Menyadari akan malam yang semakin larut, Asha mendorong kepala afi dari dekapannya tiba-tiba. Khawatir kalau saja ada orang yang menduga buruk setelah melihat mereka berdua. Sontak membuat Afi yang sudah sempat mengatupkan matanya terbelalak.
"Orang-orang sudah tertidur, Sha. Mana sempat mereka memergoki kita, untuk buang air saja mereka enggan bangun." Suaranya parau, khas orang mengantuk. Tepat setelah Asha berhasil mencapai posisi berdiri, masih menghadap pria yang kini terlihat kelimpungan. Jika bukan kepergok warga, maka angin malam menjadi hal kedua yang juga membahayakan. Untuk itu, Asha masih tetap pada pendiriannya. Bergegas pulang.
"Tidakkah kamu merasa kalau ini waktu yang tepat untuk melepas rindu?" Afi berlagak ingin di melas.
"Kita sudah bertemu selama tujuh hari, Afi. Bagaimana bisa kamu bicara seperti baru bertemu saja."
"Aku akan masuk dan istirahat. Aku harap kamu pun begitu. Melihatmu seperti ini, tidak kalah menyakitkannya dengan rasa sepiku kehilangan ibu. Besok, kamu bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi." Tuturnya lagi, sambil memandangi lamat-lamat tubuh afi yang masih gontai. Tidakkah pria itu menyadari betapa berarti dirinya di hidup Asha saat ini. Jika sosok ibu adalah oksigen, maka dia menjadi air yang sama pentingnya dengan oksigen. Asha tidak menengok lagi setelah kakinya memutuskan untuk melangkah pulang. Tidak ada yang perlu dilakukan lagi selain tidur dan mencoba menyingkirkan sejenak hujan badai yang terus menghujam hidupnya beberapa hari terakhir.
**
Asha duduk termangu di hadapan Afi. Di samping Afi ada seorang wanita yang usianya kira-kira lima tahun lebih tua dari Anisah, sambil mengunyah kacang goreng. Bibi Asha juga ada di sana, satu lagi seorang nenek duduk di ujung meja menghadap ke empat orang tadi - tengah berkomat-kamit dan memainkan jemarinya, seperti menghitung sesuatu yang serius. Mereka sedang berkumpul di ruang tamu Afi, setelah pagi-pagi Sani mengundang mereka untuk membahas hal mendesak.
"Apa benar dek Afi dan dek Asha ini punya hubungan?" tanya nenek itu spontan, membuat keduanya hanya saling pandang tanpa memberi jawaban.
"Baiklah, di usia kalian, perihal asmara memang suatu hal yang tidak bisa dielakkan." Sambung nenek, yang kini mendekati Asha, menyentuh telapak tangan gadis itu, mengusap rambut. Asha mengenal nenek itu, namun tidak tahu dengan maksud kedatangannya di pagi hari. Beliau adalah Nenek Jamiyah, tetua di Desa Bojongsari yang menganut paham kejawen. Keberadaannya sangat dihormati dan sering dimintai nasehat, bahkan para pejabat pun sering berkonsultasi untuk urusan politik. Ini kali pertama Asha bertatap muka secara langsung setelah sebelumnya hanya mengetahui lewat cerita tetangga saja. Aura wajahnya gelap, Meskipun rambut sempurna berwarna putih, namun suaranya masih terdengar tegas. Pakaian khas jawa, setelan kebaya dengan kain jarik sebagai bawahan, usianya 70-an.
"Kita ini orang jawa yang kental dengan adat dan kepercayaannya yang harus diikuti agar selamat".
Asha memperhatikan, sambil mencerna setiap kalimat Nenek Jami.
"Punten, apa ada yang salah dari kami? saya bahkan tidak tahu maksud dari pertemuan dan pembahasan ini untuk apa." Setelah pertarungan sengit di kepala akhirnya Asha memberanikan diri mengeluarkan salah satu pedang yang ikut memerangi pikirannya. Namun sigap Aminah menarik pelan tangannya, bermaksud untuk tidak memotong pembicaraan Nenek Jamiyah.
"Sani mendatangiku kemarin, mengatakan kalau anaknya menjalin hubungan dengan tetangga depan rumah. Memang anak muda jaman sekarang hanya memikirkan kesenangannya saja. Padahal segala sesuatu harus pakai ilmu." Suaranya meninggi seperti tengah menghadapi masalah serius, sementara Asha semakin dibuat bingung tidak karuan. Entah dengan Afi yang hanya menunduk. Padahal pengalaman ini juga yang pertama kali untuknya, tapi rasa penasaran seperti tak secebis pun bergelayut pada dirinya.
"Gotong karang." Tegas nenek Jamiyah.
"Pantang bagi sedulur (saudara/tetangga) yang tinggal dalam satu halaman yang sama untuk menjalin hubungan apalagi sampai menikah." Matanya mengedar antara Afi dan Asha yang menyambut dengan tatapan nanar. Ingatannya memutar pada kejadian semalam, dimana Afi terus menyebutkan istilah asing dalam keadaan mabuk, istilah yang baru saja ditegaskan kembali oleh Nenek Jamiyah.
"Kalian tahu yang terjadi pada bapaknya Afi dan ibumu?"
"Memang sudah menjadi takdirnya seperti itu. Allah yang menentukan" Asha menimpali, matanya berkaca-kaca.
"Itu karena kecerobohan kalian!!"
"Bagaimana bisa?" suaranya terdengar terbata-bata, Afi yang menyaksikan ikut teriris, ingin sekali berada di sampingnya untuk menenangkan.
"Kalian sudah melanggar kepercayaan orang jawa. Makanya keluarga kalian celaka. Kalau masih diteruskan, kemungkinan salah satu dari kalian akan ikut celaka."
"Bahkan kami belum menikah. Apakah karena rasa saling mencintai bisa menghilangkan nyawa seseorang. Itu kepercayaan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa kalian memegang teguh kepercayaan yang Allah sendiri tidak memerintahkan. Musyrik!"
"Dasar anak muda keras kepala. Tidak bisa di nasehati orang tua. Jangan sampai karena keegoisanmu membuat orang lain celaka." Terlihat matanya berkilat, kembang kempis dadanya yang begitu cepat. Diraih segelas air putih yang dihidangkan dan menghabiskan hingga tetes terakhir. Berusaha meredam emosinya.
"Jadi inti dari pembahasan ini adalah agar saya tidak menjalin hubungan apa-apa lagi dengan Afi. Pun tidak diizinkan untuk menyimpan perasaan apapun ke Afi." Asha menyimpulkan pada dirinya. Air mata tak terbendung lagi. Ditatapnya Afi penuh perasaan, sekarang dia paham yang dilakukan Afi semalam. Di sela tangis, Asha menyeringai lebar. Tangannya kasar menghempas air mata yang melintas di pipi.
"Terimakasih atas nasihatnya, Nek Jami. Saya paham. Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, saya pamit pulang."
"Dan yaa, saya pastikan kalian tidak akan pernah mendapat kabar pernikahan antara saya dengan Afi." Secepatnya Asha melenggang meninggalkan ke empatnya yang masih sama-sama termenung.
Kalimat tegas yang begitu menyayat hati. Teramat kecewa, patah berserak, hancur berkeping, lebam membiru. Belum sempat mengungkap rasa -- setelah bertahun-tahun lamanya, terpaksa disudahi dengan alasan yang tidak masuk akal. Ibarat malam, dia sudah kehilangan bulan setelah perginya Anisah, ternyata disusul hilangnya angin yang mendamaikan dalam kesendirian. Kini, pelariannya tak ada lagi yang mengejar. Tiada peluk yang meredam kesedihan. Tiada wajah berseri yang mengusir kegundahan. Di Kamarnya, Asha menumpahkan segalanya, rasa sedih, marah, kecewa, sepi. Berharap tak ada lagi yang tersisa, hingga besok dia siap menuangkan rasa yang baru yang lebih baik. Toh belum sepenuhnya hilang, masih ada bintang-bintang yang menghiasi langitnya, Ayah, bibi, dan orang-orang yang mencintainya.
**
Dua hari setelah pertemuan itu, sebagai obatnya Asha berniat mengikuti acara komunitas pemuda Bojongsari ke Pantai menganti yang sempat tertunda karena beberapa alasan, salah satunya menghormati Asha yang baru saja berduka -- tentu karena si ketua komunitas harus mengantarkan sepupunya yang menikah di hari yang sama sehingga membatalkan rencana untuk bergabung bersama komunitas adalah pilihannya. Itu yang membuat Asha tak menolak ajakan temannya yang juga tergabung dalam komunitas tersebut. Sekitar 35 orang berangkat menaiki bus sewaan.
Tak butuh waktu lama, rombongan sampai di tempat tujuan. Setiap mata dibuat takjub dengan pemandangan yang disuguhkan. Ombak dengan lembut mengulum karang. Hembusan angin yang ramah, membuat siapa saja terlena dengan sentuhannya. Rombongan asyik membuat lingkaran, memainkan tarik tambang. Asha tengah menunggu giliran. Simpul lengkung berhasil tergambar kembali diwajahnya, setelah beberapa hari lenyap ditelan kabut hitam.
Sekali-dua menyibak anak rambut yang menutupi pandangan. Tertegun, ketika kedapatan seseorang menyusup ke dalam lingkaran, disusul gadis cantik, langsing, masih lebih tinggi dirinya dibanding gadis itu. Afi bersama Sheli, anaknya juragan, yang semasa SMA dikabarkan pernah dekat dengan Afi. Secepat itu bisa menggandeng gadis lain? ucapnya dalam batin. Tatapannya tak berpaling dari dua orang itu, padahal namanya lantang disebut-sebut oleh tim tarik tambang. Sudah tiba giliran Asha bersama tim bermain. Menyadarinya, dia bergegas, menempati posisi ketiga, tepat ditengah, diapit dua orang di depan dan belakang.
Fokusnya terbagi, entah akan menjadi penolong untuk timnya atau justru beban semata. Tidak. Ini adalah kesempatan untuk melampiaskan rasa kesal. Dia mengerahkan segenap tenaganya, ketika hampir menang, ujung sandalnya terinjak kaki Eri yang berada di depannya. Putus seketika. Namun kabar gembiranya adalah tim Asha menang. Walaupun tidak ada hadiah, setidaknya mereka membela kehormatan. Tim Asha menjadi yang terakhir Bermain, sehingga usainya mereka terpecah menjadi beberapa gerombol, acak, sesuai frekuensi. Eri yang merasa bersalah langsung mendekati Asha yang sudah menepi, Dilihatnya kondisi sandal Asha yang sudah putus tak tertolong.
"Santai saja, Er. Cuma sandal."
"Tetap saja aku merasa tidak enak, aku akan belikan yang baru sebagai gantinya." Setelah percakapan singkat itu, punggungnya lenyap di telan kerumunan. Tanpa disadari, Afi mengamati dari kejauhan. Tak sengaja matanya saling beradu dengan Asha, Afi sontak memalingkan wajahnya. Beralih menyusul kawannya. Masih diikuti Sheli yang sudah seperti ikan remora, selalu membuntut pada ikan hiu.
Matahari menyiram pasir pantai dengan panas yang sempurna, sehingga Asha yang telanjang kaki, gelagapan karena panas yang tak bisa ditawar. Dia buru-buru mencari tempat teduh untuk menyelamatkan telapak kakinya. Sepuluh meter dari tempat dia berdiri, ada pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, bayangan daun-daunnya menjadi tempat bersembunyi paling dekat dan sepi dari kejaran sinar matahari. Orang-orang lebih banyak memenuhi Gasebo yang dekat dengan aneka makanan dan minuman dingin. Tanpa ba-bi-bu dia berlari menujunya, alih-alih ada orang yang juga mengincar tempat itu.
"Maaf, dugaanku salah. Aku pikir Afi memang tidak ikut." Suara Meta mengejutkan Asha yang tengah meratapi nasib sandalnya.
"Ah.. bukan masalah. Lagian dia juga ketuanya, sekaligus yang punya ide. Kasian kalau tidak bisa menikmati hasil buah pikirnya sendiri." Kini tatapannya terlempar pada sebuah garis yang membatasi antara langit dan laut. Jauh diujung sana.
"Tapi kamu terlihat kurang menikmati liburan ini, Sha."
"Iyaa kah? Aku sungguh menikmatinya, Meta. Kesegaran udara di pantai ini, sedikitnya menyingkap awan kelabu yang terus menggelayuti aku." Asha menepuk pundak Meta, meyakinkan.
"Bagaimana dengan sandalmu?"
"Sandal ini seperti aku, Met. Tinggal menunggu waktu saja ia akan terbuang." Meta menatap Asha prihatin. Sayangnya, ketika dia masih mau berlama-lama dengan Asha, Aldan, yang mengaku sebagai seksi konsumsi memanggilnya untuk urusan keuangan. Kebetulan Meta yang menjadi Bendahara di komunitas. Asha yang menyadari bahwa kesendirian amat bahaya untuknya, terlebih setelah Meta mengingatkan satu nama, dia beranjak, kemana saja asalkan tidak sepi. Baru sempat membalikkan badan, sudah ada Afi yang menyambut dengan dua botol air soda. Saling tatap. Asha menelan ludah, layaknya bertemu orang yang di sukai untuk pertama kali, derap jantungnya tak beraturan. Sandal putus yang di pegangnya, terjatuh tanpa sadar.
Afi menyodorkan salah satu botol yang digenggamnya tersebut. Tatapannya bebas menjelajahi setiap sudut di wajah Asha. Guratan kecewa tergambar jelas dari pancaran matanya. "Duduklah sedikit lebih lama. Cara melupakan seseorang yang cukup berarti bagi kita itu ibarat tobatnya perokok hebat. Mereka tidak bisa serta merta menghentikan kebiasaan merokok hanya dalam sekali percobaan. Melainkan mengurangi satu per satu setiap jumlah yang biasa dikonsumsi setiap hari, sampai mereka benar-benar kehilangan selera untuk merokok." Sambil menunjuk sebuah tempat dibawah bayangan pohon kelapa, berharap Asha bersedia duduk bersamanya di sana. Afi mencoba memberi pesan tersirat dibalik kalimat yang baru saja terucap dari bibirnya. Mudah saja bagi Asha menangkap pesan itu, sehingga genangan air sudah menyebar di muara matanya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, melirik botol yang sudah teracung padanya pun tidak. Asha segera membalikkan badan, menuju tempat yang dimaksud
Cinta merupakan sepenggal kata yang selalu basah dalam benak setiap insan. Ia melunakkan hati yang semula batu. Ia memberi udara pada gurun yang semula gersang. Ia mengembalikan yang semula hilang. Namun ia juga menjadi tajam yang semula tumpul. Menghunus yang semula mendekap erat. Membakar habis yang semula menerangi jalan. Asha selamat dari niat buruk seseorang yang mengaku cinta. ** Asha menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayang-bayang dua orang yang sedang bertarung di dalam pikirannya. Walau bagaimanapun, itu hanya dugaan yang belum tentu kebenarannya. Dia tidak mau dengan berbekal tebakan semata justru membuat dirinya salah tingkah pada orang yang salah. Hanya betapa beruntungnya dia, jika bisa dekat dengan orang itu. Mengerjap-ngerjap mata, meraih kembali seluruh fokus, saatnya menghadap papan ketik. Lembaran demi lembaran telah tersusun dengan rapi. Dia beranjak ke pabrik setelah menyelesaikan lembaran terakhirnya. Asha ak
"Asha, seandainya buku ini aku bawa dulu bagaimana? Aku sudah tidak sabar mendapat pengganti baru supaya bisa dipamerkan juga ke mantanku." Rayu Dewi. Asha pasrah saja, Kalau amalan itu memang manjur mendatangkan jodoh untuk Dewi, itu adalah kabar baik. Pasalnya, Asha sudah terlampau sering mendengar cerita Dewi yang selalu sama hingga membuatnya muak."Boleh saja, sebelum kamu bawa, aku mau mencatat dulu amalannya.""Yeay. Terima kasih sahabatku. Doakan aku bisa dapet pacar ya." Seraya menciumi kedua pipi Asha, dia menaruh harapan penuh pada amalan itu."Aku mau keluar dulu, mengecek barang masuk. Tunggulah disini sebentar." Baru saja Asha beranjak dari tempat duduknya, Dewi segera membentangkan kedua tangannya. Mencoba menghentikan langkah Asha."Tidak usah repot-repot. Catatannya sudah ada bersamaku."Dewi menyerahkan sebuah buku catatan yang tidak terlalu besar, dengan sampul berwarna gelap dan di tengahnya terdapa
Aris mencoba menyimpulkan apakah Zaki ada hubungannya dengan ketakutan yang dialami perempuan yang tengah dibocengnya. Apa yang baru saja dia lakukan. Aris belum berani menanyakan apapun, karena gemetar di tubuh Asha masih berasa di punggungnya. Tetapi, entah bagaimanpun dia harus bertanya. Dia ingin menjadi garda terdepan untuk melindungi perempuan yang diincarnya sedari lama." Apa kamu masih punya waktu untuk membicarakan yang terjadi sore ini?" Aris melembutkan nada bicaranya supaya hati Asha tergarak."Mas, sepertinya untuk saat ini yang saya inginkan hanya pulang. Maaf ya."Aris mengerti. Dirinya bukanlah seseorang yang bisa dibilang dekat dengan Sekretaris di pabriknya tersebut. Jadi wajar saja jika Asha belum bisa mempercayainya sebagai teman cerita. Bahkan ini untuk pertama kali motornya berhasil diboncengi Asha, setelah sekian lama dia berusaha untuk memberanikan diri mengajaknya pulang bersama. Namun urung. Usahanya hanya sampai pada menunggunya
Aris meraih buku dari tangan Asha. Alisnya terangkat, tanda ingin tahu apa yang terjadi pada perempuan di hadapannya yang mendadak bertingkah aneh, seperti habis melihat hantu. Begitu lah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan ekspresi Asha.Asha menyibak anak rambut yang terurai menghalangi pandangan. Senyum di bibirnya nampak kaku. Dia sungguh kehilangan kata-kata untuk sekedar basa-basi. Sementara Aris yang menyadari bahwa Asha berada dalam keadaan yang tidak nyaman, segera mempersilahkan Asha untuk kembali. Dia membentangkan tangannya ke arah pintu keluar gedung produksi. Sangat pengertian.“Tt..terima kasih, Mmas.”“Lain waktu mari bicara.” Anggukan kepala Asha menjadi akhir dari percakapan mereka.Di ruang kerja, Asha menggeledah sebuah rak yang di sana dia menyimpan surat-surat pemberian dari para penggemar. Mengeceknya satu per satu, hingga pada sebuah surat dengan gambar burung merpati, dia membawa
Giliran Asha yang memperhatikan Aris dengan saksama, matanya tak berkedip. Aris justru dengan santainya memanggil si pedagang untuk mengisi ulang cangkirnya. Seperti sedang berusaha lari dari pertanyaan Asha.“Kenapa kamu menanyakan itu dan apa pentingnya? Bukannya yang menulis surat untukmu banyak yaa? Apa semua karyawan kamu tanyai untuk memastikan siapa saja pengirimnya”.Pertanyaan polos Aris mengundang gelak tawa Asha. Bagaimana tidak, secara tidak langsung dia telah membuka kartunya sendiri.“Sayangnya, hanya ada satu surat tanpa identitas. Makanya aku penasaran. Jadi apa perlu aku menanyakan kepada semua karyawan untuk memastikan apakah mereka menulis surat, sedangkan suratnya sudah tercantum identitas mereka. Kecuali suratmu.”Aris nampak kesulitan menelan ludah. Beruntungnya pedagang kaki lima mengirim kopinya tepat waktu. Dia tercekat untuk beberapa saat. Sementara Asha masih kesulitan menahan dirinya agar tidak ter
Siang ini, Asha tampak kurang menikmati makanannya. Matanya tidak bisa berhenti mengawasi satu sudut yang di sana Dewi tampak begitu dekat dengan Zaki. Dalam benak Asha, dia terus bertanya sejak kapan hubungan mereka menjadi dekat. Atau mereka sebenarnya bertetangga.Belum selesai Asha menghabiskan makanannya, Zaki dan Dewi terlihat berlalu meninggalkan warteg. Asha yang menyadari kepergian mereka, secepat kilat menyusul dan mengabaikan nasi yang masih menggunung di piringnya. Dia terus mengamati kedua punggung yang nampak bergerak seirama dengan langkah kaki, lamat-lamat dari kejauhan. Ketika hampir mencapai pintu masuk gedung produksi, mereka berpisah lantaran Zaki menghentikan langkahnya sementara Dewi sudah masuk terlebih dahulu.Asha tercekat ketika Zaki berbalik badan. Kini mereka saling berhadapan, meski terpisah jarak yang cukup jauh. Sepertinya Zaki menyadari keberadaan Asha yang mengawasinya sedari masih di warteg. Tubuh Asha semakin gemetar tak k
Asha berjalan gontai menuju pangkalan angkutan umum setelah bersikeras menolak tawaran Aris untuk mengantarnya pulang. Dia yang paling tahu cara untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aris menyerah, dia tidak mau tindakannya justru membuat Asha semakin kesulitan. Berulangkali tangannya sigap mengusap air mata yang berhasil membobol benteng pertahannannya. Dalam benaknya, dia terus bertanya-tanya, apakah Dewi melakukannya secara sadar? bahkan setelahnya pun dia tidak sedikitpun berinisiatif menemui Asha unutk sekedar meminta maaf atau memastikkan keadaan Asha, meskipun jawabannya jelas tidak baik-baik saja. Dengan begitu, sedikitnya Asha merasa lega mungkin temannya hanya tak sengaja melakukannya.Dia menarik nafas panjang, memulihakan kondisi batinnya. Dia akan bergabung dengan beberapa orang yang sudah memposisikan diri di sudut ternyamannya masing-masing di dalam angkutan umum. Beruntung sopir tidak menyalakan lampu mobil, sehingga dia bisa menyembunyikan mata sembabnya. Selam
“Apa Zaki berbuat sesuatu kepadamu?” Asha bertanya sekenanya. Dia hampir kehabisan topik. Sementara Aris dari bangku sopir hanya terlihat melempar senyum miring, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Asha menggigit jarinya begitu menyaksikan raut wajah Aris, apa pertanyaanku salah? Dalam benaknya dia bertanya.“Sesuatu seperti apa yang kamu maksud?” Akhirnya ada tanda kehidupan disana, mengundang Asha untuk segera menoleh. Semula dia berpikir tidak akan bertanya lagi jika Aris masih mengabaikannya.“Kamu lebih banyak diam hari ini, jadi aku mencoba menebak. Jangan-jangan Zaki juga meracunimu supaya tidak berhubungan denganku lagi. Atau kamu sedang sariawan sehingga malas bicara?”Lagi-lagi Aris hanya menyeringai. Detik itu juga, Asha bertekad untuk tidak bertanya lagi sebelum Aris yang terlebih dahulu memulai percakapan.Mobil box sudah kembali terparkir di kandangnya. Tepat sebelum mereka turun dari mobil, Aris menyem
Jauh sebelum pertemuan malam itu terjadi.Semenjak keberangkatan Asha ke kota, kehidupan Afi nampak carut-marut. Dia bisa saja menahan rindu kepada kekasihnya di saat menjalani hubungan jarak jauh seperti yanag biasa dia lakukan, tapi kali ini bukan sebatas itu. Afi putus harapan. Mungkin ketika kepulangan Asha berikutnya bukan menjadi haknya lagi untuk menuntut waktu bersama, sekedar melepas rindu. Afi terlihat begitu tertekan setelah berpisah dengan perempuan kesayangannya. Karena hal itu, dia menjadi laki-laki yang tempramen, emosinya menggila tak terkendali. Hal sepele saja cukup mampu menyulut amarahnya dan seringkali dia melampiaskannya dengan berbuat kasar kepada orang-orang terdekat.Terlebih ketika ibunya memutuskan untuk menjodohkannya dengan anak seorang juragan bernama Sheli. Sosok perempuan yang tidak kalah cantik dengan perempuan dambaannya. Sayangnya, Sheli adalah jenis manusia yang hanya diam saja ketika seseorang berbuat sesuatu terhadapnya. Dengan beg
Asha berjalan gontai menuju pangkalan angkutan umum setelah bersikeras menolak tawaran Aris untuk mengantarnya pulang. Dia yang paling tahu cara untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aris menyerah, dia tidak mau tindakannya justru membuat Asha semakin kesulitan. Berulangkali tangannya sigap mengusap air mata yang berhasil membobol benteng pertahannannya. Dalam benaknya, dia terus bertanya-tanya, apakah Dewi melakukannya secara sadar? bahkan setelahnya pun dia tidak sedikitpun berinisiatif menemui Asha unutk sekedar meminta maaf atau memastikkan keadaan Asha, meskipun jawabannya jelas tidak baik-baik saja. Dengan begitu, sedikitnya Asha merasa lega mungkin temannya hanya tak sengaja melakukannya.Dia menarik nafas panjang, memulihakan kondisi batinnya. Dia akan bergabung dengan beberapa orang yang sudah memposisikan diri di sudut ternyamannya masing-masing di dalam angkutan umum. Beruntung sopir tidak menyalakan lampu mobil, sehingga dia bisa menyembunyikan mata sembabnya. Selam
Siang ini, Asha tampak kurang menikmati makanannya. Matanya tidak bisa berhenti mengawasi satu sudut yang di sana Dewi tampak begitu dekat dengan Zaki. Dalam benak Asha, dia terus bertanya sejak kapan hubungan mereka menjadi dekat. Atau mereka sebenarnya bertetangga.Belum selesai Asha menghabiskan makanannya, Zaki dan Dewi terlihat berlalu meninggalkan warteg. Asha yang menyadari kepergian mereka, secepat kilat menyusul dan mengabaikan nasi yang masih menggunung di piringnya. Dia terus mengamati kedua punggung yang nampak bergerak seirama dengan langkah kaki, lamat-lamat dari kejauhan. Ketika hampir mencapai pintu masuk gedung produksi, mereka berpisah lantaran Zaki menghentikan langkahnya sementara Dewi sudah masuk terlebih dahulu.Asha tercekat ketika Zaki berbalik badan. Kini mereka saling berhadapan, meski terpisah jarak yang cukup jauh. Sepertinya Zaki menyadari keberadaan Asha yang mengawasinya sedari masih di warteg. Tubuh Asha semakin gemetar tak k
Giliran Asha yang memperhatikan Aris dengan saksama, matanya tak berkedip. Aris justru dengan santainya memanggil si pedagang untuk mengisi ulang cangkirnya. Seperti sedang berusaha lari dari pertanyaan Asha.“Kenapa kamu menanyakan itu dan apa pentingnya? Bukannya yang menulis surat untukmu banyak yaa? Apa semua karyawan kamu tanyai untuk memastikan siapa saja pengirimnya”.Pertanyaan polos Aris mengundang gelak tawa Asha. Bagaimana tidak, secara tidak langsung dia telah membuka kartunya sendiri.“Sayangnya, hanya ada satu surat tanpa identitas. Makanya aku penasaran. Jadi apa perlu aku menanyakan kepada semua karyawan untuk memastikan apakah mereka menulis surat, sedangkan suratnya sudah tercantum identitas mereka. Kecuali suratmu.”Aris nampak kesulitan menelan ludah. Beruntungnya pedagang kaki lima mengirim kopinya tepat waktu. Dia tercekat untuk beberapa saat. Sementara Asha masih kesulitan menahan dirinya agar tidak ter
Aris meraih buku dari tangan Asha. Alisnya terangkat, tanda ingin tahu apa yang terjadi pada perempuan di hadapannya yang mendadak bertingkah aneh, seperti habis melihat hantu. Begitu lah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan ekspresi Asha.Asha menyibak anak rambut yang terurai menghalangi pandangan. Senyum di bibirnya nampak kaku. Dia sungguh kehilangan kata-kata untuk sekedar basa-basi. Sementara Aris yang menyadari bahwa Asha berada dalam keadaan yang tidak nyaman, segera mempersilahkan Asha untuk kembali. Dia membentangkan tangannya ke arah pintu keluar gedung produksi. Sangat pengertian.“Tt..terima kasih, Mmas.”“Lain waktu mari bicara.” Anggukan kepala Asha menjadi akhir dari percakapan mereka.Di ruang kerja, Asha menggeledah sebuah rak yang di sana dia menyimpan surat-surat pemberian dari para penggemar. Mengeceknya satu per satu, hingga pada sebuah surat dengan gambar burung merpati, dia membawa
Aris mencoba menyimpulkan apakah Zaki ada hubungannya dengan ketakutan yang dialami perempuan yang tengah dibocengnya. Apa yang baru saja dia lakukan. Aris belum berani menanyakan apapun, karena gemetar di tubuh Asha masih berasa di punggungnya. Tetapi, entah bagaimanpun dia harus bertanya. Dia ingin menjadi garda terdepan untuk melindungi perempuan yang diincarnya sedari lama." Apa kamu masih punya waktu untuk membicarakan yang terjadi sore ini?" Aris melembutkan nada bicaranya supaya hati Asha tergarak."Mas, sepertinya untuk saat ini yang saya inginkan hanya pulang. Maaf ya."Aris mengerti. Dirinya bukanlah seseorang yang bisa dibilang dekat dengan Sekretaris di pabriknya tersebut. Jadi wajar saja jika Asha belum bisa mempercayainya sebagai teman cerita. Bahkan ini untuk pertama kali motornya berhasil diboncengi Asha, setelah sekian lama dia berusaha untuk memberanikan diri mengajaknya pulang bersama. Namun urung. Usahanya hanya sampai pada menunggunya
"Asha, seandainya buku ini aku bawa dulu bagaimana? Aku sudah tidak sabar mendapat pengganti baru supaya bisa dipamerkan juga ke mantanku." Rayu Dewi. Asha pasrah saja, Kalau amalan itu memang manjur mendatangkan jodoh untuk Dewi, itu adalah kabar baik. Pasalnya, Asha sudah terlampau sering mendengar cerita Dewi yang selalu sama hingga membuatnya muak."Boleh saja, sebelum kamu bawa, aku mau mencatat dulu amalannya.""Yeay. Terima kasih sahabatku. Doakan aku bisa dapet pacar ya." Seraya menciumi kedua pipi Asha, dia menaruh harapan penuh pada amalan itu."Aku mau keluar dulu, mengecek barang masuk. Tunggulah disini sebentar." Baru saja Asha beranjak dari tempat duduknya, Dewi segera membentangkan kedua tangannya. Mencoba menghentikan langkah Asha."Tidak usah repot-repot. Catatannya sudah ada bersamaku."Dewi menyerahkan sebuah buku catatan yang tidak terlalu besar, dengan sampul berwarna gelap dan di tengahnya terdapa
Cinta merupakan sepenggal kata yang selalu basah dalam benak setiap insan. Ia melunakkan hati yang semula batu. Ia memberi udara pada gurun yang semula gersang. Ia mengembalikan yang semula hilang. Namun ia juga menjadi tajam yang semula tumpul. Menghunus yang semula mendekap erat. Membakar habis yang semula menerangi jalan. Asha selamat dari niat buruk seseorang yang mengaku cinta. ** Asha menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayang-bayang dua orang yang sedang bertarung di dalam pikirannya. Walau bagaimanapun, itu hanya dugaan yang belum tentu kebenarannya. Dia tidak mau dengan berbekal tebakan semata justru membuat dirinya salah tingkah pada orang yang salah. Hanya betapa beruntungnya dia, jika bisa dekat dengan orang itu. Mengerjap-ngerjap mata, meraih kembali seluruh fokus, saatnya menghadap papan ketik. Lembaran demi lembaran telah tersusun dengan rapi. Dia beranjak ke pabrik setelah menyelesaikan lembaran terakhirnya. Asha ak