok. Aku hanya turun ke lobi sebentar, kepalaku tiba-tiba sakit," jawab Mira sambil memijit kepalanya."Apakah kepalamu masih sakit? Kalau begitu kita pulang saja agar kau bisa istirahat," kata Leo sangat kuatir."Ah, tidak usah Leo, ini adalah acaramu, tidak baik kau meninggalkan tamu-tamumu. Aku baik-baik saja," ujar Mira dipaksakan tersenyum."Ah, iya. Gimana kalau kamu pulang duluan diantar Jovan? Bagaimana Jovan?" seru Leo.Bagai mendapat durian runtuh, tubuh Jovan bahkan menegak, wajahnya bertamba
"Kau pergi sudah bertahun-tahun, apakah kau tidak merindukan suamimu?" Suara Hendriyanto terdengar parau.Mira menenguk salivanya, mendengar perkataan Hendri membuat tenggorokannya terasa kering. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu? Lelaki ini tidak tahu saja setiap malam Mira selalu menangis dalam diam merindukannya hingga mati rasa. Tetapi mana mungkin Mira akan mengakuinya, dia harus menguatkan diri demi harga dirinya. "Kemana kau pergi selama ini? Kau menghilang seperti ditelan bumi."Mira tersentak menatap manik mata lelaki yang berjarak begitu dekat dengannya, tatapan mata itu? Mira dulu pernah melihat tatapan seperti itu dari lelaki itu, mungkinkah?"Apa pedulimu, aku pergi ke mana? Bukankah ini yang kau mau? Agar aku pergi menjauh darimu? Aku sudah tidak bisa melahirkan anakmu, untuk apa aku masih bertahan disini? Untuk kau siksa? Atau untuk kau hina?"Mira sudah cukup meradang,lelaki dihadapannya benar-benar tidak tahu malu,apakah dia lupa apa yang telah dia perbuat d