Home / Rumah Tangga / Cinta dalam Bayangan Hutang / Bab 45: Janji dalam Hening

Share

Bab 45: Janji dalam Hening

Author: Rizki Adinda
last update Last Updated: 2024-12-23 11:35:38

Cahaya bulan menembus tirai apartemen, menciptakan siluet lembut di lantai kayu yang tenang. Ara duduk di sofa, menggenggam secangkir teh hangat yang sudah mulai dingin. Pikiran dan perasaannya bercampur aduk, seperti badai yang tidak kunjung reda.

Di sudut lain ruangan, Adrian berdiri di dekat jendela, memandang keluar ke kota yang sunyi. Wajahnya serius tetapi penuh perhatian, seolah-olah ia sedang menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan.

“Aku membaca pesan dari Raka,” kata Ara akhirnya, memecah keheningan. Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, tetapi cukup untuk membuat Adrian menoleh.

Adrian menatapnya, matanya penuh dengan kekhawatiran. “Apa yang dia katakan?” tanyanya, nadanya tenang tetapi tegas.

Ara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Dia bilang kami belum selesai. Dia tidak akan membiarkan ini berakhir seperti ini.” Kata-katanya menggantung di udara, berat dan penuh arti.

Adrian berjalan perlahan ke arah Ara, duduk di kursi d

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 46: Titik Balik Ara

    Pagi itu, mentari menyelinap melalui celah tirai kamar tamu apartemen Adrian, membangunkan Ara dari tidur yang sebenarnya tidak nyenyak. Ia berbaring sejenak, memandangi langit-langit dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya duduk di tepi tempat tidur.Suara dari dapur—dentingan gelas dan bunyi lembut alat masak—memberitahunya bahwa Adrian sudah bangun.Ara melangkah keluar dari kamar, mengenakan sweater tipis yang Adrian tinggalkan untuknya di kursi semalam. Ia melihatnya berdiri di dapur, mempersiapkan sarapan sederhana. Aroma kopi memenuhi ruangan, membawa sedikit rasa nyaman ke dalam hati Ara yang masih berat."Selamat pagi," sapa Adrian ketika menyadari kehadirannya. Ia menoleh sambil membawa dua cangkir kopi, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Tidurmu nyenyak?"Ara tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran yang masih mengintip di matanya. “Aku mencoba,” jawabnya singkat. “Kau selalu bangun sepagi ini?”Adrian mengangguk sambil meletakkan kopi

    Last Updated : 2024-12-23
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 47: Malam di Bawah Bintang

    Udara malam terasa segar ketika Adrian membawa Ara ke atap apartemennya. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh, menciptakan pemandangan yang memukau.Namun, di tengah keindahan itu, hati Ara masih terasa berat, penuh dengan sisa-sisa ketegangan dari percakapannya dengan Raka beberapa jam sebelumnya.“Kenapa kita ke sini?” tanya Ara pelan, memeluk dirinya sendiri melawan angin malam yang dingin.Adrian tersenyum kecil, menunjukkan tikar yang telah ia bentangkan di sudut atap. Sebuah termos kecil dan dua cangkir tergeletak di atasnya. “Aku pikir kita butuh jeda,” katanya. “Kadang, duduk di bawah bintang-bintang membantu kita mengingat bahwa dunia ini lebih besar dari masalah yang kita hadapi.”Ara menatap Adrian, matanya melembut. “Kau selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa lebih baik,” katanya dengan senyum tipis.“Bukan karena aku tahu,” balas Adrian, tatapannya serius. “Tapi karena aku peduli.”Mereka duduk di a

    Last Updated : 2024-12-24
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 48: Pesan dari Sahabat Lama

    Pagi itu, Ara bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya bersama Adrian meninggalkan kehangatan di hatinya, tetapi pesan telepon yang Adrian terima mengenai Raka tidak bisa ia abaikan. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi tirai yang bergerak lembut oleh angin pagi.Namun, kebingungannya semakin bertambah ketika ponselnya berbunyi.Ia meraihnya dengan ragu. Nama yang muncul di layar membuat hatinya melompat: Nadia.Nadia adalah sahabat lamanya, seseorang yang dulu selalu menjadi tempat Ara berbagi cerita. Namun, sejak pernikahannya dengan Raka, hubungan mereka perlahan merenggang.Ara tidak pernah sepenuhnya tahu kenapa, tetapi ia menduga bahwa kehidupan pernikahan yang sibuk dan masalah yang datang bertubi-tubi membuatnya menjauh dari banyak orang, termasuk Nadia.Dengan napas panjang, Ara menjawab telepon itu.“Ara?” suara lembut Nadia terdengar dari ujung telepon. “Apa aku mengganggumu?”Ara tersenyum kecil meskipun a

    Last Updated : 2024-12-24
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 49: Kebingungan yang Mendera

    Cahaya matahari pagi menembus tirai kamar tamu di apartemen Adrian, tetapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang menyelimuti hati Ara. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi cermin yang memantulkan bayangan dirinya.Wajahnya terlihat lelah, dan lingkaran gelap di bawah matanya menunjukkan betapa buruk tidurnya semalam.Di luar kamar, terdengar suara langkah Adrian. Ia mengetuk pintu dengan lembut sebelum membukanya. “Ara,” katanya pelan, kepalanya sedikit menyembul ke dalam. “Aku membuatkan teh. Kau ingin bicara?”Ara menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh perhatian Adrian. “Aku akan keluar sebentar,” jawabnya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk, meskipun ia jelas melihat kegelisahan yang membebani Ara. “Aku akan menunggumu di luar,” katanya sebelum menutup pintu lagi.Ketika Ara akhirnya keluar dari kamar, Adrian sudah duduk di meja dapur, secangkir teh mengepul di depannya. Ia menatap Ara dengan senyum kecil

    Last Updated : 2024-12-24
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 50: Pertemuan Terakhir?

    Langit sore itu berwarna abu-abu, awan mendung menggantung rendah seolah mengancam untuk menumpahkan hujan. Ara duduk di dalam taksi, menatap keluar jendela dengan pikiran yang penuh.Jalan-jalan yang dilaluinya terasa seperti kabur, dan suara pengemudi yang bertanya apakah ia ingin membuka jendela hanya melintas seperti gumaman.Ia menggenggam tas kecil di pangkuannya dengan erat. Di dalamnya, terselip sebuah surat—surat yang ia tulis semalam setelah menimbang semuanya. Surat itu adalah bagian dari keputusannya, tetapi meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya, perasaannya masih bergejolak.Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Apakah ia bisa mengucapkan selamat tinggal kepada Adrian, seseorang yang telah mengajarinya apa artinya dicintai tanpa syarat?Ketika taksi berhenti di depan apartemen Adrian, Ara merasakan napasnya semakin pendek. Ia membayar pengemudi dan melangkah keluar. Angin dingin meniup wajahnya, membawa aroma hujan yang semakin dekat.

    Last Updated : 2024-12-25
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 51: Kebenaran yang Terungkap

    Hujan deras masih mengguyur kota ketika Ara tiba di rumahnya. Langkah kakinya berat saat ia melangkah masuk, membawa hati yang penuh luka. Suara pintu yang tertutup di belakangnya terasa seperti pukulan terakhir yang membungkam pikirannya.Ia berdiri di tengah ruang tamu yang terasa dingin dan asing, memandangi sisa-sisa kehidupannya yang berantakan.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Adrian muncul di layar. Ara tertegun, merasakan jantungnya berdetak cepat. Ia tidak yakin apakah ia bisa mendengar suara Adrian sekarang, tetapi akhirnya ia menekan tombol angkat.“Ara,” suara Adrian terdengar rendah, hampir seperti bisikan. “Ada sesuatu yang harus kau ketahui. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi tanpa mendengar ini.”Ara diam, menggenggam ponselnya erat-erat. “Apa itu, Adrian?” tanyanya, meskipun hatinya sudah penuh dengan ketegangan.“Aku telah mencoba untuk tidak mengatakannya,” kata Adrian pelan. “Tapi aku rasa kau harus tahu—tentang hubungan bisnis

    Last Updated : 2024-12-25
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 52: Penyesalan yang Mendalam

    Langit malam itu dipenuhi bintang, tetapi Ara tidak bisa merasakan keindahannya. Ia duduk di balkon rumahnya, sendirian dengan secangkir teh yang sudah lama dingin di tangannya. Angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, membawa aroma melati dari taman kecil di bawah.Namun, bahkan kesunyian ini tidak bisa membawa kedamaian ke hatinya.Ia memandangi cincin pernikahan di jarinya, benda kecil yang pernah menjadi simbol harapan dan cinta. Tetapi sekarang, benda itu hanya terasa seperti pengingat dari ikatan yang perlahan melukai dirinya.Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya. Raka muncul di ambang pintu balkon, mengenakan kaos polos dan celana panjang yang lusuh. Wajahnya tampak lelah, garis-garis keras di wajahnya semakin dalam di bawah cahaya lampu balkon.“Kau belum tidur?” tanya Raka, suaranya datar tetapi mengandung nada kepedulian yang tertahan.Ara menoleh perlahan, menatap suaminya dengan ekspresi kosong. “Aku sedang berpikir,” jawa

    Last Updated : 2024-12-25
  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 53: Kemarahan Adrian

    Langit mulai gelap ketika Adrian menerima telepon dari salah satu koleganya yang mengungkapkan kabar terbaru tentang Raka.Ia sedang duduk di ruang tamu apartemennya, secangkir kopi yang sudah dingin di atas meja, ketika suara koleganya mengisi ruangan dengan detail tentang situasi keuangan Raka yang semakin kacau."Dia mencoba menghubungi beberapa klien lama untuk meminta pinjaman lagi," kata suara di ujung telepon. "Tapi aku dengar, kali ini dia menggunakan namamu untuk meyakinkan mereka bahwa dia bisa membayar balik utangnya."Adrian menggenggam ponsel lebih erat, rahangnya mengeras. "Namaku?" tanyanya dengan nada rendah tetapi penuh amarah yang terpendam."Ya," jawab suara itu. "Dia bilang kau mendukungnya secara finansial, sehingga investasinya akan aman. Aku tidak tahu apa rencananya, tetapi ini tidak bisa terus dibiarkan."Adrian menutup telepon, dadanya berdebar dengan marah. Ia bangkit dari sofa, berjalan bolak-balik di ruang tamu. Raka ti

    Last Updated : 2024-12-26

Latest chapter

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 94: Raka yang Tak Mau Menyerah

    Dini hari itu, hujan mengguyur dengan deras, menciptakan simfoni monoton di atap apartemen Ara. Ara terbangun dengan suara ketukan keras di pintu. Bukan suara lembut yang biasa Adrian buat, melainkan ketukan kasar, mendesak, yang memaksa denyut nadinya melonjak cepat.Ia duduk di ranjang, menatap pintu dengan mata yang masih mengantuk, tetapi tubuhnya kaku oleh kecemasan. Siapa yang akan datang pada jam seperti ini?Ketukan itu terdengar lagi, lebih keras.“Ara! Buka pintunya!”Suaranya membuat tubuh Ara gemetar. Itu Raka.Ia segera berdiri, mengenakan cardigan untuk melawan dinginnya malam. Dengan langkah ragu, Ara menuju pintu. Tangannya sudah di kenop pintu ketika sebuah pikiran melintas: jangan lakukan ini. Jangan buka pintu itu.“Aku tahu kau di sana!” Raka berteriak, suaranya serak oleh marah. “Ara! Kalau kau tidak buka pintu ini sekarang, aku akan—”Tiba-tiba, suara lift berbunyi. Langk

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 93: Keputusan Adrian

    Heningnya ruang kerja Adrian pecah oleh suara langkah kakinya yang mantap. Ia berjalan mondar-mandir di lantai kayu yang mengilap, dengan ponsel yang ditempelkan di telinganya. Cahaya dari lampu gantung di langit-langit memantulkan sorotan lembut ke wajahnya yang tegang.“Tidak, aku tidak peduli soal prosedur biasa,” katanya, suaranya dingin dan tajam. “Pastikan surat perintah itu dikeluarkan secepatnya. Aku ingin dia tidak bisa mendekati Ara sejauh apa pun.”Adrian memutus panggilan tanpa menunggu jawaban dari seberang, lalu melempar ponsel itu ke atas meja. Ia memijit pelipisnya, menarik napas panjang seolah mencoba menenangkan badai di dadanya. Matanya gelap, penuh ketegangan yang sulit disembunyikan.Ketukan di pintu memecah lamunannya. Adrian menoleh. Ara berdiri di sana, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, dan ekspresinya cemas.“Aku mengetuk beberapa kali,” kata Ara, suaranya pelan. “Kau tidak mendengar?&rd

  • Cinta dalam Bayangan Hutang    Bab 92: Pesan Ancaman

    Ara terbangun dengan detak jantung yang berdentum kencang. Suara notifikasi dari ponsel di samping ranjang kecilnya masih bergema di kepala. Udara dingin pagi menyelinap melalui celah gorden, tetapi keringat dingin justru membasahi pelipisnya.Ia meraih ponsel itu dengan tangan gemetar, layar yang terang memantulkan bayangannya yang lelah. Ada pesan baru, dan nama pengirimnya membuat perut Ara terasa seperti diaduk-aduk.Raka.Pesan itu singkat, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menghujam dadanya.“Kalau kau tidak kembali, aku pastikan semuanya berantakan untukmu. Jangan coba-coba melarikan diri dari ini. Kau tahu aku serius, Ara.”Jari-jari Ara perlahan melemah. Ponsel itu nyaris terjatuh dari tangannya. Pesan itu tidak hanya mengancam dirinya, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam—kedamaian kecil yang baru saja ia temukan.Di luar, langit mulai memudar dari kelam menjadi abu-abu. Tetapi ruangan

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 91: Hari-Hari Bahagia yang Terusik

    Suara ketukan halus di pintu memecah keheningan. Ara, yang sedang mengaduk saus tomat di panci, menoleh cepat. Sekilas ia melihat cipratan kecil saus menetes ke atas meja marmer, tapi pikirannya teralih oleh ketukan itu.“Sebentar,” serunya, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak.Ia membuka pintu, dan Adrian berdiri di sana, mengenakan kemeja putih sederhana yang lengannya tergulung hingga siku. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan—seperti kerikil kecil yang membuat riak di air yang tenang.“Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan makan siang,” katanya ringan sambil melangkah masuk, tanpa menunggu izin.Ara tersenyum kecil, lalu menunjuk panci di dapur. “Aku sedang memasak, Adrian. Kalau aku lupa makan, itu artinya aku gagal menjadi—” Ia menghentikan kata-katanya, merasakan nada itu terlalu berbahaya untuk dilanjutkan.

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 90: Adrian Siap Melindungi

    "Ara, aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu."Suara Adrian terdengar tegas namun hangat saat ia duduk di seberang Ara. Tatapannya tajam, penuh determinasi, tetapi ada kelembutan yang menyelip di sana—perpaduan perlindungan dan kasih sayang.Mereka duduk di meja makan kecil di kabin, sisa-sisa makan malam masih berserakan di atas meja. Ara menatap Adrian, matanya dipenuhi kekhawatiran. Tapi jauh di balik itu, ada kepercayaan yang mulai tumbuh, sebuah keyakinan yang perlahan-lahan menguat.“Tapi dia tidak akan berhenti, Adrian,” bisik Ara, suaranya pelan namun bergetar dengan ketakutan yang nyata. “Raka tidak akan menyerah sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.”Adrian mengepalkan tangannya di atas meja, berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langsung ke mata Ara.“Kalau begitu, aku akan memastikan dia tidak mendapatkan kesempatan. Aku sudah berbicara

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 89: Ancaman yang Muncul

    Adrian memegang telepon dengan erat, menatap dinding kayu kabin yang diterangi lampu temaram. Suara di seberang sana membuat darahnya mendidih, meskipun ia berusaha keras menjaga emosinya tetap terkendali.“Adrian, kamu pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku selamanya?” suara Raka terdengar dingin, penuh amarah yang terpendam. Adrian melirik ke ruang kerja, di mana Ara tengah sibuk menulis. Ia mundur beberapa langkah ke sudut kabin, memastikan percakapan ini tidak terdengar oleh Ara.“Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan,” jawab Adrian, mencoba membuat suaranya tetap tegas. “Tapi aku sarankan kamu berhenti mencari masalah.”Tawa kecil terdengar dari Raka, tetapi tanpa humor—hanya sisa-sisa dari seseorang yang terobsesi dan penuh kepahitan. “Jangan berpura-pura bodoh. Aku tahu dia bersamamu. Kamu mencuri istriku, dan kamu pikir aku akan membiarkan itu?”Adrian mengepalkan tangan, kuku-kukunya hampir

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 88: Raka yang Terpuruk

    Raka duduk di ruang tamu apartemennya yang berantakan. Botol-botol minuman kosong berserakan di lantai, menjadi saksi bisu malam-malam panjang yang ia habiskan dalam kekacauan pikiran. Matanya merah, wajahnya kusut, seperti seseorang yang tak pernah benar-benar beristirahat.Di meja kecil di depannya, sebuah surat tergeletak terbuka. Itu adalah surat dari Ara, dan setiap kali ia membacanya, kata-katanya seperti menguliti hatinya."Aku pergi bukan karena aku tidak pernah mencintaimu, tetapi karena aku akhirnya menyadari bahwa aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu."Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Bukan hanya karena Ara telah meninggalkannya, tetapi karena ia tahu, dalam-dalam, ada kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. Selama ini, ia tidak hanya kehilangan Ara; ia juga menghancurkan sesuatu yang dulu menjadi inti dari dirinya.Raka tidak pernah tahu bagaimana harus menjaga apa yang berharga, dan kini, semua itu telah lepas dari

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 87: Kebebasan yang Baru Ditemukan

    “Adrian, aku rasa... aku ingin mencoba bekerja lagi.”Ara duduk di bangku kayu di teras kabin, memandangi hutan yang terbentang di depannya. Udara pagi membawa aroma segar tanah basah setelah hujan malam sebelumnya. Ia menggenggam secangkir teh di kedua tangannya, mencoba menenangkan debaran kecil di dadanya saat ia menyuarakan keinginan yang baru tumbuh.Adrian, yang sedang menyiram tanaman kecil di samping kabin, menoleh dengan senyum hangat. “Itu ide yang bagus, Ara. Kamu sudah lama memikirkan ini?”Ara mengangguk perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. “Aku rasa aku butuh sesuatu untuk menyibukkan diri, sesuatu yang membuatku merasa produktif. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.”

  • Cinta dalam Bayangan Hutang   Bab 86: Babak Baru Bersama Adrian

    “Ara, lihat ini.”Adrian berdiri di dekat jendela kabin, pandangannya tertuju ke arah hutan yang mulai diterangi cahaya pagi. Matahari baru saja terbit, sinarnya lembut menembus sela-sela pepohonan yang basah oleh embun. Di kejauhan, seekor rusa muncul dengan gerakan anggun, melangkah perlahan di antara dedaunan.Ara, yang baru saja selesai menyeduh teh, mendekati jendela dengan hati-hati. Wajahnya dipenuhi kehangatan saat ia melihat pemandangan itu. “Indah sekali,” bisiknya, seolah takut mengganggu ketenangan pagi.Dalam tatapannya, ada rasa kagum yang sudah lama tidak ia rasakan—sebuah kedamaian yang hampir asing baginya.Adrian melirik Ara, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Aku ingin setiap pagi seperti ini untukmu, Ara. Tenang, damai, tanpa rasa takut.”Ara menoleh ke arah Adrian, bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. “Ini seperti mimpi. Aku tidak pernah membayangkan bisa merasakan ketenan

DMCA.com Protection Status