Pagi itu, mentari menyelinap melalui celah tirai kamar tamu apartemen Adrian, membangunkan Ara dari tidur yang sebenarnya tidak nyenyak. Ia berbaring sejenak, memandangi langit-langit dengan tatapan kosong, sebelum akhirnya duduk di tepi tempat tidur.
Suara dari dapur—dentingan gelas dan bunyi lembut alat masak—memberitahunya bahwa Adrian sudah bangun.
Ara melangkah keluar dari kamar, mengenakan sweater tipis yang Adrian tinggalkan untuknya di kursi semalam. Ia melihatnya berdiri di dapur, mempersiapkan sarapan sederhana. Aroma kopi memenuhi ruangan, membawa sedikit rasa nyaman ke dalam hati Ara yang masih berat.
"Selamat pagi," sapa Adrian ketika menyadari kehadirannya. Ia menoleh sambil membawa dua cangkir kopi, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Tidurmu nyenyak?"
Ara tersenyum tipis, meskipun ada kekhawatiran yang masih mengintip di matanya. “Aku mencoba,” jawabnya singkat. “Kau selalu bangun sepagi ini?”
Adrian mengangguk sambil meletakkan kopi
Udara malam terasa segar ketika Adrian membawa Ara ke atap apartemennya. Lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang yang jatuh, menciptakan pemandangan yang memukau.Namun, di tengah keindahan itu, hati Ara masih terasa berat, penuh dengan sisa-sisa ketegangan dari percakapannya dengan Raka beberapa jam sebelumnya.“Kenapa kita ke sini?” tanya Ara pelan, memeluk dirinya sendiri melawan angin malam yang dingin.Adrian tersenyum kecil, menunjukkan tikar yang telah ia bentangkan di sudut atap. Sebuah termos kecil dan dua cangkir tergeletak di atasnya. “Aku pikir kita butuh jeda,” katanya. “Kadang, duduk di bawah bintang-bintang membantu kita mengingat bahwa dunia ini lebih besar dari masalah yang kita hadapi.”Ara menatap Adrian, matanya melembut. “Kau selalu tahu bagaimana caranya membuatku merasa lebih baik,” katanya dengan senyum tipis.“Bukan karena aku tahu,” balas Adrian, tatapannya serius. “Tapi karena aku peduli.”Mereka duduk di a
Pagi itu, Ara bangun dengan perasaan campur aduk. Malam sebelumnya bersama Adrian meninggalkan kehangatan di hatinya, tetapi pesan telepon yang Adrian terima mengenai Raka tidak bisa ia abaikan. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi tirai yang bergerak lembut oleh angin pagi.Namun, kebingungannya semakin bertambah ketika ponselnya berbunyi.Ia meraihnya dengan ragu. Nama yang muncul di layar membuat hatinya melompat: Nadia.Nadia adalah sahabat lamanya, seseorang yang dulu selalu menjadi tempat Ara berbagi cerita. Namun, sejak pernikahannya dengan Raka, hubungan mereka perlahan merenggang.Ara tidak pernah sepenuhnya tahu kenapa, tetapi ia menduga bahwa kehidupan pernikahan yang sibuk dan masalah yang datang bertubi-tubi membuatnya menjauh dari banyak orang, termasuk Nadia.Dengan napas panjang, Ara menjawab telepon itu.“Ara?” suara lembut Nadia terdengar dari ujung telepon. “Apa aku mengganggumu?”Ara tersenyum kecil meskipun a
Cahaya matahari pagi menembus tirai kamar tamu di apartemen Adrian, tetapi kehangatannya tak mampu mengusir dingin yang menyelimuti hati Ara. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi cermin yang memantulkan bayangan dirinya.Wajahnya terlihat lelah, dan lingkaran gelap di bawah matanya menunjukkan betapa buruk tidurnya semalam.Di luar kamar, terdengar suara langkah Adrian. Ia mengetuk pintu dengan lembut sebelum membukanya. “Ara,” katanya pelan, kepalanya sedikit menyembul ke dalam. “Aku membuatkan teh. Kau ingin bicara?”Ara menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh perhatian Adrian. “Aku akan keluar sebentar,” jawabnya pelan, suaranya hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk, meskipun ia jelas melihat kegelisahan yang membebani Ara. “Aku akan menunggumu di luar,” katanya sebelum menutup pintu lagi.Ketika Ara akhirnya keluar dari kamar, Adrian sudah duduk di meja dapur, secangkir teh mengepul di depannya. Ia menatap Ara dengan senyum kecil
Langit sore itu berwarna abu-abu, awan mendung menggantung rendah seolah mengancam untuk menumpahkan hujan. Ara duduk di dalam taksi, menatap keluar jendela dengan pikiran yang penuh.Jalan-jalan yang dilaluinya terasa seperti kabur, dan suara pengemudi yang bertanya apakah ia ingin membuka jendela hanya melintas seperti gumaman.Ia menggenggam tas kecil di pangkuannya dengan erat. Di dalamnya, terselip sebuah surat—surat yang ia tulis semalam setelah menimbang semuanya. Surat itu adalah bagian dari keputusannya, tetapi meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya, perasaannya masih bergejolak.Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Apakah ia bisa mengucapkan selamat tinggal kepada Adrian, seseorang yang telah mengajarinya apa artinya dicintai tanpa syarat?Ketika taksi berhenti di depan apartemen Adrian, Ara merasakan napasnya semakin pendek. Ia membayar pengemudi dan melangkah keluar. Angin dingin meniup wajahnya, membawa aroma hujan yang semakin dekat.
Hujan deras masih mengguyur kota ketika Ara tiba di rumahnya. Langkah kakinya berat saat ia melangkah masuk, membawa hati yang penuh luka. Suara pintu yang tertutup di belakangnya terasa seperti pukulan terakhir yang membungkam pikirannya.Ia berdiri di tengah ruang tamu yang terasa dingin dan asing, memandangi sisa-sisa kehidupannya yang berantakan.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nama Adrian muncul di layar. Ara tertegun, merasakan jantungnya berdetak cepat. Ia tidak yakin apakah ia bisa mendengar suara Adrian sekarang, tetapi akhirnya ia menekan tombol angkat.“Ara,” suara Adrian terdengar rendah, hampir seperti bisikan. “Ada sesuatu yang harus kau ketahui. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi tanpa mendengar ini.”Ara diam, menggenggam ponselnya erat-erat. “Apa itu, Adrian?” tanyanya, meskipun hatinya sudah penuh dengan ketegangan.“Aku telah mencoba untuk tidak mengatakannya,” kata Adrian pelan. “Tapi aku rasa kau harus tahu—tentang hubungan bisnis
Langit malam itu dipenuhi bintang, tetapi Ara tidak bisa merasakan keindahannya. Ia duduk di balkon rumahnya, sendirian dengan secangkir teh yang sudah lama dingin di tangannya. Angin malam yang dingin menyentuh wajahnya, membawa aroma melati dari taman kecil di bawah.Namun, bahkan kesunyian ini tidak bisa membawa kedamaian ke hatinya.Ia memandangi cincin pernikahan di jarinya, benda kecil yang pernah menjadi simbol harapan dan cinta. Tetapi sekarang, benda itu hanya terasa seperti pengingat dari ikatan yang perlahan melukai dirinya.Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya. Raka muncul di ambang pintu balkon, mengenakan kaos polos dan celana panjang yang lusuh. Wajahnya tampak lelah, garis-garis keras di wajahnya semakin dalam di bawah cahaya lampu balkon.“Kau belum tidur?” tanya Raka, suaranya datar tetapi mengandung nada kepedulian yang tertahan.Ara menoleh perlahan, menatap suaminya dengan ekspresi kosong. “Aku sedang berpikir,” jawa
Langit mulai gelap ketika Adrian menerima telepon dari salah satu koleganya yang mengungkapkan kabar terbaru tentang Raka.Ia sedang duduk di ruang tamu apartemennya, secangkir kopi yang sudah dingin di atas meja, ketika suara koleganya mengisi ruangan dengan detail tentang situasi keuangan Raka yang semakin kacau."Dia mencoba menghubungi beberapa klien lama untuk meminta pinjaman lagi," kata suara di ujung telepon. "Tapi aku dengar, kali ini dia menggunakan namamu untuk meyakinkan mereka bahwa dia bisa membayar balik utangnya."Adrian menggenggam ponsel lebih erat, rahangnya mengeras. "Namaku?" tanyanya dengan nada rendah tetapi penuh amarah yang terpendam."Ya," jawab suara itu. "Dia bilang kau mendukungnya secara finansial, sehingga investasinya akan aman. Aku tidak tahu apa rencananya, tetapi ini tidak bisa terus dibiarkan."Adrian menutup telepon, dadanya berdebar dengan marah. Ia bangkit dari sofa, berjalan bolak-balik di ruang tamu. Raka ti
Langit malam itu dipenuhi bintang-bintang yang tampak seperti berlian kecil, tetapi keindahan itu tidak mampu menenangkan hati Ara. Setelah berjam-jam bergulat dengan pikirannya, ia menemukan dirinya berjalan menuju apartemen Adrian.Langkahnya terasa berat, tetapi setiap langkah membawa kejelasan yang ia butuhkan. Ia tahu ini mungkin akan menjadi kali terakhir ia melihat Adrian, tetapi ia harus melakukannya.Ketika Adrian membuka pintu, wajahnya dipenuhi dengan campuran keheranan dan kelegaan. Ia berdiri di sana dengan pakaian santai, tetapi ada ketegangan di bahunya yang tidak bisa ia sembunyikan."Ara," katanya pelan, menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. "Kau datang."Ara mengangguk, mencoba tersenyum meskipun air matanya menggenang. "Bolehkah aku masuk?" tanyanya.Adrian membuka pintu lebih lebar, membiarkannya masuk. Ara melangkah ke dalam, merasa kehangatan apartemen Adrian membungkusnya seperti selimut yang menenangkan. Aroma kayu ma
Pagi di desa itu selalu dimulai dengan keheningan yang damai, diselingi oleh kicauan burung yang terdengar dari pepohonan di belakang rumah mereka. Di dapur, aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara.Ara berdiri di depan wastafel, mencuci beberapa buah stroberi yang baru dipetik dari kebun kecil mereka. Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela, membungkus tubuhnya dengan sinar hangat yang lembut.Dari ruang tamu, terdengar langkah kaki kecil yang mendekat. Ara menoleh dan tersenyum lebar saat melihat seorang anak kecil dengan rambut ikal berwarna cokelat berlari ke arahnya. Anak itu mengenakan piyama dengan motif dinosaurus, dan tawa kecilnya memenuhi ruangan."Ibu! Lihat apa yang aku temukan!" seru anak itu dengan suara ceria, memperlihatkan sebuah daun kecil yang ia bawa dengan hati-hati.Ara membungkuk, mengambil daun itu dari tangan anaknya. "Oh, ini indah sekali, sayang. Kau menemukannya di mana?""Di bawah pohon besar!" jawab anak itu, m
Cahaya senja menyelimuti desa kecil itu, membawa kehangatan pada rumah-rumah kecil yang berbaris rapi di sepanjang jalan berbatu. Langit dihiasi semburat warna oranye, merah muda, dan ungu, seolah-olah semesta sengaja melukis kanvasnya untuk merayakan hari yang damai.Di halaman belakang rumah, Ara duduk di bangku kayu dengan secangkir teh di tangannya, tubuhnya terbalut sweater rajut yang melindunginya dari udara sore yang mulai dingin.Ia memandangi bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu. Tanaman itu tumbuh dengan gagah, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar. Kepala bunga yang cerah menghadap ke arah matahari yang mulai tenggelam.Ara tersenyum kecil, merasa bahwa bunga itu melambangkan kehidupannya sendiri—perlahan-lahan tumbuh dari tanah yang dulu terasa tandus, mencari cahaya yang akhirnya ia temukan dalam hidupnya bersama Adrian.Pintu belakang berderit pelan, dan suara langkah Adrian di atas lantai kayu terdengar sebelum ia m
Pagi itu, sinar matahari menyapu pelan rumah kecil mereka, membawa kehangatan ke dalam setiap sudut ruangan. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan udara pagi yang segar masuk. Aroma rumput basah dan bunga-bunga liar dari taman belakang melayang lembut di udara.Ia berdiri sejenak, memandang ke luar dengan senyum kecil di wajahnya. Di halaman belakang, bunga matahari yang Adrian tanam beberapa minggu lalu mulai tumbuh, batangnya kokoh dan daunnya hijau segar."Duduklah dulu," kata Adrian dari dapur, suaranya terdengar ringan tetapi sedikit menggoda. "Kau tidak bisa terus sibuk sejak pagi. Sarapan sudah siap."Ara menoleh, tertawa kecil. "Aku hanya menikmati pemandangan. Kau tahu, aku tidak pernah membayangkan bisa bangun dengan perasaan selega ini."Adrian muncul dari balik pintu dapur dengan dua piring di tangannya. Sepiring telur dadar lembut dengan irisan alpukat dan roti panggang di satu piring lainnya. Ia meletakkan semuanya di meja keci
Cahaya matahari pagi menerobos melalui jendela besar rumah baru mereka, memantulkan sinarnya di lantai kayu yang mengilap. Rumah itu sederhana tetapi terasa hangat, dengan dinding bercat krem dan perabotan kayu yang dipilih dengan penuh cinta.Di luar, angin sepoi-sepoi meniup dedaunan pohon maple, dan suara burung-burung terdengar lembut, menjadi latar belakang kehidupan baru yang mereka mulai bersama.Ara berdiri di dapur kecil mereka, aroma kopi menguar dari mesin yang baru saja Adrian belikan. Ia mengenakan kaus longgar berwarna putih dan celana katun, kakinya telanjang di atas lantai dingin.Ia memandangi jendela yang menghadap ke taman belakang, di mana Adrian sedang menggali tanah untuk menanam bunga matahari yang dibawanya dari pasar minggu lalu.Ara tersenyum kecil, menyandarkan pinggulnya di meja dapur sambil memegang secangkir kopi. Setiap gerakan Adrian di luar terlihat penuh semangat—wajahnya yang serius saat ia mencangkul tanah, seseka
Pagi itu, langit cerah tanpa awan. Cahaya matahari lembut membasuh taman kecil di belakang rumah keluarga Adrian, tempat acara sederhana mereka akan diadakan.Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga mawar dan lavender yang menghiasi setiap sudut taman, menciptakan suasana hangat yang sempurna.Ara berdiri di depan cermin di kamar tamu rumah Adrian. Gaun putih sederhana melekat di tubuhnya, terbuat dari bahan satin yang jatuh dengan indah, memeluk tubuhnya dengan cara yang anggun.Tidak ada renda berlebihan atau kilauan mencolok, hanya detail kecil di sekitar leher yang membuatnya terlihat elegan dan alami.Lila berdiri di belakangnya, membantu menyematkan peniti kecil di ujung kerudung Ara. "Kau terlihat... luar biasa," kata Lila dengan mata berbinar, senyumnya lebar.Ara tersenyum melalui pantulan cermin, mencoba menahan perasaan gugup yang merayap di dadanya. "Terima kasih, Lila. Aku rasa ini pertama kalinya aku merasa benar-benar seperti pengantin
Pagi itu dimulai dengan keheningan yang damai. Sinar matahari pagi menerobos melalui tirai jendela, menyelimuti ruang tamu rumah kecil mereka dengan cahaya hangat keemasan. Ara berdiri di dapur, mengenakan sweater tipis berwarna krem yang sedikit kebesaran.Ia sedang memotong beberapa buah untuk sarapan, menikmati aroma segar jeruk yang menguar.Adrian muncul dari belakang, rambutnya masih sedikit berantakan, namun senyum lembut yang biasa menghiasi wajahnya tetap ada. "Kau bangun lebih pagi dari biasanya," katanya sambil mengambil cangkir dari rak dan menuangkan kopi.Ara menoleh dan tersenyum kecil. "Aku suka pagi-pagi seperti ini. Tenang dan terasa ringan."Adrian mengangguk, berjalan ke meja dan duduk di kursi, memperhatikan Ara yang sibuk di dapur. "Ada sesuatu yang berbeda pada dirimu akhir-akhir ini," ujarnya pelan, tetapi dengan nada penuh perhatian.Ara berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk menatap Adrian. "Apa maksudmu?"Adrian
Pagi itu, rumah kecil mereka diselimuti keheningan yang damai. Matahari pagi menyinari ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan hangat di lantai kayu. Ara duduk di meja dekat jendela, secangkir teh hijau mengepul di sebelahnya. Di depan Ara, ada selembar kertas kosong dan sebuah pena sederhana.Adrian berjalan masuk dari dapur, membawa piring berisi irisan roti panggang dan buah-buahan. Ia berhenti di ambang pintu ketika melihat Ara yang tampak termenung di depan kertas itu."Apa yang kau pikirkan?" tanyanya pelan, meletakkan piring di meja kecil di dekat Ara.Ara menoleh ke arahnya, bibirnya melengkung menjadi senyuman kecil yang hampir tidak terlihat. "Aku berpikir untuk menulis sesuatu. Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana."Adrian menarik kursi di depannya dan duduk. "Sesuatu seperti apa?"Ara mengambil pena itu, menggenggamnya dengan kedua tangan. "Aku ingin menulis surat untuk Raka."Adrian menatapnya, tetapi tidak langsung men
Angin sejuk pegunungan membelai wajah Ara, membawa aroma pinus dan bunga liar yang mekar di sepanjang jalan menuju rumah keluarga Adrian.Mobil Adrian meluncur mulus di jalanan kecil yang berkelok-kelok, dikelilingi oleh hutan hijau yang terasa seperti melindungi mereka dari hiruk pikuk dunia luar. Ara memandang keluar jendela, matanya menangkap pemandangan pegunungan yang menjulang megah di kejauhan.Namun, di tengah keindahan itu, dadanya terasa sesak oleh kegugupan. Jemarinya memainkan ujung sweater yang ia kenakan, menggulungnya dengan canggung."Berhenti menggulung sweatermu," suara Adrian terdengar ringan, tetapi penuh kehangatan, memecah keheningan. Matanya melirik ke arah Ara sambil tetap memperhatikan jalan.Ara meliriknya, setengah tersipu. "Aku tidak bisa menahannya. Aku... aku gugup."Adrian tertawa kecil, nada suaranya santai seperti biasanya. Ia mengulurkan satu tangan dari kemudi, menggenggam jemari Ara dengan lembut. "Kau tidak perl
Matahari pagi menyelimuti rumah kecil mereka dengan sinar keemasan. Udara di kota kecil itu sejuk dan segar, membawa aroma embun dan dedaunan basah. Ara membuka jendela besar di ruang tamu, membiarkan angin pagi masuk, meniup lembut rambutnya yang tergerai.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sungai kecil di kejauhan, mengalir tenang di bawah bayang-bayang pohon yang rimbun.Di dapur, suara denting piring terdengar pelan. Adrian tengah mengaduk adonan pancake, lengan bajunya digulung hingga siku. Ia sesekali menoleh ke arah Ara, memastikan dia baik-baik saja."Apa kau lapar?" tanya Adrian, suaranya terdengar ringan dan santai, seperti pagi itu.Ara menoleh, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Aku selalu lapar untuk pancake," balasnya sambil berjalan mendekat.Adrian tertawa pelan, mengangkat wajan untuk menuangkan adonan ke panci panas. "Pancake spesial pagi ini. Dengan ekstra cinta."Ara duduk di bangku dapur, menopang dagunya dengan tang