"Kita kan baru menikah, Mas. Kenapa kau malah mikirin kerjaan terus sih, Mas?" seru Sarah merasa frustasi.Sarah berpikir setelah menikah maka hubungannya dengan Hendriyanto akan berjalan manis dan menggairahkan, namun kenyataannya sama saja, lelaki itu masih juga seperti sepotong kayu, apakah dia tidak memiliki nafsu?"Jangan sekarang, aku sedang banyak proyek yang akan digarap, masih banyak hari esok, kita tidak akan kekurangan hari, tapi proyek besar seperti ini tidak akan datang dua kali, maafkan aku ya, Sayang," ujar Hendriyanto, lelaki itu langsung bergegas masuk kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya di bawah shower.Kali ini mungkin Hendriyanto bisa beralasan banyak pekerjaan, namun bagaimana selanjutnya? Hendriyanto segera menyabuni seluruh tubuhnya, entah kenapa berdekatan dengan Sarah, apalagi jika wanita itu memberi sinyal untuk melakukan hubungan s*x Hendriyanto justru merasa jijik, anggota tubuhnya langsung melakukan penolakan secara otomatis, dia begitu risih berdek
Ditatapnya Baby Winter yang dalam gendongannya dengan tatapan dalam, dia ingin agar bayi itu terbangun dan memanggil ibunya agar tidak mendekati laki-laki manapun. Agar ibunya selalu berada di samping Paman Leo. Terlintas di pikiran Leo untuk sengaja membangunkannya, mengguncangnya dengan kuat atau mencubitnya sedikit dia rasa dapat membangunkan bayi itu. Namun, segera ditepisnya pikiran jahat itu, dia menyayangi Baby Winter seperti anaknya sendiri, kenapa memanfaatkan dan menyakiti seorang bayi demi keuntungannya sendiri. Oek ... Oek ....Leo tersentak dari lamunannya, ternyata Baby Winter bangun dengan sendirinya, bayi itu menggeliat dan menangis kuat, mulutnya mengerucut ingin menghisap sesuatu. Leo tersenyum lega, ternyata Baby Winter sangat mengerti dengan apa yang Paman Leo inginkan, ya? Sudut bibir Leo melengkung dengan lebar."Zahira, tolong panggilkan Mira, sepertinya Baby Winter sudah haus," perintah Leo.Zahira segera berlari memanggil Mira, wanita itu datang dengan tergo
"Halo? Siapa? Morgan? Ini beneran Morgan?"Mira tampak terkejut hingga terlonjak dari duduk santainya, matanya berbinar terang. Leo yang baru selesai memandikan Baby Winter menatapnya heran, dia tidak tahu apa yang diobrolkan Mira di telpon. Tetapi ketika Mira memanggil nama seorang lelaki, tatapan Leo tampak begitu muram, Morgan? Siapa lagi Morgan? Kenapa banyak laki-laki di sekitaran perempuan itu."Kamu sekarang di mana Morgan? Lama sekali tidak ada kabar darimu," ujar Mira masih di sambungan telepon."Tebak aku di mana?""Ya mana kutahu kau di mana? Kau menghilang seperti jin saja, ngomong-ngomong kau tahu nomor telpon aku dari mana?" ujar Mira sambil tergelak."Aish, aku lebih canggih dari jin, tahu! Aku sekarang ada di Paris.""Di Paris? Dekat aku dong.""Iya, aku sempat pulang ke Indonesia sebulan yang lalu, aku mampir ke rumahmu Kak, tetapi rumahnya sudah di huni orang lain, dan mereka tidak tahu keberadaanmu. Untungnya aku terluka dan di bawa ke rumah sakit dan bertemu temanm
"Apa di negeri ini kekurangan pria? Sehingga kau berpelukan dengan seorang wanita?"Suara itu mengejutkan mereka berdua, seorang pemuda tampan dengan rambut cepak dan kulit coklat sudah berdiri di hadapan mereka, tubuhnya yang tegap dan tinggi tampak menjulang, Mira sampai mendongak untuk melihat wajah pemuda tampan itu."Morgan!" pekiknya setelah mengenali pemuda di hadapannya. Mira spontan menghambur memeluk pemuda itu, Zahira hanya terbengong, Mira sepertinya tidak sadar, bukankah pemuda itu hanya adik angkatnya? Tetapi Zahira tidak dapat melakukan apapun, gadis itu juga cukup terpesona dengan ketampanan dan kegagahan pemuda itu."Kakak Miraku yang cantik, kau masih cantik seperti dulu," Mira melepaskan pelukannya."Kau memang penjahat, Morgan! Setelah kau menghubungiku setahun yang lalu, kau tidak pernah menghubungiku lagi, ketika aku berinisiatif menghubungimu, kenapa nomormu tidak aktif lagi?" hardik Mira sambil memukul pemuda itu, tentu saja pukulan Mira hanya seperti belaian
Tiga tahun kemudian ....Mira tampak begitu lelah namun wajahnya tersenyum ceria, perjuangannya selama empat tahun di negeri orang berakhir sudah, ijazah megisternya sudah di tangan dan acara wisuda yang ditunggu-tunggu tadi siang sudah terlaksana. Winter Sonata, anak gadisnya yang kini berusia empat tahun tampak tertidur di gendongan Bibi Marni. Yah, mereka sekarang hanya bertiga. Zahira lulus satu tahun lalu dan kembali ke tanah air, Leo menerimanya di kampusnya sebagai tenaga pengajar. Zahira sebenarnya keberatan meninggalkan sahabatnya itu, dia ingin mendampingi Mira sampai Mira selesai, namun ternyata pihak kampus sudah memanggilnya, dia tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan yang datang.Leo sendiri sudah ketanah air enam bulan sebelum Zahira pulang, kecerdasan dan kepintaran Leo membuat studinya cepat selesai, Mira sangat mengagumi kecerdasan adik iparnya itu, andai saja kecerdasannya dapat di transfer padanya sepuluh persen saja, mungkin Mira dapat menyelesaikan kuliahnya lebih
Siang hari Mira mengajak Zahira untuk berbelanja baju untuk pesta nanti malam, Zahira merekomendasikan butik busana muslim langganannya. Zahira bukanlah wanita lugu yang tidak tahu tentang fashion dan mode, pergaulannya di masa lalu tidak terlepas dari fashion dan mode karena dia juga seorang model busana di kota kelahirannya, Surabaya. Wajahnya yang cantik, seperti ras campuran timur tengah, dengan postur tubuh tinggi begitu menjanjikan di dunia modeling, namun kisah cintanya yang begitu suram membuatnya mengubur dalam-dalam dunia yang ditekuninya, apalagi semenjak dia bertekad untuk berhijrah, dunia pendidikan menjadi pilihan yang nyaman lahir bathinnya.Mira tahu banyak jenis mode dan fashion dari Zahira, walaupun gadis itu tidak menekuni dunia modeling lagi, namun kesukaannya pada fashion tidak pernah lepas dari hidupnya, dia masih berlangganan majalah mode, terutama busana muslim yang tengah dia gandrungi. Ketika memasuki butik, Zahira memilihkan beberapa gaun dan gamis yang sesu
Melihat kedatangan mereka, Mira spontan memegang dan mencengkeram tangan Leo dengan keras, lelaki itu paham apa yang dipikirkan wanita di sampingnya."Kenapa dia datang ke sini juga?" Suara Zahira membuat Mira terperangah, Mira segera menatap gadis di sebelahnya, Zahira menatap rombongan Hendriyanto dengan tatapan rumit."Kau tahu jika lelaki itu suamiku?" tanya Mira berbisik pada Zahira."Suamimu? Yang mana?" Zahira tampak kebingungan, membuat Mira juga bingung, jadi siapa yang Zahira maksud."Yang memakai jas abu-abu silver," ujar Mira "Benarkah? Itu suamimu Mira? Dia tampan sekali, auranya juga mendominasi," kata Zahira mendesakkan kekaguman."Iya, terus siapa yang kau maksud tadi?" "Benar-benar kebetulan yang tak terduga, lelaki di belakangnya itu mantan pacarku." Suara Zahira bergetar, dia sepertinya sedikit shock melihat mantan pacarnya juga hadir di sini."Siapa? Darmawan atau Waluyo?" kejar Mira."Kau juga kenal mereka? Mantan pacarku Waluyo," bisik Zahira."Apa? Aku tidak
Hendriyanto dengan perlahan menghampiri Leo, Sarah ingin mengikutinya tapi ditahan oleh Waluyo."Sarah, duduk di sini saja!" cegah Waluyo."Apaan, sih. Aku ingin ke sana mendampingi suamiku," seru Sarah."Tidak perlu, mari duduk saja di sini, statusmu bukan istri resmi Hendri, Hendri akan menemui rektor universitas ini, sebaiknya kau tidak merendahkan harga diri suamimu itu," kata Waluyo."Biarkan dia ikut, Waluyo!" Sergah Darmawan, lelaki itu tersenyum sarkas.Darmawan sudah lama menanti kehancuran Hendri dan Mira, hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggunya. Tidak ada yang menyangka bagaimana gembiranya Darmawan melihat bidadari pujaannya itu, berbagai rencana kembali disusunnya kembali di otaknya, hatinya meletup bahagia, kerinduan terlarangnya membuat hatinya bertambah tidak karu-karuan."Aku akan pergi!" ujar Sarah tanpa bisa dicegah.****"Selamat malam, Pak Leo. Selamat atas kenaikan jabatan anda," ujar Hendriyanto mengejutkan semua orang.Hendri benar-benar menguatkan dirinya
Edi menemani Hendriyanto ke dokter Pamungkas, klinik mereka ada di lantai satu, Edi memang selalu mengikuti Hendriyanto kontrol, karena segala jenis surat menyurat dan tagihan rumah sakit Edi yang mengurusnya. Ketika mereka selesai pemeriksaan, dokter mengambil sperma Hendriyanto dan akan mengeceknya di labolatorium, hasil kemarin tidak ada masalah pada kesuburan lelaki itu, tetapi kenapa kejantanannya tidak bisa ereksi? Ketika keluar dari ruang dokter, tidak sengaja melihat Mira yang akan menuju ke kasir pembayaran, mata Mira memicing menatap lelaki yang masih jadi suaminya itu keluar dari ruang praktek dokter andrologi. Hendri yang melihat Mira tentu mendengus kesal, dari tadi ditungguin kenapa wanita ini malah berada di sini. Ditelpon tidak diangkat, di kirimi pesan juga tidak dibalas, boro-boro dibalas, dibaca saja tidak. "Mas Hendri, kenapa kau keluar dari ruang praktek dokter andrologi? Apa anu-mu bermasalah?" Wajah Hendri langsung menegang mendengar pertanyaan Mira, sedangk
Sementara Hendriyanto sudah semangat empat lima ingin menjemput Mira. Dia memarkirkan kendaraannya di tempat Mira tadi memarkirkan mobilnya. Namun Hendriyanto tidak melihat keberadaan mobil wanita itu, apakah sudah dibawa oleh temannya? Waktu sudah menunjukkan jam satu lewat lima belas menit, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan wanita yang ditunggunya. Hendriyanto keluar dari mobil, berdiri mondar-mandir dengan gelisah. Apakah wanita itu sengaja mangkir dari pertemuannya? Hendriyanto menunggu selama sepuluh menit lagi, tetapi masih juga Mira tidak muncul, lelaki itu semakin tidak sabar. Lelaki itu langsung saja berjalan menuju ke kantor dosen, untuk mencari Mira. Sampai di kantor dosen, Hendriyanto bertanya pada seseorang yang ditemuinya, orang itu menunjukkan di mana letak kantor Mira, ketika dia menuju kantor Mira, di lorong dia bertemu dengan Jovan, Hendriyanto hapal betul jika lelaki itu bersama Mira waktu pesta itu. "Maaf, permisi ... Apa anda kenal Mirayanti, dosen di sini
"Halo, Cantik. Bagaimana keadaanmu sekarang?" sapa dokter itu dengan ramah. Mira menoleh ke sumber suara, tetapi matanya membelalak melihat siapa yang datang."Hasbi?" "Astaga! Mira?"Dokter Hasbi juga terkejut melihat teman lamanya berada di hadapannya, empat tahun tidak bertemu, tentu saja Hasbi sangat penasaran dengan kabar temannya yang dia bantu melarikan diri dari suaminya."Mira, jadi ini anakmu yang itu?" Hasbi mendekati Mira dengan senyum mengembang."Iya, yang kau bantu dulu.""Ternyata waktu cepat sekali berlalu, kau sudah besar, Nak." Hasbi mengelus kepala Winter yang kini dibalut oleh kain kasa."Halo, Sayang. Om ini teman Mama kamu, namamu Winter, bukan?" sapa Hasbi pada anak kecil di hadapannya."Jadi Om dokter temannya Mama Wintel?""Iya, senang banget melihatmu tumbuh besar dan sehat seperti ini.""Tapi aku cekalang lagi gak sehat, Om? Ini kepala aku cakit," ujar Winter membuat Hasbi tertawa, benar juga dia kan lagi sakit."Mira, bagaimana kabar kamu? Setelah melari
"Siapa Winter?" Hendri memang sungguh kepo dengan anak itu, bagaimanapun dia sudah melihat anak itu tadi, sikapnya yang terkesan dingin kepada Mira sesungguhnya hanya menutupi perasaannya yang menggebu dan penasaran dengan kehidupan istrinya sekarang ini. "Itu ... Winter, Winter itu anaknya Zahira. Zahira temanku satu rumah, kami sudah tinggal serumah sejak di Jerman, dia sudah seperti saudariku sendiri." "Oh? Ya, sudah. Nanti kita jemput bersama, bye ... Sampai jumpa nanti siang." Mira hanya terperangah melihat lelaki itu berlalu dari parkiran dengan berjalan tegap. Bahunya yang lebar dan tubuhnya yang jangkung sungguh mempesona terlihat dari belakang, kulitnya yang dulu putih, kini terlihat kecoklatan, justru menambah aura maskulin lelaki itu. Mira tersenyum licik, yah ... Begitu terus Hendri, memang tujuanku begitu. 'Aku harus bersikap sok jual mahal terus, kalau perlu judes dan acuh tak acuh, agar dia semakin penasaran. Kalau perlu kupanasi dengan jalan dengan lelaki lain, j
Pagi-pagi sekali Hendriyanto sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan di dekat rumah Mira, dari pinggir jalan ini, tampak dengan jelas pintu gerbang rumah istri pertamanya itu. Hendriyanto tidak perlu susah payah mencari keberadaan rumah Mira, cukup memerintah Edi maka semua urusan beres, memang sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu dapat diandalkan untuk semua tugas yang dia perintahkan, baik itu kantor ataupun tugas diluar pekerjaannya.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, memang masih terlalu pagi, tetapi Hendri tidak ingin terlewat untuk melihat wanita itu keluar dari rumahnya. Pukul tujuh tepat pagar rumah bercat putih dan abu-abu itu terbuka, sebuah mobil Innova yang terparkir di garasi-pun sudah menyala. Hendriyanto duduk tegak dari duduk bersandarnya, mengamati dengan konsentrasi, dengan siapa Mira hidup di rumah ini? Dia tidak ingin langsung bertamu jika belum menyelidiki, tidak lucu jika ternyata Mira tinggal bersama laki-laki lain dan dia berk
Apa yang menimpa Waluyo tidak jauh berbeda dengan yang tengah dialami Hendriyanto sekarang. Semua pikiran lelaki itu tercurah sepenuhnya pada Mira, wanita yang dia nikahi empat tahun yang lalu. Selama ini Hendriyanto menganggap bahwa Mira bukanlah wanita yang dia cintai, sepenuhnya cintanya hanya untuk Sarah, tetapi ketika dia bertemu kembali dengan wanita itu setelah begitu lama tidak bertemu, kenapa perasaannya jadi tidak karu-karuan begini? Apakah ada yang salah? Perasaan marah, cemburu, rindu campur aduk menjadi satu. Melihat Mira memakai gaun yang sepenuhnya tertutup bahkan kepalanya juga tertutup justru membuat Hendriyanto terpesona, padahal tidak terlihat seksi sama sekali, tetapi aura Mira yang elegan seperti seorang ratu Inggris itulah yang membuat Hendriyanto terpikat dengan sangat dalam. 'Benarkah aku membenci Mira selama ini? Apakah tidak ada perasaan cinta secuilpun untuk wanita itu? Kenapa perasaanku seperti ini?' banyak pertanyaan yang bersemayam di benak lelaki itu.
Hendriyanto tidak lama menghadiri acara pesta Leo, setelah dia memberi kata sambutan tentang kerjasama universitas dengan perusahaan yang tengah dirintisnya, dia segera mengajak Sarah pulang, Waluyo dan pasangannya juga ikut pulang, tetapi Darmawan masih betah di suasana pesta tersebut. Hendriyanto dan Waluyo memang sama sekali tidak senang di pesta tersebut, alasannya sudah pasti tentang wanita masa lalu mereka yang datang juga ke pesta itu yang keihatannya tampak begitu bahagia, apakah wanita-wanita itu sudah melupakan mereka? Atau bahkan sudah menghapus nama mereka di hatinya? Hendriyanto dan Waluyo Hadi sama saja orangnya, seorang lelaki dewasa yang memiliki ego yang tinggi. Kedua lelaki itu merasa sangat tidak nyaman jika wanita yang dulu begitu mencintainya sekarang malah tidak menganggapnya ada, harusnya dia yang membuang wanita-wanita itu, kenapa sekarang mereka berdua yang merasa dibuang? Di buang? Itu sesuatu yang sangat hina, mereka benar-benar merasa terhina. Waluyo me
Mira memasuki aula acara dengan linglung, tungkainya terasa lemas dan pikirannya menjadi kacau. Wajahnya memerah antara menahan amarah dan hasrat terpendam. Setelah mencapai mejanya, dia melihat Leo sudah duduk di sana, sebelahnya duduk dengan manis kakak seniornya Jovan. "Darimana saja kau? Ke toilet kok lama sekali?" tanya Zahira kuatir."Mira! Apakah tasmu ketemu? Aku sudah menunggumu lama," seru Jovan yang merasa senang melihat wanita incerannya, matanya nampak berbinar."Iya, ada kok. Aku hanya turun ke lobi sebentar, kepalaku tiba-tiba sakit," jawab Mira sambil memijit kepalanya."Apakah kepalamu masih sakit? Kalau begitu kita pulang saja agar kau bisa istirahat," kata Leo sangat kuatir."Ah, tidak usah Leo, ini adalah acaramu, tidak baik kau meninggalkan tamu-tamumu. Aku baik-baik saja," ujar Mira dipaksakan tersenyum."Ah, iya. Gimana kalau kamu pulang duluan diantar Jovan? Bagaimana Jovan?" seru Leo.Bagai mendapat durian runtuh, tubuh Jovan bahkan menegak, wajahnya bertamba
"Kau pergi sudah bertahun-tahun, apakah kau tidak merindukan suamimu?" Suara Hendriyanto terdengar parau.Mira menenguk salivanya, mendengar perkataan Hendri membuat tenggorokannya terasa kering. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu? Lelaki ini tidak tahu saja setiap malam Mira selalu menangis dalam diam merindukannya hingga mati rasa. Tetapi mana mungkin Mira akan mengakuinya, dia harus menguatkan diri demi harga dirinya. "Kemana kau pergi selama ini? Kau menghilang seperti ditelan bumi."Mira tersentak menatap manik mata lelaki yang berjarak begitu dekat dengannya, tatapan mata itu? Mira dulu pernah melihat tatapan seperti itu dari lelaki itu, mungkinkah?"Apa pedulimu, aku pergi ke mana? Bukankah ini yang kau mau? Agar aku pergi menjauh darimu? Aku sudah tidak bisa melahirkan anakmu, untuk apa aku masih bertahan disini? Untuk kau siksa? Atau untuk kau hina?"Mira sudah cukup meradang,lelaki dihadapannya benar-benar tidak tahu malu,apakah dia lupa apa yang telah dia perbuat d