Mira sudah berada dalam pesawat kelas bisnis malam ini, Leo yang telah memesankan tiketnya. Adik iparnya itu tahu cara menghargainya yang tengah hamil muda, Mira tidak bakal tahan melakukan penerbangan panjang di bangku ekonomi. Walau sebenarnya Mira mampu membeli tiket pesawat sendiri, dia adalah anak tunggal, ayahnya telah memberi warisan yang tidak sedikit dalam bentuk investasi saham dan deposito. Setiap bulan deviden saham akan masuk ke rekening khusus, hasil deposito juga dibuatkan rekening khusus. Sejak ayahnya meninggal enam bulan yang lalu, dia tidak pernah memakai uang di rekening itu sama sekali, karena ada suaminya yang memenuhi kebutuhannya.
Suaminya? Sekarang lelaki bermata almond itu bukan lagi suaminya, Mira sudah menandatangani surat gugatan cerai tadi pagi. Semoga saja Edi dan Hasbi dapat mengurusnya, sehingga dia bisa lepas dari Hendriyanto ..."Hendriyanto ...," bisik Mira menyebut nama lelaki itu, dadanya terasa sesak, masih ada kerinduan yang mendalam di lubuk hatinya.Bulir bening tak terasa mengalir deras ke pipinya. Mengingat lelaki itu sungguh menyakitkan, kenapa ketika menggenggam cinta, Mira harus menyerahkan hati sepenuhnya? Mira menyesali kebodohannya, namun dia tidak bisa menapik semua itu, karena ketika dia jatuh cinta, secara naluri dia hanya jatuh cinta pada satu pria. Selama 23 tahun hidup di dunia ini, Hendriyanto adalah cinta pertama untuk Mira, wanita polos itu menyangka bahwa cinta itu akan hidup hingga sisa usianya. Namun sayang, Mira bukanlah cinta pertama lelaki itu, dia adalah cinta keduanya, cinta pertama lelaki itu adalah Sarah, wanita yang dengan mudah menyingkirkannya.Tunggu ....Wanita itu tidak mudah menyingkirkannya, dia melakukan segala cara, hingga Mira harus menyerah. Perubahan pada Hendriyanto tentu saja bisa langsung disadari oleh Mira dan Edi sebagai orang terdekat lelaki itu."Edi, apakah kau menyadari bahwa Mas Hendri berubah, seolah-olah itu bukan dia," tanya Mira ketika Edi mengantarnya pulang dari cek kandungan."Ya, Bu. Saya menyadarinya, ibu pasti sangat tertekan akhir-akhir ini," jawab Edi sambil menyetir kendaraan."Yah, sebelumnya Mas Hendri tidak akan membiarkan aku cek kandungan tanpa ditemaninya, jawab yang jujur Edi, sebenarnya Mas Hendri sekarang ke mana?" "Ibu pasti tahu dia kemana, sejak kecelakaan proyek yang menyebabkan banyak luka dan korban di lokasi konstruksi, Bu Mira tahukan? Jika trauma masa lalu Pak Hendri yang mengalami langsung kecelakaan di tol dengan keluarganya, dia melihat sendiri kedua orang tua dan supirnya meninggal di tempat, hanya dia yang masih hidup. Melihat korban yang berdarah-darah di lokasi konstruksi itu membuat Pak Hendri selalu bermimpi buruk, kadang akan sangat protektif dengan Bu Mira, sehingga ibu sering merasa tertekan." Saat itu Edi mengingatkan dari mana awal musibah ini terjadi."Ya, ketika aku akan membawanya menemui spikiater atau psikolog, ternyata Waluyo dan Darmawan kawan karibnya ketika SMA sudah membawa seorang psikolog ke rumah, tidak disangka, yang mereka bawa adalah cinta pertama suamiku." Mira merasa nasibnya sudah diujung tanduk kala itu.Sekarang wanita itu bukan cuma sekedar psikolognya, dia akan menjadi nyonya Hendriyanto Kusuma menggantikan dirinya, sungguh miris .... Mata Mira akhirnya dapat terpejam malam ini setelah meminum obat yang diberikan oleh dokter Hasbi.****Setelah tiga hari kepergian Mira, Edi menemui Hendriyanto di kantornya dengan berkas perceraian di tangannya, dia sengaja memberi jeda waktu agar Mira dapat pergi tanpa harus dicegah atau dilacak keberadaannya. Edi benar-benar kagum dengan kecerdasan Nyonya Muda itu, dia tidak langsung terbang ke Jerman, untuk menghapus jejak kepergiannya, wanita itu mengambil penerbangan menuju Rusia. Mira akan menaiki kereta api ke Eropa barat, singgah di beberapa tempat destinasi wisata, tempat yang dulu dijanjikan Hendriyanto untuk dikunjungi ketika mereka bulan madu, namun setelah enam bulan mereka menikah, bulan madu itu tidak pernah terjadi, justru madu wanita yang hadir menghampiri. Edi tersenyum miris, dia dulu begitu bahagia ketika pasangan itu berdiskusi dengan seru di dalam mobil yang dia kemudikan tentang rencana bulan madu keliling Eropa tersebut. Setelah mengetuk pintu, terdengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk. Edi sedikit canggung melangkah setelah membuka pintu, di sana Sarah tengah asyik duduk di hadapan bosnya, menyuapi makanan ringan ke mulut lelaki itu."Pak, maaf saya mengganggu," ujar Edi merasa sungkan.Hendriyanto menatap Edi dengan tatapan heran, biasanya Edi akan menyapanya dengan riang, apalagi ada wanita di dekat Hendriyanto maka Edi akan menggodanya dengan gayanya yang khas. Tetapi kenapa Edi sekarang seperti karyawan magang yang takut dipecat?"Ada apa, Edi?" Akhirnya Hendriyanto tak kuasa untuk tidak bertanya pada lelaki berwajah oriental ini."Ini, Pak ... Tadi pengacara Bu Mira datang ke mari dan menyerahkan ini kepada saya, saya sudah katakan untuk langsung menemui Pak Hendri, tapi sepertinya dia sedang buru-buru karena ada urusan yang lain." Edi beralasan, tangan kanannya mengulurkan sebuah dokumen."Pengacara Mira?" tanya Hendri sambil mengernyitkan dahi.Edi hanya mengangguk, ada apa wanita itu mengirimkan surat lewat pengacara? Perasaan Hendriyanto tiba-tiba menjadi tidak enak, apakah ...?Hendriyanto segera membuka surat itu, di sana sudah terpampang tanda tangan perempuan itu. Mata Hendriyanto terpaku menatap isi surat itu, tiba-tiba hatinya terasa nyeri, matanya seperti tertusuk ribuan duri."Surat apa itu, Mas?" Suara Sarah membuyarkan lamunan Hendriyanto."Surat gugatan cerai dari Mira," jawab Hendriyanto lesu."Ah, Mira ... Kenapa dia harus menggugat cerai dirimu, Mas? Sebenarnya dia masih bisa menjadi istri terhormat dari dirimu, Mas. Walaupun anak dalam kandungannya sudah tidak ada, aku ikhlas menjadi wanita yang mencintaimu, aku tidak musti harus menjadi Nyonya Hendriyanto, yang penting bagiku kau membagi sedikit kasih sayangmu," ujar Sarah manja sambil bergelayut di lengan Hendriyanto. "Sarah, kau memang wanita baik, kau wanita suci seperti malaikat," puji Hendriyanto sambil mengusap rambut hitam sepinggang Sarah yang diurai dengan indah.Mendengar percakapan itu, Edi hampir saja mau muntah. Sungguh munafik wanita iblis ini, perkataannya hanya kamuflase, dia pintar sekali memutar kata, membuat orang lain merasa buruk dan membuat dia menjadi lebih mulia.'Hendriyanto, benar-benar kasihan dirimu, tetapi aku bisa apa? Istri yang sungguh-sungguh kau cintai saja tidak kau dengar, malah kau campakkan demi wanita ini, apalagi aku yang hanya bawahanmu!' dengus Edi di dalam hati."Tapi, Mas ... Sepertinya Mira benar-benar ingin cerai darimu, mungkin dia tidak mencintaimu lagi, atau ada faktor lain," rayu Sarah lagi."Faktor lain apa?" tanya Hendriyanto cepat."Pertama faktor kesehatan, mungkin? Ada kalanya orang yang pernah keguguran tidak bisa punya anak lagi, sehingga dia minder menjadi istrimu, kau tidak tahu kondisinya, kan? Selama tiga hari ini kau selalu menemaniku, tidak pernah sekalipun menjenguknya."Hendriyanto terpaku, dia memang tidak menjenguk wanita yang masih sah menjadi istrinya setelah dia masuk rumah sakit, tapi buat apa dia menjenguknya, toh anaknya juga sudah tidak ada dalam kandungan. Sudut bibir Sarah melengkung, Mira kau benar-benar akan terlupakan ..."Yang kedua?" Sarah terkejut, ternyata Hendriyanto tidak merespon pernyataannya tadi, justru penasaran dengan pernyataannya selanjutnya, apakah ada tanggapan pada pernyataan selanjutnya?"Yang kedua karena faktor ekonomi, tapi yang ini gaklah, gak mungkin suami seperti dirimu terkena faktor ekonomi, yang terakhir karena ada pria lain yang lebih membuatnya nyaman dan bahagia," ujar Sarah."Apa? Ada pria lain? Maksudmu selingkuhan? Jadi selama ini Mira berselingkuh di belakang saya?" seru Hendri meradang."Kenapa engkau musti marah, Mas? Wanita seperti itu memang tidak pantas di pertahankan, ayo segera bubuhi tanda tanganmu, agar proses percerainmu cepat selesai. Kan masih ada aku yang selalu mencintaimu, Hendriku.""Aku pasti akan menandatangi berkas ini, tetapi aku yang akan mengajukan gugatan cerai dan menalaknya. Aku yang akan mencampakannya bukan dia," ujar Hendriyanto geram, dihempaskan kertas di tangannya ke atas meja.Sudut mata Edi menangkap raut wajah Sarah, selintas Edi melihat perempuan itu tersenyum puas, namun seketika wajahnya kembali menyamar menjadi begitu sedih. Edi menyadari perempuan di dekatnya bukan hanya pandai bersandiwara, namun di balik wajah polos dan tulus Sarah, ada serinai kebalikan dari itu, bahkan mungkin lebih bengis. "Baiklah, Mas ... Mas Hendri harus mengontrol emosi, jangan terlalu tertekan, tidak bagus untuk kesehatan spikologimu," ucap Sarah dengan nada lembut penuh perhatian."Yah, untung ada kamu, Sarah. Aku menjadi tidak terlalu tertekan," ucap Hendri, tatapannya yang garang jadi melunak."Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." Edi segera keluar dari ruangan bosnya, dia muak melihat pasangan itu saling memberikan perhatian. Bosnya itu benar-benar sudah bu
Leo menjemput Mira di stasiun, dengan memakai pakaian casual, lelaki itu tampak lebih macho dari yang dilihat Mira enam bulan yang lalu. Tubuhnya yang tinggi nampak begitu menjulang di hadapan Mira, wajahnya dihiasi jenggot tipis dan sedikit cambang menambah aura maskulinnya begitu kentara."Hai, Kakak Ipar! Bagaimana perjalananmu?" sapa lelaki itu dengan wajah gembira."Hai ...." Mira merasa canggung dengan lelaki di hadapannya, rasa gugup terlihat jelas di matanya, bagaimana tidak? Dia baru sekali bertemu dengan adik suaminya, maaf ralat, mungkin sudah menjadi mantan suaminya saat ini. Berkomunikasi jarak jauh lewat sambungan Vidio call juga cuma sekali ketika Hendri mengabarkan kehamilannya dengan gembira, selanjutnya hanya menelponnya ketika dia berencana untuk pergi dari sisi Hendri. Mira hanya tahu jika lelaki ini selalu melanjutkan studi, belum pernah menginjak dunia kerja, tetapi sering melakukan berbagai penelitian di dunia sains dan teknologi, wajar saja jika diusianya ke
Hari itu Mira benar-benar kelelahan, sehingga dia memutuskan istirahat seharian di apartemennya, padahal dia rencananya akan berbelanja pakaian bersama Leo. Kondisinya yang sedang hamil muda membuatnya sering muntah dan tidak enak badan. "Sebaiknya kau istirahat saja, biarkan aku saja yang membelikan pakaian dan keperluanmu," ujar Leo setelah melihat kondisi Mira."Tidak perlu, Leo. Nanti merepotkan mu. Setelah aku sembuh, aku akan membeli semua keperluanku." Mira merasa sungkan selalu merepotkan pria ini."Sebaiknya mulai sekarang kau tidak usah mengatakan seperti itu, karena berani datang padaku, kau harus menerima resikonya, kau harus menerima semua pemberianku dan menerima jika aku mengatur semua kebutuhanmu," ujar Leo dengan arogan.Mira mengatupkan bibirnya mendengar perkataan lelaki itu, dia melihat sisi lain dari seorang Leo. Jika seperti ini, Leo tampak mirip dengan Hendri, apakah semua pria di keluarga Kusuma selalu bersikap demikian? Ya, mungkin saja, Meraka kan memiliki g
Sarah datang lagi mengunjungi Hendri di kantornya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Walaupun ketika Mira masih di sini, wanita itu akan bebas melenggang menemui Hendri di kantornya. Sudah menjadi rahasia umum bagi karyawan di kantor Hendriyanto jika Sarah mutlak menjadi penyebab keretakan rumah tangga bosnya. Para karyawan di kantor ini telah menjadi saksi bagaimana kisah cinta antara bos dan karyawan ini, bagaimana bos mereka mengejar Mira dengan menyingkirkan rasa malu dan meruntuhkan keegoannya.Awal pertemuan mereka sebenarnya bencana yang tidak disengaja bagi Mira. Sudah satu tahun menganggur setelah lulus kuliah, dan berjibaku mencari kerja, mengesampingkan rasa malu setiap saudara atau tetangga akan menanyakan, kerja di mana? Berpendidikan tinggi-tinggi akhirnya nganggur juga. Pada awalnya Mira tidak menggubris cemoohan yang tertuju padanya, namun sejak ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal, Mira terpacu mencari kerja menggantikan ayahnya mencari nafkah. Hari itu Mira be
Mira berkunjung ke apartemen Leo di sore hari. Tujuannya sebenarnya mencari bibi Marni, dia selalu merasa pusing, sehingga tidak selera makan. Dia ingin bibi Marni memijit punggungnya yang sakit. Leo tidak masalah jika Mira selalu berkunjung, lelaki itu justru gembira dengan kedatangannya. Saat Mira berkunjung ternyata Leo sedang makan malam sendirian. Melihat apartemen Leo, Mira begitu terpukau, ternyata ruangannya lebih luas dari apartemennya, memiliki tiga kamar namun dua kamar berada di ruang atas. Di bawah tangga dijadikan rak buku yang berjajar rapi, membuat Mira benar-benar terkesan, Leo memang seorang pembelajar yang pintar."Apartemenmu ternyata tingkat, ya?" seru Mira membuka obrolan di ruang makan."Ya," jawab Leo singkat sambil menyuap makanan."Aku akan sering ke mari untuk membaca semua koleksi bukumu, ada buku-buku novel tidak?" tanya Mira antusias."Sayangnya tidak, buku itu semua buku non fiksi," ujar Leo."Dari buku sebanyak ini gak ada buku novel? Ah, sayang sekali
Tiga bulan sudah Mira berada di negeri Adolf Hitler ini, musim gugur telah tiba, membuat daun maple berserak di setiap sudut jalan. Mira sedikit was-was karena nanti dia akan melahirkan ketika musim dingin datang. Dia sudah menyiapkan sebuah nama untuk putrinya kelak yang berhubungan dengan musim dingin. Salju, winter, mantel? Mira tersenyum geli jika membayangkan itu semua, tetapi jika mengingat Leo ada di sini, rasa cemasnya sedikit berkurang.Malam hari Mira akan mengajak Leo makan malam bersama, makan masakan rumahan yang dibuat Bibi Marni sudah cukup, dia juga tidak tahan dengan udara dingin di luar."Kau akan pergi?" tanya Mira setelah melihat Leo sudah bersiap dengan mantel abu-abunya dan mengenakan sepatu kulit."Ya.""Padahal aku ingin makan malam bersamamu," keluh Mira."Kalau begitu ikutlah denganku, di sana juga ada acara makan-makan," ajak Leo."Acara apa? Memangnya boleh ngajak orang lain?""Terbuka untuk umum. Sebaiknya segera pakailah mantelmu, jangan lupa memakai syal
Hubungan Mira dan Zahira semakin berkembang dan akrab. Mira sudah berbagi semua masalah pada Zahira, tidak ada yang perlu ditutupinya lagi. Berbagi masalah dengan seorang sahabat membuatnya begitu lega, Zahira begitu perhatian sehingga hari-hari Mira lebih bahagia dan semangat. Leo sudah mendaftarkan Mira di program Megister, minggu depan Mira sudah bersiap mengikuti perkuliahan. Mira dan Zahira selalu menghabiskan waktu di akhir pekan atau saat-saat tertentu. Mengingat jarak flat Zahira dan apartemen Mira yang agak jauh, Mira segera menemui Leo pada sore hari. "Leo, aku meminta ijin agar Zahira dapat tinggal bersamaku, aku butuh seorang teman, lagipupa apartemenku memiliki dua kamar kosong. Boleh ya?" "Apakah kau bahagia jika Zahira bersamamu?" "Tentu saja, Zahira sahabat yang baik, dia juga wanita yang cerdas, dia bisa menularkan energi positif untukku," jawab Mira. "Baiklah, yang penting kau senang." Mira bahagia sekali, dia segera memberitahu Zahira, awalnya Zahira meno
Zachary selesai menyerahkan proposal desertasinya kepada profesor Zigler. Di lorong kampus dia bertemu Leo, lelaki itu tampak tampan dengan mantel abu-abu silver. Segera Zachary menghampiri Leo."Assalamualaikum, Brother.""Walaikumsalam, Ustaz Zachary.""Bagaimana, jadi ikut kajian nanti malam? Syekh Salman nanti yang akan mengisi materinya," ujar Zachary mensejajari langkah Leo."Insyaallah, Ustaz. Kenapa bukan Ustaz yang mengisi kajiannya?" "Saya tidak bisa datang awal, saya ada penelitian, saya akan mengisi kajian besok sore untuk para akhwat," ucap Zachary.Leo sekarang sedang semangat mengikuti kajian. Dia juga sering bertemu dan mengajak diskusi Zachary seputar keagamaan terutama ilmu fiqih dan muamalah. Sebagai lulusan magister ilmu kajian Dakwah universitas Madinah, Zachary memiliki kapasitas ilmu yang mumpuni."Ustaz, aku memiliki kasus, apakah kau bisa membantuku?" ucap Leo."Tentu, jika bisa aku pasti membantumu.""Sepupuku seorang pria di Jakarta, memiliki kakak laki-l
Edi menemani Hendriyanto ke dokter Pamungkas, klinik mereka ada di lantai satu, Edi memang selalu mengikuti Hendriyanto kontrol, karena segala jenis surat menyurat dan tagihan rumah sakit Edi yang mengurusnya. Ketika mereka selesai pemeriksaan, dokter mengambil sperma Hendriyanto dan akan mengeceknya di labolatorium, hasil kemarin tidak ada masalah pada kesuburan lelaki itu, tetapi kenapa kejantanannya tidak bisa ereksi? Ketika keluar dari ruang dokter, tidak sengaja melihat Mira yang akan menuju ke kasir pembayaran, mata Mira memicing menatap lelaki yang masih jadi suaminya itu keluar dari ruang praktek dokter andrologi. Hendri yang melihat Mira tentu mendengus kesal, dari tadi ditungguin kenapa wanita ini malah berada di sini. Ditelpon tidak diangkat, di kirimi pesan juga tidak dibalas, boro-boro dibalas, dibaca saja tidak. "Mas Hendri, kenapa kau keluar dari ruang praktek dokter andrologi? Apa anu-mu bermasalah?" Wajah Hendri langsung menegang mendengar pertanyaan Mira, sedangk
Sementara Hendriyanto sudah semangat empat lima ingin menjemput Mira. Dia memarkirkan kendaraannya di tempat Mira tadi memarkirkan mobilnya. Namun Hendriyanto tidak melihat keberadaan mobil wanita itu, apakah sudah dibawa oleh temannya? Waktu sudah menunjukkan jam satu lewat lima belas menit, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan wanita yang ditunggunya. Hendriyanto keluar dari mobil, berdiri mondar-mandir dengan gelisah. Apakah wanita itu sengaja mangkir dari pertemuannya? Hendriyanto menunggu selama sepuluh menit lagi, tetapi masih juga Mira tidak muncul, lelaki itu semakin tidak sabar. Lelaki itu langsung saja berjalan menuju ke kantor dosen, untuk mencari Mira. Sampai di kantor dosen, Hendriyanto bertanya pada seseorang yang ditemuinya, orang itu menunjukkan di mana letak kantor Mira, ketika dia menuju kantor Mira, di lorong dia bertemu dengan Jovan, Hendriyanto hapal betul jika lelaki itu bersama Mira waktu pesta itu. "Maaf, permisi ... Apa anda kenal Mirayanti, dosen di sini
"Halo, Cantik. Bagaimana keadaanmu sekarang?" sapa dokter itu dengan ramah. Mira menoleh ke sumber suara, tetapi matanya membelalak melihat siapa yang datang."Hasbi?" "Astaga! Mira?"Dokter Hasbi juga terkejut melihat teman lamanya berada di hadapannya, empat tahun tidak bertemu, tentu saja Hasbi sangat penasaran dengan kabar temannya yang dia bantu melarikan diri dari suaminya."Mira, jadi ini anakmu yang itu?" Hasbi mendekati Mira dengan senyum mengembang."Iya, yang kau bantu dulu.""Ternyata waktu cepat sekali berlalu, kau sudah besar, Nak." Hasbi mengelus kepala Winter yang kini dibalut oleh kain kasa."Halo, Sayang. Om ini teman Mama kamu, namamu Winter, bukan?" sapa Hasbi pada anak kecil di hadapannya."Jadi Om dokter temannya Mama Wintel?""Iya, senang banget melihatmu tumbuh besar dan sehat seperti ini.""Tapi aku cekalang lagi gak sehat, Om? Ini kepala aku cakit," ujar Winter membuat Hasbi tertawa, benar juga dia kan lagi sakit."Mira, bagaimana kabar kamu? Setelah melari
"Siapa Winter?" Hendri memang sungguh kepo dengan anak itu, bagaimanapun dia sudah melihat anak itu tadi, sikapnya yang terkesan dingin kepada Mira sesungguhnya hanya menutupi perasaannya yang menggebu dan penasaran dengan kehidupan istrinya sekarang ini. "Itu ... Winter, Winter itu anaknya Zahira. Zahira temanku satu rumah, kami sudah tinggal serumah sejak di Jerman, dia sudah seperti saudariku sendiri." "Oh? Ya, sudah. Nanti kita jemput bersama, bye ... Sampai jumpa nanti siang." Mira hanya terperangah melihat lelaki itu berlalu dari parkiran dengan berjalan tegap. Bahunya yang lebar dan tubuhnya yang jangkung sungguh mempesona terlihat dari belakang, kulitnya yang dulu putih, kini terlihat kecoklatan, justru menambah aura maskulin lelaki itu. Mira tersenyum licik, yah ... Begitu terus Hendri, memang tujuanku begitu. 'Aku harus bersikap sok jual mahal terus, kalau perlu judes dan acuh tak acuh, agar dia semakin penasaran. Kalau perlu kupanasi dengan jalan dengan lelaki lain, j
Pagi-pagi sekali Hendriyanto sudah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan di dekat rumah Mira, dari pinggir jalan ini, tampak dengan jelas pintu gerbang rumah istri pertamanya itu. Hendriyanto tidak perlu susah payah mencari keberadaan rumah Mira, cukup memerintah Edi maka semua urusan beres, memang sekretaris sekaligus asisten pribadinya itu dapat diandalkan untuk semua tugas yang dia perintahkan, baik itu kantor ataupun tugas diluar pekerjaannya.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, memang masih terlalu pagi, tetapi Hendri tidak ingin terlewat untuk melihat wanita itu keluar dari rumahnya. Pukul tujuh tepat pagar rumah bercat putih dan abu-abu itu terbuka, sebuah mobil Innova yang terparkir di garasi-pun sudah menyala. Hendriyanto duduk tegak dari duduk bersandarnya, mengamati dengan konsentrasi, dengan siapa Mira hidup di rumah ini? Dia tidak ingin langsung bertamu jika belum menyelidiki, tidak lucu jika ternyata Mira tinggal bersama laki-laki lain dan dia berk
Apa yang menimpa Waluyo tidak jauh berbeda dengan yang tengah dialami Hendriyanto sekarang. Semua pikiran lelaki itu tercurah sepenuhnya pada Mira, wanita yang dia nikahi empat tahun yang lalu. Selama ini Hendriyanto menganggap bahwa Mira bukanlah wanita yang dia cintai, sepenuhnya cintanya hanya untuk Sarah, tetapi ketika dia bertemu kembali dengan wanita itu setelah begitu lama tidak bertemu, kenapa perasaannya jadi tidak karu-karuan begini? Apakah ada yang salah? Perasaan marah, cemburu, rindu campur aduk menjadi satu. Melihat Mira memakai gaun yang sepenuhnya tertutup bahkan kepalanya juga tertutup justru membuat Hendriyanto terpesona, padahal tidak terlihat seksi sama sekali, tetapi aura Mira yang elegan seperti seorang ratu Inggris itulah yang membuat Hendriyanto terpikat dengan sangat dalam. 'Benarkah aku membenci Mira selama ini? Apakah tidak ada perasaan cinta secuilpun untuk wanita itu? Kenapa perasaanku seperti ini?' banyak pertanyaan yang bersemayam di benak lelaki itu.
Hendriyanto tidak lama menghadiri acara pesta Leo, setelah dia memberi kata sambutan tentang kerjasama universitas dengan perusahaan yang tengah dirintisnya, dia segera mengajak Sarah pulang, Waluyo dan pasangannya juga ikut pulang, tetapi Darmawan masih betah di suasana pesta tersebut. Hendriyanto dan Waluyo memang sama sekali tidak senang di pesta tersebut, alasannya sudah pasti tentang wanita masa lalu mereka yang datang juga ke pesta itu yang keihatannya tampak begitu bahagia, apakah wanita-wanita itu sudah melupakan mereka? Atau bahkan sudah menghapus nama mereka di hatinya? Hendriyanto dan Waluyo Hadi sama saja orangnya, seorang lelaki dewasa yang memiliki ego yang tinggi. Kedua lelaki itu merasa sangat tidak nyaman jika wanita yang dulu begitu mencintainya sekarang malah tidak menganggapnya ada, harusnya dia yang membuang wanita-wanita itu, kenapa sekarang mereka berdua yang merasa dibuang? Di buang? Itu sesuatu yang sangat hina, mereka benar-benar merasa terhina. Waluyo me
Mira memasuki aula acara dengan linglung, tungkainya terasa lemas dan pikirannya menjadi kacau. Wajahnya memerah antara menahan amarah dan hasrat terpendam. Setelah mencapai mejanya, dia melihat Leo sudah duduk di sana, sebelahnya duduk dengan manis kakak seniornya Jovan. "Darimana saja kau? Ke toilet kok lama sekali?" tanya Zahira kuatir."Mira! Apakah tasmu ketemu? Aku sudah menunggumu lama," seru Jovan yang merasa senang melihat wanita incerannya, matanya nampak berbinar."Iya, ada kok. Aku hanya turun ke lobi sebentar, kepalaku tiba-tiba sakit," jawab Mira sambil memijit kepalanya."Apakah kepalamu masih sakit? Kalau begitu kita pulang saja agar kau bisa istirahat," kata Leo sangat kuatir."Ah, tidak usah Leo, ini adalah acaramu, tidak baik kau meninggalkan tamu-tamumu. Aku baik-baik saja," ujar Mira dipaksakan tersenyum."Ah, iya. Gimana kalau kamu pulang duluan diantar Jovan? Bagaimana Jovan?" seru Leo.Bagai mendapat durian runtuh, tubuh Jovan bahkan menegak, wajahnya bertamba
"Kau pergi sudah bertahun-tahun, apakah kau tidak merindukan suamimu?" Suara Hendriyanto terdengar parau.Mira menenguk salivanya, mendengar perkataan Hendri membuat tenggorokannya terasa kering. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan itu? Lelaki ini tidak tahu saja setiap malam Mira selalu menangis dalam diam merindukannya hingga mati rasa. Tetapi mana mungkin Mira akan mengakuinya, dia harus menguatkan diri demi harga dirinya. "Kemana kau pergi selama ini? Kau menghilang seperti ditelan bumi."Mira tersentak menatap manik mata lelaki yang berjarak begitu dekat dengannya, tatapan mata itu? Mira dulu pernah melihat tatapan seperti itu dari lelaki itu, mungkinkah?"Apa pedulimu, aku pergi ke mana? Bukankah ini yang kau mau? Agar aku pergi menjauh darimu? Aku sudah tidak bisa melahirkan anakmu, untuk apa aku masih bertahan disini? Untuk kau siksa? Atau untuk kau hina?"Mira sudah cukup meradang,lelaki dihadapannya benar-benar tidak tahu malu,apakah dia lupa apa yang telah dia perbuat d