Mungkin inilah definisi "perasaan itu habis di satu orang saja" ketika wanita itu memberikan seluruh tempat di hatinya tanpa menyisakan tempat lain pun untuk orang lain.Matanya sayu memperhatikan pria yang sedang sibuk dengan satu pasien di ruang pemeriksaan. Dia duduk dengan nyaman di sana sambil menunggu, matanya tak luput memperhatikan bagaimana pria tersebut menatap pasiennya saat berbicara, bagaimana ia mengangguk paham dan tersenyum.Tapi Zia tidak cemburu dengan orang di dalam sana. Berbeda dengan wanita yang ia temui tempo hari lalu, tentang bagaimana Gilang memandang wanita tersebut penuh dengan rasa cinta.Tubuh kurusnya berdiri setelah pasien itu pulang dan Gilang juga keluar dari ruangannya. “Kak,” panggilnya.Gilang sepertinya tak menyadari jika Zia sedari tadi sudah ada di depan. “Zia, ada apa?”“Apa kak Gilang ada waktu malam ini sehabis klinik tutup?”Gilang menggeleng pelan.”Sepertinya tidak, kenapa?” tanyanya.Zia membuka tasnya lalu mengambil sesuatu dalam sana, ia
Tangannya dengan perlahan memegang gang pintu, ia mencoba menariknya namun sesuai dugaannya itu benar terkunci.Pintu, jendela dan semua akses untuk keluar dari rumah tersebut di kunci dengan sangat rapat.Wanita itu terdiam dan masih berpikir, sudah semalaman ini, ia terus saja berpikir soal jalan keluar terbaik untuknya. “Pasti ada jalan, Nicha, pasti ada,” gumamnya pelan.Ia tahu pastinya Rangga akan mengawasinya melalui CCTV, makanya ia harus berpura-pura membersihkan agar bisa mengelabui Nicha. Nicha berjalan lalu terduduk di sofa, untuk beberapa menit ia terdiam di sana, hingga ia menemukan sesuatu yang mencurigakan.“Berkas kantor?”Ia berdiri dan melihat-lihat berkas tersebut. “Aku kira apaan,” gumamnya lagi dengan lemah.Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka, Nicha segera kembali ke tempat duduknya semula, padahal baru setengah satu siang tapi Rangga kembali.Terlihat pria itu berjalan dan mengambil berkas tersebut, satu orang karyawan juga ada bersamanya. “Kenapa aku
Benar saja, setelah Rangga masuk ke dalam rumahnya, ia tidak menemukan Nicha sama sekali.Di lantai satu maupun lantai dua.Kini ia berdiri di depan pintu belakang rumah yang terbuka, beberapa bagian termasuk gang pintu rusak akibat dari Nicha yang mencoba untuk kabur.Bisa ditebak bahwa wanita itu sekarang pasti sudah berada di rumah orang tuanya.Rangga menarik napas panjang, ia mencoba untuk tenang, jalan satu-satunya adalah ia harus ke rumah mertuanya lalu menjelaskan apa yang terjadi dengan sedikit bumbu kebohongan tentunya.Ia harus bisa menyusun seluruhnya agar semua bisa berjalan seperti apa yang ia inginkan.Rangga berjalan dan berhenti di depan cermin besar di tengah ruangan, ia menyisir rambutnya dengan rapi, memperbaiki jasnya lalu tersenyum. “Aku harus menemui pak Faris, karena dia jalan satu-satunya ya. Ini saatnya,” gumamnya.Dengan langkah yang besar dan badan yang tegak percaya diri, Rangga pun pergi untuk menemui dan membawa pulang Nicha.****Nicha sangat legah bisa
Suara gesekan kuas pada kanvas terdengar di ruangan yang tenang itu.Tangan seorang pria begitu lihai memainkan warna di setiap sketsa dari gambar yang telah ia buat. Terkadang ia berpikir soal imajinasi yang ada di otaknya, entah karya apa yang ia buat ini, gambarnya terlihat berantakan namun tetap berkelas. Belum juga selesai namun ia menyimpan kuasnya dan membuka celemek yang sedari tadi menempel di tubuhnya. Tangannya penuh dengan cat air, pria itu berjalan ke wastafel lalu membersihkan tangannya hingga bersih. Iris mata hitamnya melirik jam dinding di ruangan yang dipenuhi oleh lukisan tersebut. “Sudah tengah malam ya,” gumamnya. Mungkin ini waktunya untuk ia istirahat, Gilang masuk ke dalam kamarnya lalu tak sengaja melihat handphonenya yang menyala, ia lupa ternyata handphone tersebut ketinggalan di kamarnya, segera ia melihatnya. Panggilan telepon dari nomor asing tertulis 8 kali panggilan tak terjawab. Gilang segera menghubungi balik nomor tersebut, mungkin pasiennya. “Ha
“Kenapa aku tidak bisa berhenti untuk memikirkanmu, padahal dengan sadar aku paham bahwa ini salah tapi, sekuat apapun aku coba melupakanmu, aku –“Laki-laki itu menginjak rem hingga laju mobilnya terhenti tepat di depan rumah Rangga secara mendadak.“Aku tetap tidak bisa, kau buat aku gila, Nicha.”Mata tajamnya melihat rumah tersebut, ia menerawang apakah targetnya terlihat di sana namun tidak ada siapa-siapa.Ia putus asa, sudah beberapa minggu ini, ia mencoba bermasa bodoh, mencoba mencari hobi agar ia bisa melupakan wanita tersebut namun apa daya hatinya tidak bisa berkompromi.“Kenapa kau tidak pernah keluar, bukankah kau bilang sudah sembuh.”Gilang sudah seperti orang bodoh akibat stress, bohong jika dia kuat, bohong jika dia tidak peduli, bohong jika dia tidak patah hati.Tiba-tiba handphonenya berdering, Gilang segera mengambilnya, barangkali itu telepon dari pujaan hatinya namun tentu itu hanyalah sebuah mimpi. Hanya pikiran bodohnya.Gilang segera mengangkat teleponnya. “I
Dengan napas terengah-engah Nicha terbangun dari tidurnya, matanya melihat sekeliling lalu kemudian ia bernapas legah karena menyadari itu hanyalah sebuah mimpi.Nicha terdiam sebentar, mencoba mencerna mimpinya semalam. “Adnan begitu nyata,” gumamnya setelah mengingat Adnan yang membuka selimut putih yang ia kenakan.Wanita tersebut bangkit, ia berjalan pelan menuju pintu, dengan pelan sekali ia menarik gang pintu hingga pintu itu terbuka sedikit. Nicha mencoba mengintip apakah Rangga sudah ke kantor hari ini tapi ia malah kaget setelah melihat ada orang yang begitu ia kenal sedang berdiri dengan anggunnya di ruang tamu.Sekali-kali wanita itu mengatur rambut pendeknya lalu mencoba tersenyum tipis, ia agak gugup.“Maaf, membuatmu menunggu lama.”Mendengar suara besar itu, gadis tersebut tersenyum dengan lebar. “Tidak apa-apa kak, aku senang sekali akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu datang juga,” ucapnya.“Benarkah, kau menunggu hari ini?” ujar Rangga seperti kaget yang dibuat-buat.
“Gilang, bawa aku pergi dari sini.” Wanita tersebut mengacak rambutnya dengan kasar saat tulisan itu muncul dibenaknya.“Ah… harusnya aku tulis namaku di kertas itu, kenapa hanya tulis ucapan yang tidak jelas, bagaimana jika dia tidak mengerti kalau itu aku!” Tangan Nicha kini mengaduk-aduk kopi yang baru ia seduh.“Jika dia tahu, apakah dia akan menolongku atau mungkin hanya mengabaikannya, lagian siapa aku,” ujarnya lemah sembari memanyumkan bibirnya.Ia memperhatikan kopi yang masih ia aduk tersebut, warnanya hitam ibaratkan kehidupannya yang gelap.“Kenapa aku tidak seperti wanita diluar sana, apa karena masa laluku yang begitu kelam.”Flashback“Hei, perhatian semuanya, pengumuman penting!” Seorang gadis dengan seragam putih abu-abu berdiri di depan kelas 1-A. Hari itu semua orang yang sedang melakukan aktifitasnya langsung mengalihkan perhatian pada gadis tersebut.“Kalian harus tahu berita ini, ” ujarnya dengan suara lantang.“Kau tidak malu merusuh di kelas kami?” tanya gadis
“Andai bisa, aku keluar dari rumah ini lalu keluar kota dan memulai hidup sendiri kemudian sukses menjadi wanita mandiri.”Khayalan tersebut memenuhi kepala Nicha, dengan gampangnya setiap adegan tersebut begitu mudah dilewatinya, tentu saja itu terjadi hanya di dalam pikirannya.Sudah semingguan ia mengirimkan surat untuk Gilang, namun pria itu belum juga datang. Nicha memutuskan harapannya karena ia tahu kalau dia memang salah, dia memutuskan pertemanan dengan pria itu.“Nicha!”Seketika wanita itu tersadar dan bangkit dari kasurnya. Ia segera membuka pintu kamar dan keluar, namun pemandangan selanjutnya adalah ia yang melihat lengan suaminya digandeng oleh wanita lain.Nicha membuang muka setelah ia bertatapan dengan Bella. “Makanlah bersama kami malam ini,” ujar Rangga dengan senyuman palsunya.“Tidak, aku tidak lapar,” tolak Nicha sambil menggeleng pelan.“Ayolah, kita kan teman.” Bella melepaskan tangan Rangga lalu menggandeng tangan Nicha, ia menarik Nicha lalu mendudukkan wani