Mengerjap-ngerjap. Asha baru saja kembali dari perjalananya ke pulau Dewata bersama Afi. Di alam Mimpi. Kalau saja tidak ada suara gaduh yang mengganggu, mungkin sekarang mereka berdua sedang asik berselancar menaklukkan ombak.
Dengan pandangan yang masih kabur, sedikitnya Asha bisa menangkap bayangan perempuan perut besar tengah berdiri di depan lemari.
"Mau diapakan lemariku, Bu?".
"Ah ini, ibu mau mengambil kain jarik yang sudah lama sekali tersimpan. Tapi pintu lemarinya sulit sekali dibuka".
"Pantas saja aku mengira ada gempa. Minta tolong paman saja suruh mencongkel, pintunya sudah berkarat. Mungkin karena sudah lama tidak pernah dibuka". Asha memberi saran sebelum akhirnya kembali melaut. Anisah, Ibu Asha, mengerti kondisi Asha yang baru saja melakukan perjalanan jauh sehingga butuh banyak waktu istirahat.
**
Biru, hangat, harmoni. pemandangan yang disuguhkan langit. Asha baru menyadari, sudah lama sekali dia mengacuhkannya. Pagi baginya hanya lah waktu untuk buru-buru. Tak sempat melirik seruan semangat dari Tuhan lewat lukisan awan-Nya. Dia terkekeh saat ingatannya memaksa kembali ke hari-hari panjang yang di penuhi peluh dan umpatan untuk melampiaskan lelah. Betapa tidak bersyukurnya dia.
Segelas teh hangat sudah siap di meja. Asha menoleh ke arah luar. Fokusnya beralih pada ibunya yang sedang menjemur beberapa kain jarik dengan motif yang sangat cantik. Kelihatan masih baru. Sepertinya usaha untuk mendobrak pintu lemari tadi pagi berhasil. Menyadari keberadaan Asha yang tengah memandanginya, Anisah menghampiri. Mereka saling melempar senyum. Dengan lembut Asha mengusap perut Ibu.
"Apa dede akan segera lahir, sehingga ibu sudah menyiapkannya sekarang?".
"Walaupun usia kandungannya masih 7 bulan, ibu sudah merasakan tanda-tanda mau lahiran, apa mungkin dia akan lahir prematur?".
"Sebaiknya kalau ibu mau tau pasti, pergilah ke dokter. Jangan percayakan ke dukun bayi. Bisa saja ilmu yang dipakai hanya berdasarkan perkiraan".
Anisah mengangguk. Dia selalu percaya dengan saran yang diberikan putri sulungnya.
Tidak lama, Anisah merasakan sakit di perutnya. Lagi. Dan kali ini cukup hebat. Dia meringis dan menarik lengan Asha tiba-tiba. Karena khawatir, buru-buru Asha berlari keluar, tak tau akan kemana arahnya. Dia melihat di depan rumahnya ada pintu yang terbuka, tanpa pikir panjang Asha mendatangi rumah tersebut untuk meminta pertolongan. Dengan teriakannya yang cukup lantang, seorang pria sambil tergopoh-gopoh menyambut. Pria yang kemarin menjemputnya. Mereka memang bertetangga. Setelah berusaha keras mencari kendaraan, mereka bertujuh secepatnya menuju rumah sakit. Anisah, Asha, nenek, bibi, Afi, Sani ibunya Afi, dan Darjo selaku lurah sekaligus yang punya mobil. Setibanya di rumah sakit, Anisah segera dilarikan ke ruang operasi.
Tidak ada satu pun dari mereka berenam yang berhasil menyembunyikan raut wajah cemas di waktu menunggunya. Tentu Asha yang paling tidak bisa dikondisikan. Afi mendekat, niat hati ingin menenangkan Asha. Menyeret lengan Asha dengan lembut, merangkul pundaknya. Asha mencari ketenangan lewat dada bidang Afi. Membenamkan wajahnya di sana. Dalam hitungan detik baju bagian dada Afi sudah basah tentu karena air mata Asha. Dia merasa bisa mencurahkan kegundahan hatinya ketika dekat dengan Afi. Afi tak menolak, dia semakin menarik kepala Asha, alih-alih tangisnya akan semakin pecah, dia berusaha meredam suaranya.
"Sudahlah, biarkan otak kita memikirkan yang baik-baik saja. Apa yang kita pikirkan itu lah yang akan terjadi. Percayalah, adikmu akan lahir dengan selamat". ujar Afi menenangkan. Walau belum digubris oleh Asha. Terperanjat. Mengingat seseorang yang begitu mendambakan kedatangan bayinya belum diberi kabar. Segera Asha mencari ruang sepi untuk menelepon ayahnya. Dibuntuti Afi. Parman, ayah Asha, membuka toko sembako di kota. Butuh waktu 3-4 bulan untuk bisa berjumpa dengan keluarga karena memang usahanya yang sedang ramai. Itu pun hanya beberapa hari. Sebelum Anisah hamil besar, dia lah yang membantu mengurus dagangan. Dan setelah memutuskan untuk beristirahat dan mempersiapkan kelahirannya di kampung, Parman menjadi sangat sibuk karena berdagang sendiri.
Di bantu Afi, Asha berhasil menelpon ayahnya. Kalau keadaanya tidak urgent, kepulangannya akan ditunda dua hari mendatang. Begitu tanggapan Parman. Dari suaranya, tidak bisa bohong bahwa dia amat khawatir. Gugup, gemetar. Namun disisi lain ada janji yang tidak bisa dilewatkan, tentu mengenai usahanya.
"Kita mau cari minum dulu? yang segar-segar". Afi menawarkan, sembari mencoba mengalihkan pikiran Asha. Asha hanya menatap Afi tanpa kata, disusul anggukan kepala. Diraihnya tangan gadis yang bila berada didekatnya dia merasa dadanya berdebar kencang. Mereka melesat di antara koridor rumah sakit, dindingnya penuh lukisan kelabu, ber-aromakan sendu. Lalu lalang pasien dan sanak saudara yang mengantar, wajah mereka nampak kusut, lusuh. Di sudut halaman rumah sakit, lebih tepatnya beberapa meter sebelum gerbang masuk, sudah berjejer beberapa warung. Buah-buahan, makanan matang-siap saji, air panas, segala macam minuman kemasan tersedia disana. Mereka tahu akan kemana kakinya melangkah. Tidak lebih dari lima menit, satu botol air mineral sudah berada di tangan masing-masing. Diteguknya hingga tetesan terakhir. Sekedar air tawar akan sangat istimewa dan menggiurkan bagi mereka yang kehausan. Seperti halnya mie instan yang diseduh dengan air dingin ketika kehabisan amunisi di gunung kala itu, syarat bisa menikmatinya adalah harus lapar. Asha mendadak tertawa kecil, jelas menarik perhatian Afi yang sudah siap dengan tatapan heran.
"Aku ingat saat aku lupa membawa ketupat dan gorengan untuk makan malam kita di camp dua tahun lalu. keadaanya hujan, sehingga tidak bisa membuat api unggun. Terpaksa menyeduh mie sama air mineral ini". sambil menyodorkan botol air mineral yang sudah kosong. Pria dengan perawakan seperti model itu mengangkat alisnya. Mencoba memutar kenangan yang sudah tertumpuk di memorinya yang hampir usang. Dan ya, tawa kecil tak terelakan saat kejadian konyol itu kembali menjamah pikirannya. Asha adalah gadis yang menyukai kerapian dan kelengkapan sebenarnya, tapi penyakit lupa yang hampir akut, membuat rencananya kerap kali menemukan kecacatan.
"Asal kamu tahu, setelah kejadian itu, untuk pertama kalinya aku mengutuk dirimu".
"Pantesan aku banyak mengalami kejadian ganjil waktu itu. Hampir kesurupan lah, melihat monyet besar yang kalian tidak melihatnya lah. Ternyata hasil sumpah serapahmu". Asha mendengus, padahal dulu dia berpikir keras, kesalahan besar apa yang sudah dia lakukan sehingga diganggu makhluk penunggu gunung.
Afi menggeleng, " Kalau itu si memang sudah jadi keahlian khusus mu, menangani kejadian janggal. Tapi kalau soal sepatu jebol, jaket sobek tersangkut akar kering, mungkin itu ulahku, Hahahah...". Sementara keahlian Afi adalah tertawa sambil tangannya memukul lawan bicara, persis seperti yang baru saja dilakukan pada Asha. Lantas membuat Asha tertegun, pikirannya teralihkan oleh kondisi ibunya, alih-alih operasinya selesai. Secepat kilat kakinya melangkah menjauhi tempat duduk semula. Afi tergopoh-gopoh membuntuti.
Dari jarak 15 meter, mereka menyaksikan dokter sudah keluar dari ruang operasi dan tengah dikerumuni kelima orang terdekatnya. Asha melangkahkan kakinya dengan lega. Dia menatap satu persatu wajah mereka, tak menemukan kabar apapun disana. Datar saja.
Awan gelap tersemat di ruang luas yang terbentang di atas bumi, beriringan dengan sapuan angin yang memporak-porandakan daun kering. Sepasang kekasih tengah duduk saling menyender dibawah Pohon Ketapang, matanya bebas menjelajah setiap jengkal keindahan Waduk Sempor. Ketika menyadari langit akan segera memuntahkan air, orang-orang beranjak menghentikan aktivitasnya. Beberapa perahu getek mulai menepi, seorang kakek yang memancing dengan tiga alat pancing sekaligus, segera membenahi satu persatu peralatannya. Pemilik warung kerepotan menggulung tikar yang sengaja disediakan untuk para pengunjung, dan sepasang kekasih itu terpaksa beranjak karena alas duduknya sudah diminta oleh si pemilik. Pria gagah yang diketahui bernama Afi itu hanya mengangkat bahunya, pasrah."Seperti mereka, kita juga harus pulang kan, Fi?". Suaranya amat lirih, sehingga Afi harus mendekatkan telinganya di bibir yang baru saja mengajukan pertanyaan. Sekali mengembuskan napas berat, sembari melempar
Jutaan rintik hujan telah lepas dari tempat persemayamannya. Afi terpaksa membopong tubuh Asha yang sudah tak berdaya. Tidak sampai lima menit, tubuh kekarnya berhasil membawa Asha sampai di area dimana dia memarkirkan Astrea, dibantunya Asha mencapai jok belakang. Mereka tak berniat mencari tempat berteduh, melihat keadaan Asha yang harus segera istirahat dan membersihkan diri. Kabut berbondong-bondong mulai turun sehingga menghalangi jarak pandang, suara anjing tanah yang memekakkan telinga terdengar di sisi kanan-kiri jalan. Sayup-sayup terdengar dari arah belakang suara gigi yang bergesekan, ternyata Asha menggigil. Diraihnya tangan gadis malang itu hingga melingkari pinggangnya. Tak peduli dengan mata yang sudah memerah karena sabetan air hujan, Afi terus menambah kecepatan."Tidak apa-apa kalau mau menyender, badanmu pasti lemas kan?". Pinta Afi khawatir."Sebentar lagi sampai, tidak enak kalau dilihat orang"."Badanmu panas, kamu pasti sakit
Menyadari akan malam yang semakin larut, Asha mendorong kepala afi dari dekapannya tiba-tiba. Khawatir kalau saja ada orang yang menduga buruk setelah melihat mereka berdua. Sontak membuat Afi yang sudah sempat mengatupkan matanya terbelalak."Orang-orang sudah tertidur, Sha. Mana sempat mereka memergoki kita, untuk buang air saja mereka enggan bangun." Suaranya parau, khas orang mengantuk. Tepat setelah Asha berhasil mencapai posisi berdiri, masih menghadap pria yang kini terlihat kelimpungan. Jika bukan kepergok warga, maka angin malam menjadi hal kedua yang juga membahayakan. Untuk itu, Asha masih tetap pada pendiriannya. Bergegas pulang."Tidakkah kamu merasa kalau ini waktu yang tepat untuk melepas rindu?" Afi berlagak ingin di melas."Kita sudah bertemu selama tujuh hari, Afi. Bagaimana bisa kamu bicara seperti baru bertemu saja.""Aku akan masuk dan istirahat. Aku harap kamu pun begitu. Melihatmu seperti ini, tidak kalah menyakitkannya
Afi menyodorkan salah satu botol yang digenggamnya tersebut. Tatapannya bebas menjelajahi setiap sudut di wajah Asha. Guratan kecewa tergambar jelas dari pancaran matanya. "Duduklah sedikit lebih lama. Cara melupakan seseorang yang cukup berarti bagi kita itu ibarat tobatnya perokok hebat. Mereka tidak bisa serta merta menghentikan kebiasaan merokok hanya dalam sekali percobaan. Melainkan mengurangi satu per satu setiap jumlah yang biasa dikonsumsi setiap hari, sampai mereka benar-benar kehilangan selera untuk merokok." Sambil menunjuk sebuah tempat dibawah bayangan pohon kelapa, berharap Asha bersedia duduk bersamanya di sana. Afi mencoba memberi pesan tersirat dibalik kalimat yang baru saja terucap dari bibirnya. Mudah saja bagi Asha menangkap pesan itu, sehingga genangan air sudah menyebar di muara matanya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, melirik botol yang sudah teracung padanya pun tidak. Asha segera membalikkan badan, menuju tempat yang dimaksud
Cinta merupakan sepenggal kata yang selalu basah dalam benak setiap insan. Ia melunakkan hati yang semula batu. Ia memberi udara pada gurun yang semula gersang. Ia mengembalikan yang semula hilang. Namun ia juga menjadi tajam yang semula tumpul. Menghunus yang semula mendekap erat. Membakar habis yang semula menerangi jalan. Asha selamat dari niat buruk seseorang yang mengaku cinta. ** Asha menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayang-bayang dua orang yang sedang bertarung di dalam pikirannya. Walau bagaimanapun, itu hanya dugaan yang belum tentu kebenarannya. Dia tidak mau dengan berbekal tebakan semata justru membuat dirinya salah tingkah pada orang yang salah. Hanya betapa beruntungnya dia, jika bisa dekat dengan orang itu. Mengerjap-ngerjap mata, meraih kembali seluruh fokus, saatnya menghadap papan ketik. Lembaran demi lembaran telah tersusun dengan rapi. Dia beranjak ke pabrik setelah menyelesaikan lembaran terakhirnya. Asha ak
"Asha, seandainya buku ini aku bawa dulu bagaimana? Aku sudah tidak sabar mendapat pengganti baru supaya bisa dipamerkan juga ke mantanku." Rayu Dewi. Asha pasrah saja, Kalau amalan itu memang manjur mendatangkan jodoh untuk Dewi, itu adalah kabar baik. Pasalnya, Asha sudah terlampau sering mendengar cerita Dewi yang selalu sama hingga membuatnya muak."Boleh saja, sebelum kamu bawa, aku mau mencatat dulu amalannya.""Yeay. Terima kasih sahabatku. Doakan aku bisa dapet pacar ya." Seraya menciumi kedua pipi Asha, dia menaruh harapan penuh pada amalan itu."Aku mau keluar dulu, mengecek barang masuk. Tunggulah disini sebentar." Baru saja Asha beranjak dari tempat duduknya, Dewi segera membentangkan kedua tangannya. Mencoba menghentikan langkah Asha."Tidak usah repot-repot. Catatannya sudah ada bersamaku."Dewi menyerahkan sebuah buku catatan yang tidak terlalu besar, dengan sampul berwarna gelap dan di tengahnya terdapa
Aris mencoba menyimpulkan apakah Zaki ada hubungannya dengan ketakutan yang dialami perempuan yang tengah dibocengnya. Apa yang baru saja dia lakukan. Aris belum berani menanyakan apapun, karena gemetar di tubuh Asha masih berasa di punggungnya. Tetapi, entah bagaimanpun dia harus bertanya. Dia ingin menjadi garda terdepan untuk melindungi perempuan yang diincarnya sedari lama." Apa kamu masih punya waktu untuk membicarakan yang terjadi sore ini?" Aris melembutkan nada bicaranya supaya hati Asha tergarak."Mas, sepertinya untuk saat ini yang saya inginkan hanya pulang. Maaf ya."Aris mengerti. Dirinya bukanlah seseorang yang bisa dibilang dekat dengan Sekretaris di pabriknya tersebut. Jadi wajar saja jika Asha belum bisa mempercayainya sebagai teman cerita. Bahkan ini untuk pertama kali motornya berhasil diboncengi Asha, setelah sekian lama dia berusaha untuk memberanikan diri mengajaknya pulang bersama. Namun urung. Usahanya hanya sampai pada menunggunya
Aris meraih buku dari tangan Asha. Alisnya terangkat, tanda ingin tahu apa yang terjadi pada perempuan di hadapannya yang mendadak bertingkah aneh, seperti habis melihat hantu. Begitu lah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan ekspresi Asha.Asha menyibak anak rambut yang terurai menghalangi pandangan. Senyum di bibirnya nampak kaku. Dia sungguh kehilangan kata-kata untuk sekedar basa-basi. Sementara Aris yang menyadari bahwa Asha berada dalam keadaan yang tidak nyaman, segera mempersilahkan Asha untuk kembali. Dia membentangkan tangannya ke arah pintu keluar gedung produksi. Sangat pengertian.“Tt..terima kasih, Mmas.”“Lain waktu mari bicara.” Anggukan kepala Asha menjadi akhir dari percakapan mereka.Di ruang kerja, Asha menggeledah sebuah rak yang di sana dia menyimpan surat-surat pemberian dari para penggemar. Mengeceknya satu per satu, hingga pada sebuah surat dengan gambar burung merpati, dia membawa
“Apa Zaki berbuat sesuatu kepadamu?” Asha bertanya sekenanya. Dia hampir kehabisan topik. Sementara Aris dari bangku sopir hanya terlihat melempar senyum miring, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Asha menggigit jarinya begitu menyaksikan raut wajah Aris, apa pertanyaanku salah? Dalam benaknya dia bertanya.“Sesuatu seperti apa yang kamu maksud?” Akhirnya ada tanda kehidupan disana, mengundang Asha untuk segera menoleh. Semula dia berpikir tidak akan bertanya lagi jika Aris masih mengabaikannya.“Kamu lebih banyak diam hari ini, jadi aku mencoba menebak. Jangan-jangan Zaki juga meracunimu supaya tidak berhubungan denganku lagi. Atau kamu sedang sariawan sehingga malas bicara?”Lagi-lagi Aris hanya menyeringai. Detik itu juga, Asha bertekad untuk tidak bertanya lagi sebelum Aris yang terlebih dahulu memulai percakapan.Mobil box sudah kembali terparkir di kandangnya. Tepat sebelum mereka turun dari mobil, Aris menyem
Jauh sebelum pertemuan malam itu terjadi.Semenjak keberangkatan Asha ke kota, kehidupan Afi nampak carut-marut. Dia bisa saja menahan rindu kepada kekasihnya di saat menjalani hubungan jarak jauh seperti yanag biasa dia lakukan, tapi kali ini bukan sebatas itu. Afi putus harapan. Mungkin ketika kepulangan Asha berikutnya bukan menjadi haknya lagi untuk menuntut waktu bersama, sekedar melepas rindu. Afi terlihat begitu tertekan setelah berpisah dengan perempuan kesayangannya. Karena hal itu, dia menjadi laki-laki yang tempramen, emosinya menggila tak terkendali. Hal sepele saja cukup mampu menyulut amarahnya dan seringkali dia melampiaskannya dengan berbuat kasar kepada orang-orang terdekat.Terlebih ketika ibunya memutuskan untuk menjodohkannya dengan anak seorang juragan bernama Sheli. Sosok perempuan yang tidak kalah cantik dengan perempuan dambaannya. Sayangnya, Sheli adalah jenis manusia yang hanya diam saja ketika seseorang berbuat sesuatu terhadapnya. Dengan beg
Asha berjalan gontai menuju pangkalan angkutan umum setelah bersikeras menolak tawaran Aris untuk mengantarnya pulang. Dia yang paling tahu cara untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aris menyerah, dia tidak mau tindakannya justru membuat Asha semakin kesulitan. Berulangkali tangannya sigap mengusap air mata yang berhasil membobol benteng pertahannannya. Dalam benaknya, dia terus bertanya-tanya, apakah Dewi melakukannya secara sadar? bahkan setelahnya pun dia tidak sedikitpun berinisiatif menemui Asha unutk sekedar meminta maaf atau memastikkan keadaan Asha, meskipun jawabannya jelas tidak baik-baik saja. Dengan begitu, sedikitnya Asha merasa lega mungkin temannya hanya tak sengaja melakukannya.Dia menarik nafas panjang, memulihakan kondisi batinnya. Dia akan bergabung dengan beberapa orang yang sudah memposisikan diri di sudut ternyamannya masing-masing di dalam angkutan umum. Beruntung sopir tidak menyalakan lampu mobil, sehingga dia bisa menyembunyikan mata sembabnya. Selam
Siang ini, Asha tampak kurang menikmati makanannya. Matanya tidak bisa berhenti mengawasi satu sudut yang di sana Dewi tampak begitu dekat dengan Zaki. Dalam benak Asha, dia terus bertanya sejak kapan hubungan mereka menjadi dekat. Atau mereka sebenarnya bertetangga.Belum selesai Asha menghabiskan makanannya, Zaki dan Dewi terlihat berlalu meninggalkan warteg. Asha yang menyadari kepergian mereka, secepat kilat menyusul dan mengabaikan nasi yang masih menggunung di piringnya. Dia terus mengamati kedua punggung yang nampak bergerak seirama dengan langkah kaki, lamat-lamat dari kejauhan. Ketika hampir mencapai pintu masuk gedung produksi, mereka berpisah lantaran Zaki menghentikan langkahnya sementara Dewi sudah masuk terlebih dahulu.Asha tercekat ketika Zaki berbalik badan. Kini mereka saling berhadapan, meski terpisah jarak yang cukup jauh. Sepertinya Zaki menyadari keberadaan Asha yang mengawasinya sedari masih di warteg. Tubuh Asha semakin gemetar tak k
Giliran Asha yang memperhatikan Aris dengan saksama, matanya tak berkedip. Aris justru dengan santainya memanggil si pedagang untuk mengisi ulang cangkirnya. Seperti sedang berusaha lari dari pertanyaan Asha.“Kenapa kamu menanyakan itu dan apa pentingnya? Bukannya yang menulis surat untukmu banyak yaa? Apa semua karyawan kamu tanyai untuk memastikan siapa saja pengirimnya”.Pertanyaan polos Aris mengundang gelak tawa Asha. Bagaimana tidak, secara tidak langsung dia telah membuka kartunya sendiri.“Sayangnya, hanya ada satu surat tanpa identitas. Makanya aku penasaran. Jadi apa perlu aku menanyakan kepada semua karyawan untuk memastikan apakah mereka menulis surat, sedangkan suratnya sudah tercantum identitas mereka. Kecuali suratmu.”Aris nampak kesulitan menelan ludah. Beruntungnya pedagang kaki lima mengirim kopinya tepat waktu. Dia tercekat untuk beberapa saat. Sementara Asha masih kesulitan menahan dirinya agar tidak ter
Aris meraih buku dari tangan Asha. Alisnya terangkat, tanda ingin tahu apa yang terjadi pada perempuan di hadapannya yang mendadak bertingkah aneh, seperti habis melihat hantu. Begitu lah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan ekspresi Asha.Asha menyibak anak rambut yang terurai menghalangi pandangan. Senyum di bibirnya nampak kaku. Dia sungguh kehilangan kata-kata untuk sekedar basa-basi. Sementara Aris yang menyadari bahwa Asha berada dalam keadaan yang tidak nyaman, segera mempersilahkan Asha untuk kembali. Dia membentangkan tangannya ke arah pintu keluar gedung produksi. Sangat pengertian.“Tt..terima kasih, Mmas.”“Lain waktu mari bicara.” Anggukan kepala Asha menjadi akhir dari percakapan mereka.Di ruang kerja, Asha menggeledah sebuah rak yang di sana dia menyimpan surat-surat pemberian dari para penggemar. Mengeceknya satu per satu, hingga pada sebuah surat dengan gambar burung merpati, dia membawa
Aris mencoba menyimpulkan apakah Zaki ada hubungannya dengan ketakutan yang dialami perempuan yang tengah dibocengnya. Apa yang baru saja dia lakukan. Aris belum berani menanyakan apapun, karena gemetar di tubuh Asha masih berasa di punggungnya. Tetapi, entah bagaimanpun dia harus bertanya. Dia ingin menjadi garda terdepan untuk melindungi perempuan yang diincarnya sedari lama." Apa kamu masih punya waktu untuk membicarakan yang terjadi sore ini?" Aris melembutkan nada bicaranya supaya hati Asha tergarak."Mas, sepertinya untuk saat ini yang saya inginkan hanya pulang. Maaf ya."Aris mengerti. Dirinya bukanlah seseorang yang bisa dibilang dekat dengan Sekretaris di pabriknya tersebut. Jadi wajar saja jika Asha belum bisa mempercayainya sebagai teman cerita. Bahkan ini untuk pertama kali motornya berhasil diboncengi Asha, setelah sekian lama dia berusaha untuk memberanikan diri mengajaknya pulang bersama. Namun urung. Usahanya hanya sampai pada menunggunya
"Asha, seandainya buku ini aku bawa dulu bagaimana? Aku sudah tidak sabar mendapat pengganti baru supaya bisa dipamerkan juga ke mantanku." Rayu Dewi. Asha pasrah saja, Kalau amalan itu memang manjur mendatangkan jodoh untuk Dewi, itu adalah kabar baik. Pasalnya, Asha sudah terlampau sering mendengar cerita Dewi yang selalu sama hingga membuatnya muak."Boleh saja, sebelum kamu bawa, aku mau mencatat dulu amalannya.""Yeay. Terima kasih sahabatku. Doakan aku bisa dapet pacar ya." Seraya menciumi kedua pipi Asha, dia menaruh harapan penuh pada amalan itu."Aku mau keluar dulu, mengecek barang masuk. Tunggulah disini sebentar." Baru saja Asha beranjak dari tempat duduknya, Dewi segera membentangkan kedua tangannya. Mencoba menghentikan langkah Asha."Tidak usah repot-repot. Catatannya sudah ada bersamaku."Dewi menyerahkan sebuah buku catatan yang tidak terlalu besar, dengan sampul berwarna gelap dan di tengahnya terdapa
Cinta merupakan sepenggal kata yang selalu basah dalam benak setiap insan. Ia melunakkan hati yang semula batu. Ia memberi udara pada gurun yang semula gersang. Ia mengembalikan yang semula hilang. Namun ia juga menjadi tajam yang semula tumpul. Menghunus yang semula mendekap erat. Membakar habis yang semula menerangi jalan. Asha selamat dari niat buruk seseorang yang mengaku cinta. ** Asha menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayang-bayang dua orang yang sedang bertarung di dalam pikirannya. Walau bagaimanapun, itu hanya dugaan yang belum tentu kebenarannya. Dia tidak mau dengan berbekal tebakan semata justru membuat dirinya salah tingkah pada orang yang salah. Hanya betapa beruntungnya dia, jika bisa dekat dengan orang itu. Mengerjap-ngerjap mata, meraih kembali seluruh fokus, saatnya menghadap papan ketik. Lembaran demi lembaran telah tersusun dengan rapi. Dia beranjak ke pabrik setelah menyelesaikan lembaran terakhirnya. Asha ak