“Gimana keadaannya?” tanya Elvan menghampiri Andrew yang tengah menemani Metta.“Masih belum sadar,” sahut Andrew.“Papa sama Mama udah mau jalan ke sini. Gue belum kasih tau Aya sama Mamih, Lu tungguin dulu ya. Gue mau nelpon kantor juga minta Andi urusin motor Metta di kantor polisi,” ujar Elvan kemudian, lalu kembali meninggalkan Andrew sendirian untuk menemani Metta.Beberapa menit kemudian Metta bergerak dalam tidurnya dan dengan perlahan mulai membuka matanya.“Ta, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit? Sebelah mana?” tanya Andrew panik.Metta menatap ke arah Andrew kemudian dengan spontan memegang kepalanya, “Aduhhh pusing… pusing banget,” lirihnya.“Bentar aku panggilin dulu dokter, tunggu tunggu!” ujar Andrew cemas dan sedikit panik.Dokter segera datang untuk memeriksa Metta, bukan hanya di periksa Metta juga di tanyai beberapa hal sederhana seperti nama dan alamat rumahnya, untuk memastikan jika tidak ada luka dalam yang mempengaruhi daya ingatnya.Saat pemeriksaan dokter berl
Saat semuanya sudah mulai tenang, tiba-tiba saja pintu ruang inap Metta kembali terbuka. Hilda dan Aji muncul begitu saja dan langsung masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan putri mereka.Wajah Hilda tampak panik dan khawatir begitu masuk ke dalam ruangan, ia langsung menghampiri Metta yang masih terbaring di atas tempat tidur.“Aduhhh, Ta. Gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Hilda dengan sangat khawatir.“Metta baik kok, Ma. Cuma emang masih pusing aja,” jelas Metta."Baik gimana sih, liat itu kemejamu banyak noda darahnya...," ucap Hilda dengan suara bergetar seraya menyentuh kemeja bagian bahu Metta.“Dokter sudah memeriksa keadaannya kok, Ma. Kepala Metta di jahit 4 jahitan. Seharusnya bisa rawat jalan tapi Elvan memutuskan untuk rawat inap semalam supaya besok dokter bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada kepalanya.” Kini Elvan ikut bicara untuk menenangkan mertuanya.Elvan tidak perlu menjelaskan bagaimana ia bisa datang ke rumah sakit, karena ia sudah menjelaskanny
Saat suasana sudah kondusif, Soraya sengaja mengajak Hilda untuk membeli beberapa minuman dan camilan yang bisa di makan oleh semua orang yang sedang menemani Metta.Soraya sengaja mengajak Hilda ke kafetaria yang berada di lantai 3 rumah sakit karena ada hal yang ingin ia bicarakan dengan serius pada Hilda, dan agar yang lainnya tidak mendengar pembicaraan mereka.Tanpa berbasa-basi, sambil menunggu pesanan mereka datang Soraya langsung memberitahu Hilda mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan Metta dan Andrew. Keadaan kafetaria tidak begitu ramai karena masih jam 15.30 sore di mana para pengunjung rumah sakit biasanya baru datang setelah jam kantor, dan masih beberapa jam lagi jam kantor akan usai.Tentu saja Hilda menyambut gembira atas ucapan Soraya tersebut, karena menurutnya Andrew memang sosok pria yang baik dan pengertian. Dan agar terkesan tidak jujur Soraya sendiri sedikit menceritakan kisah Andrew saat remaja dan memiliki beberapa mantan kekasih. Bukan untuk menjelekkan
Hilda meninggalkan rumah sakit setelah ia membelikan Metta dan Andrew makanan untuk makan malam mereka berdua.Kini hanya tinggal Metta dan Andrew yang berdua saja di dalam ruang rawat inap. Untung saja tak ada pasien lain di ruangan ini, karena Elvan memang langsung meminta ruang VIP untuk Metta saat ia mengurus administrasi tadi.“Kak, kalau Kakak mau pulang, pulang aja. Aku gak apa-apa kok sendiriaan,” ujar Metta membuka pembicaraan yang sejak tadi hanya hening saja.Andrew langsung menoleh pada Metta dengan tatapan tak terbacanya. Kemudian ia bangkit dari sofa dan berpindah duduk di samping ranjang Metta.“Kenapa ngomong kaya gitu?” tanya Andrew.“Gak apa-apa, Kak. Aku takutnya Kakak banyak kerjaan, dan aku cuma repotin kakak aja.”Andrew menggeleng, “Bukannya tadi aku yang nawarin untuk jagain kamu di sini, lagian Elvan juga udh kasih ijin. Jadi santai aja,” jelas Andrew.“Iya sihhh, tapi…”Andrew tampak menghela napas, “Kamu masih marah sama aku dan gak mau aku di sini?”Metta m
Mata Metta membulat dengan sempurna mendengar perkataan Andrew. Bibirnya sedikit terbuka. Ia terdiam tak percaya dengan apa yang di dengarnya."M-maksudnya... kakak s-suka sama aku?" tanya Metta beberapa detik kemudian.Andrew mengangguk dengan tegas. Ada rasa lega di hatinya setelah mengungkapkan apa yang dipendamnya selama beberapa bulan ini. Terutama perasaan yang begitu menyiksanya selama hampir seminggu ini karena diabaikan oleh Metta. Sebelum Hilda meninggalkan rumah sakit, Andrew sudah merenungkan semuanya. Kini ia tidak akan mengingkari lagi apa yang dirasakannya. "Kakak jangan bercanda ah… gak lucu," sahut Metta."Apa aku keliatan sedang bercanda untuk hal seserius ini?”"Kakak kan kesel karena ku diemin beberapa hari ini. Jadi kali aja Kakak mau nge-prank aku untuk balas dendam," jawab Metta berusaha sesantai mungkin.Andrew menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Metta yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. "Tolong lihat mataku baik-baik. Apa kamu liat ada kebohonga
Elvan menutup mematikan laptopnya, cukup untuk hari ini ia bekerja dan mengamati perkembangan perusahaannya yang ada di Jakarta. Ia memijat keningnya dengan pelan seraya beranjak dari kursinya dan berjalan menuju beranda ruang kerjanya. Dari tempatnya kini terlihat hamparan luas kebun teh yang begitu hijau dan asri. Pemandangan yang di dominasi warna hijau ini cukup menyegarkan untuk penglihatannya, dan mampu membuat dirinya merasa tenang. Sudah hampir 5 bulan ia meninggalkan Jakarta dan menetap di Bandung. Lebih tepatnya Rancabali, Ciwidey. Kurang lebih sekitar 40 km meter dari kota Bandung ke arah selatan. Elvan sengaja meninggalkan hiruk pikuk Jakarta demi pemulihan jiwanya. Baginya ini tempat ideal untuk menenangkan dirinya. Sekitar 8 bulan yang lalu adalah masa kelam bagi dirinya. Di mana ia harus kehilangan istri tercintanya beserta buah hati yang ada di dalam kandungan Davina--istri tercintanya. Mereka meregang nyawa saat mobil yang ditumpangi Davina tertabrak sebuah truk de
Tubuhnya terasa lelah dan begitu sakit, Aya masih merasakan rasa perih di luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya. Ia meringis pelan, dan dengan perlahan ia mulai membuka matanya yang sejak beberapa menit yang lalu terkena cahaya. Namun sedetik kemudian ia langsung membulatkan matanya. “Aku di mana?” serunya dan langsung mendudukkan tubuhnya. “Aww… pusing…” gumamnya kemudian seraya langsung menyentuh kepalanya. Ia duduk dengan tiba-tiba, dan kondisi ini menurunkan tekanan darah yang lebih sedikit ke jantung hingga membuatnya pusing. Aya masih duduk dalam semenit ke depan, hingga dirinya sudah pulih sepenuhnya. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke tempat di mana kini dirinya berada. Matanya mampu menangkap jika saat ini ia sedang berada di sebuah ruangan berukuran sekitar 4x5 meter, dengan nuansa coklat dan putih. Di mana lantai di lapisi oleh kayu berpermis hingga mengkilap. Tembok yang di dominasi oleh warna putih terlihat begitu bersih. Begitu juga dengan tempat tidur yang ia te
Elvan duduk di kursi tepat di hadapan wanita itu. “Oh---” wanita itu tampak terkejut dengan tindakan Elvan yang tiba-tiba duduk di hadapannya, seraya mengangkat sedikit wajahnya. Kesempatan itu tidak Elvan sia-siakan untuk menelisik penampilan wanita itu dengan lebih seksama. Wajah wanita ini tampak cantik, meski ia melihat ada luka kecil di wajahnya yang tidak ia lihat semalam. ‘Mungkin luka karena tersungkur ke tanah semalam, saat ia pingsan,’ tebak Elvan dalam hatinya. ‘Dia terlihat seperti wanita terpelajar, bukan wanita penggoda yang akan sengaja dikirimkan oleh kedua orang tuaku! Ck! Tapi apa peduliku!’ dengus Elvan kemudian. Tatapan Elvan tetap dengan penuh selidik, tapi masih terlihat ramah, “Apa urusanmu datang ke sini?” tanyanya kemudian. Wanita itu tampak terkejut dan sedikit kikuk, “Saya--ya…” jawab wanita itu terbata terhadap pertanyaan Elvan. Kemudian wanita tampak tersenyum ragu, “Semalam saya… hmm… mencari penginapan…” “Dan ini bukan penginapan!” ketus Elvan.
Mata Metta membulat dengan sempurna mendengar perkataan Andrew. Bibirnya sedikit terbuka. Ia terdiam tak percaya dengan apa yang di dengarnya."M-maksudnya... kakak s-suka sama aku?" tanya Metta beberapa detik kemudian.Andrew mengangguk dengan tegas. Ada rasa lega di hatinya setelah mengungkapkan apa yang dipendamnya selama beberapa bulan ini. Terutama perasaan yang begitu menyiksanya selama hampir seminggu ini karena diabaikan oleh Metta. Sebelum Hilda meninggalkan rumah sakit, Andrew sudah merenungkan semuanya. Kini ia tidak akan mengingkari lagi apa yang dirasakannya. "Kakak jangan bercanda ah… gak lucu," sahut Metta."Apa aku keliatan sedang bercanda untuk hal seserius ini?”"Kakak kan kesel karena ku diemin beberapa hari ini. Jadi kali aja Kakak mau nge-prank aku untuk balas dendam," jawab Metta berusaha sesantai mungkin.Andrew menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Metta yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. "Tolong lihat mataku baik-baik. Apa kamu liat ada kebohonga
Hilda meninggalkan rumah sakit setelah ia membelikan Metta dan Andrew makanan untuk makan malam mereka berdua.Kini hanya tinggal Metta dan Andrew yang berdua saja di dalam ruang rawat inap. Untung saja tak ada pasien lain di ruangan ini, karena Elvan memang langsung meminta ruang VIP untuk Metta saat ia mengurus administrasi tadi.“Kak, kalau Kakak mau pulang, pulang aja. Aku gak apa-apa kok sendiriaan,” ujar Metta membuka pembicaraan yang sejak tadi hanya hening saja.Andrew langsung menoleh pada Metta dengan tatapan tak terbacanya. Kemudian ia bangkit dari sofa dan berpindah duduk di samping ranjang Metta.“Kenapa ngomong kaya gitu?” tanya Andrew.“Gak apa-apa, Kak. Aku takutnya Kakak banyak kerjaan, dan aku cuma repotin kakak aja.”Andrew menggeleng, “Bukannya tadi aku yang nawarin untuk jagain kamu di sini, lagian Elvan juga udh kasih ijin. Jadi santai aja,” jelas Andrew.“Iya sihhh, tapi…”Andrew tampak menghela napas, “Kamu masih marah sama aku dan gak mau aku di sini?”Metta m
Saat suasana sudah kondusif, Soraya sengaja mengajak Hilda untuk membeli beberapa minuman dan camilan yang bisa di makan oleh semua orang yang sedang menemani Metta.Soraya sengaja mengajak Hilda ke kafetaria yang berada di lantai 3 rumah sakit karena ada hal yang ingin ia bicarakan dengan serius pada Hilda, dan agar yang lainnya tidak mendengar pembicaraan mereka.Tanpa berbasa-basi, sambil menunggu pesanan mereka datang Soraya langsung memberitahu Hilda mengenai apa yang sebenarnya terjadi dengan Metta dan Andrew. Keadaan kafetaria tidak begitu ramai karena masih jam 15.30 sore di mana para pengunjung rumah sakit biasanya baru datang setelah jam kantor, dan masih beberapa jam lagi jam kantor akan usai.Tentu saja Hilda menyambut gembira atas ucapan Soraya tersebut, karena menurutnya Andrew memang sosok pria yang baik dan pengertian. Dan agar terkesan tidak jujur Soraya sendiri sedikit menceritakan kisah Andrew saat remaja dan memiliki beberapa mantan kekasih. Bukan untuk menjelekkan
Saat semuanya sudah mulai tenang, tiba-tiba saja pintu ruang inap Metta kembali terbuka. Hilda dan Aji muncul begitu saja dan langsung masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan putri mereka.Wajah Hilda tampak panik dan khawatir begitu masuk ke dalam ruangan, ia langsung menghampiri Metta yang masih terbaring di atas tempat tidur.“Aduhhh, Ta. Gimana keadaan kamu sekarang?” tanya Hilda dengan sangat khawatir.“Metta baik kok, Ma. Cuma emang masih pusing aja,” jelas Metta."Baik gimana sih, liat itu kemejamu banyak noda darahnya...," ucap Hilda dengan suara bergetar seraya menyentuh kemeja bagian bahu Metta.“Dokter sudah memeriksa keadaannya kok, Ma. Kepala Metta di jahit 4 jahitan. Seharusnya bisa rawat jalan tapi Elvan memutuskan untuk rawat inap semalam supaya besok dokter bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada kepalanya.” Kini Elvan ikut bicara untuk menenangkan mertuanya.Elvan tidak perlu menjelaskan bagaimana ia bisa datang ke rumah sakit, karena ia sudah menjelaskanny
“Gimana keadaannya?” tanya Elvan menghampiri Andrew yang tengah menemani Metta.“Masih belum sadar,” sahut Andrew.“Papa sama Mama udah mau jalan ke sini. Gue belum kasih tau Aya sama Mamih, Lu tungguin dulu ya. Gue mau nelpon kantor juga minta Andi urusin motor Metta di kantor polisi,” ujar Elvan kemudian, lalu kembali meninggalkan Andrew sendirian untuk menemani Metta.Beberapa menit kemudian Metta bergerak dalam tidurnya dan dengan perlahan mulai membuka matanya.“Ta, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit? Sebelah mana?” tanya Andrew panik.Metta menatap ke arah Andrew kemudian dengan spontan memegang kepalanya, “Aduhhh pusing… pusing banget,” lirihnya.“Bentar aku panggilin dulu dokter, tunggu tunggu!” ujar Andrew cemas dan sedikit panik.Dokter segera datang untuk memeriksa Metta, bukan hanya di periksa Metta juga di tanyai beberapa hal sederhana seperti nama dan alamat rumahnya, untuk memastikan jika tidak ada luka dalam yang mempengaruhi daya ingatnya.Saat pemeriksaan dokter berl
Lima hari setelah kejadian tersebut, lagi-lagi Metta tidak membalas pesan dari Andrew. Bahkan tidak membacanya sama sekali.Dan ini sungguh membuat Andrew sangat tersiksa.Elvan yang memperhatikan Andrew sejak tadi hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.“Masih gak bales?” tanya Elvan.Andrew mengangguk pasrah.“Susah ya hadepin cewek yang baru aja lepasin masa remajanya, ku pikir gak akan sampe segininya,” sahut Elvan kemudian.“Ya gitu deh…” balas Andrew.“Tapi Lu harus tetep sabar sih, susah loh dapetin cewek baek-baek kaya Metta sekarang,” goda Elvan.“Dih apa sih, kan gue udah bilang. Kalau gue sama dia tuh temenan aja,” sungut Andrew.Elvan kembali terkekeh, “Iya iya temenan aja. Tapi kalau gak ada kabar galauuu, sedihhh, uring-uringan…” ledek Elvan lagi.Andrew menoleh pada Elvan dengan tatapan nyalangnya. “Udah ahh, mending kita bahas masalah meeting kita yang tadi pagi sama klien aja!”“Pengalihan nih ceritanya?” goda Elvan.“Gak ada! Gak ada!” Elvan tersenyum lebar, “Lah
Siang ini Andrew memutuskan untuk makan siang di luar, dan ia juga memutuskan untuk pergi menemui Metta. Ia akan mengajak Metta untuk mampir di tempat balap yang resmi. Andrew keluar sebelum tepat jam makan siang agar memiliki waktu yang cukup lama, ia tidak khawatir karena ia sudah menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu untuk rencananya ini.Andrew langsung melajukan mobilnyamenuju kampus Metta. Ia juga sudah mengirimi pesan chat pada Metta. Meski chatnya masih belum di balas oleh Metta.“Ck! Lagi-lagi gak di bales…” decak Andrew sambil terus mengendarai mobilnya.“Harus sabar sih sabar hadepin dia, tapi kan kalau terus-terusan kaya gini yang bete juga kali. Kesannya gue kaya yang salah banget terus, padahal kan apa yang dia lakuin itu berbahaya!” dengus Andrew kemudian. Sudah dua hari berlalu dan Metta kembali tidak mau membaca maupun membalas chat dari Andrew. 'Kaya dulu lagi. Liat chat masuk dari gue, langsung di hapus aja...'Andrew harus terjebak kemacetan selama beberapa
Sejak tadi Metta merasa begitu kesal, bahkan perasaan kesal itu masih saja bertahan meski kini ia sudah berada di dalam kamarnya.“Kenapa sih sama dia?! Aneh dehhh… jadi kaya mulai ngatur-ngatur gitu, pake ngancem mau di laporin segala! Apaan coba itu maksudnya!” dengus Metta.“Kalau sampe beneran dilarang balapan gimana? Dari mana aku dapet duit tambahan kalo butuh, hah??!” kesalnya lagi.Sesekali Metta membutuhkan tambahan uang untuk membeli aksesoris motor atau penambahan sparepart khusus agar performa motor balapnya tetap bagus dimana tidak mungkin ia meminta uang pada ayahnya, yang sejak awal tidak suka Metta mengendarai motor balap.Jam menunjukkan sekarang sudah lewat tengah malam, dan Metta masih saja kesal. Ia sudah mencoba untuk memejamkan matanya, tapi rasanya sangat sulit dengan perasaan kesalnya pada Andrew.Hingga ponselnya berbunyi, Metta meraih ponselnya yang rupanya Andrew menghubunginya melalui panggilan video. Tapi Metta memilih untuk tidak mengangkatnya sama sekali
Andrew hanya bisa menunggu Metta dengan perasaan kesal. Hingga akhirnya Metta kembali lagi ke kursinya."Lamaaa...." desis Andrew kemudian."Maaf, Kak. Udah lama soalnya gak ketemu sama mereka. Jadi keasikan ngobrol deh..." sahut Metta.Andrew sempat melirik ke arah mereka sebentar, sedangkan Metta kembali melanjutkan makannya yang tadi sempat tertunda."Mereka temen-temen balap mu?" tanya Andrew.Metta mengangguk, "Yups!""Gak ada ceweknya satupun kecuali kamu?""Yups!""Beneran? Cowok semua gitu?" tanya Andrew lagi tak percaya dan coba memastikannya kembali.Metta menatap Andrew, "Iya, Kak. Kan aku udah pernah bilang deh kalau gak salah. Ceweknya ya cuma aku doang kalau balapan, cewek banyak di sana paling nunggu di pinggir, di mana mereka itu pacar temen-temenku.""Oh ya ya, aku ingat.""Mereka cuman temanmu, kan?" tanya Andrew kemudian.Kening Metta tampak berkerut. "Iya, kan aku udah bilang tadi.""Tapi kok kaya akrab banget gitu?" tanya Andrew lagi. Karena ia melihat mereka begi