“Aku tidak bisa tinggal di sana lagi, Adrian.”
Suara Ara pecah di tengah malam yang dingin. Ia berdiri di depan pintu apartemen Adrian dengan tubuh yang gemetar, rambutnya berantakan, dan wajahnya basah oleh air mata. Nafasnya terengah-engah, seolah-olah ia baru saja berlari menjauh dari neraka yang tak terlihat.
Adrian, yang membuka pintu dengan ekspresi terkejut, segera melangkah maju. “Ara…” Suaranya pelan, penuh keprihatinan, tetapi ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya meraih tangan Ara dengan lembut, menariknya masuk ke dalam apartemen.
Saat pintu tertutup di belakang mereka, Ara merasa seluruh tubuhnya melemah. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan ia terjatuh ke lantai dengan suara isakan yang semakin keras.
Adria
“Ara, aku ingin kamu bertemu seseorang.”Suara Adrian terdengar lembut, tetapi ada nada serius yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di sofa, menatap Ara dengan tatapan penuh perhatian. Matanya seolah berbicara lebih banyak daripada kata-katanya, menunjukkan kekhawatirannya yang mendalam.Ara mengernyit, bingung dengan permintaan itu. “Siapa, Adrian? Kenapa aku harus bertemu dengannya?”Adrian menghela napas panjang, menyusun kata-katanya sebelum menjawab. “Dia seseorang yang bisa membantumu, Ara. Aku ingin kamu mendengar langsung dari seseorang yang mengerti situasimu dan tahu bagaimana membantumu. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian lagi.”Ara memeluk cangkir teh di tangannya, mencoba mencari kehangatan di tengah kebingungan yang melanda hatinya. Setelah beberapa detik terdiam, ia mengangguk pelan. “Kalau kamu pikir ini akan membantu, aku akan ikut.”Adrian tersenyum kecil, lega mendengar jawaban itu.
“Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Ara dariku, Adrian!”Suara Raka memecah keheningan malam, menggema di udara dingin seperti raungan hewan yang terluka. Matanya menyala tajam, penuh amarah yang membara. Tubuhnya tegang, tangannya terkepal erat, seolah siap meledak kapan saja.Adrian tetap berdiri tenang di depan Ara, tubuhnya tegak seperti tembok perlindungan. Matanya tidak melepaskan tatapan Raka, meskipun suaranya tetap terjaga lembut. “Ara membuat keputusannya sendiri, Raka. Ini bukan tentang aku atau kamu. Ini tentang dia dan hidupnya.”“Dia istriku!” seru Raka, langkahnya maju semakin dekat. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. “Aku tahu kamu memengaruhinya. Apa yang kamu katakan padanya? Apa yang kamu janjikan?”Ara berdiri di balik Adrian, tubuhnya gemetar, tetapi keberanian yang baru mulai tumbuh di dalam dirinya memaksanya untuk tidak hanya diam. Ia menelan napas dalam-dalam, menco
“Ara, aku minta maaf. Aku berjanji semuanya akan berubah.”Raka berbicara dengan nada yang terdengar tulus, tetapi bagi Ara, itu hanya sebuah pengulangan kosong. Mereka duduk di meja makan, tetapi suasananya terasa begitu dingin hingga sup di hadapannya, yang sudah lama dingin, tidak menarik perhatiannya.Ara memandang cangkirnya, tetapi pikirannya melayang, berjuang melawan perasaan lelah yang sudah terlalu akrab.Kata-kata itu—permintaan maaf dan janji Raka—terdengar seperti mantra yang telah diulanginya entah berapa kali. Ara tahu pola itu: ledakan amarah, diikuti oleh penyesalan yang seperti sandiwara.“Maaf, Ara. Aku hanya terlalu stres akhir-akhir ini.”“Maaf, Ara. Aku tidak bermaksud melakukannya.”“Maaf, Ara. Aku berjanji ini terakhir kali.”Janji-janji itu dulunya membuat hati Ara luluh, memberikan secercah harapan bahwa mungkin, kali ini, keadaan akan benar-benar me
“Aku tidak akan memaksamu, Ara. Ini keputusanmu. Tapi aku ingin kamu bertanya pada dirimu sendiri, apa yang sebenarnya kamu inginkan?”Adrian duduk di seberang meja kecil di kafe yang telah menjadi tempat mereka berbagi cerita. Tatapannya hangat, penuh perhatian, namun tak sedikit pun memaksa. Ia tahu bahwa percakapan ini sulit untuk Ara, tetapi juga menyadari bahwa tidak ada lagi waktu untuk menghindarinya.Ara menunduk, kedua tangannya menggenggam erat cangkir kopi yang kini hampir dingin. Uap tipis yang masih tersisa menggelitik wajahnya, tetapi ia bahkan tidak menyadarinya. Pikirannya penuh, seperti beban berat yang menumpuk tanpa henti.“Aku tidak tahu, Adrian,” jawab Ara akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku merasa seperti… aku mengkhianati sesuatu. Tapi di saat yang sama, aku juga tahu aku tidak bisa terus seperti ini.”Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatapnya dengan lembut. &ld
“Ara, aku tidak akan bertanya lagi. Kamu harus memilih, sekarang.”Suara Raka memecah keheningan ruang tamu yang remang. Tubuhnya tegap, berdiri di depan Ara dengan sorot mata tajam yang menyala oleh kemarahan. Di tangannya, sebuah botol minuman kosong tergenggam erat, mencerminkan tekanan yang membara di dalam dirinya.Ara duduk di sofa, tubuhnya tampak kecil dan rapuh dibandingkan dengan kehadiran Raka yang mengancam. Tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun napasnya terasa berat.Setiap kata yang keluar dari mulut Raka menghantamnya seperti beban yang semakin menekan dada.“Aku tidak ingin memilih dengan cara seperti ini, Raka,” katanya dengan suara pelan, hampir pecah. “Tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi hidup seperti ini.”Raka menyipitkan matanya, langkah kakinya mendekat perlahan tetapi penuh ancaman. “Apa maksudmu? Apa kamu mau bilang kamu a
“Ara, aku tahu ini sulit, tapi kita harus melakukannya dengan cepat dan hati-hati.”Suara Adrian terdengar tenang, tetapi ketegangan terpancar dari matanya. Ia duduk di seberang Ara di meja makan kecil di apartemennya, di antara mereka terhampar selembar kertas dengan catatan dan diagram yang mereka susun bersama.Cahaya lampu redup di atas meja memperjelas kelelahan yang tergambar di wajah mereka berdua.Ara menatap kertas itu, tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya. “Kamu yakin ini akan berhasil, Adrian? Kalau Raka tahu aku pergi, dia tidak akan tinggal diam.”Adrian mengangguk perlahan, suaranya mantap. “Aku tahu risikonya, Ara. Tapi kita sudah memikirkan semuanya. Maya juga yakin bahwa ini adalah langkah terbaik.”Kata-kata itu memberikan sedikit kelegaan bagi Ara, tetapi ketakutan masih menggantung di dadanya seperti kabut yang sulit diterobos. Ia menatap Adrian, berusaha menemukan keberanian dalam
“Ara, aku tahu kamu merencanakan sesuatu.”Suara Raka memecah keheningan malam di ruang tamu yang remang. Nada dingin yang ia gunakan membuat udara terasa semakin berat. Ia berdiri di depan pintu, tubuhnya tegap dengan ekspresi yang sulit dijabarkan, tetapi matanya memancarkan kecurigaan yang jelas.Tatapannya lurus ke arah Ara, intensitasnya cukup untuk membuat siapa pun merasa terpojok.Ara, yang duduk di sofa, merasa tubuhnya menegang. Jantungnya berdebar kencang, tetapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. Ia mengangkat wajahnya perlahan, menyembunyikan ketakutannya di balik ekspresi datar.“Apa maksudmu, Raka?” tanyanya pelan, meskipun ia tahu pertanyaan itu tidak akan meredakan situasi.Raka melangkah mendekat, gerakannya lambat tetapi penuh tekanan, seperti hewan buas yang mengintai mangsanya. “Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Kamu berubah, Ara. Aku bisa melihatnya.”Ara m
“Aku tidak akan membiarkan dia menghancurkanmu lagi, Ara.”Adrian menggenggam kemudi dengan erat, rahangnya mengeras saat ia melirik Ara yang duduk di kursi penumpang. Hujan deras mengguyur jalanan, membuat suasana malam itu semakin mencekam. Lampu-lampu jalan yang berkilauan memantul di kaca depan, seperti bintang-bintang yang hilang dalam badai.Ara duduk diam, tubuhnya kaku, tangannya memeluk tas kecil yang ia bawa dengan erat. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang jauh. Kata-kata Adrian mengalir dalam pikirannya, tetapi yang ia dengar hanyalah gema dari keputusan besar yang telah ia buat malam ini.“Aku sudah meninggalkannya,” katanya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.Adrian menoleh sekilas, tatapannya lem
Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk
Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd
Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan
Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.
"Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara
Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari
“Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”
“Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan