Sarah datang lagi mengunjungi Hendri di kantornya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Walaupun ketika Mira masih di sini, wanita itu akan bebas melenggang menemui Hendri di kantornya. Sudah menjadi rahasia umum bagi karyawan di kantor Hendriyanto jika Sarah mutlak menjadi penyebab keretakan rumah tangga bosnya.
Para karyawan di kantor ini telah menjadi saksi bagaimana kisah cinta antara bos dan karyawan ini, bagaimana bos mereka mengejar Mira dengan menyingkirkan rasa malu dan meruntuhkan keegoannya.Awal pertemuan mereka sebenarnya bencana yang tidak disengaja bagi Mira. Sudah satu tahun menganggur setelah lulus kuliah, dan berjibaku mencari kerja, mengesampingkan rasa malu setiap saudara atau tetangga akan menanyakan, kerja di mana? Berpendidikan tinggi-tinggi akhirnya nganggur juga. Pada awalnya Mira tidak menggubris cemoohan yang tertuju padanya, namun sejak ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal, Mira terpacu mencari kerja menggantikan ayahnya mencari nafkah. Hari itu Mira begitu bahagia karena dia akan memulai hari pertamanya bekerja, tidak di sangka dia menerima panggilan sebagai desain interior sesuai jurusannya ketika kuliah. Ketika menghentikan laju motornya di Simpang lampu merah, sebuah mobil Sedan membuka pintu, pengemudinya membuang botol air mineral tepat di depannya. Darah Mira langsung mendidih, sebagai mahasiswa duta lingkungan dan aktif di lembaga sosial bumi hijau, apa yang dilihatnya merupakan sesuatu yang bisa meledakkan amarahnya. Dengan langkah berani, segera Mira mengambil botol air itu dan mengetuk pintu mobil itu, seorang pria perlente, memakai kemeja hitam dan dasi abu-abu, di matanya bertengger kaca mata hitam membuka kaca jendela, penampilannya yang begitu macho itu tidak membuat Mira terpesona, bagi Mira akhlak dan prilaku seseorang lebih penting."Hai, Bung! Ini kukembalikan milikmu, jangan sekali-kali kau buang sembarangan!" bentak gadis itu sambil melempar botol mineral itu dan tepat mengenai kepala lelaki itu.Setelah melempar botol air mineral itu, Mira buru-buru menaiki motornya karena lampu hijau sudah menyala. Tak ayal, pria itu begitu terkejut di lempar begitu saja dengan botol mineral bekas. Amarah tak tertahankan bergejolak di kepalanya. Dia hanya mampu mengumpat dengan kesal, karena pelakunya sudah kabur dan tidak mungkin untuk mengejarnya karena padatnya lalu lintas. "Awas saja, jika ketemu lagi dengan perempuan sialan itu, kukuliti habis wajahnya!" Kekesalannya sudah mencapai ubun-ubun.****Orang bilang bumi menjadi sempit jika berkaitan dengan seseorang, bumi menjadi selebar daun kelor yang begitu kecil. Takdir memang telah digariskan oleh pencipta kehidupan, di masa depan kita akan bertemu dengan siapa dan akan berpisah dengan siapa tidak ada satu manusiapun yang akan mengetahui, begitu juga dengan Mira. Betapa menyesalnya dia yang memiliki sifat temperamental dan pemarah, seandainya dia bisa mehanan diri untuk tidak melempar botol air mineral, mungkin dia tidak akan kelimpungan menyembunyikan mukanya ketika dia berpapasan dengan lelaki korban pelemparannya di lift kantor. Kesalahan pertamanya dia tidak membaca tulisan di pintu lift ' just for presdir', dia nekad masuk karena melihat lelaki tinggi tegap, berjalan dengan aura wibawa seperti model internasional ke arahnya. Untung dia membawa pasmina di tasnya yang dipakai pengajian tadi malam, sehingga dia bisa menyembunyikan wajahnya pada pasmina itu dan berdiri di sudut lift dan memakai kaca matanya untuk penyamaran.Hendriyanto acuh saja memasuki lift khususnya. Namun dia mengernyit melihat sesosok wanita di sudut tengah menunduk memperhatikan ponselnya. Merasa tak senang atas kelancangan orang tersebut, Hendriyanto menegurnya dengan suara khasnya yang begitu tajam dan berwibawa."Siapa kau? Kenapa memakai lift yang dikhususkan untuk presiden direktur? Apakah kau karyawan di sini?" Mira seketika tegang, lututnya bahkan meresa bergetar, apakah dia telah lancang?"Apakah ada lift khusus seperti itu?" Pertanyaan bodoh spontan meluncur dari mulutnya."Apakah kau tidak tahu?"Tiba-tiba otak Mira menjadi kosong, setelah menyadari siapa pria yang bersamanya saat itu."Oh, maaf, Pak. Saya karyawan baru, maafkan atas kelancangan saya."Dengan gugup, Mira memencet tombol ke lantai tiga, karena lantai dua sudah terlewat. Spontan dia melarikan diri dari hadapan lelaki itu setelah pintu lift terbuka. Hendriyanto tak ayal memperhatikan Mira dengan seksama, rasanya dia begitu familiar dengan wanita dihadapannya, sayang saja wajahnya tidak terlalu jelas karena wanita itu selalu menundukkan kepala. Seketika wajah Hendriyanto menjadi gelap setalah menyadari kapan dia bertemu dengan gadis ini.****"Sayang, sudah makan, belum?" sapa Sarah setelah memasuki ruangan Hendriyanto tanpa mengetuk pintu.Para staf yang tengah berdiskusi di ruangan Hendriyanto seketika terdiam mereka menatap wanita anggun itu dengan pandangan yang berbeda-beda, ada yang menatap dengan pandangan meremehkan, jijik, ada yang terpesona, ada yang kagum, ada juga yang biasa saja tanpa kesan apapun."Kalau begitu kita lanjutkan di rapat internal setelah makan siang, ya," ujar Hendriyanto."Baik, pak." Para staf segera pergi dari ruangan Hendriyanto, kecuali Edi yang masih sibuk merekap file."Kita makan di luar, ya." Hendriyanto menyambut Sarah dengan hangat."Aku baru mau ngajak di luar, hari ini aku banyak pasien, jadi tidak sempat memasak untukmu, Yang." Sarah mengaitkan tangannya ke lengan Hendriyanto dengan mesra."Baiklah, Sayang. Ada restauran barbeqiu yang baru buka tidak jauh dari sini, aku pernah ke sana sekali ketika ada klien. Rasanya lumayan enak," ujar Hendriyanto mengajak Sarah ke luar kantor."Edi, selesaikan berkas file itu ya, nanti sore kita sudah mempresentasikan di depan klien," perintah Hendriyanto."Baik, Pak." Edi menjawab dengan muka datar.Sebenarnya Edi benar-benar kesal setiap melihat Sarah yang selalu mengunjungi Hendriyanto ketika jam makan siang. Edi selalu curiga jika Sarah mengatakan dia banyak pasien, menurut Edi itu hanya omong kosong, jika banyak pasien mana mungkin akan sempat makan siang dengan Hendriyanto, jarak klinik Sarah dan Hendriyanto cukup jauh, ditempuh selama empat puluh menit, klinik itu juga milik bersama temannya, bukan milik Sarah pribadi. Edi masih ingat dengan jelas ketika dia mewancari Mira untuk pertama kali. Hendriyanto tentu tidak akan mengurusi perekrutan karyawan baru. Bagian personalia yang mengurusi itu, tetapi sebagai asisten Presdir Edi selalu terlibat di dalamnya. Edi begitu kagum dengan nilai ijazah Mira yang hampir nyaris sempurna, kata-katanya yang begitu lugas dengan ide-ide segarnya tak perlu berpikir lama mereka sepakat merekrut Mira. "Edi, segera kau kirim file biodata karyawan baru!" perintah Hendri suatu hari.Edi merasa heran, biasanya Hendriyanto tidak akan melihat karyawan baru yang direkrut, lelaki es itu masih banyak pekerjaan yang penting, kenapa dia musti mengurusi hal remeh seperti itu."Untuk apa, Pak?" tanya Edi cukup penasaran."Tidak usah banyak tanya! Bawa saja kemari!" Siapa yang akan membantah dengan perintah Hendriyanto, begitu juga dengan Edi. Dia sesegera mungkin membawa berkas formulir dari bagian personalia.Hendri cukup lama membaca dan mengamati tiap formulir, hingga pada satu berkas wajah pria itu menyeringai, gurat wajahnya penuh dengan misteri. Edi sendiri tidak dapat membaca ekspresi bosnya tersebut, apakah dia dalam keadaan marah, benci, kesal, senang atau gembira. Sepertinya semua rasa itu bercampur di mata elang lelaki itu."Desain interior? Hmm, lumayan juga. Panggil segera dia ke sini!" perintah Hendriyanto Edi segera memanggil Mira secara khusus di ruangannya, dia tahu, banyak tatapan mata aneh melihatnya dan gadis itu, dari karyawan di ruang desain. Tapi apa mau dikata, bosnya bukan lelaki yang bisa ditawar-tawar kalau ada kemauan."Mira, apakah kau sudah bertemu pak Hendri sebelum ini?" tanya Edi memastikan."Belum, Pak. Memangnya kenapa?" Mira memasang wajah polos agar kebohongannya tidak kentara, dia sungguh cemas, apakah bosnya itu mengenali si pelempar botol air mineral bekas?Mira berkunjung ke apartemen Leo di sore hari. Tujuannya sebenarnya mencari bibi Marni, dia selalu merasa pusing, sehingga tidak selera makan. Dia ingin bibi Marni memijit punggungnya yang sakit. Leo tidak masalah jika Mira selalu berkunjung, lelaki itu justru gembira dengan kedatangannya. Saat Mira berkunjung ternyata Leo sedang makan malam sendirian. Melihat apartemen Leo, Mira begitu terpukau, ternyata ruangannya lebih luas dari apartemennya, memiliki tiga kamar namun dua kamar berada di ruang atas. Di bawah tangga dijadikan rak buku yang berjajar rapi, membuat Mira benar-benar terkesan, Leo memang seorang pembelajar yang pintar."Apartemenmu ternyata tingkat, ya?" seru Mira membuka obrolan di ruang makan."Ya," jawab Leo singkat sambil menyuap makanan."Aku akan sering ke mari untuk membaca semua koleksi bukumu, ada buku-buku novel tidak?" tanya Mira antusias."Sayangnya tidak, buku itu semua buku non fiksi," ujar Leo."Dari buku sebanyak ini gak ada buku novel? Ah, sayang sekali
Tiga bulan sudah Mira berada di negeri Adolf Hitler ini, musim gugur telah tiba, membuat daun maple berserak di setiap sudut jalan. Mira sedikit was-was karena nanti dia akan melahirkan ketika musim dingin datang. Dia sudah menyiapkan sebuah nama untuk putrinya kelak yang berhubungan dengan musim dingin. Salju, winter, mantel? Mira tersenyum geli jika membayangkan itu semua, tetapi jika mengingat Leo ada di sini, rasa cemasnya sedikit berkurang.Malam hari Mira akan mengajak Leo makan malam bersama, makan masakan rumahan yang dibuat Bibi Marni sudah cukup, dia juga tidak tahan dengan udara dingin di luar."Kau akan pergi?" tanya Mira setelah melihat Leo sudah bersiap dengan mantel abu-abunya dan mengenakan sepatu kulit."Ya.""Padahal aku ingin makan malam bersamamu," keluh Mira."Kalau begitu ikutlah denganku, di sana juga ada acara makan-makan," ajak Leo."Acara apa? Memangnya boleh ngajak orang lain?""Terbuka untuk umum. Sebaiknya segera pakailah mantelmu, jangan lupa memakai syal
Hubungan Mira dan Zahira semakin berkembang dan akrab. Mira sudah berbagi semua masalah pada Zahira, tidak ada yang perlu ditutupinya lagi. Berbagi masalah dengan seorang sahabat membuatnya begitu lega, Zahira begitu perhatian sehingga hari-hari Mira lebih bahagia dan semangat. Leo sudah mendaftarkan Mira di program Megister, minggu depan Mira sudah bersiap mengikuti perkuliahan. Mira dan Zahira selalu menghabiskan waktu di akhir pekan atau saat-saat tertentu. Mengingat jarak flat Zahira dan apartemen Mira yang agak jauh, Mira segera menemui Leo pada sore hari. "Leo, aku meminta ijin agar Zahira dapat tinggal bersamaku, aku butuh seorang teman, lagipupa apartemenku memiliki dua kamar kosong. Boleh ya?" "Apakah kau bahagia jika Zahira bersamamu?" "Tentu saja, Zahira sahabat yang baik, dia juga wanita yang cerdas, dia bisa menularkan energi positif untukku," jawab Mira. "Baiklah, yang penting kau senang." Mira bahagia sekali, dia segera memberitahu Zahira, awalnya Zahira meno
Zachary selesai menyerahkan proposal desertasinya kepada profesor Zigler. Di lorong kampus dia bertemu Leo, lelaki itu tampak tampan dengan mantel abu-abu silver. Segera Zachary menghampiri Leo."Assalamualaikum, Brother.""Walaikumsalam, Ustaz Zachary.""Bagaimana, jadi ikut kajian nanti malam? Syekh Salman nanti yang akan mengisi materinya," ujar Zachary mensejajari langkah Leo."Insyaallah, Ustaz. Kenapa bukan Ustaz yang mengisi kajiannya?" "Saya tidak bisa datang awal, saya ada penelitian, saya akan mengisi kajian besok sore untuk para akhwat," ucap Zachary.Leo sekarang sedang semangat mengikuti kajian. Dia juga sering bertemu dan mengajak diskusi Zachary seputar keagamaan terutama ilmu fiqih dan muamalah. Sebagai lulusan magister ilmu kajian Dakwah universitas Madinah, Zachary memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni."Ustaz, aku memiliki kasus, apakah kau bisa membantuku?" ucap Leo."Tentu, jika bisa aku pasti membantumu.""Sepupuku seorang pria di Jakarta, memiliki kakak laki-l
Sepulang berbelanja, hati Mira menjadi murung. Zahira sengaja membuatkan susu hamil sebelum mereka beranjak untuk istirahat. Awalnya Mira tidak selera untuk meminumnya, namun setelah dibujuk Zahira dengan alasan anak dalam kandungannya dia meminumnya."Zahira, tidurlah bersamaku. Suasana hatiku sedang tidak baik." Zahira dengan senang hati mengabulkan permintaan Mira. Dia tidak akan mengabaikan temannya dalam kondisi hamil dan lemah. Zahira tahu, temannya itu tidak baik-baik saja. Siapa yang akan baik, dalam kondisi hamil diabaikan oleh suaminya."Ayo tidurlah, hari sudah malam," kata Zahira setelah melihat Mira tidak juga memejamkan mata, padahal malam sudah begitu larut."Aku tidak bisa tidur Zahira, akhir-akhir ini banyak kejadian yang mengingatkan aku pada Hendri." Mira menghembuskan napasnya kasar."Untuk apa lagi kau mengingat laki-laki brengsek itu, sudahlah lupakan dia. Kau mengingatnya sampai tidak bisa tidur, di sana lelaki itu setiap malam tidur di pelukan wanita lain. Kua
Hendriyanto pulang bekerja sudah jam sepuluh malam, akhir-akhir ini dia menjadi workaholic, dia tidak memikirkan hal lain selain kerja, kerja dan kerja. Sesampai di rumah, dia dikejutkan kehadiran Sarah yang menunggunya di sofa ruang tamu, senyuman Sarah yang begitu menggoda membuat Hendriyanto tertegun, dia sudah beberapa Minggu tidak menemui wanita itu."Baru pulang, Mas?" sapa Sarah dengan suara yang menggoda, dia menyingsingkan gaun malamnya yang sebatas lutut."Kau, ke sini? Kenapa bisa masuk?" tanya Hendriyanto keheranan."Mas Hendri ... Aku sudah menjadi kekasihmu kembali sudah setengah tahun, kau dengan suka rela memberi kode akses apartemenmu, masak kau lupa," ucap Sarah sambil menghampiri Hendriyanto yang tengah melepaskan jasnya, wanita itu membantunya."Oya, kapan? Aku kok gak ingat," ujar Hendriyanto masih merasa heran.Sarah hanya mendengus lemah, dia juga membantu Hendriyanto melepaskan dasi dan sepatu lelaki itu, dia tidak menanggapi ucapan Hendriyanto, Sarah menyadari
Kehamilan Mira sudah memasuki sembilan bulan, karena kehamilan pertama dia mulai cemas. Mira tidak tidur dengan nyenyak, kesulitan untuk menggerakkan tubuhnya. Kecemasannya kadang berlebihan, dia selalu membayangkan bagaimana sakitnya melahirkan, seandainya dia memiliki suami yang peduli mungkin kecemasannnya akan sedikit berkurang. Hari sudah menunjukkan jam dua dini hari, namun Mira tak juga bisa memejamkan matanya, dia bermaksud ke kamar Zahira agar dia merasa sedikit tenang, seandainya tiba-tiba Mira akan melahirkan ada seseorang di sisinya.Ternyata pintu kamar Zahira tidak terkunci, lampu kamarnya juga dalam keadaan menyala. Mungkinkah Zahira masih terjaga tengah malam begini? Mira segera masuk ke kamar Zahira tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, takut mengganggu atau membangunkan gadis itu. Terdengar suara Isak tangis, membuat Mira sedikit terkejut. Terlihat Zahira tengah terpekur di atas sajadah, berdoa dengan sangat khusuk. Bahu gadis itu tampak terguncang, bahkan suara Isak
Salju sudah mulai turun di pertengahan Desember ini. Zahira masih sibuk di kampus, Mira sebenarnya tidak memiliki kegiatan, namun dia ingin berbelanja bahan makanan di toko China yang menyediakan berbagai bahan makanan dan bumbu-bumbu khas Indonesia. Sebelum ke toko dia mampir di gerai humburger daging sapi berlabel halal. Dia memesan kopi susu dan dua porsi burger ukuran sedang, pengunjung cafe tampak ramai, sehingga dia tidak makan di tempat hanya membungkusnya. Ketika hendak keluar dari cafe, di tengah pintu masuk dia bertemu dengan beberapa mahasiswa asal Indonesia, dua diantaranya dia kenal, dia adalah Tama dan Zachary."Mbak Mira! Mbak sendirian saja?" tegur Tama yang memang seorang pemuda yang ramah dan supel."Iya, Tama. Kalian mau ke cafe ya?" jawab Mira berbasa-basi."Mana Zahira? Kenapa kau sendirian?" tanya Zachary."O, Zahira ada kelas hari ini, Doktor Zachary apa kabar?" jawab Mira tidak mengabaikan Zachary."Kelas Zahira sudah berakhir, kenapa dia tidak menemanimu?"Z
Edi menemani Hendriyanto ke dokter Pamungkas, klinik mereka ada di lantai satu, Edi memang selalu mengikuti Hendriyanto kontrol, karena segala jenis surat menyurat dan tagihan rumah sakit Edi yang mengurusnya. Ketika mereka selesai pemeriksaan, dokter mengambil sperma Hendriyanto dan akan mengeceknya di labolatorium, hasil kemarin tidak ada masalah pada kesuburan lelaki itu, tetapi kenapa kejantanannya tidak bisa ereksi? Ketika keluar dari ruang dokter, tidak sengaja melihat Mira yang akan menuju ke kasir pembayaran, mata Mira memicing menatap lelaki yang masih jadi suaminya itu keluar dari ruang praktek dokter andrologi. Hendri yang melihat Mira tentu mendengus kesal, dari tadi ditungguin kenapa wanita ini malah berada di sini. Ditelpon tidak diangkat, di kirimi pesan juga tidak dibalas, boro-boro dibalas, dibaca saja tidak. "Mas Hendri, kenapa kau keluar dari ruang praktek dokter andrologi? Apa anu-mu bermasalah?" Wajah Hendri langsung menegang mendengar pertanyaan Mira, sedangk
Sementara Hendriyanto sudah semangat empat lima ingin menjemput Mira. Dia memarkirkan kendaraannya di tempat Mira tadi memarkirkan mobilnya. Namun Hendriyanto tidak melihat keberadaan mobil wanita itu, apakah sudah dibawa oleh temannya? Waktu sudah menunjukkan jam satu lewat lima belas menit, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan wanita yang ditunggunya. Hendriyanto keluar dari mobil, berdiri mondar-mandir dengan gelisah. Apakah wanita itu sengaja mangkir dari pertemuannya? Hendriyanto menunggu selama sepuluh menit lagi, tetapi masih juga Mira tidak muncul, lelaki itu semakin tidak sabar. Lelaki itu langsung saja berjalan menuju ke kantor dosen, untuk mencari Mira. Sampai di kantor dosen, Hendriyanto bertanya pada seseorang yang ditemuinya, orang itu menunjukkan di mana letak kantor Mira, ketika dia menuju kantor Mira, di lorong dia bertemu dengan Jovan, Hendriyanto hapal betul jika lelaki itu bersama Mira waktu pesta itu. "Maaf, permisi ... Apa anda kenal Mirayanti, dosen di sini
"Halo, Cantik. Bagaimana keadaanmu sekarang?" sapa dokter itu dengan ramah. Mira menoleh ke sumber suara, tetapi matanya membelalak melihat siapa yang datang."Hasbi?" "Astaga! Mira?"Dokter Hasbi juga terkejut melihat teman lamanya berada di hadapannya, empat tahun tidak bertemu, tentu saja Hasbi sangat penasaran dengan kabar temannya yang dia bantu melarikan diri dari suaminya."Mira, jadi ini anakmu yang itu?" Hasbi mendekati Mira dengan senyum mengembang."Iya, yang kau bantu dulu.""Ternyata waktu cepat sekali berlalu, kau sudah besar, Nak." Hasbi mengelus kepala Winter yang kini dibalut oleh kain kasa."Halo, Sayang. Om ini teman Mama kamu, namamu Winter, bukan?" sapa Hasbi pada anak kecil di hadapannya."Jadi Om dokter temannya Mama Wintel?""Iya, senang banget melihatmu tumbuh besar dan sehat seperti ini.""Tapi aku cekalang lagi gak sehat, Om? Ini kepala aku cakit," ujar Winter membuat Hasbi tertawa, benar juga dia kan lagi sakit."Mira, bagaimana kabar kamu? Setelah melari
"Siapa Winter?" Hendri memang sungguh kepo dengan anak itu, bagaimanapun dia sudah melihat anak itu tadi, sikapnya yang terkesan dingin kepada Mira sesungguhnya hanya menutupi perasaannya yang menggebu dan penasaran dengan kehidupan istrinya sekarang ini. "Itu ... Winter, Winter itu anaknya Zahira. Zahira temanku satu rumah, kami sudah tinggal serumah sejak di Jerman, dia sudah seperti saudariku sendiri." "Oh? Ya, sudah. Nanti kita jemput bersama, bye ... Sampai jumpa nanti siang." Mira hanya terperangah melihat lelaki itu berlalu dari parkiran dengan berjalan tegap. Bahunya yang lebar dan tubuhnya yang jangkung sungguh mempesona terlihat dari belakang, kulitnya yang dulu putih, kini terlihat kecoklatan, justru menambah aura maskulin lelaki itu. Mira tersenyum licik, yah ... Begitu terus Hendri, memang tujuanku begitu. 'Aku harus bersikap sok jual mahal terus, kalau perlu judes dan acuh tak acuh, agar dia semakin penasaran. Kalau perlu kupanasi dengan jalan dengan lelaki lain, j
Pagi-pagi sekali Hendriyanto sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan di dekat rumah Mira, dari pinggir jalan ini, tampak dengan jelas pintu gerbang rumah istri pertamanya itu. Hendriyanto tidak perlu susah payah mencari keberadaan rumah Mira, cukup memerintah Edi maka semua urusan beres, memang sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu dapat diandalkan untuk semua tugas yang dia perintahkan, baik itu kantor ataupun tugas diluar pekerjaannya.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, memang masih terlalu pagi, tetapi Hendri tidak ingin terlewat untuk melihat wanita itu keluar dari rumahnya. Pukul tujuh tepat pagar rumah bercat putih dan abu-abu itu terbuka, sebuah mobil Innova yang terparkir di garasi-pun sudah menyala. Hendriyanto duduk tegak dari duduk bersandarnya, mengamati dengan konsentrasi, dengan siapa Mira hidup di rumah ini? Dia tidak ingin langsung bertamu jika belum menyelidiki, tidak lucu jika ternyata Mira tinggal bersama laki-laki lain dan dia berk
Apa yang menimpa Waluyo tidak jauh berbeda dengan yang tengah dialami Hendriyanto sekarang. Semua pikiran lelaki itu tercurah sepenuhnya pada Mira, wanita yang dia nikahi empat tahun yang lalu. Selama ini Hendriyanto menganggap bahwa Mira bukanlah wanita yang dia cintai, sepenuhnya cintanya hanya untuk Sarah, tetapi ketika dia bertemu kembali dengan wanita itu setelah begitu lama tidak bertemu, kenapa perasaannya jadi tidak karu-karuan begini? Apakah ada yang salah? Perasaan marah, cemburu, rindu campur aduk menjadi satu. Melihat Mira memakai gaun yang sepenuhnya tertutup bahkan kepalanya juga tertutup justru membuat Hendriyanto terpesona, padahal tidak terlihat seksi sama sekali, tetapi aura Mira yang elegan seperti seorang ratu Inggris itulah yang membuat Hendriyanto terpikat dengan sangat dalam. 'Benarkah aku membenci Mira selama ini? Apakah tidak ada perasaan cinta secuilpun untuk wanita itu? Kenapa perasaanku seperti ini?' banyak pertanyaan yang bersemayam di benak lelaki itu.
Hendriyanto tidak lama menghadiri acara pesta Leo, setelah dia memberi kata sambutan tentang kerjasama universitas dengan perusahaan yang tengah dirintisnya, dia segera mengajak Sarah pulang, Waluyo dan pasangannya juga ikut pulang, tetapi Darmawan masih betah di suasana pesta tersebut. Hendriyanto dan Waluyo memang sama sekali tidak senang di pesta tersebut, alasannya sudah pasti tentang wanita masa lalu mereka yang datang juga ke pesta itu yang keihatannya tampak begitu bahagia, apakah wanita-wanita itu sudah melupakan mereka? Atau bahkan sudah menghapus nama mereka di hatinya? Hendriyanto dan Waluyo Hadi sama saja orangnya, seorang lelaki dewasa yang memiliki ego yang tinggi. Kedua lelaki itu merasa sangat tidak nyaman jika wanita yang dulu begitu mencintainya sekarang malah tidak menganggapnya ada, harusnya dia yang membuang wanita-wanita itu, kenapa sekarang mereka berdua yang merasa dibuang? Di buang? Itu sesuatu yang sangat hina, mereka benar-benar merasa terhina. Waluyo me
Mira memasuki aula acara dengan linglung, tungkainya terasa lemas dan pikirannya menjadi kacau. Wajahnya memerah antara menahan amarah dan hasrat terpendam. Setelah mencapai mejanya, dia melihat Leo sudah duduk di sana, sebelahnya duduk dengan manis kakak seniornya Jovan. "Darimana saja kau? Ke toilet kok lama sekali?" tanya Zahira kuatir."Mira! Apakah tasmu ketemu? Aku sudah menunggumu lama," seru Jovan yang merasa senang melihat wanita incerannya, matanya nampak berbinar."Iya, ada kok. Aku hanya turun ke lobi sebentar, kepalaku tiba-tiba sakit," jawab Mira sambil memijit kepalanya."Apakah kepalamu masih sakit? Kalau begitu kita pulang saja agar kau bisa istirahat," kata Leo sangat kuatir."Ah, tidak usah Leo, ini adalah acaramu, tidak baik kau meninggalkan tamu-tamumu. Aku baik-baik saja," ujar Mira dipaksakan tersenyum."Ah, iya. Gimana kalau kamu pulang duluan diantar Jovan? Bagaimana Jovan?" seru Leo.Bagai mendapat durian runtuh, tubuh Jovan bahkan menegak, wajahnya bertamba
"Kau pergi sudah bertahun-tahun, apakah kau tidak merindukan suamimu?" Suara Hendriyanto terdengar parau.Mira menenguk salivanya, mendengar perkataan Hendri membuat tenggorokannya terasa kering. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu? Lelaki ini tidak tahu saja setiap malam Mira selalu menangis dalam diam merindukannya hingga mati rasa. Tetapi mana mungkin Mira akan mengakuinya, dia harus menguatkan diri demi harga dirinya. "Kemana kau pergi selama ini? Kau menghilang seperti ditelan bumi."Mira tersentak menatap manik mata lelaki yang berjarak begitu dekat dengannya, tatapan mata itu? Mira dulu pernah melihat tatapan seperti itu dari lelaki itu, mungkinkah?"Apa pedulimu, aku pergi ke mana? Bukankah ini yang kau mau? Agar aku pergi menjauh darimu? Aku sudah tidak bisa melahirkan anakmu, untuk apa aku masih bertahan disini? Untuk kau siksa? Atau untuk kau hina?"Mira sudah cukup meradang,lelaki dihadapannya benar-benar tidak tahu malu,apakah dia lupa apa yang telah dia perbuat d