Aji dan Hilda sangatterkejut dengan pernyataan Aya ini.Tentu saja Aji menolak dengan keputusan putrinya ini, bagaimanapun ia sudah pernah salah dan ia ingin menebus kesalahannya tersebut.“Tidak, Aya. Kini statusmu sudah kembali single dan kau adalah tanggung jawab kami. Jadi kembalilah ke sini dan tinggallah bersama kami, Papa janji tidak akan memaksamu lagi untuk mengikuti semua keinginan Papa lagi,” ujar Aji.Aya sempat ragu tapi kemudian menggeleng dengan tegas, “Aya sudah melupakan semua yang pernah Aya alami, dan Aya mohon sama Papa dan Mama beri Aya kesempatan kali ini saja untuk menentukan hidup Aya. Aya hanya ingin mandiri dan mengejar cita-cita Aya. Aya sudah berkonsentrasi penuh terhadap tujuan Aya ini, Aya sudah berharap banyak pada usaha Aya untuk membuka cafe ini bersama teman Aya. Aya mohon kalian bisa mengerti Aya untuk kali ini saja,” Aya memohon dengan sangat pada kedua orang tuanya.
Elvan langsung meninggalkaan cafe begitu Aya datang dan membawanya pergi dari sana, ia tak ingin ada orang lain yang melihat mereka dan mengenali Aya.“Bagaimana?” tanya Elvan begitu mereka sudah berada di dalam mobil dan melaju menuju apartement.Aya tersenyum girang dan menoleh pada Elvan yang duduk di sampingnya, “Semua berjalan lancar, bahkan mereka mendukungku untuk menjalankan cafe di Bandung.”“Syukurlah… apa mereka bertanya macam-macam?” tanya Elvan lagi.Aya menggeleng, “Tidak, mereka hanya memintaku untuk berjaga diri, bahkan Papa memberiku uang.” Aya mengeluarkan amplop cokelat dari dalam tasnya dan memperlihatkannya pada Elvan, “Papa juga mengatakan jika kurang aku boleh memintanya lagi.”“Hmm… sebenarnya tidak perlu meminta lagi, aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu," sahut Elvan."Jangan begitu, Elvan. Kita belum menikah. Selama i
Sudah satu bulan berlalu sejak cafenya dibuka, dan Aya tampak begitu sibuk di dapur. Tapi ini sangat menyenangkan untuknya, ia bisa mengeksplorasi kemampuannya di dapur untuk menciptakan berbagai resep makanan. Semangatnya kian menggebu melihat antusias pengunjung yang kian bertambah setiap hari. Aya menyediakan form yang bisa diisi oleh para pembeli untuk memberikan saran dan kritik pada makanan dan layanan di cafe. Meski rata-rata isi form tersebut pembeli merasa cocok dengan masakannya namun Aya merasa perlu mendapatkan saran dan kritik supaya lebih baik dalam segala hal.Cafe buka jam 10.30 pagi hingga jam 10 malam. Meski terkadang Aya sedikit kewalahan dan merasa lelah namun ia merasa sangat senang. Kesibukannya saat ini sesuai dengan bidang yang sesungguhnya ia kuasai. Selama ini ia hanya memasak hanya untuk orang-orang di rumah saja, dan kini kemampuan memasaknya bisa tersalurkan untuk bisnis.Setiap kali Aya pulang ke apartementnya, yang lumayan jauh dari cafe, membutuhkan w
Sudah tiga hari ini koki pilihan Elvan bekerja dengan baik dan membantunya di dapur. Aya sangat terbantu oleh koki tersebut, koki tersebut sangat baik dan bisa diajak kerja sama. Bahkan Aya sering bertukar pikiran dengannya untuk membuat ide-ide resep terbaru.Sore ini Aya sedang berkutat di dalam dapur, tiba-tiba seorang pegawai menghampirinya.“Bu, maafkan saya menganggu, di luar ada seseorang yang ingin menemui Anda,” ujar pegawai yang bertugas sebagai seorang waiters.Kening Aya berkerut, ia bertanya-tanya dalam dirinya mengenai siapa yang datang untuk mencarinya.“Siapa? Perempuan atau laki-laki?” tanya Aya.“Perempuan, Bu. Nyonya Soraya,” sahut pegawai tersebut.Mata Aya membulat seketika dan langsung tersenyum lebar. “Mamihhh…” gumaman Aya kemudian. Aya langsung mencuci tangannya dan mengerigkannya, “Bilang pada Mamih, tunggu sebentar,
Alangkah terkejutnya Elvan begitu masuk ke dalam cafe untuk menjemput Aya, di mana ia bisa melihat ibunya ada bersama Aya dan mereka tampak sedang berbincang.“Mamihh!! Kok Mamih bisa ada di sini? Sendirian ya?” tanya Elvan begitu ia berdiri di dekat Aya dan ibunya. Elvan celingukan mencari ayah atau teman ibunya yang mungkin ikut berkunjung ke cafe. Saat ini cafe sudah hampir tutup dan para pegawai sedang merapikan cafe.Soraya hanya menatap Elvan dan mendelik padanya. “Tadi sama temen tapi temen Mamih sudah pulang dari tadi. Napa? Emang Mamih gak boleh datang ke sini? Apa hak kamu melarang Mamih datang, hah?”“Bukan gitu Mih, kok Mamih gak kasih tau Elvan dulu gitu…”“Ck! Kalau Mamih mau datang ya datang aja, kenapa harus minta ijin sama kamu segala, kamu kan bukan Daddy!” dengus Soraya.“Ihh… bukan gitu Mih…” seru Elvan.Soraya menatap tajam Elvan. “Kenapa? Kaget kamu Mamih datang? Takut ketahuan karena kamu sering nginep di sini, hah? Bobo bareng gitu? Maen vampire-vampire-an?” d
Pagi ini mereka bertiga sedang duduk di meja makan, menikmati sarapan mereka yang dibuat oleh Aya. Awalnya mereka menikmati sarapannya tanpa kata. Karena Elvan hanya diam saja dengan wajah yang merengut.Tentu saja ia masih kesal karena semalam ibunya menjewernya dan memarahinya, karena ia meminta Aya untuk pindah ke kamar sebelah yang di tempati olehnya. Karena tidak ditemani Aya seperti biasa, kira-kira jam 1 malam Elvan baru bisa tidur.“Ini enak…” ujar ibunya memuji makanan buatan Aya.Aya tersenyum, “Terima kasih, Mamih.”Soraya kemudian melirik pada Elvan, “Kenapa dari tadu kamu nekuk wajah kamu terus, hah? Marah sama Mamih?” tanya Soraya.“Gak kok, Mih. Elvan baik-baik aja,” sahut Elvan.Soraya memutar bola matanya jengah, “Ngomong aja kalau masih kesel karena semalam!”Elvan memilih diam. Ia tak mau lagi berdebat dengan ibunya untuk hal ini. Jadi ia akan menoba mengalihkannya pada pembicaraan lainnya.“Mih, Elvan dan Aya udah berencana untuk kembali ke Jakarta, dan sesekali aj
Rabu pagi, keduanya sudah bersiap untuk kembali ke Jakarta.Dengan hati yang sedikit berat Aya meninggalkan apartement yang sudah di tinggalinya selama 1 bulan lebih ini. Tapi yang paling berat adalah Aya harus meninggalkan cafenya, mempercayakan pengelolaannya pada satu orang kepercayaan Elvan dan pada koki yang sudah di trainingnya selama seminggu.Aya sudah mengambil keputusan tersebut, ia memang harus kembali ke Jakarta. Masa depan hubungannya dengan Elvan harus lebih jelas agar ia bisa leluasa mendampingi Elvan di depan publik.Aya sudah memantapkan hatinya, karena ia kembali ke Jakarta akan menemui orang tuanya bersama Elvan.Mengenalkan Elvan pada mereka sebagai pasangannya.Bahkan Aya sudah tidak sabar untuk segera mengenalkan Elvan pada kedua orang tuanya.Saat ini keduanya sudah berada di dalam mobil, mobil melaju meninggalkan pelataran gedung apartemen dan melaju ke arah jalantol berada.Se
Pagi sekali mereka berdua sudah siap. Tentu saja Aya tidak mau mandi bersama Elvan karena ia menolaknya dengan sangat keras. Dan Elvan tidak memaksanya, karena memang sebenarnya ia hanya ingin menggoda Aya saja. Hatinya sangat senang melihat wajah Aya memerah dan cemberut.Saat ini mereka berdua sedang menikmati sarapan seperti biasanya, tapi Elvan bisa menilai raut wajah Aya yang tampak tegang. Sejak tadi ia perhatikan jika Aya sedikit melamun. Elvan tidak ingin mengganggunya, mungkin memang Aya tegang karena sebentar lagi mereka akan pergi menuju rumah Aya.Sikap Aya ini tidak berlebihan mengingat selama ini ayahnya selalu mendikte dan memaksakan kehendaknya. Aji--ayahnya mengatur Aya dimana ia harus melanjutkan kuliah yang jurusannya kurang dikuasainya. Ayahnya tidak memperdulikan itu. Ia mengatur Aya ikut kursus supaya bisa mendapat nilai bagus.Kini sesekali Aya berkutat dengan ponselnya dan tampak mengetikkan sesuatu di sana.
Andrew menitikkan air mata untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang bisa ia ingat, saat ia mendengar suara tangisan putrinya yang baru saja lahir ke dunia ini.Kini ia resmi menyandang status sebagai seorang ayah.Ya, anaknya adalah seorang perempuan, sesuai dengan hasil pemeriksaan USG beberapa bulan yang lalu. Hingga dirinya dan Metta menyiapkan segala kebutuhan untuk putri mereka.Baik Andrew ataupun Metta tidak mempermasalahkan apakah mereka akan memiliki seorang putra ataupun putri. Semua anak sama saja, dan mereka akan mencintainya dengan setulus hati. Saat mereka memberitahu hasil USG pada Peter beberapa bulan yang lalu, ia menyambut dengan sangat gembira. Peter dulu sangat menginginkan anak perempuan yang menurutnya sangat menggemaskan jika memakai baju anak yang lucu-lucu tapi istrinya tidak bisa hamil lagi karena ada kanker di rahimnya hingga akhirnya merenggut nyawanya. Peter juga sudah diberitahu perkiraan hari kelahiran cucu perempuannya dan ia akan mengajukan cuti jauh
Selama seminggu ini Andrew berusaha untuk menjadi suami siaga, karena menurut perkiraan Metta akan melahirkan minggu ini. Elvan sendiri memberikan keringanan untuknya agar tidak terlalu lama berada di kantor ataupun datang ke kantor. Andrew hanya datang ke kantor sesekali saja, ia lebih banyak bekerja di apartement dan mengirimkan laporan via email pada Elvan.Bahkan pekerjaan keluar kota ataupun yang agak jauh dari Jakarta, semua di handle oleh Elvan.Seperti biasanya, Andrew saat ini berada di ruang keluarga. Ia menyalakan laptop miliknya dan bekerja di sana. Sesekali ia melakukan panggilan video dengan Elvan atau sekretarisnya, membicarakan pekerjaan mereka.Sedangkan Metta menemani Andrew dengan duduk di sofa, ia menselonjorkan kakinya ke atas sofa yang mulai terasa pegal. Bahkan kakinya tampak sedikit membengkak. Metta sudah tidak bisa banyak bergerak dengan perutnya yang besar, seakan hendak meledak.Metta sedikit meringis, saat ia bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untu
Andrew langsung meraih tangan Metta dan menghadangnya, “Mau kemana? Udah duduk aja di sini, kenapa?” seru Andrew pada istrinya.“Aku mau turun, Kak!” seru Metta.Kening Andrew berkerut, “Ke lintasan?” tanyanya hampir tak percaya. Saat ini mereka berdua sedang berada di sirkuit. Karena Metta yang memaksa Andrew untuk menonton balapan yang ada di sirkuit hari ini. Dari pada membuat istrinya kembali sedih seperti beberapa bulan yang lalu, Andrew memilih untuk mengabulkan permintaan istrinya ini.Metta mengangguk antusias, “Iya dong, biar aku bisa liat dengan jelas motor mereka!” ujar Metta seraya menunjuk ke arah seorang pembalap yang masih berdiri di samping motornya dengan seorang mekanik. Pembalap itu tampak membicarakan sesuatu.“Aduhhhh! Itu terlalu dekat, kalau Sayangnya aku keserempet gimana? Aduhhh…” seru Andrew. “Ya gak dong, Kak. Aku kan di pinggir bukan ke tengah lintasan!” ujar Metta.“Gak boleh pokoknya gak boleh! Udah duduk manis aja di sini ya, ini udah keliatan jelas lo
Saat Andrew pulang ke apartement, ia merasa ada yang berbeda dengan istrinya tersebut. Metta menyambut kepulangannya dengan lembut dan seperti biasanya. Tapi, Andrew merasa jika senyuman Metta tampak hambar, bahkan tatapannya tampak kosong.Awalnya Andrew mengira mungkin Metta hanya kelelahan saja. Sejak Metta hamil, Andrew memang terbiasa membawa makan malam dari luar jika ibu mertuanya tidak datang menemani Metta. Karena Mama Hilda yang akan menyiapkan makanan, ia hanya tinggal menghangatkannya saja.Saat makan malampun, Metta masih menjawab setiap pertanyaannya dengan baik. Berbincang seperti biasanya, hanya saja Andrew masih merasa sedikit aneh dengan istrinya tersebut.Hingga sebelum waktu tidur, Andrew membuatkan susu untuk Metta. “Mau tidur sekarang?” tanya Andrew setelah menyimpan gelas bekas minum susu di meja.Metta mengangguk, “Iya, Kak. Aku mau tidur aja, agak ngantuk,” jawab Metta.Andrew mengangguki ucapan Metta, kemudian membantu menyelimuti tubuh Metta. Agar istri dan
Satu bulan berlalu, seharusnya di mana Metta sudah masuk kuliah di semester yang baru. Kini ia hanya bisa diam di dalam apartement. Bahkan hanya untuk keluar apartement dengan berjalan kaki menikmati fasilitas yang ada di gedung ini atau ke pertokoan dan mini market yang ada di sekitar apartement, ia harus lebih dahulu memberitahukan pada Andrew yang berada di kantor. Jika sudah sampai apartement lagi, Andrew pasti akan menghubunginya.Sejak hamil, Andrew juga melarang Metta untuk datang ke cafe Aya kecuali bersama dirinya. Ia tidak mau Metta kelelahan atau terpeleset saat membantu kesibukan di cafe. Andrew memang lebih protektif pada Metta demi kebaikan Metta dan kandungannya.Metta membaringkan tubuhnya di sofa sambil menatap ke arah jendela, ia menghembuskan napas panjangnya dengan tangan yang mulai membelai lembut perutnya. Perutnya masih terlihat rata, tapi beberapa celana mulai terasa sesak ketika di gunakan. Metta sendiri sudah tidak menggunakan celana jeans karena sudah mulai
“Gue hebat, kan? Tiga minggu-an udah jadi!” bangga Andrew pada Elvan, kini mereka berdua berada di taman belakang. Sedangkan yang lainnya menemani Metta di dalam dan mengobrol mengenai kehamilannya. Metta masih sangat muda dan tomboy sehingga Aya, Hilda dan Soraya memberikan ekstra perhatian dan wejangannya. Sementara Aji dan Mahanta ngobrol di ruangan kerja.“Bangga Lu? Gue juga gak lama kali!” dengus Elvan.“Iya emang gak lama, tapi cepetan gue kan?” Andrew masih begitu bangga, “Tokcer banget kan?”“Dih dasar, bukan itu yang harus Lu perhatiin sekarang, tapi kondisi istri Lu sama calon anak Lu!” seru Elvan mengingatkan.“Iyalahh, kalau itu gue dah paham bangettt! Tadi aja abis dari rumah sakit gue udah borong susu hamil banyak-banyak!” seru Andrew.“Bukan cuma itu! Tapi mulai sekarang Lu perhatiin Metta baik-baik, kebutuhan dia juga perhatian dia, biar anak kalian tumbuh dengan baik. Selalu anter Metta juga kalau mau periksa ke dokter,” ujar Elvan.“Gua paham!” seru Andrew.Elvan j
Dokter hanya bisa tersenyum kemudian menggeleng kecil, ia tak mengerti kenapa suami pasiennya tampak sangat kebingungan seperti saat ini dan memberikan pertanyaan konyol.“Tentu saja istri Anda yang hamil, Pak.” tanya dokter pria berusia sekitar 40 tahunan tersebut.“Saya akan memberikan rujukan untuk melakukan pemeriksaan ke dokter kandungan saat ini juga agar di berikan vitamin untuk kehamilan,” lanjut dokter tersebut seraya mulai menuliskan sesuatu di atas kertas.Andrew hanya bisa terbengong-bengong, begitu juga dengan Metta. Tapi Metta sudah mengerti sejak awal, hanya saja mulutnya tampak kaku dan terkunci rapat hingga tak bisa mengucapkan sepatah katapun.Beberapa detik kemudian Andrew seperti sadar dari pikiran kosongnya. “Jadi maksud dokter istri saya hamil? Gitu?” tanya Andrew tak percaya dan sedikit heboh.“Betul, Pak. Yang hamil, gak mungkin saya juga, kan?” tanya balik dokter tersebut.Kebahagiaan tak bisa dibendung lagi oleh Andrew, jika bisa berteriak ia sudah pasti bert
“Kamu ini gimana sih, Ndrew?! Istri sakit bukannya di perhatiin?!” tegur Soraya begitu Andrew masuk ke dalam ruang kerja milik Aya. Di mana saat ini Metta sedang duduk di sofa, seraya menghirup minyak angin dengan aroma theraphy, agar rasa pusing di kepalanya mereda. Bahkan Metta juga merasa mual.“Pagi tadi baik-baik aja, Mih,” ujar Andrew seraya menghampiri Metta dan duduk di sampingnya kemudian memeriksa keadaan Metta.“Sayangnya aku kenapa? Yuk ke dokter,” ajak Andrew panik melihat raut wajah Metta yang tampak amat lesu dan pucat.“Masuk angin tuh kayanya!” dengus Soraya kesal, “Kamu ajak Metta ngapain sih sampe kaya gitu?!”“Duh, Mih. Masa Andrew ceritain sih!” sahut Andrew. Soraya hanya bisa mendengus seraya memutar bola matanya jengah. “Dasar anak muda, kalau apa-apa tuh gak pake aturan! Maen trabas aja sih! Pake kira-kira dong, udah gini kan orang tua juga ikut khawatir!” desis Soraya.“Iya iya, Mih. Pokoknya Andrew mau bawa Metta dulu ke rumah sakit!” sahut Andrew.Metta men
Beberapa menit yang lalu Soraya datang ke cafe milik menantunya, dengan membawa Arka--cucunya yang digendong oleh pengasuhnya. Awalnya Soraya memang baru saja pulang dari rumah temannya, di mana anaknya baru saja pulang dari rumah sakit setelah melahirkan cucu teman Soraya.Soraya sengaja membawa Arka, karena ia menengoknya di rumah bukan rumah sakit. Jika masih di rumh sakit Soraya tak akan mengajak Arka. Lagipula Soraya tidak bisa meninggalkan Arksa sendirian dengan pengasuh saja, di mana ibunya saat ini sedang sibuk di cafe. Jadi Soraya membawa Arka.Maka dari itu Soraya mampir dan ingin melihat langsung cafe milik menantunya ini. Cafe ini sudah berjalan 3 bulan lamanya sejak pembukaan. Setelah pembukaan hanya sesekali Soraya datang. Karena ia fokus untuk ikut mengasuh dan mengawasi Arka di bawah asuhan pengasuhnya selama Aya fokus merintis cafe barunya ini.Soraya sendiri sudah mendengar mimpi Aya, baik dari Elvan atau Aya secara langsung. Jadi selama dua bulan ke belakang memang