Dengan napas terengah-engah Nicha terbangun dari tidurnya, matanya melihat sekeliling lalu kemudian ia bernapas legah karena menyadari itu hanyalah sebuah mimpi.Nicha terdiam sebentar, mencoba mencerna mimpinya semalam. “Adnan begitu nyata,” gumamnya setelah mengingat Adnan yang membuka selimut putih yang ia kenakan.Wanita tersebut bangkit, ia berjalan pelan menuju pintu, dengan pelan sekali ia menarik gang pintu hingga pintu itu terbuka sedikit. Nicha mencoba mengintip apakah Rangga sudah ke kantor hari ini tapi ia malah kaget setelah melihat ada orang yang begitu ia kenal sedang berdiri dengan anggunnya di ruang tamu.Sekali-kali wanita itu mengatur rambut pendeknya lalu mencoba tersenyum tipis, ia agak gugup.“Maaf, membuatmu menunggu lama.”Mendengar suara besar itu, gadis tersebut tersenyum dengan lebar. “Tidak apa-apa kak, aku senang sekali akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu datang juga,” ucapnya.“Benarkah, kau menunggu hari ini?” ujar Rangga seperti kaget yang dibuat-buat.
“Gilang, bawa aku pergi dari sini.” Wanita tersebut mengacak rambutnya dengan kasar saat tulisan itu muncul dibenaknya.“Ah… harusnya aku tulis namaku di kertas itu, kenapa hanya tulis ucapan yang tidak jelas, bagaimana jika dia tidak mengerti kalau itu aku!” Tangan Nicha kini mengaduk-aduk kopi yang baru ia seduh.“Jika dia tahu, apakah dia akan menolongku atau mungkin hanya mengabaikannya, lagian siapa aku,” ujarnya lemah sembari memanyumkan bibirnya.Ia memperhatikan kopi yang masih ia aduk tersebut, warnanya hitam ibaratkan kehidupannya yang gelap.“Kenapa aku tidak seperti wanita diluar sana, apa karena masa laluku yang begitu kelam.”Flashback“Hei, perhatian semuanya, pengumuman penting!” Seorang gadis dengan seragam putih abu-abu berdiri di depan kelas 1-A. Hari itu semua orang yang sedang melakukan aktifitasnya langsung mengalihkan perhatian pada gadis tersebut.“Kalian harus tahu berita ini, ” ujarnya dengan suara lantang.“Kau tidak malu merusuh di kelas kami?” tanya gadis
“Andai bisa, aku keluar dari rumah ini lalu keluar kota dan memulai hidup sendiri kemudian sukses menjadi wanita mandiri.”Khayalan tersebut memenuhi kepala Nicha, dengan gampangnya setiap adegan tersebut begitu mudah dilewatinya, tentu saja itu terjadi hanya di dalam pikirannya.Sudah semingguan ia mengirimkan surat untuk Gilang, namun pria itu belum juga datang. Nicha memutuskan harapannya karena ia tahu kalau dia memang salah, dia memutuskan pertemanan dengan pria itu.“Nicha!”Seketika wanita itu tersadar dan bangkit dari kasurnya. Ia segera membuka pintu kamar dan keluar, namun pemandangan selanjutnya adalah ia yang melihat lengan suaminya digandeng oleh wanita lain.Nicha membuang muka setelah ia bertatapan dengan Bella. “Makanlah bersama kami malam ini,” ujar Rangga dengan senyuman palsunya.“Tidak, aku tidak lapar,” tolak Nicha sambil menggeleng pelan.“Ayolah, kita kan teman.” Bella melepaskan tangan Rangga lalu menggandeng tangan Nicha, ia menarik Nicha lalu mendudukkan wani
Mata itu membulat sempurna menyaksikan apa yang kini ia lihat, setelah lampu ruangan itu ia nyalakan, ia syok bukan main.Kaca jendela di samping TV-nya pecah, serpihan kaca bertebaran di mana-mana dan ada tetesan darah di tengah lantai tersebut.Laki-laki besar itu melangkah dengan cepat menuju kamar seorang wanita, namun sesaat setelah ia sampai di sana, dugaannya benar ketika wanita tersebut sudah tidak ada di sana.Bahkan pakaiannya saja sudah tidak ada sama sekali.Ia kembali ke ruang tamu yang sungguh berantakan itu, Ia menjongkok dan menyentuh tetesan darah tersebut.Ia murka sekali malam itu hingga pria tersebut berteriak dengan sekuat tenaganya.Seperti orang kesetanan, ia menelepon orang tua wanita tersebut ditengah malam itu.“Hallo, Rangga ada apa menelepon malam-malam?” terdengar suara lembut khas bangun tidur dari sebelah sana.Pria bernama Rangga itu mencoba mengatur napasnya. “Ibu, apa Nicha pulang ke rumah?” tanyanya.“Tidak, dia kabur lagi?” tanya ibunya.“Iya, tapi
“Fadly, hari ini klinik tidak buka karena aku tidak ada, jadi kau bisa libur.”“Tumben sekali, dokter ada di mana sekarang, memangnya?”“Emm… aku ada urusan seharian ini, aku ada di desa kelahiranku.”“Ah begitu, baiklah dok.”Tampak laki-laki itu mematikan teleponnya lalu kemudian melanjutkan masakannya yang sempat tertunda, Nicha hanya berani melihatnya dari daun pintu kamar sambil memikirkan mengapa pria tersebut bisa sampai sejauh ini. Mengapa dia terlalu baik.Nicha jadi ingat ucapan Rangga kalau pria itu menyukainya, tapi kenapa Nicha tidak pernah menyadarinya, apakah ini termasuk tandanya?Wanita itu menunduk, memperhatikan lantai putih yang ia injak, berada di sini membuatnya nyaman tapi apakah ia akan terus seperti ini. Tentu, Nicha harus menghadapinya.“Hei, kenapa berdiri di situ?” Nicha tersontak kaget setelah pintu kamarnya di buka.Ia melihat Gilang dengan terkejut. “Ayo, kita sarapan dulu,” ajak pria itu tak menggubris Nicha.Sesampainya di depan meja makan, Nicha menga
“Hei, bangunlah.”Nicha membuka matanya perlahan dengan berat, suara bisikan itu kembali terdengar lembut di telinganya. “Ada apa?” tanyanya dengan suara serak.“Ayo, kita jalan-jalan,” ajak pria itu dengan senyuman lebarnya.“Jalan-jalan, sepagi ini?” tanya Nicha masih ogah beranjak dari kasurnya. Ia kembali menutup matanya.“Kita ke bukit untuk melihat matahari terbit, ayolah,” ucap Gilang menggoyangkan lengan Nicha pelan.Nicha membuka kembali matanya dan kemudian melihat pria itu. “Ayolah, karena kalau tidak. Kau tidak akan bisa melihat pemandangan menakjubkan itu jika aku nanti pergi bekerja, ayo kali ini saja, mumpung aku masih libur.”Nicha mau tak mau harus ikut dengan pria itu. Ia bangkit sembari berkata dengan malasnya. “Dasar pemaksa.”Gilang tertawa kecil mendengar ocehan itu. “Bergegaslah sekarang, aku tunggu di ruang depan,” ujarnya langsung keluar dari kamar itu.Beberapa menit kemudian, Nicha keluar dengan celana kain hitam dengan rambut yang ia ikat ke atas seperti ek
“Nicha, taraa…”Wanita itu berbalik setelah mendengarkan suara Gilang dari depan pintu, wajahnya tersenyum sumringah saat melihat apa yang pria itu bawa.“Dia!”Nicha berlari kecil dan langsung mengambilnya.“Kucing ini, yang kemarin, bukan?”“Iya, kau benar. Ternyata tidak ada pemiliknya.”“Sungguh, syukurlah.”Nicha memeluk kucing bengal yang umurnya sekiranya setahun itu. “Kau suka?” tanya Gilang.“Tentu, dia yang akan menemaniku saat kau pergi.”Nicha menggendong kucing tersebut seperti bayi kecilnya, senyumnya tidak pernah luput dari bibirnya bahkan matanya berbinar saking senangnya.Gilang tersenyum, tatapannya begitu dalam seakan menembus langit biru, tentang bagaimana ia melihat matahari yang setelah ini akan selalu menyinari hari-harinya.Itu adalah Nicha, perempuan yang kini akan tinggal bersamanya. Ah tidak, harusnya Gilang tak berpikir demikian karena Nicha bukanlah miliknya.“Hei, kita beri nama siapa kucing ini?” tanya Nicha.Lamunan Gilang buyar kembali, ia berpikir seb
Dia terbangun dengan kaget, matanya membulat sempurna setelah memperhatikan ruangan disekitarnya. “Kamar?” Gadis itu menepuk jidatnya setelah menyadari semalam ia ketiduran di sofa dan bisa ia tebak semalam juga Gilang mengangkatnya menuju kasur.Suara pintu terdengar jelas di telinganya, dengan cepat Nicha bangkit dan berlari keluar kamar.“Kau sudah mau pergi?”Pria itu berhenti tepat di depan pintu, bisa di lihat ia sudah lengkap dengan kemeja hitamnya. Setelah melihat Nicha yang ternyata sudah bangun, ia maju menuju gadis itu.“Makanan sudah tersedia di meja makan, jangan membuka pintu jika ada yang mengetuk sebelum aku pulang dan juga berhati-hatilah di rumah ya,” ucapnya panjang lebar.Nicha bengong dibuatnya. “Hei, kau dengar aku kan?”“Iya. Aku dengar, harusnya aku yang mengatakan seperti itu, kau harus hati-hati dengan pria itu, kau tahu betapa berbahayanya dia, bukan?”Gilang mengangguk. Ia menatap wanita itu. “Aku juga berbahaya kok,” gumamnya pelan.Nicha mengerutkan kedua