"Ini untukmu."
Raka meletakkan sebuah kotak kecil dengan hiasan pita merah di atas meja makan. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Ara menatap kotak itu dengan alis berkerut, lalu mengangkat pandangannya pada Raka, yang berdiri di seberang meja dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana.
“Apa ini?” tanya Ara, nada suaranya penuh kebingungan.
“Buka saja,” jawab Raka singkat, mengalihkan pandangannya sejenak. Wajahnya terlihat sedikit tegang, seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Ara menarik pita dengan hati-hati, membuka kotak kecil itu. Di dalamnya, ada sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk hati. Desainnya tidak rumit, tetapi cukup elegan untuk menarik perhatian. Ia menatap kalung itu beberapa saat sebelum kembali mengangkat mat
“Kamu tidak jujur padaku, Ara.”Raka berdiri di ambang pintu ruang tamu, tubuhnya tegap dengan kedua tangan menyilang di dada. Matanya menyipit, menatap Ara dengan campuran amarah dan rasa curiga. Di bawah sorotan lampu redup, ekspresi Raka terlihat lebih tajam dari biasanya.Ara, yang masih duduk di sofa dengan ponselnya tergenggam erat, menatap suaminya dengan tatapan datar. Ada kekosongan di matanya, seperti beban yang terlalu berat telah membuatnya lelah untuk merespons. Ia menghela napas, berusaha menjaga ketenangannya.“Apa maksudmu, Raka?” tanyanya pelan, meskipun ia tahu ke mana arah pembicaraan ini.Raka melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan sedikit keras. Suara bantingan itu membuat ruangan terasa lebih sempit. Ia berjalan
"Aku seharusnya tidak ada di sini."Ara memecah keheningan di ruangan kecil itu, suaranya bergetar, seperti daun yang bergoyang di tengah angin. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar ke arah kota yang bersinar di bawah cahaya malam. Tubuhnya membelakangi Adrian, tetapi ia bisa merasakan tatapan pria itu yang terus terfokus padanya.“Kamu di sini karena kamu butuh tempat untuk berbicara,” jawab Adrian lembut, suaranya tenang namun penuh keyakinan. “Dan aku bersedia mendengarkan, Ara.”Ara memejamkan mata sejenak, mencoba menghalau perasaan bersalah yang menghantui setiap langkahnya. Angin dari celah jendela menyentuh lembut wajahnya, tetapi di dadanya ada badai yang tak kunjung reda.“Aku merasa seperti sedang mengkhianati sesuatu,&r
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu sembunyikan dariku?”Suara Raka menggema di ruang tamu yang remang. Tubuhnya tegak, otot-ototnya menegang, dan matanya membara oleh amarah yang tidak lagi ia sembunyikan.Tangan kanannya terkepal erat di sisi tubuhnya, sementara tangan kirinya menunjuk ke arah Ara, seolah menuduhnya atas sesuatu yang tidak sepenuhnya jelas.Ara duduk di sofa, punggungnya tegak, matanya menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Ia terlalu lelah untuk membela diri, terlalu lelah untuk menghindari pertengkaran yang sudah terlalu sering terjadi.Pikirannya kosong, tetapi di sudut hatinya, ada bara kecil yang mulai menyala—rasa jenuh yang tak lagi bisa ia abaikan.“Raka,” katanya dengan suara tenang, nada suaranya jauh lebih terkendali daripada emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. “Aku tidak menyembunyikan apa pun darimu.”Raka tertawa sinis, langkahnya maju mendekati Ara. “Oh, benar? Kalau begitu, kenapa akhir-akhir ini k
“Aku tidak bisa melihatmu seperti ini lagi, Ara.”Adrian duduk di sebuah meja di sudut kafe kecil yang tenang, menatap Ara dengan mata yang penuh kekhawatiran. Suasana di sekitarnya, dengan suara pelan cangkir-cangkir beradu dan bisikan pelanggan lain, terasa jauh, seperti tidak relevan dengan ketegangan di antara mereka.Ara, yang duduk di seberangnya, tampak tenggelam dalam pikirannya. Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, seolah benda itu adalah satu-satunya jangkar yang mencegahnya runtuh.“Aku tidak tahu harus bagaimana, Adrian,” ucapnya akhirnya, suaranya pelan, hampir seperti bisikan yang tenggelam di keramaian. Ia menatap cangkir di tangannya, menghindari tatapan Adrian. “Raka semakin posesif. Dia memeriksa setiap gerakanku. Aku merasa… aku seperti tahanan di rumahku sendiri.”Adrian menarik napas panjang, mencoba menahan amarah yang perlahan mendidih di dalam dirinya. Ara, wanita lembut yang
Ara duduk di tepi jendela, menatap lampu-lampu kota yang berpendar seperti bintang jatuh di kejauhan. Hembusan angin malam yang dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menyapu kulitnya dengan lembut.Ia memeluk cangkir teh hangat di tangannya, tapi ia tak menyadari bahwa uapnya perlahan memudar. Teh itu masih penuh, tak tersentuh sejak ia menyeduhnya. Pikirannya sibuk melayang ke tempat lain.Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya kembali ke percakapan terakhir dengan Adrian. Nada suaranya, ketenangan yang selalu ia bawa, dan cara pria itu mendengarkan tanpa menghakimi. Semua itu terukir jelas di ingatannya, seolah-olah baru saja terjadi.Dalam ingatan itu, senyuman Adrian tampak nyata, seperti berada di hadapannya. Senyum itu berbeda—hangat, jujur, dan menggetarkan hati.Namun, di balik semua itu, ada perasaan bersalah yang tak mampu ia abaikan. Ara adalah istri Raka. Pernikahan mereka, meski terasa hambar belakangan ini, masih mengikatnya
Pagi itu, aroma kopi yang menyebar di dapur terasa berbeda. Kopi itu masih sama—pekat dan harum seperti biasanya. Namun, suasana di antara Ara dan Raka menciptakan atmosfer yang dingin dan tegang.Ara berdiri membelakangi suaminya, tangannya sibuk mengaduk gula ke dalam cangkir kopi. Ia menatap ke dalam cangkir seolah-olah mencari jawaban di sana, tetapi pikirannya melayang jauh.“Ara,” suara Raka memecah keheningan. Suaranya lebih rendah dari biasanya, tetapi nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih. “Akhir-akhir ini, kamu sering melamun.”Ara berhenti mengaduk, menggenggam erat gagang sendok sejenak sebelum menghela napas. “Aku hanya lelah. Banyak yang harus kupikirkan,” jawabnya tanpa menoleh.Raka memandang istrinya dengan sorot mata tajam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang ia coba pecahkan dalam kebisuan Ara. Ia mencondongkan tubuh ke depan, bersandar pada meja makan. “Lelah dari apa
“Aku tidak bisa tinggal di sana lagi, Adrian.”Suara Ara pecah di tengah malam yang dingin. Ia berdiri di depan pintu apartemen Adrian dengan tubuh yang gemetar, rambutnya berantakan, dan wajahnya basah oleh air mata. Nafasnya terengah-engah, seolah-olah ia baru saja berlari menjauh dari neraka yang tak terlihat.Adrian, yang membuka pintu dengan ekspresi terkejut, segera melangkah maju. “Ara…” Suaranya pelan, penuh keprihatinan, tetapi ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya meraih tangan Ara dengan lembut, menariknya masuk ke dalam apartemen.Saat pintu tertutup di belakang mereka, Ara merasa seluruh tubuhnya melemah. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan ia terjatuh ke lantai dengan suara isakan yang semakin keras. Adria
“Ara, aku ingin kamu bertemu seseorang.”Suara Adrian terdengar lembut, tetapi ada nada serius yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di sofa, menatap Ara dengan tatapan penuh perhatian. Matanya seolah berbicara lebih banyak daripada kata-katanya, menunjukkan kekhawatirannya yang mendalam.Ara mengernyit, bingung dengan permintaan itu. “Siapa, Adrian? Kenapa aku harus bertemu dengannya?”Adrian menghela napas panjang, menyusun kata-katanya sebelum menjawab. “Dia seseorang yang bisa membantumu, Ara. Aku ingin kamu mendengar langsung dari seseorang yang mengerti situasimu dan tahu bagaimana membantumu. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian lagi.”Ara memeluk cangkir teh di tangannya, mencoba mencari kehangatan di tengah kebingungan yang melanda hatinya. Setelah beberapa detik terdiam, ia mengangguk pelan. “Kalau kamu pikir ini akan membantu, aku akan ikut.”Adrian tersenyum kecil, lega mendengar jawaban itu.
Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk
Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd
Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan
Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.
"Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara
Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari
“Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”
“Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan