Baru saja selesai kuliah, ponsel Lian berbunyi ketika ia ingin mengenakan headseat. Sebuah pesan masuk ke dalamnya dan ia melihat siapa yang mengirimnya. Dan ternyata orang yang sama. Nomer yang sama dan ia sama sekali tidak menginginkannya. Siapa lagi kalau bukan Mahesa, laki-laki yang tidak ingin ia temui sekarang dan selamanya.
Tapi, dengan berat hati Lian pun membukanya.
"Kamu udah selesai kuliah kan? Sekarang aku tunggu kamu di ruang lukis lantai 4 gedung teknik. Aku tunggu! Kalau kamu nggak datang, lihat saja apa yang akan aku lakukan pada video itu."
"Kamu mengancamku lagi?"
"Aku tidak mengancam hanya memberitahu apa yang seharusnya kamu lakukan."
"Pemberitahuanmu sangat tidak lucu."
"Terserah! Tapi aku senang kalau pemberitahuan ini bisa membuat kamu selalu ada di dekat aku sampai kapan pun itu."
"Tega. Hanya karna hasrat sesaat kamu telah berhasil membuat orang lain kesakitan Mahesa."
"Apa peduliku. Kamu ti
Setelah menangis sepuasnya di dalam ruang lukis. Lian tidak ingin berada di dalam kampus ini lagi. Ia ingin pulang dan beristirahat. Ia butuh pengalihan diri dan tempat yang tepat adalah di rumahnya. Rasanya terlalu lelah setelah menemui Mahesa dan menangis seorang diri di dalam ruang lukis itu. Lian memang ingin sendiri tapi kesepian di tempat asing adalah sesuatu yang tidak ingin ia lakukan. Ia butuh tempat dan rasa aman. Jadi rumah adalah tempat terbaik untuk menyalurkan rasa sedihnya saat ini. Meskipun di rumah Mama selalu saja membuatnya kesal tapi tidak ada pilihan lain. Hanya rumah yang ia inginkan saat ini.Dengan terburu-buru Lian keluar dari ruang lukis dan berjalan keluar dari gedung kampus sampai keluar kampus. Untung saja hari itu tidak ada jam kuliah lagi. Jadi Lian tidak mencemaskan jam kuliahnya kalau ia pulang sekarang. Dan mengenai Zia, Lian rasa Zia akan mengerti. Ia akan mengiriminya pesan tapi nanti setelah ia
Lian mengucek mata lalu membuka mata seraya menguap.Rasanya tubuh Lian terasa kaku semua setelah kemarin malam sulit tidur semalam setelah Alex pulang. Ia bisa tertidur di pangkuan Alex sebentar tapi setelah ia makan bersama Alex dan Alex pulang. Malah matanya sulit untuk terpenjam.Baru bisa tertidur itu ketika mendekati shubuh dan tak lama setelah azan shubuh berkumandang Lian pun terbangun dengan sendirinya. Akhirnya Lian memutuskan untuk beribadah. Tapi, entah kenapa setelah beribadah Lian malah mengantuk. Jadinya, Lian ketiduran sampai bangun kesiangan.Di tempat tidur Lian menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku biar otot-ototnya tidak terlalu kaku lagi. Menggerakkan ke kanan dan ke kiri dan merasa itu lebih baik.Lian berjalan ke teras kamarnya sambil menggerakkan tubuhnya yang masih terasa kaku. Sepuluh menit ia gerakkan membuat tubuhnya sedikit berkeringat.Lian tidak ingin beranjak dari sana karna ia masih ingin menghirup udar
Dengan wajah gusar dan kakinya yang menghentak di aspal kampus. Lian menelepon Zia untuk mengetahui dimanakah ia berada sekarang ini. Apa boleh buat, tidak ada orang yang bisa membantu selain dirinya. Ia butuh Zia sekarang."Zia kamu ada dimana sekarang?""Masih di jalan. Ada apa sih kayaknya horor banget suara kamu. Kamu nggak apa-apa kan Lian. Mendadak aku jadi khawatir. Kamu tenang aja, Sebentar lagi aku sampai kampus kok.""Zia aku tunggu di parkiran ya. Aku lagi butuh bantuan kamu nih hari ini. Urgent. Kita bolos aja ya dan nanti aku kasih tahu kenapa kita bolos. Oke? Kamu mau ya, lagian hari ini kuliahnya kan cuma satu mata kuliah. Pak Andre nggak terlalu penting menurut aku."Selepas Axel menurunkannya di dalam kampus, Lian langsung bergegas menelepon Zia untuk mengetahui keberadaannya. Ia perlu bantuan Zia hari ini. Meskipun sedikit memaksa, apa boleh buat. Ia tidak punya pilihan. Zia adalah orang yang akan menolongnya. Tidak menyangka Axel akan m
Lian menutup teleponnya setelah Mahesa mengabari Lian untuk menemuinya di ruang lukis seperti kemarin.Dan kini Lian mendapatkan tatapan penasaran dari Zia. Lian yakin pasti Zia penasaran tentang telepon barusan dan ia ingin menanyakan siapa yang meneleponnya karna Zia melihat kegugupan dan wajah sinis dari Lian barusan."Zia aku binggung harus bilang gimana sama kamu, kamu pasti kecewa. Baru saja kita selesai belanja tapi aku harus pergi dari sini tapi maaf, aku nggak bisa lama-lama di sini. Aku harus pergi sekarang Zia. Ada urusan yang harus aku lakuin sekarang."Zia menatapku dengan pandangan tidak percaya dan tangannya memegang lenganku. Ia tidak mau menerima alasan ini karna dari penglihatannya, barusan Lian berkata ketus dan tidak seperti biasanya."Kita belum memulai masak buat calon mertua kamu dan sekarang kamu mau pergi gitu aja. Sebenarnya ada apa sih? Kasih tahu aku. Aku lihat kamu gelisah tadi pas terima telepon. Dari siapa? Apa dari Mahesa?
Pagi itu Lian berlari dengan terburu-buru di lorong kampus. Keringatnya bercucuran karna berlari dari gerbang kampus sampai ia masuk ke dalam gedung dimana Lian kuliah hari itu. Lian merutuki nasibnya hari ini. Kenapa hari ini ia bisa seberuntung hari-hari biasanya. Kenapa?!Sial, aku kesiangan.Lian lupa menyalakan alarm yang berada di atas nakasnya karna semalam Lian mengerjakan tugas dari dosen yang begitu banyak dan parahnya dosen yang akan Lian masuki hari ini adalah dosen yang termasuk dosen paling killer sekampus.Pak Faris, itu nama dosen yang paling tidak di sukai banyak mahasiswa dan juga mahasiswi. Semua orang kenal bagaimana sifat dari laki-laki yang berusia menjelang 40 tahunan itu.Pak Faris paling tidak suka kalau ada mahasiswanya yang telat masuk sedikit saja apalagi dengan alasan kesiangan. Hufh ... ia langsung menindak tegas mahasiswa itu lalu menyuruhnya keluar begitu saja. Pak Faris bukan dosen sembarangan, ia tidak pilih-p
Lian duduk di ruang tamu Alex, tepatnya di sova yang berwarna hitam yang terlihat empuk. Interior rumahnya terlihat bagus dan tertata rapi saat Lian masuk ke dalam rumahnya yang terlihat minimalis dari luar. Ternyata ia laki-laki yang suka kebersihan. Terlihat tidak ada debu yang menempel di semua perabot rumahnya. Lihat saja bagaimana meja yang ada di hadapan Lian yang begitu mengkilat. Alex membersihkannya dengan sangat teliti. "Rumah kamu ... bersih dan rapi beda sama rumah aku yang berantakan." Alex tersenyum. "Kamu bisa aja. Terlalu tinggi memuji seseorang. Aku merasa biasa aja tuh. Cuma ya aku suka kebersihan sama kerapian aja." "Kamu nggak lagi nyindir aku kan?" "Aku lagi nggak nyindir kamu. Serius. Kalau kamu merasa tersindir aku minta maaf. Tapi aku ngomong sejujurnya. Kayaknya enak aja kalau tempat yang kita tinggali bersih dan nyaman. Kita juga akan betah di dalamnya." "Kayaknya kita nggak bisa sependapat deh. Ya dimulai dari ini. K
Suara musik terdengar sangat keras berampur dengan asap rokok yang begitu pekat. Aroma alkohol sudah tercium dimana-mana membaur dengan musik yang terdengar begitu dominan di dalam sebuah club malam itu. Semua orang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Tapi, ada satu laki-laki yang duduk di sana dengan menenggak minuman tanpa henti. Tidak ada laki-laki yang lebih bodoh darinya. Dia yakin itu. Dirinya adalah laki-laki bodoh sedunia yang pernah ada. Laki-laki itu masih menenggak minuman alkohol yang sejak tadi ia teguk secara perlahan. Lalu, menatap kesal kepada sang bartender karna ia tidak ingin lagi mengisi gelasnya yang sudah kosong. "Aku pengen minum lagi dong. Ambilkan satu yang seperti ini," katanya tanpa ragu. Rasanya kurang puas kalau hanya meminumnya sekali. "Maaf bos. Kayaknya bos sudah mabuk." "Aku kan tamu di sini. Seenaknya saja kamu menyuruhku untuk berhenti. Siapa kamu?! Hah! Jangan pernah mencoba untuk meng
Untuk ke sekian kalinya, Lian memandang penampilannya pada sebuah kaca yang cukup besar yang ada di dalam kamarnya. Ia tidak bisa percaya bahwa hari ini ia akan bertemu dengan keluarga Alex. Semua keluarganya berkumpul hanya untuk makan bersama dan dia ada di sana duduk bergabung bersama semua keluarga Axel sambil mengobrol entah apa. Hufh ... rasanya begitu mengerikan. "Argh ... bodo amat," teriak Lian terlihat begitu frustasi setelah selesai memakai gaun ungu yang dibawahnya terdapat renda-renda yang cukup cantik menurutnya. Gaun ini kepunyaan Raisa. Ia tidak mempunyai banyak gaun karna Lian merasa ia tidak cukup pantas memakainya dan lagi memakai gaun bukan passionnya. Ia lebih suka memakai kaos dan celana ketimbang gaun yang bisa membuatnya tidak leluasa bergerak. Raisa terkejut begitu mendapati Lian hanya memakai gaun dan belum memakai polesan apa-apa. Wajahnya tampak begitu pucat pasi padahal Kak Alex sudah menunggunya sejak tadi. Ia menjadi bingg