“Hei, tunggu!”Nicha dan Gilang menoleh melihat siapa orang yang memanggil mereka di rumah sakit itu.Seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang terurai indah berdiri tepat dibelakang mereka. Matanya berkaca-kaca saat melihat tangan Gilang sedang memegang erat tangan wanita lain.“Zia?”“Kakak dari mana? tumben ke rumah sakit, apa kakak dipanggil?”“Emm tidak.. kami baru saja menjenguk seseorang di rumah sakit ini.”Zia mengerutkan alisnya tak paham, dari kejauhan Gilang bisa melihat kakak Zia yaitu Izzam juga sedang memantau mereka dari kejauhan.“Zia, aku harus mengantar Nicha pulang, kalau begitu sampai jumpa ya,” pamit Gilang.Tanpa persetujuan Zia, Gilang menarik tangan Nicha untuk menjauh dari wanita tersebut. Zia mengepalkan tangannya erat, kenapa sulit sekali baginya. “Harusnya aku yang di sana, bukan dia…”Jika dipikir-pikir lagi, Nicha bukanlah wanita baru dihidup Gilang, justru Zia lah yang menjadi wanita baru itu.Jika saja waktu bisa di ubah, Zia ingin bertukar deng
Photo-photo di kebun binatang yang dulunya mereka kunjungi kini mulai terbakar sedikit demi sedikit, bersamaan dengan air mata photo itu menjadi abu.“Sial, kau benar-benar sialan Gilang.”Satu photo yang masih berada ditangannya, photo yang diambil pertama kali saat itu. Sebuah photo setelah Gilang berhasil melewati sidang skripsinya.Dia masih tak sanggup untuk menyingkirkan photo tersebut.“Kenapa aku melakukan ini, bahkan setelah wanita itu menikah rasa cintanya masih sama, ku pikir dia akan menyerah.”“Sepertinya sudah tidak ada harapan bagiku ya.”Zia mematikan lilin tersebut membiarkannya tetap di atas meja kerjanya. Ia menatap kertas sketsa yang masih kosong, Zia baru sadar jika kesedihannya ini sudah berlarut-larut hingga menganggurkan kerjaannya lagi.Jika kakaknya tahu, dia akan kembali dimarahi seperti anak kecil.“Apa benar yang di bilang pria itu?” Sudah beberapa kali Zia bertemu dengan Rangga, Zia tentu tahu permasalahan yang terlibat dengan Gilang, tapi ia tidak bisa m
“Kau serius ingin pergi ke rumah orang tua Gilang?” Suara itu terdengar tidak meyakinkan.“Aku benar-benar serius!” tekan Zia.“Tapi aku benar-benar lupa, itu sudah 15 tahun lalu Zia!” Henry sungguh frustasi.“Aku tidak pernah suruh kak Henry untuk mengingatnya, aku punya rencana lain.” Henry yang tadi menyandarkan punggungnya di kursi langsung menegakkan punggungnya menghadap gadis itu.Henry menatap Zia dengan penasaran.“Rencana?”“Ya, kita buntuti saja dia, Saat dia pulang kerja.”“Kau gila! Maksudmu kita akan berada dibelakangnya, dan dia akhirnya menyadari kita lalu dia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dan jadilah kita mengejarnya makin kencang melewati seluruh mobil yang ada dijalanan seperti di film-film.”“Tidak seperti itu juga bodoh!” Zia ingin sekali mencubit perut Henry saking kesalnya, bagaimana bisa orang sejenius Gilang punya sahabat gila seperti Henry ini.“Lalu seperti apa?” tanya Henry.“Seperti biasa saja, kita ikuti dia tanpa ketahuan,” jawab Zia enteng.
“Ini adalah pilihan yang terbaik. Ya, memang seharusnya seperti ini.”Nicha merasakan punggungnya dibelai oleh seseorang, ia tersenyum. “Terima kasih ya,” ujarnya pada pria itu.“Setelah aku terlepas darinya. Aku berjanji akan bersamamu,” lanjut Nicha.Gilang menunduk, rasanya ini benar-benar aneh. “Aku tidak pernah memaksamu secepat itu, istirahatlah sejenak, lakukan apa yang kau senangi, jangan memikirkanku.”Nicha menghentikan langkahnya begitu pun dengan Gilang, kini mereka terpat berada di depan pengadilan agama. “Aku sudah terlalu lama istirahat Gilang, aku ingin melakukan sesuatu yang aku senangi bersamamu dan aku tidak bisa tidak memikirkanmu, kau hidupku sekarang,” jelasnya.Gilang melongo tak percaya, ia menggeleng. “Kau bercanda ya, jangan membuatku terbang tinggi. Aku takut jatuh, kau tahu.” Setelah mengatakan hal itu, Gilang kembali melangkahkan kakinya menjauhi Nicha.Nicha tersenyum dengan lebar setelah berhasil melihat raut wajah merah pria itu. “Hei, kalau kau jatuh,
“Aku tidak pantas untuknya.”Entah sudah berapa jam Nicha duduk di lantai dingin itu. Ia memeluk lututnya sendiri saat suara Zia terus saja terdengar, ia ingin menutup telinganya namun itu percuma saja.Ia terus terbayang ucapan terakhir Zia. Ibaratkan Gilang adalah malaikat maka Nicha adalah iblisnya.Nicha menyadari suara mobil yang mendekat ke rumah, ia segera bangkit lalu berlari menuju jendela. Benar saja, Gilang sudah pulang, lebih cepat dari jadwal biasa ia balik.Nicha memperbaiki rambutnya yang agak berantakan dan mengelap air mata di pipinya yang sudah agak mengering.Ia mencoba tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa tadi siang.Setelah dirasa siap, Nicha segera membuka pintunya, menyapa lelaki itu dengan senyuman terbaiknya.“Selamat datang,” sapa wanita itu.Gilang tersenyum lalu membelai rambut Nicha seperti yang sudah ia janjikan.“Ini untukmu.” Gilang memperlihatkan Nicha sekotak terang bulan manis toping coklat yang baru saja ia beli di jalan.“Dan ini untuk Shiru,” lan
Henry memarkirkan motornya di samping rumah kediaman orang tua Gilang, dengan wajah yang begitu serius, ia menghela napas panjang. “Aku harus mengatakan ini pada Gilang, sebelum semua terlambat.”Dengan mantap, ia segera berjalan menuju pintu rumah sahabatnya tersebut, sebelum mengetuk pintu Henry sempat mendengar tawa Gilang di dalam rumah itu.Entah apa yang pria itu lakukan di dalam, tapi Henry belum pernah mendengar tawa Gilang sekeras itu.Ada keraguan di dirinya, ia kembali berhenti sejenak. Tidak seharusnya ia mencampuri urusan sahabatnya namun sebagai sahabat yang baik, ia tetap harus mengingatkan sahabatnya. Karena sepertinya Gilang sudah melampaui batas.Dengan berat, Henry mengetuk pintunya beberapa kali, hingga akhirnya Gilang mengintip di jendela dan mereka saling bertatapan.Gilang segera membuka pintu. “Henry, kenapa kau bisa ada di sini?” tanyanya kaget.“Apa kita bisa bicara sebentar?” tanya Henry.“Tentu, masuklah.” Gilang mempersilahkan untuk masuk namun Henry menol
“Ma-maafkan aku.” Gilang sampai memukul kepalanya sendiri dengan tangannya, ia khilaf. Apa yang telah ia lakukan adalah kesalahan besar, bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal hina pada wanita tersebut.Nicha hanya bisa melihat Gilang yang aneh. “Aku tidak apa-apa,” katanya.Gilang yang tadinya membelakangi Nicha dan menghadap dinding, melihat wanita itu tak percaya. “Kau tak marah?”Nicha tersenyum sembari menunduk, ia menyembunyikan wajahnya yang sejujurnya tersipu itu.Gilang menghela napas. Ia membelai rambut Nicha. “Lain kali, jika aku akan melakukannya lagi, tolong ingatkan aku ya,” ujarnya lembut.Nicha mengangguk saja, ia kagum dengan Gilang, jika saja pria lain mungkin mereka tak akan meminta maaf atau pun menyesali perbuatannya. Tapi Gilang, dia begitu menyesal hanya karena ciuman itu.Padahal Nicha sama sekali tidak keberatan.Ah… karena pikirannya itu, ia merasa seperti seorang wanita murahan. Ya, wanita murahan yang sedikit lebih beruntung karena bersama sosok pria seper
“Hai, tante apa kabar.” Gilang dengan ramahnya masuk ke warung kecil di desa tersebut.Wanita yang disebut tante oleh Gilang itu sigap berdiri, ia melongo setelah melihat anak kecil yang dulunya sering bermain di sekitar rumahnya datang padanya.Ia memperbaiki daster selututnya lalu berjalan mendekati Gilang. “Gilang?” tunjuknya memastikan kalau tebakannya benar.Gilang tersenyum dan mengangguk. “Iya, tante benar. Aku Gilang.”“Bagaimana kabar tante sekarang?” tanya Gilang lagi, ia juga melihat-lihat apa yang sedang di jula oleh wanita tua yang sudah ia anggap seperti keluarga itu.“Baik nak, ku dengar kau sudah jadi dokter ya sekarang, kau hebat nak.” Wanita tersebut melihat Gilang begitu bangga.Setelah lulus kuliah Gilang sudah tak pernah datang di desa ini, wajar jika wanita itu baru saja melihat Gilang lagi selama beberapa tahun.“Aku mau beli mie, telur dan juga –“ Gilang berjalan-jalan melihat isi warung ibu tersebut. “Dan juga, susu putih ini.”Dengan sigap wanita itu langsung
“Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta
Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi
Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang
Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah
“Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.
“Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra
“Maaf, aku tidak melihat teleponmu,” ujar Gilang sembari menangis.Ditatapnya Zia yang begitu kasihan, matanya yang mulai gelas, suhu tubuhnya yang juga mulai dingin belum lagi darah masih jatuh bercucuran di dadanya.Zia menggeleng. “Tak apa, yang penting kau selamat, aku bersyukur,” ujar Zia.Wanita itu bersyukur melihat Gilang masih hidup dan tidak terluka sedikit pun, itu mungkin adalah tujuan akhirnya.Ia tidak menyesal sama sekali telah berkorban dengan nyawanya untuk pria yang dicintainya, meski cintainya tak akan pernah terbalaskan namun ia legah kalau pria itu bersama wanita yang dipercayakannya.Meski dulu Zia membenci Nicha, tapi ia sadar jika hanya Nicha tempat bahagia untuk Gilang. Zia percaya kedepannya bahwa hanya Nicha lah yang dapat membuat hidup Gilang bahagia, nyaman dan damai.Zia rela jika Nicha menjadi wanita sandaran Gilang disaat pria tersebut lelah, Zia rela jika Nicha menjadi tempat ternyaman untuk Gilang pulang, dan Zia rela jika Nicha suatu hari melahirkan
BAB 93“Aku ingin meresmikan hari ini.”Nicha mengedipkan kedua matanya lalu natap Gilang dalam. “Hah, apa maksudmu?” tanyanya tak paham.otaknya belum bisa mencerna apa perkataan lelaki itu. “Bisakah kau tinggal sebentar saja di sini, nanti aku akan mengantarmu pulang jam sepuluh?” tanyanya balik.Nicha mengangguk. “Ya, tentu. Tapi apa maksudmu meresmikan?”Gilang tersenyum. Ia perlahan memegang tangan Nicha dengan lembut. “Menurutku selama ini hubungan kita tak pernah resmi, aku tidak bisa mengatakan kau milikku jika Rangga masih berstatus sebagai suamimu, namun mulai hari ini juga, kau akhirnya menjadi seorang wanita yang sendiri lagi, aku legah dan tentunya bahagia. Jadi –“Nicha memperhatikan bicara Gilang dengan seksama. “Jadi?” katanya.“Jadi, emmm.” Gilang melepas kedua tangannya lalu merogoh saku celana hitamnya.Dengan jantung yang berdebar kencang, Nicha menunggu Gilang mengambil sesuatu tersebut.Matanya membulat sempurna ketika ia melihat kotak berbentuk hati berwarna mer
Perceraian itu hal yang paling dibenci oleh Tuhan.Ada seseorang yang singgah hanya menjadi ujian bagi kita, tapi ada juga seseorang yang benar-benar ingin menetap dihati kita, itulah yang namanya jodoh.Seberapa jauhnya dan lamanya waktu itu, kita akan tetap bertemu dengannya kembali jika memang ia adalah jodoh terbaik untuk kita.Itulah yang Nicha pahami.Bahwa ia kini sedang dihadapkan dua pilihan. Antara bertahan dengan yang lama tapi menderita atau akhiri semuanya dan menjalani hidup baru bersama orang baru yang selama ini telah ada selalu bersamanya.Tentu semuanya pasti tahu jawabannya, ‘kan?Hari itu tepat selesainya sidang perceraian Nicha dan Rangga. Tak ada persidangan lagi, karena ini telah berakhir. Rangga kalah.Pak Faris hari itu tidak datang ke persidangan, laki-laki tua tersebut memilih tidak bertemu dengan Rangga, bahkan ia telah menyiapkan kejutan dihari Rangga akan kembali bekerja.Ya. Itu adalah surat pemecatannya.Rangga sungguh geram, marah dan merasa dipermaink