Pagi itu, matahari baru saja mulai menyelinap masuk melalui tirai, memberikan bayangan hangat ke seluruh ruangan. Namun, suasana di dalam rumah tetap dingin, bahkan beku. Ara duduk di meja makan, pandangannya kosong menatap secangkir teh yang sudah dingin di depannya.
Ia tahu bahwa Raka masih berada di kamar, tetapi suasana di antara mereka semakin renggang sejak malam sebelumnya.
Ketika suara langkah Raka terdengar, Ara merasa tubuhnya menegang. Ia memandang ke arah pintu dapur, dan di sanalah ia berdiri—suaminya, dengan wajah yang terlihat lelah tetapi penuh determinasi.
Mata mereka bertemu sesaat, sebelum Raka memutuskan kontak mata dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil secangkir kopi.
“Aku akan pulang lebih larut malam ini,” kata Raka akhirnya, nadanya datar, tanpa ekspresi.
Ara menatapnya, mencoba membaca sesuatu dari wajahnya, tetapi sulit. Ia tahu ada banyak yang ingin ia tanyakan, tetapi bibirnya terasa terkunci.
“Ada rapat di
Suara jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya, memantul di ruangan yang sunyi. Ara duduk di ruang tamu dengan tubuh lelah, tangan memeluk lututnya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan kata-kata Raka dan bayangan Adrian yang terus menghantuinya.Ia merasa hatinya perlahan-lahan hancur, seperti retakan di kaca yang semakin membesar.Dari arah dapur, terdengar suara langkah berat Raka. Ia muncul dengan wajah kusut, matanya merah karena kurang tidur atau mungkin karena malam yang dihabiskan dengan botol bir. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan melewati Ara, seolah-olah ia tidak ada di sana.“Raka,” panggil Ara, suaranya pelan tetapi penuh harapan. Ia tahu bahwa mereka perlu bicara, bahwa keheningan ini hanya akan membuat jarak di antara mereka semakin besar. “Kita harus bicara.”Raka berhenti sejenak, lalu berbalik dengan ekspresi dingin. “Tentang apa lagi?” tanyanya, nadanya datar tetapi menusuk. “Tentang bagaimana kau ingin mening
Hujan turun deras malam itu, memukul jendela dengan irama yang tidak teratur. Ara duduk di kamarnya, memandangi ponselnya yang tergeletak di meja. Pikirannya penuh dengan keraguan, rasa sakit, dan cinta yang bercampur menjadi satu.Di luar kamar, ia mendengar langkah Raka mondar-mandir, suara berat yang menambah tekanan dalam pikirannya.Ketika ponselnya akhirnya bergetar, Ara meraih benda itu dengan tangan gemetar. Nama Adrian muncul di layar, dan ia merasa hatinya melompat sejenak sebelum tenggelam lagi dalam rasa bersalah. Ia membuka pesan itu dengan perlahan, takut akan apa yang mungkin ia baca.“Ara, aku tahu kau sedang berjuang dengan banyak hal. Tapi aku ingin kau tahu sesuatu yang penting.”Ia berhenti sejenak, napasnya tertahan. Pesan itu tidak selesai di layar pertama, dan ia harus menggulir untuk melanjutkan.“Aku mencintaimu, bukan hanya untuk siapa dirimu sekarang, tapi juga untuk siapa kau bisa menjadi. Aku melihat seoran
Udara pagi terasa dingin ketika Ara melangkah keluar dari apartemen Adrian, wajahnya penuh kebimbangan. Adrian berdiri di samping mobilnya, memandangnya dengan senyum kecil yang tenang tetapi penuh arti.“Adrian, kau yakin tentang ini?” tanya Ara, suaranya lembut tetapi penuh keraguan. “Aku tidak ingin mengganggu harimu.”Adrian menggelengkan kepalanya dengan lembut, membuka pintu mobil untuk Ara. “Ini bukan gangguan, Ara,” katanya. “Aku ingin kau melihat sesuatu. Sesuatu yang penting bagiku.”Ara melangkah masuk, membiarkan pintu mobil tertutup dengan lembut di belakangnya. Ketika Adrian masuk ke sisi pengemudi, ia menatap Ara sejenak sebelum menyalakan mesin.“Kita akan pergi ke tempat yang sangat berarti bagiku,” katanya sambil menatap jalan di depan mereka. “Aku ingin kau tahu siapa aku, di luar semua yang kau lihat sekarang.”Perjalanan dimulai dengan tenang, hanya diiringi oleh suara mesin mobil dan lagu-lagu lembut yang mengalun dari radio.
Pintu rumah terbuka dengan lembut, mengeluarkan suara kecil yang menyeruak dalam keheningan malam. Ara masuk dengan langkah pelan, tetapi ia tahu bahwa Raka sudah menunggunya.Lampu ruang tamu menyala terang, dan suaminya duduk di sofa dengan tubuh bersandar, satu tangan memegang botol bir yang hampir kosong."Sudah pulang," kata Raka tanpa menoleh, suaranya rendah tetapi penuh ironi. "Dari tempat Adrian lagi, bukan?"Ara berdiri di ambang pintu, merasa tubuhnya tegang. Ia tahu malam ini akan berakhir dengan konfrontasi, seperti malam-malam sebelumnya. "Aku butuh waktu untuk berpikir," jawabnya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.Raka tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh dengan kepahitan. "Berpikir," ulangnya, menatap Ara dengan mata yang memerah. "Berpikir tentang bagaimana kau akan meninggalkan aku, ya?"Ara menelan ludah, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia kat
Pagi itu, Ara terbangun di sofa Adrian, kepalanya masih bersandar di bantal yang lembut. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela memberikan kehangatan di ruangan, tetapi hatinya masih penuh keraguan dan kekhawatiran. Adrian sudah bangun lebih dulu, sibuk di dapur kecilnya membuat sarapan."Selamat pagi," sapa Adrian lembut ketika melihat Ara membuka mata. "Aku pikir kau butuh sesuatu yang hangat untuk memulai harimu."Ara tersenyum kecil, meskipun senyum itu tidak sepenuhnya tulus. "Terima kasih, Adrian," katanya pelan, suara seraknya mencerminkan malam yang penuh emosi.Adrian mendekat dengan secangkir teh dan duduk di sampingnya. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya, nada suaranya penuh perhatian.Ara menghela napas panjang, menatap cangkir teh yang ia pegang. "Aku tidak tahu," katanya jujur. "Aku merasa seperti aku terjebak di antara dua dunia, dan aku tidak tahu bagaimana keluar darinya."Adrian tidak menjawab segera. Ia hanya menatap Ara dengan
Malam itu, Ara duduk di depan jendela apartemen Adrian, memandang kota yang dipenuhi lampu-lampu yang berkelap-kelip. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang masuk melalui celah jendela. Namun, bukannya merasa tenang, hatinya terasa semakin berat.Adrian duduk di sofa, memerhatikannya dengan tatapan penuh perhatian. Ia tidak ingin mendesak Ara, tetapi ia tahu bahwa wanita itu sedang berada di persimpangan jalan yang akan menentukan seluruh hidupnya.“Apa yang ada di pikiranmu, Ara?” tanya Adrian akhirnya, suaranya lembut.Ara tidak segera menjawab. Ia memandang ke luar jendela, memerhatikan tetesan air yang masih mengalir perlahan di kaca. “Aku tidak tahu,” katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. “Aku merasa seperti aku sedang berdiri di tepi jurang, dan aku tidak tahu apakah aku harus melompat atau mundur.”Adrian berdiri, berjalan perlahan mendekatinya. Ia duduk di kursi di sebelah Ara, menjaga jarak yang cukup untuk memberi
Malam itu dingin ketika Ara tiba di apartemen Adrian, tubuhnya terasa lelah baik secara fisik maupun emosional. Adrian membukakan pintu dengan senyum lembut yang langsung membuat hati Ara sedikit lebih ringan.Namun, meski ada kehangatan di tatapan Adrian, Ara tetap merasakan beban berat yang terus menggantung di dadanya.“Masuklah,” kata Adrian dengan suara lembut, menarik tubuh Ara ke dalam pelukannya sebelum ia sempat mengatakan apa-apa. Sentuhannya bukan sekadar sambutan, melainkan perlindungan yang ia berikan tanpa syarat.Ara membiarkan dirinya larut dalam pelukan itu, membiarkan kehangatan Adrian meresap ke dalam dirinya. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana," katanya pelan, suaranya bergetar.“Kau tidak harus terburu-buru,” jawab Adrian, membimbingnya menuju sofa. “Kita punya banyak waktu. Untuk sekarang, aku hanya ingin kau merasa tenang.”Adrian membawakan secangkir teh hangat dan selimut tipis untuk Ara. Ia duduk di sampingnya, menjaga
Cahaya bulan menembus tirai apartemen, menciptakan siluet lembut di lantai kayu yang tenang. Ara duduk di sofa, menggenggam secangkir teh hangat yang sudah mulai dingin. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk, seperti badai yang tidak kunjung reda.Di sudut lain ruangan, Adrian berdiri di dekat jendela, memandang keluar ke kota yang sunyi. Wajahnya serius tetapi penuh perhatian, seolah-olah ia sedang menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan.“Aku membaca pesan dari Raka,” kata Ara akhirnya, memecah keheningan. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, tetapi cukup untuk membuat Adrian menoleh.Adrian menatapnya, matanya penuh dengan kekhawatiran. “Apa yang dia katakan?” tanyanya, nadanya tenang tetapi tegas.Ara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Dia bilang kami belum selesai. Dia tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini.” Kata-katanya menggantung di udara, berat dan penuh arti.Adrian berjalan perlahan ke arah Ara, duduk di kursi d
Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk
Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd
Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan
Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.
"Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara
Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir
Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari
“Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”
“Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan