Lian menutup teleponnya setelah Mahesa mengabari Lian untuk menemuinya di ruang lukis seperti kemarin.
Dan kini Lian mendapatkan tatapan penasaran dari Zia. Lian yakin pasti Zia penasaran tentang telepon barusan dan ia ingin menanyakan siapa yang meneleponnya karna Zia melihat kegugupan dan wajah sinis dari Lian barusan.
"Zia aku binggung harus bilang gimana sama kamu, kamu pasti kecewa. Baru saja kita selesai belanja tapi aku harus pergi dari sini tapi maaf, aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku harus pergi sekarang Zia. Ada urusan yang harus aku lakuin sekarang."
Zia menatapku dengan pandangan tidak percaya dan tangannya memegang lenganku. Ia tidak mau menerima alasan ini karna dari penglihatannya, barusan Lian berkata ketus dan tidak seperti biasanya.
"Kita belum memulai masak buat calon mertua kamu dan sekarang kamu mau pergi gitu aja. Sebenarnya ada apa sih? Kasih tahu aku. Aku lihat kamu gelisah tadi pas terima telepon. Dari siapa? Apa dari Mahesa?
Pagi itu Lian berlari dengan terburu-buru di lorong kampus. Keringatnya bercucuran karna berlari dari gerbang kampus sampai ia masuk ke dalam gedung dimana Lian kuliah hari itu. Lian merutuki nasibnya hari ini. Kenapa hari ini ia bisa seberuntung hari-hari biasanya. Kenapa?!Sial, aku kesiangan.Lian lupa menyalakan alarm yang berada di atas nakasnya karna semalam Lian mengerjakan tugas dari dosen yang begitu banyak dan parahnya dosen yang akan Lian masuki hari ini adalah dosen yang termasuk dosen paling killer sekampus.Pak Faris, itu nama dosen yang paling tidak di sukai banyak mahasiswa dan juga mahasiswi. Semua orang kenal bagaimana sifat dari laki-laki yang berusia menjelang 40 tahunan itu.Pak Faris paling tidak suka kalau ada mahasiswanya yang telat masuk sedikit saja apalagi dengan alasan kesiangan. Hufh ... ia langsung menindak tegas mahasiswa itu lalu menyuruhnya keluar begitu saja. Pak Faris bukan dosen sembarangan, ia tidak pilih-p
Lian duduk di ruang tamu Alex, tepatnya di sova yang berwarna hitam yang terlihat empuk. Interior rumahnya terlihat bagus dan tertata rapi saat Lian masuk ke dalam rumahnya yang terlihat minimalis dari luar. Ternyata ia laki-laki yang suka kebersihan. Terlihat tidak ada debu yang menempel di semua perabot rumahnya. Lihat saja bagaimana meja yang ada di hadapan Lian yang begitu mengkilat. Alex membersihkannya dengan sangat teliti. "Rumah kamu ... bersih dan rapi beda sama rumah aku yang berantakan." Alex tersenyum. "Kamu bisa aja. Terlalu tinggi memuji seseorang. Aku merasa biasa aja tuh. Cuma ya aku suka kebersihan sama kerapian aja." "Kamu nggak lagi nyindir aku kan?" "Aku lagi nggak nyindir kamu. Serius. Kalau kamu merasa tersindir aku minta maaf. Tapi aku ngomong sejujurnya. Kayaknya enak aja kalau tempat yang kita tinggali bersih dan nyaman. Kita juga akan betah di dalamnya." "Kayaknya kita nggak bisa sependapat deh. Ya dimulai dari ini. K
Suara musik terdengar sangat keras berampur dengan asap rokok yang begitu pekat. Aroma alkohol sudah tercium dimana-mana membaur dengan musik yang terdengar begitu dominan di dalam sebuah club malam itu. Semua orang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Tapi, ada satu laki-laki yang duduk di sana dengan menenggak minuman tanpa henti. Tidak ada laki-laki yang lebih bodoh darinya. Dia yakin itu. Dirinya adalah laki-laki bodoh sedunia yang pernah ada. Laki-laki itu masih menenggak minuman alkohol yang sejak tadi ia teguk secara perlahan. Lalu, menatap kesal kepada sang bartender karna ia tidak ingin lagi mengisi gelasnya yang sudah kosong. "Aku pengen minum lagi dong. Ambilkan satu yang seperti ini," katanya tanpa ragu. Rasanya kurang puas kalau hanya meminumnya sekali. "Maaf bos. Kayaknya bos sudah mabuk." "Aku kan tamu di sini. Seenaknya saja kamu menyuruhku untuk berhenti. Siapa kamu?! Hah! Jangan pernah mencoba untuk meng
Untuk ke sekian kalinya, Lian memandang penampilannya pada sebuah kaca yang cukup besar yang ada di dalam kamarnya. Ia tidak bisa percaya bahwa hari ini ia akan bertemu dengan keluarga Alex. Semua keluarganya berkumpul hanya untuk makan bersama dan dia ada di sana duduk bergabung bersama semua keluarga Axel sambil mengobrol entah apa. Hufh ... rasanya begitu mengerikan. "Argh ... bodo amat," teriak Lian terlihat begitu frustasi setelah selesai memakai gaun ungu yang dibawahnya terdapat renda-renda yang cukup cantik menurutnya. Gaun ini kepunyaan Raisa. Ia tidak mempunyai banyak gaun karna Lian merasa ia tidak cukup pantas memakainya dan lagi memakai gaun bukan passionnya. Ia lebih suka memakai kaos dan celana ketimbang gaun yang bisa membuatnya tidak leluasa bergerak. Raisa terkejut begitu mendapati Lian hanya memakai gaun dan belum memakai polesan apa-apa. Wajahnya tampak begitu pucat pasi padahal Kak Alex sudah menunggunya sejak tadi. Ia menjadi bingg
"Duh apa yang salah dengan bawang ini, rasa pedasnya langsung membuat mataku ingin menangis. Alhasil sembari mengupas bawang merah airmataku turun juga. Padahal cuma ngupas bawang kenapa aku malah menangis. Aku emang nggak berguna." Lian menggerutu sembari mengelap airmata yang turun akibat pedasnya bawang yang masuk ke dalam matanya. Vani yang melihat Lian mengusap airmata terus menerus seraya mengupas bawang tidak tega mendekatinya. "Udah jangan diterusin, mata kamu nggak tahan tuh buat ngupas bawang. Mama saja yang ngupasin, kamu aja yang mengaduk sopnya. Tinggal sebentar lagi sop ikannya matang. Mama nggak tega lihat kamu begitu terus." "Ini bawangnya tinggal dikit lagi kok Tan. Udah nggak apa-apa, Lian bisa kok ngupas bawang. Mama nggak usah khawatir." "Panggil Mama saja jangan Tante. Kamu kan pacarnya Alex dan kamu sama Alex juga udah serius mau menjalin hubungan. Jadi ikuti Alex panggil Mama ya jangan Tante. Mama senang kok kamu panggil M
Setelah semua masakan selesai. Vani mengajak Lian untuk duduk di kursi makan namun Lian merasa kursi yang ada di sana ada 6. Lian juga tidak tahu urutan kursi mana saja yang biasa keluarga ini tempati. Daripada nantinya salah, Lian lebih baik memilih untuk memanggil Alex saja daripada duduk menunggu dengan cangggung bersama Mama mertuanya. Namun saat tahu bahwa Alex ada di kamarnya. Lian menjadi ragu apakah ia akan memanggilnya atau tidak. Masalahnya ia tidak pernah masuk ke dalam kamar laki-laki. Hubungan bersama Mahesa dulunya juga tidak pernah ingin mau masuk ke dalam kamar laki-laki itu. Lian merasa tidak nyaman saja. Makanya ia tidak mau masuk ke sana. Meskipun mereka tidak melakukan apa-apa tapi tetap saja membuat Lian merasa kurang baik jika wanita masuk ke dalam kamar seorang laki-laki. Tapi, sekarang Lian merasa tidak tahu apakah ia akan masuk dan memanggil Alex di sana atau tidak. Lian mengigit bibirnya, jantungnya berdebar kencang dan ia juga resah.
Lian berjalan dengan begitu santai ke meja makan keluarga begitu juga dengan Alex yang mengikuti Lian di belakangnya. Ada dua kursi kosong yang tidak terisi jadi Lian bisa duduki dengan Alex nantinya. Kebiasaan keluarga Alex sebelum makan yaitu Alex sebagai anak tertua dari keluarga itu memimpin doa sebelum makan dan setelahnya kami makan bersama layaknya orang yang sudah saling kenal. Padahal Lian tidak pernah menginginkan hal ini terjadi dan anehnya semua orang yang ada di sana jadi merasa akrab dengannya. Entah apa yang Lian rasakan kini. Perasaannya bercampur aduk antara senang atau sedih. Senang karna semua orang yang ada di sini memperlakukan Lian dengan baik. Lian tak henti-hentinya tersenyum menanggapi semua percakapan yang ada dan sedih apakah Lian akan merasakan hal seperti ini sampai nanti. Takdir tidak ada yang tahu bukan makanya Lian hanya bisa berharap semoga tidak akan berubah, hubungan ini masih terjalin erat sampai keinginan kami bisa terlaks
Sebelum pergi ke kampusnya, Lian ingin menemui Alex terlebih dahulu. Ada yang ingin ia katakan padanya. Ia tahu Alex ada di ruang kerjanya jadi ia memutuskan untuk pergi ke ruang kerjanya dan menyelesaikan masalah yang ada dalam pikirannya. "Ini siapa?" "Ini Elisa. Agak mirip sama Kak Lian tapi masih cantikan Kak Lian sih." "A-aku masih nggak ngerti kenapa kamu nunjukkin foto ini sama aku?" "Aku cuma mau kasih tahu siapa dia. Dia itu teman Kak Axel dari kecil dan Kak Axel patah hati gara-gara dia tapi yang aku tahu Kak Elisa ini selalu deketin Kak Alex terus. Aku takut Kak Lian sakit hati gara-gara kelakuan Kakakku itu. Kakak udah pernah tanya gimana perasaannya saat ini sama Kak Lian?" "Belum." "Saranku sih tanya perasaannya Kak Axel tuh gimana sama Kak Lian biar Kak Lian nggak terluka pada akhirnya. Gresia nggak mau ada yang tersakiti di sini." "K