Laila duduk di sudut ruangan, terdiam dengan pikiran yang mengalir tak menentu. Hatinya masih terasa perih setelah penolakan Raka, kata-kata tajam yang menembus dirinya, seakan menunjukkan bahwa upayanya untuk menyentuh hati Raka selama ini hanyalah sia-sia. Tapi di balik rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mengusik pikirannya: kesadaran bahwa luka yang Raka sembunyikan ternyata lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan.Ia memejamkan matanya, membiarkan kenangan perbincangan terakhir mereka bermain kembali di benaknya. Ia bisa melihat ketakutan di mata Raka, ketakutan yang dibungkus dengan kemarahan dan penolakan. Dalam penolakan itu, Laila kini menyadari bukan sekadar keengganan Raka untuk terbuka, tetapi ada sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang bahkan mungkin Raka sendiri takut untuk hadapi.“Raka…” ia berbisik pelan, seakan berharap angin bisa membawa suaranya sampai kepada Raka. “Mengapa kamu begitu takut untuk mempercayai? Mengapa kamu menganggap dirimu begitu
Senja mulai merona di langit, sinarnya menyusup lembut melalui jendela besar di sudut kafetaria kantor. Suasana di sekeliling terasa lengang, hanya menyisakan beberapa pegawai yang sibuk dengan obrolan ringan, termasuk Laila yang tampak larut dalam renungannya. Ia menyesap kopinya perlahan, merasakan kehangatan yang seolah meresap ke dalam hati, namun tak sepenuhnya mampu menghapus gundah yang menyelimuti pikirannya.Dari kejauhan, Bayu, salah satu rekan kerja Raka yang selama ini diam-diam mengamati kedekatan Laila dengan Raka, menghampirinya. Wajahnya memancarkan kedewasaan dan kebijaksanaan yang dibangun dari tahun-tahun panjang bekerja dan menghadapi liku hidup. Bayu duduk di seberang Laila, mengangguk penuh penghargaan seolah meminta izin untuk berbagi sesuatu yang penting."Sudah lama aku ingin bicara denganmu, Laila," ujar Bayu, membuka percakapan. "Aku tahu kamu dekat dengan Raka, dan aku rasa kamu berhak tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi."Laila meletakkan
Hari itu, di ruangan rapat yang megah dan dipenuhi keheningan yang sarat dengan harapan, Laila dan Raka duduk bersebelahan di meja panjang, mempersiapkan presentasi yang sudah mereka susun dengan cermat. Ada banyak pasangan mata yang memandang mereka, penuh ekspektasi dan harap, tetapi bagi keduanya, tatapan-tatapan itu seakan lenyap, berganti dengan fokus yang mendalam.Raka memandang layar di depannya dengan tenang, tangannya berusaha menyembunyikan kegugupan kecil yang bergejolak di balik eksterior yang tenang. Di sampingnya, Laila menyapukan pandangan sekejap ke arahnya, memberikan senyum lembut yang tak terucap tetapi terasa mendalam. Dalam diam, ia menyampaikan keteguhan hati dan dukungannya, mengingatkan Raka bahwa ia tidak sendirian.Rapat itu dimulai dengan irama yang teratur, mempertemukan banyak pikiran yang berdesir dalam hiruk-pikuk rencana dan visi. Laila membuka presentasi dengan lantang, suaranya jernih dan penuh keyakinan. Kata-katanya tersusun rapi, seperti untaian k
Hari beranjak sore ketika Laila mengumpulkan keberanian untuk mendekati Raka di ruangannya. Senja yang mengintip dari balik jendela kantor membias keemasan di sepanjang lantai, menciptakan suasana hangat yang menyelinap lembut ke dalam hatinya. Laila telah lama merencanakan undangan ini, berharap bisa membuka hati mereka dalam ruang yang lebih terbuka, tanpa batasan waktu dan tanpa formalitas pekerjaan yang selama ini menjadi tembok di antara mereka.Dengan senyum tenang, Laila mengetuk pintu ruang kerja Raka dan memasukinya setelah mendengar suaranya dari dalam. Raka terlihat duduk dengan tenang, sibuk dengan beberapa dokumen di mejanya. Namun, ia segera menatap Laila ketika kehadirannya dirasakan, menyelipkan sedikit rasa heran dalam pandangan itu.“Raka,” Laila memulai dengan nada suara yang lembut, “aku ingin mengajakmu makan malam. Di luar kantor, hanya kita berdua. Mungkin ada baiknya kita berbicara lebih santai, tanpa semua tekanan ini.”Raka terdiam sejenak, sedikit terkejut d
Pagi itu, di ruang kerja yang biasanya terasa penuh oleh kesibukan dan tekanan, ada sebuah ketenangan baru yang tak biasa. Laila dan Raka duduk berhadapan di meja panjang di ruang rapat kantor, cahaya matahari menembus kaca jendela, menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan samar di wajah mereka. Keheningan tidak lagi terasa kaku atau penuh dengan jarak; keheningan ini seolah memberi mereka ruang untuk berbicara dalam hati, menimbang kata-kata yang akan terucap, mencoba memahami apa yang bersemayam di balik sorot mata masing-masing.Laila merasa ada sesuatu yang berubah dalam Raka. Senyumnya, yang selama ini jarang muncul, kini sesekali menghiasi wajahnya. Ada kehangatan dalam caranya memandang, meski tetap ada jarak yang tak terlihat, seperti tembok tinggi yang mengelilingi hatinya. Tetapi ia tahu, bahkan tembok tertinggi sekalipun tidak akan selamanya berdiri jika seseorang tetap bersabar.Dengan nada lembut, Laila memulai percakapan. “Raka, bagaimana perasaanmu hari ini
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah-celah jendela kantor. Raka duduk di sudut ruangan, matanya menatap kosong pada layar komputer di depannya. Pikirannya melayang jauh, bukan pada pekerjaan atau kesibukan yang menumpuk, melainkan pada sosok Laila yang begitu tulus hadir di hidupnya. Semakin dalam ia memikirkan tentang perhatian yang Laila berikan, semakin dalam pula rasa takutnya mengakar, seperti bayangan yang selalu membuntuti tanpa henti.Raka mengingat malam ketika ia berbicara dengan Laila, saat ia merasa seolah seluruh bebannya diangkat oleh kehangatan Laila. Namun kini, ada perasaan baru yang muncul—ketakutan. Ketakutan bahwa kebaikan Laila bukanlah sesuatu yang layak ia terima. Bahwa ia hanyalah beban bagi wanita itu, seseorang yang tidak pernah akan dapat membalas kebaikan dengan setara."Apa yang sebenarnya kau cari dari hubungan ini, Raka?" gumamnya dalam hati, bertanya pada dirinya sendiri. "Kau hanyalah lelaki yang terluka, membawa masa lalu yang kelam
Pagi itu, ketika matahari baru saja merayap naik di balik gedung-gedung kota, Raka duduk di balik meja kerjanya. Pikirannya terusik oleh rasa yang membuncah, sebuah kebingungan yang semakin hari semakin sulit ia abaikan. Dalam diamnya, ia berusaha menata hati yang seakan terombang-ambing di antara dua kutub—keinginan untuk menerima ketulusan Laila dan ketakutan bahwa kebersamaan ini justru akan melukai Laila pada akhirnya.Wajah Laila melintas di benaknya. Betapa hangat senyum itu, senyum yang selalu hadir dengan ketulusan tanpa syarat, seolah-olah dunia ini tak pernah merenggut kepercayaan dirinya pada kebaikan. Di mata Laila, Raka selalu melihat harapan dan kesabaran yang dalam, bahkan ketika ia sendiri sering kali merasa tak pantas menerimanya. Ketulusan yang ditawarkan Laila selalu tampak begitu jujur, tanpa niat untuk menuntut atau memaksa.Namun, justru karena itulah, Raka merasa semakin takut. Dalam hatinya, ia tak ingin menjadi sosok yang membawa kesedihan atau kekurangan dala
Di sudut ruang kerjanya yang tenang, Laila menatap secangkir teh yang uapnya mulai menipis, mengikuti alunan pikirannya yang berkecamuk. Beberapa hari terakhir, usahanya untuk mendekati Raka kerap terbentur dinding tinggi yang tak kasat mata. Setiap kali ia mencoba menembusnya, Raka justru menjauh, seperti burung yang menolak mendekat pada tangan yang tulus mengulurkan remah roti.Laila menghela napas panjang, menyadari dirinya terjebak dalam perasaan yang tak sepenuhnya bisa ia kendalikan. Ada kerinduan yang tumbuh perlahan dalam hatinya, seperti embun yang muncul di pagi hari—lembut, tak terlihat, namun begitu nyata. Ia merindukan percakapan mereka yang lebih dalam, dan senyum samar Raka yang jarang muncul namun selalu membawa kedamaian ketika terlihat. Namun, semakin ia berusaha untuk lebih dekat, semakin Raka terlihat ragu, seakan dibelenggu oleh ketakutan yang hanya ia sendiri yang pahami.“Raka… apa yang kau takutkan?” gumamnya lirih, seolah berharap angin bisa menyampaikan pert
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah langit turut merasakan beban yang ada di hati Laila. Di ruang tamu kecilnya, Laila duduk sendirian, memandangi layar ponselnya yang hening. Sejak beberapa hari terakhir, Raka mulai menjaga jarak. Percakapan mereka yang dulu hangat dan penuh dengan tawa kini berubah menjadi percakapan singkat dan dingin, seolah hanya sekadar memenuhi kewajiban. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Laila, sesuatu yang ia rasakan tapi belum berani ia tanyakan langsung.Malam itu, Laila tidak bisa menahan diri lagi. Ia memutuskan untuk menemui Raka. Menghubunginya dan memintanya datang ke taman di dekat rumah mereka, tempat di mana mereka biasa berbagi cerita dan menghabiskan waktu bersama. Tempat yang pernah menjadi saksi tawa dan janji-janji mereka.Tak lama, Raka tiba. Diatas kursi roda, Wajahnya terlihat muram, seakan-akan ia membawa beban berat yang sulit ia lepaskan. Laila mencoba tersenyum, berusaha mencairkan suasana, namun Raka hanya
Pagi itu, Laila merasa atmosfer di kantornya sedikit berbeda. Tatapan beberapa rekan kerjanya tampak lebih tajam, seolah ada sesuatu yang tengah mereka simpan, sesuatu yang hanya mereka bagi lewat lirikan dan bisikan. Laila mencoba untuk tetap tenang, tak ingin larut dalam spekulasi atau kekhawatiran. Ia percaya bahwa cinta dan pilihan hidupnya bukanlah urusan orang lain.Namun, tanpa disadari, percakapan itu ternyata lebih dari sekadar bisikan samar. Beberapa rekan kerja mulai berbicara di belakangnya, meremehkan pilihannya untuk bersama Raka, yang bagi mereka dianggap tidak "sepadan." Bagi sebagian orang di sana, Laila adalah sosok yang berprestasi, penuh bakat, dan berasal dari keluarga yang terpandang. Mereka melihatnya layak mendapatkan pasangan yang, menurut standar mereka, lebih sempurna dan menjanjikan masa depan yang lebih cerah. Raka, dengan segala keterbatasan dan kesederhanaannya, bagi mereka hanyalah seseorang yang tidak seharusnya berada di sisi Laila."Dia bisa mendapat
Laila duduk termenung di sudut ruang tamu yang sepi. Udara pagi yang sejuk menyusup lewat jendela, namun hatinya terasa jauh dari ketenangan. Suara lembut angin seolah tak bisa menenangkan pikiran yang bergejolak. Pikirannya dipenuhi oleh percakapan yang baru saja terjadi dengan keluarganya.Hari itu, seperti biasa, keluarganya menanyakan tentang hubungannya dengan Raka. Namun kali ini, pertanyaan mereka bukan lagi sekadar perhatian. Mereka mulai mempertanyakan keputusan Laila untuk bertahan di sisi Raka. Di mata keluarganya, Raka adalah seseorang yang dianggap tak sepadan, seseorang yang—menurut mereka—membuat Laila terlalu banyak berkorban.“Laila, kamu layak mendapatkan yang lebih baik,” ucap ibunya dengan nada lembut, namun penuh ketegasan. “Raka mungkin pria yang baik, tapi lihatlah dirimu. Kamu sudah terlalu banyak memberi, terlalu banyak berkorban.”Kata-kata itu menghantam Laila seperti ombak yang menghantam karang, perlahan meruntuhkan keteguhan hatinya. Ia merasa seperti ber
Siang itu, Laila duduk di sudut kafe dekat kantornya, menunggu Toni yang sebentar lagi akan datang. Cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui jendela, membuat bayang-bayang halus di sekitar meja. Hatinya berdebar, bukan karena perasaan yang ia simpan untuk Toni, tapi karena tekadnya untuk mengakhiri kebingungan ini. Ia tahu, percakapan ini akan menjadi langkah yang berat, namun penting untuk menjaga keutuhan hubungannya dengan Raka.Tak lama, Toni datang. Wajahnya cerah, dengan senyum yang mengembang ketika ia melihat Laila. Bagi Toni, ajakan untuk bicara empat mata ini adalah harapan baru. Harapan yang ia bangun sejak awal mengenal Laila. Tetapi Toni tidak menyadari bahwa pertemuan ini akan menjadi akhir dari segala harapan yang ia jaga selama ini."Toni, terima kasih sudah meluangkan waktu," kata Laila lembut namun serius, saat Toni duduk di hadapannya. Ia menatap mata Toni dengan ketenangan yang diselimuti kesungguhan, berusaha menunjukkan bahwa pembicaraan ini bukanlah hal ya
Sore itu, matahari merangkak turun, meninggalkan jejak keemasan di cakrawala yang berangsur redup. Laila berdiri di depan gedung kantor, menunggu Raka. Angin sore berhembus lembut, menggoyangkan ujung-ujung rambutnya, seakan turut merasakan detik-detik yang penuh harapan. Hari itu, Laila ingin mengajak Raka jalan-jalan setelah kerja, untuk sejenak melupakan rutinitas dan berbagi tawa di bawah langit yang mulai gelap.Raka muncul dari kejauhan, langkahnya tenang seperti biasanya, namun wajahnya sedikit tampak muram. Saat ia menghampiri Laila, sorot matanya terpancar redup, seolah-olah menyimpan suatu keraguan yang tak mampu ia ungkapkan. Laila tersenyum hangat, menyambut Raka dengan riang, seperti senja yang menyambut malam."Raka," sapanya lembut. "Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar sebelum pulang? Aku ingin menikmati suasana kota sore ini, dan kupikir… kamu mungkin mau menemaniku."Senyum tipis terbit di wajah Raka, namun hatinya bergejolak. Ada perasaan gundah yang tak mampu
Malam telah menyelimuti kota dengan keheningan yang penuh misteri. Bintang-bintang bertebaran di langit, memancarkan sinar yang redup namun tak pernah padam, seolah menjadi saksi atas segala kegelisahan dan keraguan yang kini menyelimuti hati Raka. Di tengah sunyi yang menenangkan, Raka duduk di tepi jendela kamar, menatap jauh ke dalam gelap, tenggelam dalam renungan yang tak henti-hentinya menyusup ke dalam hatinya.Hatinya terasa berat. Meskipun ada tekad dalam dirinya untuk memperjuangkan perasaan terhadap Laila, kenyataan yang tak bisa ia abaikan kembali menyergapnya—kondisi fisiknya yang terbatas. Tubuhnya yang tak sempurna seperti duri yang menancap dalam-dalam di hatinya, membawa kembali rasa minder yang selama ini ia usahakan untuk sembunyikan."Apakah aku layak untuk Laila?" pertanyaan itu menggaung dalam pikirannya, mengalun seperti nada sendu yang tak berujung. Laila adalah sosok yang lembut dan penuh cahaya, yang selalu membawa keceriaan di mana pun ia berada. Raka bertan
Sore menjelang petang di kantor, ketika sinar matahari perlahan-lahan menghilang, meninggalkan bayangan lembut di sepanjang ruangan. Laila duduk di mejanya, merapikan dokumen-dokumen terakhir sebelum pulang. Suasana mulai lengang, hanya beberapa karyawan yang masih sibuk menyelesaikan pekerjaannya, termasuk Toni yang duduk tak jauh dari Laila.Raka berada tak jauh dari meja Laila, tetapi ia bersembunyi di balik dinding kaca yang memisahkan ruangan mereka. Tanpa sengaja, telinganya menangkap suara lembut Toni yang sedang berbicara dengan Laila.“Laila, bagaimana kalau malam ini kita makan malam bersama?” ajak Toni, suaranya terdengar penuh harap.Raka tertegun. Ajakan Toni itu menusuk hatinya, seolah-olah Toni sedang melangkah ke ruang yang selama ini ia jaga penuh ketenangan. Bayangan Laila dan Toni duduk berdua di meja makan, berbicara dengan akrab, tawa Laila yang mengalir untuk Toni – semua itu berputar-putar dalam pikirannya.Tanpa menunggu jawaban Laila, Raka memilih untuk segera
Hari-hari berlalu, dan Toni semakin tak bisa mengingkari keinginannya untuk lebih dekat dengan Laila. Setiap percakapan mereka, bahkan yang hanya sesaat, selalu berakhir dengan harapan yang terselip di dalam senyumnya. Ia mengamati gerak-gerik Laila, cara dia bicara dengan tenang, cara ia mengedipkan mata yang selalu membawa ketenangan. Di mata Toni, Laila bagaikan aliran sungai yang tenang, namun menyimpan kedalaman misteri yang sulit untuk diselami.Di setiap kesempatan, Toni mencari celah untuk berada di sekitar Laila. Di waktu makan siang, ia dengan sengaja memilih duduk di dekatnya, berharap bisa mengobrol meskipun hanya tentang hal-hal sederhana. Jika mereka sedang mengerjakan proyek yang sama, Toni selalu siap membantu tanpa diminta, seolah ingin membuktikan bahwa ia selalu ada. Meskipun Laila sering menanggapi Toni dengan sikap biasa saja, Toni tidak menyerah. Justru di sanalah tantangan dan keindahannya. Ia merasa bahwa setiap momen bersama Laila bagaikan mengumpulkan butiran
Beberapa minggu telah berlalu sejak Toni bergabung dengan tim, dan suasana kantor masih dipenuhi oleh keceriaan yang ia bawa. Setiap pagi, Toni datang dengan senyum hangat dan semangat baru, membuat orang-orang di sekitarnya merasa lebih hidup. Kehadirannya bukan hanya melengkapi tim dalam hal pekerjaan, tetapi juga membawa kebahagiaan yang sederhana namun berarti.Namun, di balik keramahan dan keceriaan Toni, ada sesuatu yang perlahan tumbuh di dalam hatinya. Sebuah rasa yang tak terduga, yang ia sendiri sulit untuk mengerti. Setiap kali ia menatap Laila, melihat senyum lembutnya atau mendengar suaranya yang tenang, hati Toni bergetar dengan cara yang baru dan aneh. Seperti aliran sungai yang mengalir tenang namun dalam, perasaannya pada Laila semakin hari semakin tumbuh tanpa bisa ia bendung.Toni mencoba menahan dirinya, mencoba meyakinkan hati bahwa mungkin ini hanyalah kekaguman semata. Namun, semakin ia berusaha untuk mengabaikan perasaannya, semakin kuat pula perasaan itu berak