Kehamilan Mira sudah memasuki sembilan bulan, karena kehamilan pertama dia mulai cemas. Mira tidak tidur dengan nyenyak, kesulitan untuk menggerakkan tubuhnya. Kecemasannya kadang berlebihan, dia selalu membayangkan bagaimana sakitnya melahirkan, seandainya dia memiliki suami yang peduli mungkin kecemasannnya akan sedikit berkurang. Hari sudah menunjukkan jam dua dini hari, namun Mira tak juga bisa memejamkan matanya, dia bermaksud ke kamar Zahira agar dia merasa sedikit tenang, seandainya tiba-tiba Mira akan melahirkan ada seseorang di sisinya.Ternyata pintu kamar Zahira tidak terkunci, lampu kamarnya juga dalam keadaan menyala. Mungkinkah Zahira masih terjaga tengah malam begini? Mira segera masuk ke kamar Zahira tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, takut mengganggu atau membangunkan gadis itu. Terdengar suara Isak tangis, membuat Mira sedikit terkejut. Terlihat Zahira tengah terpekur di atas sajadah, berdoa dengan sangat khusuk. Bahu gadis itu tampak terguncang, bahkan suara Isak
Salju sudah mulai turun di pertengahan Desember ini. Zahira masih sibuk di kampus, Mira sebenarnya tidak memiliki kegiatan, namun dia ingin berbelanja bahan makanan di toko China yang menyediakan berbagai bahan makanan dan bumbu-bumbu khas Indonesia. Sebelum ke toko dia mampir di gerai humburger daging sapi berlabel halal. Dia memesan kopi susu dan dua porsi burger ukuran sedang, pengunjung cafe tampak ramai, sehingga dia tidak makan di tempat hanya membungkusnya. Ketika hendak keluar dari cafe, di tengah pintu masuk dia bertemu dengan beberapa mahasiswa asal Indonesia, dua diantaranya dia kenal, dia adalah Tama dan Zachary."Mbak Mira! Mbak sendirian saja?" tegur Tama yang memang seorang pemuda yang ramah dan supel."Iya, Tama. Kalian mau ke cafe ya?" jawab Mira berbasa-basi."Mana Zahira? Kenapa kau sendirian?" tanya Zachary."O, Zahira ada kelas hari ini, Doktor Zachary apa kabar?" jawab Mira tidak mengabaikan Zachary."Kelas Zahira sudah berakhir, kenapa dia tidak menemanimu?"Z
Ting tong ... Ting tong ....Zachary memencet bel berkali-kali, belanjaan di tangan kanannya diturunkan, dia segera merogoh saku jaketnya dan mengambil ponselnya. Berkali-kali dia melakukan panggilan ke HP Mira, namun tidak juga di jawab. Kenapa wanita itu pergi? Apakah dia tidak jadi pulang ke rumah? Zachary merasa bimbang, mungkin dia akan meninggalkan belanjaan di pintu apartemen dan mengirim Mira pesan jika belanjaannya di taruh di sini. Namun ketika dia akan mengetik pesan, wajahnya nampak begitu gelap, kecemasan melanda hatinya. Mira tengah hamil tua, bagaimana jika sesuatu terjadi padanya di dalam? Apartemen ini kedap suara, jika dia berteriak dari dalam, suaranya tidak akan terdengar dari luar. Zachary segera mencari nomor Leo, lelaki itu pasti tahu kode akses ke apartemen Mira. Berkali-kali dipanggil namun Leo tak juga menjawab panggilannya, Zachary menjadi tidak sabaran, dia berlari menuju lantai dasar, ingin bertemu dengan pengelola apartemen, pasti mereka bisa membuka ap
Setelah perjalanan kurang lebih enam jam, Leo sampai ke rumah sakit. Kepanikan jelas tergambar di kedua matanya, perlajanannya terasa lama sekali, hal itu membuatnya terasa tercekik. Tanpa basa-basi lagi dia menelpon Bibi Marni dan menanyakan ruang perawatan Mira. Sesampainya di dalam kamar rawat, kecemasannya sedikit berkurang."Bagaimana kondisimu, Mira? Apakah masih sakit?" ujar lelaki itu dengan suara lembut.Bias mata Mira sedikit memudar, dia belum pernah mendengar Leo memanggilnya dengan namanya saja, dan nada suaranya begitu lembut penuh kasih sayang, hal itu membuat perasaan Mira menjadi ambigu."Seharusnya aku tidak meninggalkanmu, aku tidak akan memaafkan diriku jika terjadi sesuatu padamu," ujar Leo sambil duduk di sebelah ranjang Mira."Aku baik-baik saja, Paman Leo. Apakah Paman Leo sudah melihat si kecil Winter Sonata?" tanya Mira mencairkan suasana."Apakah kau serius mau memberi nama bayimu Winter Sonata?" Kedua bola mata Leo membulat."Ya serius dong, apakah selama i
"Ya, mungkin saja. Sarah bilang Mira selingkuh," jawab Hendri acuh tak acuh.Darmawan dan Waluyo saling memandang, dia merasa Hendri benar-benar bucin sama Sarah, semua perkataan Sarah dipercaya Hendri. Darmawan sendiri benar-benar kesal dengan keputusan Hendri, sebenarnya dia sengaja membawa Sarah ke tengah- tengah hubungan Hendri dan Mira, ya mau bagaimana lagi, sejak Hendri mengenalkan calon istrinya setahun yang lalu, Darmawan Laksita begitu terpesona dengan wanita itu, mungkin itu karena Darmawan dan Hendri memiliki beberapa selera yang sama dari remaja, mereka menyukai aliran musik yang sama, slow rock. Mereka juga menyukai basket, menyukai motor gede, dan tidak menapik kemungkinan menyukai tipe wanita yang sama.Ketika Hendri menyukai Sarah waktu remaja dulu, Darmawan juga sangat menyukai Sarah, dia bahkan rela menjadi ban serep menggantikan Hendri untuk menemani Sarah kemana-mana, namun Sarah menghilang tak ada kabar setelah lulus kuliah, dan Hendriyanto punya tambatan hati ya
"Aaarrrgggghhh." Terdengar pekikan dari dalam yang cukup keras.Edi terkejut, dia segera bergegas masuk ruang IGD, Dokter segera memberi obat bius agar Hendriyanto tidak kesakitan, dosis pereda nyeri yang sudah diberikan sudah dosis maksimal, namun Hendriyanto masih kesakitan juga."Bagaimana, Dokter? Kenapa Pak Hendri malah tambah parah kesakitannya?" ujar Edi panik."Sudah saya bius, Pak. Biarkan dia istirahat, setelah dia sadar jika kesakitannya tidak berkurang saya panggilkan dokter spesialis penyakit dalam yang terbaik di rumah sakit ini, sementara saya belum menemukan apa penyakitnya, organ dalamnya baik-baik saja, apendiksnya bagus, hasil USG tidak ada masalah diperutnya, usus normal, bahkan asam lambung juga normal. Kami belum mengetahui apa penyebabnya. Kita tunggu hasil laboratoriumnya dua jam lagi," ujar Dokter menyeka peluh di dahinya.Edi terperangah mendengar penjelasan dokter, sebenarnya dia menduga Hendri terkena usus buntu, namun kata dokter semua organ dalamnya baik-
"Kita kan baru menikah, Mas. Kenapa kau malah mikirin kerjaan terus sih, Mas?" seru Sarah merasa frustasi.Sarah berpikir setelah menikah maka hubungannya dengan Hendriyanto akan berjalan manis dan menggairahkan, namun kenyataannya sama saja, lelaki itu masih juga seperti sepotong kayu, apakah dia tidak memiliki nafsu?"Jangan sekarang, aku sedang banyak proyek yang akan digarap, masih banyak hari esok, kita tidak akan kekurangan hari, tapi proyek besar seperti ini tidak akan datang dua kali, maafkan aku ya, Sayang," ujar Hendriyanto, lelaki itu langsung bergegas masuk kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya di bawah shower.Kali ini mungkin Hendriyanto bisa beralasan banyak pekerjaan, namun bagaimana selanjutnya? Hendriyanto segera menyabuni seluruh tubuhnya, entah kenapa berdekatan dengan Sarah, apalagi jika wanita itu memberi sinyal untuk melakukan hubungan s*x Hendriyanto justru merasa jijik, anggota tubuhnya langsung melakukan penolakan secara otomatis, dia begitu risih berdek
Ditatapnya Baby Winter yang dalam gendongannya dengan tatapan dalam, dia ingin agar bayi itu terbangun dan memanggil ibunya agar tidak mendekati laki-laki manapun. Agar ibunya selalu berada di samping Paman Leo. Terlintas di pikiran Leo untuk sengaja membangunkannya, mengguncangnya dengan kuat atau mencubitnya sedikit dia rasa dapat membangunkan bayi itu. Namun, segera ditepisnya pikiran jahat itu, dia menyayangi Baby Winter seperti anaknya sendiri, kenapa memanfaatkan dan menyakiti seorang bayi demi keuntungannya sendiri. Oek ... Oek ....Leo tersentak dari lamunannya, ternyata Baby Winter bangun dengan sendirinya, bayi itu menggeliat dan menangis kuat, mulutnya mengerucut ingin menghisap sesuatu. Leo tersenyum lega, ternyata Baby Winter sangat mengerti dengan apa yang Paman Leo inginkan, ya? Sudut bibir Leo melengkung dengan lebar."Zahira, tolong panggilkan Mira, sepertinya Baby Winter sudah haus," perintah Leo.Zahira segera berlari memanggil Mira, wanita itu datang dengan tergo
Edi menemani Hendriyanto ke dokter Pamungkas, klinik mereka ada di lantai satu, Edi memang selalu mengikuti Hendriyanto kontrol, karena segala jenis surat menyurat dan tagihan rumah sakit Edi yang mengurusnya. Ketika mereka selesai pemeriksaan, dokter mengambil sperma Hendriyanto dan akan mengeceknya di labolatorium, hasil kemarin tidak ada masalah pada kesuburan lelaki itu, tetapi kenapa kejantanannya tidak bisa ereksi? Ketika keluar dari ruang dokter, tidak sengaja melihat Mira yang akan menuju ke kasir pembayaran, mata Mira memicing menatap lelaki yang masih jadi suaminya itu keluar dari ruang praktek dokter andrologi. Hendri yang melihat Mira tentu mendengus kesal, dari tadi ditungguin kenapa wanita ini malah berada di sini. Ditelpon tidak diangkat, di kirimi pesan juga tidak dibalas, boro-boro dibalas, dibaca saja tidak. "Mas Hendri, kenapa kau keluar dari ruang praktek dokter andrologi? Apa anu-mu bermasalah?" Wajah Hendri langsung menegang mendengar pertanyaan Mira, sedangk
Sementara Hendriyanto sudah semangat empat lima ingin menjemput Mira. Dia memarkirkan kendaraannya di tempat Mira tadi memarkirkan mobilnya. Namun Hendriyanto tidak melihat keberadaan mobil wanita itu, apakah sudah dibawa oleh temannya? Waktu sudah menunjukkan jam satu lewat lima belas menit, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan wanita yang ditunggunya. Hendriyanto keluar dari mobil, berdiri mondar-mandir dengan gelisah. Apakah wanita itu sengaja mangkir dari pertemuannya? Hendriyanto menunggu selama sepuluh menit lagi, tetapi masih juga Mira tidak muncul, lelaki itu semakin tidak sabar. Lelaki itu langsung saja berjalan menuju ke kantor dosen, untuk mencari Mira. Sampai di kantor dosen, Hendriyanto bertanya pada seseorang yang ditemuinya, orang itu menunjukkan di mana letak kantor Mira, ketika dia menuju kantor Mira, di lorong dia bertemu dengan Jovan, Hendriyanto hapal betul jika lelaki itu bersama Mira waktu pesta itu. "Maaf, permisi ... Apa anda kenal Mirayanti, dosen di sini
"Halo, Cantik. Bagaimana keadaanmu sekarang?" sapa dokter itu dengan ramah. Mira menoleh ke sumber suara, tetapi matanya membelalak melihat siapa yang datang."Hasbi?" "Astaga! Mira?"Dokter Hasbi juga terkejut melihat teman lamanya berada di hadapannya, empat tahun tidak bertemu, tentu saja Hasbi sangat penasaran dengan kabar temannya yang dia bantu melarikan diri dari suaminya."Mira, jadi ini anakmu yang itu?" Hasbi mendekati Mira dengan senyum mengembang."Iya, yang kau bantu dulu.""Ternyata waktu cepat sekali berlalu, kau sudah besar, Nak." Hasbi mengelus kepala Winter yang kini dibalut oleh kain kasa."Halo, Sayang. Om ini teman Mama kamu, namamu Winter, bukan?" sapa Hasbi pada anak kecil di hadapannya."Jadi Om dokter temannya Mama Wintel?""Iya, senang banget melihatmu tumbuh besar dan sehat seperti ini.""Tapi aku cekalang lagi gak sehat, Om? Ini kepala aku cakit," ujar Winter membuat Hasbi tertawa, benar juga dia kan lagi sakit."Mira, bagaimana kabar kamu? Setelah melari
"Siapa Winter?" Hendri memang sungguh kepo dengan anak itu, bagaimanapun dia sudah melihat anak itu tadi, sikapnya yang terkesan dingin kepada Mira sesungguhnya hanya menutupi perasaannya yang menggebu dan penasaran dengan kehidupan istrinya sekarang ini. "Itu ... Winter, Winter itu anaknya Zahira. Zahira temanku satu rumah, kami sudah tinggal serumah sejak di Jerman, dia sudah seperti saudariku sendiri." "Oh? Ya, sudah. Nanti kita jemput bersama, bye ... Sampai jumpa nanti siang." Mira hanya terperangah melihat lelaki itu berlalu dari parkiran dengan berjalan tegap. Bahunya yang lebar dan tubuhnya yang jangkung sungguh mempesona terlihat dari belakang, kulitnya yang dulu putih, kini terlihat kecoklatan, justru menambah aura maskulin lelaki itu. Mira tersenyum licik, yah ... Begitu terus Hendri, memang tujuanku begitu. 'Aku harus bersikap sok jual mahal terus, kalau perlu judes dan acuh tak acuh, agar dia semakin penasaran. Kalau perlu kupanasi dengan jalan dengan lelaki lain, j
Pagi-pagi sekali Hendriyanto sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan di dekat rumah Mira, dari pinggir jalan ini, tampak dengan jelas pintu gerbang rumah istri pertamanya itu. Hendriyanto tidak perlu susah payah mencari keberadaan rumah Mira, cukup memerintah Edi maka semua urusan beres, memang sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu dapat diandalkan untuk semua tugas yang dia perintahkan, baik itu kantor ataupun tugas diluar pekerjaannya.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, memang masih terlalu pagi, tetapi Hendri tidak ingin terlewat untuk melihat wanita itu keluar dari rumahnya. Pukul tujuh tepat pagar rumah bercat putih dan abu-abu itu terbuka, sebuah mobil Innova yang terparkir di garasi-pun sudah menyala. Hendriyanto duduk tegak dari duduk bersandarnya, mengamati dengan konsentrasi, dengan siapa Mira hidup di rumah ini? Dia tidak ingin langsung bertamu jika belum menyelidiki, tidak lucu jika ternyata Mira tinggal bersama laki-laki lain dan dia berk
Apa yang menimpa Waluyo tidak jauh berbeda dengan yang tengah dialami Hendriyanto sekarang. Semua pikiran lelaki itu tercurah sepenuhnya pada Mira, wanita yang dia nikahi empat tahun yang lalu. Selama ini Hendriyanto menganggap bahwa Mira bukanlah wanita yang dia cintai, sepenuhnya cintanya hanya untuk Sarah, tetapi ketika dia bertemu kembali dengan wanita itu setelah begitu lama tidak bertemu, kenapa perasaannya jadi tidak karu-karuan begini? Apakah ada yang salah? Perasaan marah, cemburu, rindu campur aduk menjadi satu. Melihat Mira memakai gaun yang sepenuhnya tertutup bahkan kepalanya juga tertutup justru membuat Hendriyanto terpesona, padahal tidak terlihat seksi sama sekali, tetapi aura Mira yang elegan seperti seorang ratu Inggris itulah yang membuat Hendriyanto terpikat dengan sangat dalam. 'Benarkah aku membenci Mira selama ini? Apakah tidak ada perasaan cinta secuilpun untuk wanita itu? Kenapa perasaanku seperti ini?' banyak pertanyaan yang bersemayam di benak lelaki itu.
Hendriyanto tidak lama menghadiri acara pesta Leo, setelah dia memberi kata sambutan tentang kerjasama universitas dengan perusahaan yang tengah dirintisnya, dia segera mengajak Sarah pulang, Waluyo dan pasangannya juga ikut pulang, tetapi Darmawan masih betah di suasana pesta tersebut. Hendriyanto dan Waluyo memang sama sekali tidak senang di pesta tersebut, alasannya sudah pasti tentang wanita masa lalu mereka yang datang juga ke pesta itu yang keihatannya tampak begitu bahagia, apakah wanita-wanita itu sudah melupakan mereka? Atau bahkan sudah menghapus nama mereka di hatinya? Hendriyanto dan Waluyo Hadi sama saja orangnya, seorang lelaki dewasa yang memiliki ego yang tinggi. Kedua lelaki itu merasa sangat tidak nyaman jika wanita yang dulu begitu mencintainya sekarang malah tidak menganggapnya ada, harusnya dia yang membuang wanita-wanita itu, kenapa sekarang mereka berdua yang merasa dibuang? Di buang? Itu sesuatu yang sangat hina, mereka benar-benar merasa terhina. Waluyo me
Mira memasuki aula acara dengan linglung, tungkainya terasa lemas dan pikirannya menjadi kacau. Wajahnya memerah antara menahan amarah dan hasrat terpendam. Setelah mencapai mejanya, dia melihat Leo sudah duduk di sana, sebelahnya duduk dengan manis kakak seniornya Jovan. "Darimana saja kau? Ke toilet kok lama sekali?" tanya Zahira kuatir."Mira! Apakah tasmu ketemu? Aku sudah menunggumu lama," seru Jovan yang merasa senang melihat wanita incerannya, matanya nampak berbinar."Iya, ada kok. Aku hanya turun ke lobi sebentar, kepalaku tiba-tiba sakit," jawab Mira sambil memijit kepalanya."Apakah kepalamu masih sakit? Kalau begitu kita pulang saja agar kau bisa istirahat," kata Leo sangat kuatir."Ah, tidak usah Leo, ini adalah acaramu, tidak baik kau meninggalkan tamu-tamumu. Aku baik-baik saja," ujar Mira dipaksakan tersenyum."Ah, iya. Gimana kalau kamu pulang duluan diantar Jovan? Bagaimana Jovan?" seru Leo.Bagai mendapat durian runtuh, tubuh Jovan bahkan menegak, wajahnya bertamba
"Kau pergi sudah bertahun-tahun, apakah kau tidak merindukan suamimu?" Suara Hendriyanto terdengar parau.Mira menenguk salivanya, mendengar perkataan Hendri membuat tenggorokannya terasa kering. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu? Lelaki ini tidak tahu saja setiap malam Mira selalu menangis dalam diam merindukannya hingga mati rasa. Tetapi mana mungkin Mira akan mengakuinya, dia harus menguatkan diri demi harga dirinya. "Kemana kau pergi selama ini? Kau menghilang seperti ditelan bumi."Mira tersentak menatap manik mata lelaki yang berjarak begitu dekat dengannya, tatapan mata itu? Mira dulu pernah melihat tatapan seperti itu dari lelaki itu, mungkinkah?"Apa pedulimu, aku pergi ke mana? Bukankah ini yang kau mau? Agar aku pergi menjauh darimu? Aku sudah tidak bisa melahirkan anakmu, untuk apa aku masih bertahan disini? Untuk kau siksa? Atau untuk kau hina?"Mira sudah cukup meradang,lelaki dihadapannya benar-benar tidak tahu malu,apakah dia lupa apa yang telah dia perbuat d