“Nicha, taraa…”Wanita itu berbalik setelah mendengarkan suara Gilang dari depan pintu, wajahnya tersenyum sumringah saat melihat apa yang pria itu bawa.“Dia!”Nicha berlari kecil dan langsung mengambilnya.“Kucing ini, yang kemarin, bukan?”“Iya, kau benar. Ternyata tidak ada pemiliknya.”“Sungguh, syukurlah.”Nicha memeluk kucing bengal yang umurnya sekiranya setahun itu. “Kau suka?” tanya Gilang.“Tentu, dia yang akan menemaniku saat kau pergi.”Nicha menggendong kucing tersebut seperti bayi kecilnya, senyumnya tidak pernah luput dari bibirnya bahkan matanya berbinar saking senangnya.Gilang tersenyum, tatapannya begitu dalam seakan menembus langit biru, tentang bagaimana ia melihat matahari yang setelah ini akan selalu menyinari hari-harinya.Itu adalah Nicha, perempuan yang kini akan tinggal bersamanya. Ah tidak, harusnya Gilang tak berpikir demikian karena Nicha bukanlah miliknya.“Hei, kita beri nama siapa kucing ini?” tanya Nicha.Lamunan Gilang buyar kembali, ia berpikir seb
Dia terbangun dengan kaget, matanya membulat sempurna setelah memperhatikan ruangan disekitarnya. “Kamar?” Gadis itu menepuk jidatnya setelah menyadari semalam ia ketiduran di sofa dan bisa ia tebak semalam juga Gilang mengangkatnya menuju kasur.Suara pintu terdengar jelas di telinganya, dengan cepat Nicha bangkit dan berlari keluar kamar.“Kau sudah mau pergi?”Pria itu berhenti tepat di depan pintu, bisa di lihat ia sudah lengkap dengan kemeja hitamnya. Setelah melihat Nicha yang ternyata sudah bangun, ia maju menuju gadis itu.“Makanan sudah tersedia di meja makan, jangan membuka pintu jika ada yang mengetuk sebelum aku pulang dan juga berhati-hatilah di rumah ya,” ucapnya panjang lebar.Nicha bengong dibuatnya. “Hei, kau dengar aku kan?”“Iya. Aku dengar, harusnya aku yang mengatakan seperti itu, kau harus hati-hati dengan pria itu, kau tahu betapa berbahayanya dia, bukan?”Gilang mengangguk. Ia menatap wanita itu. “Aku juga berbahaya kok,” gumamnya pelan.Nicha mengerutkan kedua
Gilang panik setelah melihat pintu belakang ternyata terbuka.Gelap sekali. Hingga Gilang tak dapat menerka-nerka apakah ada orang di luar sana.Dengan perlahan ia mendekati pintu tersebut, matanya tidak pernah berpaling sedikit pun.“Shiru, jangan lari-lari!”Kucing bernama Shiru tersebut hampir saja menabrak tubuh Gilang hingga Gilang kehilangan keseimbangan, namun mungkin itu adalah takdirnya untuk jatuh setelah tubuhnya benar-benar di tabrak oleh wanita yang berlari mengejar kucing tersebut.Bruakkkk…“Auh..”Gilang sungguh merasakan sakit dibagian punggungnya karena langsung menghantam lantai, namun rasa sakit itu tidak ada apa-apanya setelah ia menyadari sesuatu yang berat diatasnya.Mata Gilang membulat sempurna setelah menyadari Nicha sedang berada di atasnya.Nicha pun demikian, ia kaget setelah melihat wajah Gilang yang begitu dekat dengannya, bahkan ia bisa merasakan detak jantung pria tersebut.Mereka sama-sama terdiam. Mencoba mencerna semua kejadian ini.Nicha tak menger
“Aku mencintaimu, Nicha. Aku ingin bersamamu selamanya, kumohon mengertilah.”Setelah mengatakan hal diluar dugaan itu, laki-laki tersebut melepaskan tangannya dari kedua pipi mulus Nicha. Kini Gilang berjalan menuju tembok kayu lalu menyandarkan kepalanya di sana.Frustasi, malu dan emosional setelah mengungkapkan semuanya pada wanita yang ia cintai. Tapi ini sudah terlanjur terjadi, Gilang pasrah dengan keputusan Nicha sekarang.“Pasti kau kesal bukan, karena mengetahui kalau aku menolongmu karena punya perasaan. Ya, itu semua benar, jauh dilubuk hatiku, aku butuh imbalan darimu –““Apa.” Nicha seakan menatapnya tidak percaya.“Kau pasti tahu apa yang aku inginkan, jadi jangan menyiksaku agar mengatakannya untuk kesekian kali. Maafkan aku telah egois, jika kau ingin pergi setelah mengetahui fakta ini, aku… tidak apa-apa.”Gilang menunduk, ia masih membelakangi Nicha.Air mata perempuan itu kembali mengalir, ia tidak percaya akan semua yang ia dengar.“Setelah… setelah kau memohon pa
Sebuah handphone keluaran terbaru hanya tergeletak di atas nakas begitu saja. Sepasang mata terus melihatnya dengan penuh keraguan, sudah sehari berlalu namun mereka sama sekali belum bicara.Di samping ranjang pria itu, terdapat lukisan yang juga tidak sempat diperlihatkan, padahal mereka berdua sudah saling berjanji akan hal tersebut.Ia memijit pelipisnya. Setelah kecanggungan yang tak tahu di mana akhirnya ini, Gilang memutuskan untuk dewasa, melupakan kejadian memalukan itu tapi bahkan hanya sekedar mengatakan hai saja ia tidak sanggup.Sedangkan wanita itu, masih tidak tahu diri. Dia hanya termenung sepanjang hari tanpa melakukan apapun, ia mencari sebuah arti dari apa yang telah ia jalani ini.Namun tak ada jawaban sama sekali.Terdengar suara langkah kaki yang berhenti tepat di depan pintu kamar Nicha yang tertutup. Nicha menoleh, mencoba melihat seberapa beraninya laki-laki itu.Tak ada suara ketukan pintu, hingga laki-laki itu akhirnya pergi tanpa pamit lagi.Nicha menghela
Perempuan dengan baju terusan berwarna biru polos itu masih asyik dengan kucing yang ia gendong seperti seorang bayi.Rambutnya tampak terurai indah, membiarkannya nari dengan angin desa yang sejuk, bibirnya tersenyum simpul setelah melihat langit yang mulai berubah menjadi orange.Dia mulai suka senja setelah tinggal di desa ini, ia suka bau sawah dan ketenangan saat berdiri di aspal yang menuju rumah yang ia tinggali.“Shiru lihatlah, pemandangan di sini memang sangat indah, tidak seperti di kota.”Tak ada balasan dari kucing tersebut, hanya sebuah pemberontakan kecil minta dilepaskan.“Hei, jangan lari lagi, nanti aku tak bisa menemukanmu,” ujar Nicha mencoba memegang erat Shiru.Terpaksa Nicha melepaskan Shiru namun ia tetap memantau kucing tersebut bermain. Matanya tak sengaja menangkap sosok pria yang begitu ia kenal dari kejauhan.Tampak jika pria tersebut mendekat padanya dengan wajah khawatir, Nicha terus saja menatapnya, memperhatikan setiap helaian rambut hitam pria tersebu
Gilang begitu serius memperbaiki keran air di belakang rumahnya. Kemeja putihnya mulai basah akibat percikan air yang mulai naik.“Airnya sudah deras, Gilang,” ucap Nicha masih terus memperhatikan selang berwarna biru itu.“Benarkah?” Gilang berbalik.“Iya, lihatlah.” Gilang refleks menghindar setelah Nicha menyodorkan selang air tersebut kearahnya. “Hei, jangan begitu.”Keduanya saling bertatapan, itu memunculkan ide gila pada wanita dengan rambut yang diikat ke belakang menyisakan poni tipis tersebut.Ia kembali mendekatkan selang tersebut membuat kemeja dan juga celana jeans hitam Gilang mulai basah. “Nicha, hentikan!”Nicha tertawa puas setelah mengerjai pria itu. “Awas kau ya!” Gilang berlari mengejar Nicha mencoba merebut selang tersebut dari tangannya. Dress putih selutut milik Nicha, ikut basah akibat Gilang yang akhirnya berhasil merampas selang itu.Perang air tak bisa dihelai lagi, keduanya saling bergantian menyerang membuat seluruh tubuh mereka ikut basah.“Gilang, buatla
Gilang masih memperhatikan wanita yang sedang menangis itu. Entah apa yang harus ia lakukan, entah bagaimana ia harus menyikapi hal ini, dia tidak tahu.Suara tangisan itu masih terdengar, bahkan belum berhenti sedikit pun sejak Rangga memutuskan untuk pergi.“Nicha, kau ingin aku mengantarmu ke ibumu?”Nicha menggeleng.Gilang mengangguk. Ia paham, mungkin Nicha ingin sendiri, apalagi ia baru saja meminta cerai pada suaminya.Mungkin Nicha sedang patah hati, bagaimana pun juga, dia pernah bermimpi untuk hidup bahagia dengan pria itu. Gilang sungguh paham bahwa Nicha, ingin sendirian.Perlahan ia mundur dan mulai bersandar di pinggir pintu yang masih terbuka, Gilang hanya diam tapi suara Nicha membuatnya ikut sakit hati.Hanya mengetahui kalau wanita yang dicintainya menangis untuk pria lain saja, Gilang sudah kesal mengetahuinya. Apalagi jika wanita itu meninggalkannya.“Gilang, kau bisa mengantarkan aku pada ibuku?”Nicha sepertinya berubah pikiran. Keduanya saling menatap seolah be