Ara duduk di tepi jendela, menatap lampu-lampu kota yang berpendar seperti bintang jatuh di kejauhan. Hembusan angin malam yang dingin masuk melalui celah kecil di jendela, menyapu kulitnya dengan lembut.
Ia memeluk cangkir teh hangat di tangannya, tapi ia tak menyadari bahwa uapnya perlahan memudar. Teh itu masih penuh, tak tersentuh sejak ia menyeduhnya. Pikirannya sibuk melayang ke tempat lain.
Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya kembali ke percakapan terakhir dengan Adrian. Nada suaranya, ketenangan yang selalu ia bawa, dan cara pria itu mendengarkan tanpa menghakimi. Semua itu terukir jelas di ingatannya, seolah-olah baru saja terjadi.
Dalam ingatan itu, senyuman Adrian tampak nyata, seperti berada di hadapannya. Senyum itu berbeda—hangat, jujur, dan menggetarkan hati.
Namun, di balik semua itu, ada perasaan bersalah yang tak mampu ia abaikan. Ara adalah istri Raka. Pernikahan mereka, meski terasa hambar belakangan ini, masih mengikatnya
Pagi itu, aroma kopi yang menyebar di dapur terasa berbeda. Kopi itu masih sama—pekat dan harum seperti biasanya. Namun, suasana di antara Ara dan Raka menciptakan atmosfer yang dingin dan tegang.Ara berdiri membelakangi suaminya, tangannya sibuk mengaduk gula ke dalam cangkir kopi. Ia menatap ke dalam cangkir seolah-olah mencari jawaban di sana, tetapi pikirannya melayang jauh.“Ara,” suara Raka memecah keheningan. Suaranya lebih rendah dari biasanya, tetapi nadanya menyiratkan sesuatu yang lebih. “Akhir-akhir ini, kamu sering melamun.”Ara berhenti mengaduk, menggenggam erat gagang sendok sejenak sebelum menghela napas. “Aku hanya lelah. Banyak yang harus kupikirkan,” jawabnya tanpa menoleh.Raka memandang istrinya dengan sorot mata tajam. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, sesuatu yang ia coba pecahkan dalam kebisuan Ara. Ia mencondongkan tubuh ke depan, bersandar pada meja makan. “Lelah dari apa
“Aku tidak bisa tinggal di sana lagi, Adrian.”Suara Ara pecah di tengah malam yang dingin. Ia berdiri di depan pintu apartemen Adrian dengan tubuh yang gemetar, rambutnya berantakan, dan wajahnya basah oleh air mata. Nafasnya terengah-engah, seolah-olah ia baru saja berlari menjauh dari neraka yang tak terlihat.Adrian, yang membuka pintu dengan ekspresi terkejut, segera melangkah maju. “Ara…” Suaranya pelan, penuh keprihatinan, tetapi ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia hanya meraih tangan Ara dengan lembut, menariknya masuk ke dalam apartemen.Saat pintu tertutup di belakang mereka, Ara merasa seluruh tubuhnya melemah. Kakinya hampir tidak mampu menopang tubuhnya, dan ia terjatuh ke lantai dengan suara isakan yang semakin keras. Adria
“Ara, aku ingin kamu bertemu seseorang.”Suara Adrian terdengar lembut, tetapi ada nada serius yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di sofa, menatap Ara dengan tatapan penuh perhatian. Matanya seolah berbicara lebih banyak daripada kata-katanya, menunjukkan kekhawatirannya yang mendalam.Ara mengernyit, bingung dengan permintaan itu. “Siapa, Adrian? Kenapa aku harus bertemu dengannya?”Adrian menghela napas panjang, menyusun kata-katanya sebelum menjawab. “Dia seseorang yang bisa membantumu, Ara. Aku ingin kamu mendengar langsung dari seseorang yang mengerti situasimu dan tahu bagaimana membantumu. Aku tidak ingin kamu merasa sendirian lagi.”Ara memeluk cangkir teh di tangannya, mencoba mencari kehangatan di tengah kebingungan yang melanda hatinya. Setelah beberapa detik terdiam, ia mengangguk pelan. “Kalau kamu pikir ini akan membantu, aku akan ikut.”Adrian tersenyum kecil, lega mendengar jawaban itu.
“Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Ara dariku, Adrian!”Suara Raka memecah keheningan malam, menggema di udara dingin seperti raungan hewan yang terluka. Matanya menyala tajam, penuh amarah yang membara. Tubuhnya tegang, tangannya terkepal erat, seolah siap meledak kapan saja.Adrian tetap berdiri tenang di depan Ara, tubuhnya tegak seperti tembok perlindungan. Matanya tidak melepaskan tatapan Raka, meskipun suaranya tetap terjaga lembut. “Ara membuat keputusannya sendiri, Raka. Ini bukan tentang aku atau kamu. Ini tentang dia dan hidupnya.”“Dia istriku!” seru Raka, langkahnya maju semakin dekat. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. “Aku tahu kamu memengaruhinya. Apa yang kamu katakan padanya? Apa yang kamu janjikan?”Ara berdiri di balik Adrian, tubuhnya gemetar, tetapi keberanian yang baru mulai tumbuh di dalam dirinya memaksanya untuk tidak hanya diam. Ia menelan napas dalam-dalam, menco
“Ara, aku minta maaf. Aku berjanji semuanya akan berubah.”Raka berbicara dengan nada yang terdengar tulus, tetapi bagi Ara, itu hanya sebuah pengulangan kosong. Mereka duduk di meja makan, tetapi suasananya terasa begitu dingin hingga sup di hadapannya, yang sudah lama dingin, tidak menarik perhatiannya.Ara memandang cangkirnya, tetapi pikirannya melayang, berjuang melawan perasaan lelah yang sudah terlalu akrab.Kata-kata itu—permintaan maaf dan janji Raka—terdengar seperti mantra yang telah diulanginya entah berapa kali. Ara tahu pola itu: ledakan amarah, diikuti oleh penyesalan yang seperti sandiwara.“Maaf, Ara. Aku hanya terlalu stres akhir-akhir ini.”“Maaf, Ara. Aku tidak bermaksud melakukannya.”“Maaf, Ara. Aku berjanji ini terakhir kali.”Janji-janji itu dulunya membuat hati Ara luluh, memberikan secercah harapan bahwa mungkin, kali ini, keadaan akan benar-benar me
“Aku tidak akan memaksamu, Ara. Ini keputusanmu. Tapi aku ingin kamu bertanya pada dirimu sendiri, apa yang sebenarnya kamu inginkan?”Adrian duduk di seberang meja kecil di kafe yang telah menjadi tempat mereka berbagi cerita. Tatapannya hangat, penuh perhatian, namun tak sedikit pun memaksa. Ia tahu bahwa percakapan ini sulit untuk Ara, tetapi juga menyadari bahwa tidak ada lagi waktu untuk menghindarinya.Ara menunduk, kedua tangannya menggenggam erat cangkir kopi yang kini hampir dingin. Uap tipis yang masih tersisa menggelitik wajahnya, tetapi ia bahkan tidak menyadarinya. Pikirannya penuh, seperti beban berat yang menumpuk tanpa henti.“Aku tidak tahu, Adrian,” jawab Ara akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku merasa seperti… aku mengkhianati sesuatu. Tapi di saat yang sama, aku juga tahu aku tidak bisa terus seperti ini.”Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menatapnya dengan lembut. &ld
“Ara, aku tidak akan bertanya lagi. Kamu harus memilih, sekarang.”Suara Raka memecah keheningan ruang tamu yang remang. Tubuhnya tegap, berdiri di depan Ara dengan sorot mata tajam yang menyala oleh kemarahan. Di tangannya, sebuah botol minuman kosong tergenggam erat, mencerminkan tekanan yang membara di dalam dirinya.Ara duduk di sofa, tubuhnya tampak kecil dan rapuh dibandingkan dengan kehadiran Raka yang mengancam. Tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun napasnya terasa berat.Setiap kata yang keluar dari mulut Raka menghantamnya seperti beban yang semakin menekan dada.“Aku tidak ingin memilih dengan cara seperti ini, Raka,” katanya dengan suara pelan, hampir pecah. “Tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa lagi hidup seperti ini.”Raka menyipitkan matanya, langkah kakinya mendekat perlahan tetapi penuh ancaman. “Apa maksudmu? Apa kamu mau bilang kamu a
“Ara, aku tahu ini sulit, tapi kita harus melakukannya dengan cepat dan hati-hati.”Suara Adrian terdengar tenang, tetapi ketegangan terpancar dari matanya. Ia duduk di seberang Ara di meja makan kecil di apartemennya, di antara mereka terhampar selembar kertas dengan catatan dan diagram yang mereka susun bersama.Cahaya lampu redup di atas meja memperjelas kelelahan yang tergambar di wajah mereka berdua.Ara menatap kertas itu, tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya. “Kamu yakin ini akan berhasil, Adrian? Kalau Raka tahu aku pergi, dia tidak akan tinggal diam.”Adrian mengangguk perlahan, suaranya mantap. “Aku tahu risikonya, Ara. Tapi kita sudah memikirkan semuanya. Maya juga yakin bahwa ini adalah langkah terbaik.”Kata-kata itu memberikan sedikit kelegaan bagi Ara, tetapi ketakutan masih menggantung di dadanya seperti kabut yang sulit diterobos. Ia menatap Adrian, berusaha menemukan keberanian dalam
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang