Laila duduk di dekat jendela kamarnya, membiarkan cahaya bulan yang lembut menyelinap masuk dan membentuk bayangan di lantai. Pikirannya melayang-layang, terperangkap dalam kerumitan perasaannya terhadap Raka. Ada sesuatu yang terus-menerus menghantui pikirannya—seperti benang tak kasatmata yang mencoba menghubungkan potongan-potongan teka-teki tentang perubahan sikap Raka.Angin malam berhembus pelan, membelai pipinya seolah ikut mencoba meredakan keresahan yang merayap di dalam hatinya. Sudah beberapa hari sejak perbincangan terakhir mereka, dan meskipun ada momen-momen singkat di mana Raka tampak lebih terbuka, selalu ada sesuatu yang seolah tertahan di balik sikapnya. Sesuatu yang membuat Raka menarik diri kembali setiap kali mereka mulai merasa lebih dekat.Laila mengingat percakapan mereka di luar kantor, di mana untuk pertama kalinya ia merasakan adanya kehangatan dalam kata-kata Raka. Namun, di balik kehangatan itu, ia merasakan sebuah tembok—sebuah penghalang yang sulit ditem
Langit di luar tampak murung, memancarkan nuansa kelabu yang seolah mencerminkan suasana di dalam ruangan. Meja-meja di kantor penuh dengan dokumen yang berserakan, laptop-laptop yang terus menyala dengan layar-layar penuh grafik dan angka, serta suara ketukan jari di keyboard yang terdengar seperti orkestra yang kacau. Setiap orang di tim mereka bergerak dengan cepat, mencoba menahan krisis yang tak terduga ini. Laila duduk di sudut ruangan, matanya penuh perhatian memandangi laporan yang baru saja ia terima.Proyek besar yang mereka kerjakan selama beberapa bulan terakhir tiba-tiba mengalami masalah yang begitu serius. Salah satu server utama mereka mengalami gangguan, menyebabkan hilangnya sebagian data yang krusial. Semua laporan keuangan, data pelanggan, hingga catatan proyek yang sedang berlangsung tersendat—semuanya hilang begitu saja dalam sekejap.Laila merasa seluruh ruangan ini terjebak dalam ketegangan yang pekat. Setiap langkah yang diambil harus hati-hati, seolah-olah me
Pagi itu di kantor, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Proyek yang tengah mereka garap semakin menuntut, menyita setiap detik dan tenaga. Laila duduk di meja kerjanya, matanya terus menatap layar komputer, namun pikirannya terbang jauh. Di sela-sela ketegangan pekerjaan, ada percakapan-percakapan kecil yang tak terucap, percakapan yang tertahan di antara dirinya dan Raka. Meskipun malam sebelumnya mereka sudah mulai saling membuka diri, ada banyak hal yang masih belum selesai.Raka, di sisi lain, duduk tak jauh dari Laila. Wajahnya terlihat lelah, namun sorot matanya mengisyaratkan lebih dari sekadar kelelahan fisik. Ada sesuatu yang tertahan dalam dirinya—sebuah pertempuran batin yang tak terlihat oleh orang lain. Dia tahu bahwa pada akhirnya, dia harus membuka dirinya lebih dalam kepada Laila. Ketakutan dan rasa bersalah yang telah lama menghantuinya tak bisa lagi ia pendam.Di tengah kesibukan kantor, Raka memutuskan untuk mengambil langkah kecil. Saat rekan-rekan kerja mere
Matahari pagi yang masih lembut menyelinap masuk melalui jendela kaca ruang rapat, memberikan kehangatan yang samar di tengah ruangan yang dingin oleh hembusan AC. Raka duduk di satu ujung meja, sementara Laila duduk di seberangnya. Mereka berdua memulai pertemuan itu dengan tujuan yang jelas: membahas kemajuan proyek besar yang sedang mereka kerjakan. Namun, di balik percakapan formal yang mereka ucapkan, ada ketegangan emosional yang tak bisa mereka abaikan.“Bagaimana dengan pembaruan pada desain presentasi? Sudahkah tim kreatif menyelesaikan bagian yang diminta klien?” tanya Raka, suaranya terdengar profesional, tetapi nadanya menunjukkan bahwa pikirannya setengah berada di tempat lain.Laila melihat ke arah tumpukan berkas di hadapannya, meski pikirannya tak sepenuhnya terfokus pada pekerjaan. “Ya, mereka sudah menyelesaikan revisi terakhir, hanya perlu sedikit polesan pada beberapa detail warna yang diinginkan klien. Tapi secara keseluruhan, sepertinya kita sudah berada di jalur
Fajar perlahan-lahan menyelinap ke dalam ruang kantor kecil itu, membingkai jendela dengan cahaya lembut. Laila tiba lebih awal dari biasanya. Ada sebuah keinginan dalam hatinya untuk berbicara dengan Raka, untuk menguatkannya, dan menunjukkan bahwa apapun yang terjadi, dia ada di sini. Kegelisahan semalam masih menyisakan jejak di matanya, tapi hatinya kokoh. Dia telah memutuskan bahwa hari ini akan menjadi hari di mana dia menawarkan dukungan sepenuh hati, tanpa syarat.Ketika Raka akhirnya tiba, Laila memperhatikan dengan cermat langkahnya yang perlahan, roda kursi yang berputar dengan suara lembut menyusuri lantai. Ada sesuatu yang membuat Raka terlihat lebih ragu dari biasanya, seolah ada bayang-bayang keraguan yang kembali menghantuinya. Laila bisa merasakan betapa pria itu ingin terlihat kuat di hadapannya, namun ia tahu bahwa luka yang tidak tampak selalu jauh lebih dalam.“Raka,” Laila memanggil dengan suara yang lembut namun penuh keteguhan. “Ada hal yang ingin aku bicarakan
Laila duduk di sudut ruangan, terdiam dengan pikiran yang mengalir tak menentu. Hatinya masih terasa perih setelah penolakan Raka, kata-kata tajam yang menembus dirinya, seakan menunjukkan bahwa upayanya untuk menyentuh hati Raka selama ini hanyalah sia-sia. Tapi di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mengusik pikirannya: kesadaran bahwa luka yang Raka sembunyikan ternyata lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.Ia memejamkan matanya, membiarkan kenangan perbincangan terakhir mereka bermain kembali di benaknya. Ia bisa melihat ketakutan di mata Raka, ketakutan yang dibungkus dengan kemarahan dan penolakan. Dalam penolakan itu, Laila kini menyadari bukan sekadar keengganan Raka untuk terbuka, tetapi ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang bahkan mungkin Raka sendiri takut untuk hadapi.“Raka…” ia berbisik pelan, seakan berharap angin bisa membawa suaranya sampai kepada Raka. “Mengapa kamu begitu takut untuk mempercayai? Mengapa kamu menganggap dirimu begitu
Senja mulai merona di langit, sinarnya menyusup lembut melalui jendela besar di sudut kafetaria kantor. Suasana di sekeliling terasa lengang, hanya menyisakan beberapa pegawai yang sibuk dengan obrolan ringan, termasuk Laila yang tampak larut dalam renungannya. Ia menyesap kopinya perlahan, merasakan kehangatan yang seolah meresap ke dalam hati, namun tak sepenuhnya mampu menghapus gundah yang menyelimuti pikirannya.Dari kejauhan, Bayu, salah satu rekan kerja Raka yang selama ini diam-diam mengamati kedekatan Laila dengan Raka, menghampirinya. Wajahnya memancarkan kedewasaan dan kebijaksanaan yang dibangun dari tahun-tahun panjang bekerja dan menghadapi liku hidup. Bayu duduk di seberang Laila, mengangguk penuh penghargaan seolah meminta izin untuk berbagi sesuatu yang penting."Sudah lama aku ingin bicara denganmu, Laila," ujar Bayu, membuka percakapan. "Aku tahu kamu dekat dengan Raka, dan aku rasa kamu berhak tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi."Laila meletakkan
Hari itu, di ruangan rapat yang megah dan dipenuhi keheningan yang sarat dengan harapan, Laila dan Raka duduk bersebelahan di meja panjang, mempersiapkan presentasi yang sudah mereka susun dengan cermat. Ada banyak pasangan mata yang memandang mereka, penuh ekspektasi dan harap, tetapi bagi keduanya, tatapan-tatapan itu seakan lenyap, berganti dengan fokus yang mendalam.Raka memandang layar di depannya dengan tenang, tangannya berusaha menyembunyikan kegugupan kecil yang bergejolak di balik eksterior yang tenang. Di sampingnya, Laila menyapukan pandangan sekejap ke arahnya, memberikan senyum lembut yang tak terucap tetapi terasa mendalam. Dalam diam, ia menyampaikan keteguhan hati dan dukungannya, mengingatkan Raka bahwa ia tidak sendirian.Rapat itu dimulai dengan irama yang teratur, mempertemukan banyak pikiran yang berdesir dalam hiruk-pikuk rencana dan visi. Laila membuka presentasi dengan lantang, suaranya jernih dan penuh keyakinan. Kata-katanya tersusun rapi, seperti untaian k
Pagi itu, matahari bersinar lembut, menciptakan siluet indah di antara dedaunan yang bergoyang oleh angin. Raka duduk di salah satu sudut kafe kecil yang sunyi, mengamati secangkir kopi di depannya dengan tatapan yang kosong. Waktu terasa melambat, membiarkan keheningan mengambil alih pikirannya.Namun, hari yang tenang itu tiba-tiba terusik ketika seseorang memasuki kafe. Sosok yang membuat jantung Raka seakan berhenti berdetak. Tatapan matanya membeku, dan napasnya tertahan ketika sosok itu menatapnya, dengan raut yang tak kalah terkejut.Sosok tersebut adalah Awan, sahabat yang dulu selalu ada di sisinya. Awan, orang yang bersamanya saat kecelakaan tragis itu terjadi. Saat itu, hidup Raka berubah seketika, dan kehadiran Awan saat ini membawa kembali semua ingatan pahit yang sudah lama ia coba kubur dalam-dalam.Raka tersentak mundur, seolah diselimuti awan kelabu yang menutupi cahaya pagi itu. Jiwanya bergolak, merasakan badai yang bergemuruh di dalam dadanya. Pandangannya mulai ka
Pagi yang tenang menyambut Laila dengan embun yang menggantung di ujung daun, mencerminkan sinar matahari yang lembut. Ia duduk di bangku taman kecil di dekat tempat mereka bekerja, menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk. Ada senyum lembut di wajahnya, senyum yang lahir dari perasaan hangat yang bertumbuh pelan di dalam hatinya. Bersama Raka, ia merasakan bahwa langkah kecil dalam hubungan mereka telah terukir, meskipun itu hanya sekilas. Namun, ia tahu bahwa hati Raka masih seperti jendela yang setengah tertutup, mengizinkannya untuk melihat hanya sebagian kecil dari dirinya yang sejati.Ia memandang langit yang biru jernih, membayangkan perjalanan yang telah ia lalui dengan Raka hingga saat ini. Setiap pertemuan, percakapan, dan momen-momen kecil yang ia habiskan bersama Raka membawanya semakin dekat, seperti irama lembut musik yang perlahan merasuk ke dalam jiwa. Meskipun Raka belum sepenuhnya membuka hatinya, ia bisa merasakan bahwa ada kemajuan, ada benih yang mulai tumbuh d
Di pagi yang tenang, Raka dan Laila tiba di kantor dengan hati yang hangat, masih terasa kehadiran keheningan indah dari malam sebelumnya. Mereka telah menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka, meski belum seluruhnya terbuka. Ada perasaan bahwa sesuatu sedang tumbuh di antara mereka, seperti benih cinta yang perlahan-lahan mulai berakar di dalam hati.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Pagi ini, kabar buruk datang menghampiri. Salah satu klien besar mereka baru saja membatalkan kontrak mendadak karena ada masalah yang terlewat dalam analisis proyek. Situasi ini bukan hanya berpotensi menghambat keberlangsungan proyek, tetapi juga mengancam reputasi perusahaan. Berita itu langsung menggetarkan suasana tim, membuat setiap orang merasa cemas dan bingung harus berbuat apa.Raka menghela napas panjang, menatap layar komputernya yang kini dipenuhi dengan laporan-laporan berwarna merah. Ia tahu bahwa ini adalah krisis yang sulit, dan jalan keluarnya tidak akan mudah ditemukan.
Di antara embun pagi yang menyelimuti bumi dan cahaya mentari yang perlahan mengintip dari balik bukit, suasana pagi itu penuh ketenangan. Laila dan Raka duduk berdua di sebuah bangku kayu, menghadap ke arah danau yang memantulkan cahaya langit dengan begitu indah. Keheningan pagi memberi mereka ruang untuk merenung, untuk merasakan kehadiran satu sama lain tanpa kata-kata.Laila memandang Raka dengan lembut. Di matanya, Raka bukan hanya pria yang sedang berjuang melawan ketakutan dan keraguan. Ia melihat kekuatan, keberanian, dan kerendahan hati yang begitu tulus. Namun, ia juga melihat ketakutan yang membayangi setiap langkah Raka, ketakutan yang membuatnya sulit menerima dirinya apa adanya. Laila ingin menunjukkan padanya bahwa cinta sejati tidak mengenal batasan—tidak pada fisik, tidak pada luka, dan tidak pada ketidaksempurnaan.“Raka,” Laila memulai, suaranya penuh kelembutan. “Kenapa kamu masih ragu? Apakah luka itu, ketakutan itu, begitu besar hingga mengalahkan segala keingin
Pagi itu, Laila duduk di ruang kerja dengan secangkir teh di tangannya. Pikirannya melayang, tertuju pada sosok Raka dan dinding-dinding yang masih ia lihat di hati lelaki itu. Di balik sikap lembut yang mulai Raka tunjukkan, Laila merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah luka yang lebih berat daripada sekadar pengalaman buruk masa lalu.Selama ini, Laila hanya melihat potongan-potongan dari apa yang Raka biarkan terlihat—rasa takut yang menyelimuti hati dan kebisuannya terhadap beberapa hal. Namun, ada sebuah bayang-bayang yang terasa semakin jelas, sesuatu yang tak terucapkan, tetapi menciptakan jarak yang Raka tak pernah biarkan benar-benar sirna.Hari itu, mereka bertemu di ruang meeting yang sepi, hanya ditemani cahaya matahari pagi yang menerobos jendela besar, menciptakan bayangan halus di lantai. Raka sedang memeriksa beberapa dokumen, sementara Laila memperhatikannya dari kejauhan, mencoba memahami apa yang selama ini ia sembunyikan.Setelah beberapa saat, Laila membera
Malam itu, setelah kerja keras yang tiada henti, Raka dan Laila memutuskan untuk merayakan keberhasilan mereka. Laila mengusulkan tempat favoritnya—sebuah kafe kecil dengan suasana hangat yang tersembunyi di tengah hiruk-pikuk kota. Mereka meninggalkan kantor, langkah mereka terasa lebih ringan dari biasanya, seolah-olah beban yang selama ini mereka tanggung telah perlahan terangkat.Begitu tiba di kafe, aroma kopi segar menyambut mereka, berpadu dengan alunan musik jazz yang lembut. Kafe itu memiliki pencahayaan remang-remang, memberikan nuansa hangat dan intim yang membuat hati terasa tenang. Raka dan Laila memilih meja di sudut, dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan malam kota yang indah dengan gemerlap lampu.Mereka duduk berhadapan, suasana di antara mereka begitu nyaman, seperti tak ada lagi sekat. Tanpa disadari, tangan Raka dan Laila hampir bersentuhan di atas meja, dan untuk sesaat, mereka membiarkan jari-jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu terasa seperti samb
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah-celah jendela kamar Raka, menari di antara dedaunan yang melambai ditiup angin. Suara burung-burung terdengar samar di kejauhan, melantunkan simfoni alam yang sederhana namun menenangkan. Tetapi, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang semakin hari semakin tumbuh dalam hati Raka.Raka duduk di kursi dekat jendela, menatap langit biru yang luas. Hatinya terasa penuh namun sunyi, seolah ada sesuatu yang mendesak, ingin keluar, tapi tertahan oleh dinding-dinding ketakutan yang selama ini ia bangun. Dalam keheningan itu, ia menyadari bahwa perasaan terhadap Laila bukan lagi sekadar rasa nyaman atau rasa syukur atas kehadirannya. Lebih dari itu, rasa itu kini bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam—sebuah perasaan yang menyala lembut, menghangatkan, namun sekaligus menakutkan.Bayangan wajah Laila hadir di benaknya. Senyuman yang tulus, tatapan yang lembut, dan caranya mendengarkan membuat Raka merasa h
Senja beranjak turun, menebarkan rona jingga yang meresapi setiap sudut ruangan. Di balkon kecil yang menghadap ke taman kantor, Raka dan Laila duduk bersebelahan dalam keheningan yang syahdu. Angin yang berhembus perlahan menggoyangkan dedaunan, membawa aroma tanah yang damai, seakan alam pun ikut berbisik, memberi ruang bagi sebuah cerita yang belum pernah diceritakan.Malam itu, Raka merasa berbeda. Ada dorongan dalam hatinya yang ingin berbagi, ingin mengungkapkan luka yang telah lama ia pendam, luka yang mengubah segalanya dalam hidupnya. Ia menatap ke depan, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Di sampingnya, Laila hanya diam, namun tatapannya penuh pengertian, seakan ia telah siap mendengar tanpa menghakimi.“Laila…” Suara Raka terdengar parau, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam angin. “Aku ingin memberitahumu sesuatu. Sesuatu yang belum pernah aku ceritakan pada siapa pun.”Laila menoleh pelan, memberinya tatapan lembut yang menguatkan. “Aku di sini untuk mende
Pagi yang hangat menyelimuti ruang kerja mereka. Cahaya matahari menyusup perlahan dari celah-celah jendela, menciptakan bayangan lembut di meja tempat Raka dan Laila sering bekerja bersama. Suasana di antara mereka kini terasa berbeda—lebih intim, namun tetap terjaga dalam kesederhanaannya. Laila menyadari, Raka masih butuh waktu, maka ia memutuskan untuk menyusuri kedekatan itu perlahan-lahan, seperti angin yang berhembus lembut, tak ingin mendesak atau mengusik ketenangan hati Raka yang mulai terbuka.Setiap gerakan yang ia lakukan, setiap tatapan yang ia lontarkan, selalu ia jaga agar tidak berlebihan, namun cukup bermakna. Dia ingin Raka tahu bahwa dia ada, dengan cara yang paling halus dan lembut. Setiap kali mereka duduk berhadapan, Laila akan sesekali tersenyum kecil, memberikan sedikit perhatian, namun tidak lebih dari itu. Ia paham bahwa Raka harus belajar mengenali rasa itu sendiri, tanpa ada paksaan atau desakan yang bisa membuatnya menjauh lagi.Laila memilih untuk berada