Langit pagi itu tampak suram, dengan awan kelabu bergulung di atas kepala, menutupi sinar matahari. Ara berdiri di jendela dapurnya, memandangi taman kecil di luar rumahnya. Tangan kanannya memegang cangkir teh yang hangat, sementara tangan kirinya memegang pinggiran meja dengan erat.
Ia mencoba mencari kedamaian dalam keheningan pagi, tetapi pikirannya terus berputar, melintasi bayangan-bayangan yang masih menghantuinya.
Di sudut hatinya, ia tahu bahwa keputusan yang ia buat untuk tetap bersama Raka adalah keputusan yang benar menurut standar yang ia kenal—tanggung jawab, janji, dan rasa setia.
Namun, ia tidak bisa menghilangkan suara kecil dalam dirinya yang bertanya: apakah ini benar-benar jalan menuju kebahagiaan?
Ketukan pelan di pintu dapur membuat Ara tersentak dari lamunannya. Raka masuk, mengenakan kaus putih polos dan celana pendek, rambutnya masih berantakan. Ia membawa senyuman kecil di wajahnya, meskipun senyum itu tampak rapuh, seperti
“Raka, kamu masih di situ?” suara Ara menggantung di udara dingin ruang tamu. Ia berdiri di ambang pintu kamar mereka, menatap punggung suaminya yang menghadap jendela. Cahaya bulan memantulkan bayangan kelabu di wajah Raka yang tampak tegang. Ia tak menjawab, hanya menghela napas panjang.Ara melangkah perlahan, menyembunyikan kegugupan yang merayap di dadanya. Suasana sunyi itu begitu menusuk, seolah-olah setiap gerakan kecil akan memecahkan sesuatu yang rapuh. Ia duduk di sofa kecil di pojok ruangan, tangannya meremas ujung cardigan yang ia kenakan.“Aku tahu semuanya berat sekarang,” bisiknya, memecah keheningan. “Tapi kita tidak bisa terus seperti ini, Raka. Aku ada di sini. Aku ingin membantu.”Raka berbalik dengan gerakan lamban, wajahnya dipenuhi kelelahan dan frustrasi. M
"Kamu tidak harus menghadapi semuanya sendiri, Ara."Pesan itu terpampang di layar ponsel Ara, memancarkan cahaya lembut di tengah ruang tamu yang temaram. Ara membaca kalimat itu berulang kali, mencoba menenangkan debaran halus di dadanya. Ia mengusap wajahnya yang masih basah oleh air mata, kemudian menundukkan kepala, membiarkan rambutnya yang panjang menjuntai menutupi wajah.Suara langkah kaki Raka yang berat terdengar dari arah kamar, membuyarkan lamunannya. Ara buru-buru mengunci layar ponselnya dan menyelipkannya ke bawah bantal sofa. Ia tahu Raka sedang tidak ingin diganggu, tetapi kebiasaan buruk suaminya untuk mencari-cari kesalahan sudah terlalu sering menjadi sumber keributan mereka.Raka muncul dengan
“Ara, aku nggak sengaja lihat kamu dari jauh tadi. Aku pikir aku salah orang, tapi ternyata memang kamu.”Suara riang itu memecah konsentrasi Ara yang sedang menyeruput teh di sebuah kafe kecil. Ia menoleh, dan matanya membesar. Di hadapannya berdiri seorang wanita berambut pendek dengan senyum lebar, wajahnya yang familier langsung mengembalikan banyak kenangan yang selama ini terkubur.“Nina?” Ara meletakkan cangkirnya dengan gemetar. Suaranya nyaris tercekat oleh campuran kejutan dan rasa hangat yang sudah lama hilang.Nina mengangguk, lalu tertawa kecil. “Iya! Siapa lagi? Astaga, Ara, ini sudah bertahun-tahun! Kamu masih sama seperti dulu.”Ara tersenyum lemah. “Dan kamu kelihatan luar biasa.” Ia memandang Nina yang men
"Ara, kamu nggak mendengarkanku?"Suara Raka menggema di ruangan kecil itu, tegang dan tajam. Ara berdiri diam di depan pintu kamar, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Ia menatap Raka yang duduk di tepi tempat tidur, wajahnya terlihat kusut, dengan kantung mata yang menonjol akibat kurang tidur."Aku mendengarmu, Raka," balasnya dengan suara rendah, hampir berbisik. "Tapi aku tidak tahu apa lagi yang kamu harapkan dariku."Raka mengangkat wajahnya, dan di sana, dalam sorot matanya, ada sesuatu yang membuat hati Ara berdebar. Bukan cinta atau penyesalan, melainkan amarah yang terpendam, bercampur dengan kelelahan yang menggerogoti. "Aku berharap kamu bisa lebih mengerti. Aku sedang berjuang untuk kita, Ara. Tapi kamu justru membuatku merasa seperti ini semua
"Adrian?" Suara Ara terdengar ragu, hampir tenggelam dalam hiruk pikuk suara mesin kopi dan langkah kaki di kafe kecil itu.Adrian, yang sedang berdiri di konter, menoleh. Matanya yang gelap segera menemukan sosok Ara di sudut ruangan. Ada senyum kecil di bibirnya, tipis namun penuh makna. Ia berjalan mendekat, membawa dua cangkir kopi di tangannya, dengan langkah yang selalu terasa penuh keyakinan."Ara," katanya pelan, suaranya seperti meluruhkan segala kebisingan di sekeliling. "Aku tidak menyangka akan bertemu kamu di sini."Ara duduk tegak, tangan di pangkuannya saling bertaut, menunjukkan kegugupan yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tidak tahu apakah ini kebetulan atau sesuatu yang lebih dari itu, tetapi perasaan asing itu kembali mengusik hatinya—sebuah campuran nyaman dan salah yang sulit ia cerna.
"Ara, aku tidak pernah memaksa. Tapi aku ingin kamu tahu… aku masih menunggu."Kalimat itu mengalun pelan dari bibir Adrian, namun resonansinya bergema di kepala Ara. Mereka duduk di sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya redup dari lampu gantung, membuat bayangan halus menari di dinding. Suasana di ruang rapat kecil itu begitu hening, hanya diisi dengan detak jantung Ara yang terasa semakin keras. Adrian menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijabarkan—hangat, tetapi penuh dengan keteguhan.Ara meremas jari-jarinya di bawah meja. Kata-kata Adrian mengalir begitu lembut, namun seolah memaksa pintu di hatinya yang rapuh untuk terbuka. Ia mencoba memalingkan pandangan, tetapi sorot mata pria itu seperti magnet yang menarik seluruh kesadarannya kembali.
"Aku tidak pernah meminta lebih dari apa yang bisa kamu berikan, Ara. Tapi aku juga tidak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merasakan apa-apa."Kata-kata Adrian mengalir lembut namun penuh ketegasan, menyentuh langsung ke inti kegelisahan Ara. Mereka berdiri di sudut lorong kantor, di dekat jendela besar yang menghadap kota. Mata Adrian tidak pernah lepas dari Ara, memberikan rasa kehangatan yang membuat jantungnya berdebar.Ara menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan emosi yang berkecamuk. "Adrian, aku tidak tahu harus bilang apa. Semua ini... salah. Aku tidak boleh merasa seperti ini.""Tapi kamu merasa," jawab Adrian, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, hampir seperti bisikan. "Dan aku tahu aku juga merasa."Ara mengalihkan pandangannya ke luar jendela. La
"Ini untukmu."Raka meletakkan sebuah kotak kecil dengan hiasan pita merah di atas meja makan. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Ara menatap kotak itu dengan alis berkerut, lalu mengangkat pandangannya pada Raka, yang berdiri di seberang meja dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.“Apa ini?” tanya Ara, nada suaranya penuh kebingungan.“Buka saja,” jawab Raka singkat, mengalihkan pandangannya sejenak. Wajahnya terlihat sedikit tegang, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan.Ara menarik pita dengan hati-hati, membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, ada sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk hati. Desainnya tidak rumit, tetapi cukup elegan untuk menarik perhatian. Ia menatap kalung itu beberapa saat sebelum kembali mengangkat mat
Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk
Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd
Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan
Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.
"Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara
Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari
“Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”
“Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan