Jutaan rintik hujan telah lepas dari tempat persemayamannya. Afi terpaksa membopong tubuh Asha yang sudah tak berdaya. Tidak sampai lima menit, tubuh kekarnya berhasil membawa Asha sampai di area dimana dia memarkirkan Astrea, dibantunya Asha mencapai jok belakang. Mereka tak berniat mencari tempat berteduh, melihat keadaan Asha yang harus segera istirahat dan membersihkan diri. Kabut berbondong-bondong mulai turun sehingga menghalangi jarak pandang, suara anjing tanah yang memekakkan telinga terdengar di sisi kanan-kiri jalan. Sayup-sayup terdengar dari arah belakang suara gigi yang bergesekan, ternyata Asha menggigil. Diraihnya tangan gadis malang itu hingga melingkari pinggangnya. Tak peduli dengan mata yang sudah memerah karena sabetan air hujan, Afi terus menambah kecepatan.
"Tidak apa-apa kalau mau menyender, badanmu pasti lemas kan?". Pinta Afi khawatir."Sebentar lagi sampai, tidak enak kalau dilihat orang". "Badanmu panas, kamu pasti sakit. Jarang tidur, ditambah hujan-hujanan. Kalau sudah sampai rumah harus istirahat. Sederas-derasnya hujan, pasti akan reda juga. Segelap-gelapnya langit, pasti ada terangnya. Itu yang selalu terjadi di hidup kita, Sha.""Entahlah, Fi.""Kamu harus tetap sehat dan panjang umur, Sha. Aku masih mau menikahimu". Gumamnya dalam batin.Sudah ratusan kali Afi meyakinkan diri untuk menyampaikan niat baiknya pada Asha, tapi setiap berhadapan dengannya, semua ungkapan yang dia siapkan matang-matang kabur seketika. Bukan karena perasaan gugup, atau salah tingkah, melainkan dengan melihat matanya yang meneduhkan membuat Afi merasa tidak pantas membersamai sosok yang tulus dan lemah lembut. Afi tidak tahu, seberapa nilai dirinya di mata Asha. Selain itu, ketika bersama, keduanya hampir tidak pernah membahas perihal perasaannya masing-masing. Karena mereka pikir, kepedulian yang diberikan sudah cukup menunjukkan arti.
Langit hampir petang, dan mereka baru saja sampai di rumah Asha. Sudah ada Aminah, bibi Asha, yang menunggu di pintu. Melihat pakaian keduanya yang basah kuyup dan bercak lumpur, membuat Aminah urung untuk menanyakan tempat mana yang baru mereka kunjungi. Ada hal yang lebih penting sekedar pertanyaan itu, Aminah segera menuntun Asha ke dalam rumah. Afi memastikan gadisnya masih baik-baik saja lewat depan pintu rumahnya, yang berada tepat di depan rumah Asha. Begitu Aminah menutup pintu, Afi bergegas menuju kamar mandi dan mengganti pakaiannya. Selain Asha, dia juga harus tetap sehat agar bisa melindungi orang-orang tercintanya.
*Pukul 21.00
Segerombolan orang muncul dari balik pintu rumah Asha sambil menenteng bingkisan berwarna hitam. Keluarga Asha menggelar pengajian tujuh harian. Keadaan rumah yang semula ramai berubah sepi dalam sekejap, di dunia ini, segala sesuatunya dirancang hanya untuk bertahan sementara. Seperti orang-orang yang beberapa detik lalu mengisi rumah Asha sambil melayangkan tahlil, kini hanya tersisa kulit semangka yang berserak di atas tikar yang terbuat dari anyaman bambu. Seperti hujan yang mengguyur sore tadi, seperti kehadiran ibu di dalam hidup Asha. Semua hanya sementara. Tuhan Maha semena-mena, tuduh Asha atas rasa kecewanya.
Ketika keluarga yang lain sudah bersiap-siap untuk kembali merajut mimpinya masing-masing di atas kasur, Asha berniat mencari udara segar di luar. Perasaan yang dibuatnya sendiri berhasil menyesakkan dada. Di Pos ronda yang berada di sebrang jalan, dia melihat seorang pria yang duduk menunduk sambil tangannya memeluk lutut. Mungkin saja pria itu sedang berada dalam kecamuk yang sama, Asha menghampirinya alih-alih bisa menjadi teman cerita yang saling memahami. Tepat beberapa langkah sebelum mencapai keberadaanya, Asha mencium bau alkohol yang diyakini berasal dari pria tersebut. Khawatir dengan apa yang akan dilakukan oleh seseorang dibawah pengaruh alkohol, Asha segera membalikkan badan sebelum kedatangannya disadari oleh pria itu. Belum sempat melangkah mundur, si pria buru-buru mengangkat wajahnya. Tertegun, Asha berhasil mendapati wajah tersebut. "Gotong karang". Ucapnya sambil menyeringai. "Apa yang terjadi sama kamu?". Suara Asha terdengar gemetaran."Jaman sekarang orang masih percaya mitos, bagaimana bisa? hahaha..aneh. Gotong karang, gotong karang"."Kamu bicara apa sih, Fi?""Kenapa suaramu gemetar? Apa kamu takut menghadapi aku? Ini lah aku Sha, tidak ada yang berubah dariku. Hm.. kenapa kamu harus menemuiku saat aku seperti ini".Pria mabuk itu beranjak, badannya gontai dan hampir ambruk menabrak gadis yang sedang termangu, lewat tatapannya mengisyaratkan tanda tanya besar. Sebelum tubuh Afi menyentuh tanah, Asha sigap menangkapnya. Kini mereka berada pada posisi berpelukan.Merasa mendapat kesempatan, Afi semakin mengeratkan pelukannya. Tidak ada penolakan, sambil berlinangan air mata, Asha membalas pelukan itu. Dengan lembut, dia mengusap rambut Afi, di hatinya terselip rasa bersalah atas keegoisannya. Merasa paling hancur, sehingga melupakan tangis seseorang yang selalu mendampinginya.
"Apa kamu merasa lebih baik dengan seperti ini, Fi?"."Akan lebih baik lagi kalau kamu selalu bersamaku". "Bukankah selama ini begitu. Walaupun sekarang kita sering terpisah jarak. Aku yakin kamu tahu hati mana yang aku tuju". "Sayangnya aku tidak pernah tahu, Sha. Terlebih setelah malam ini kamu melihatku seperti ini."Asha mencoba membendung tangisnya yang hampir pecah dengan berhenti berkata-kata. Rasa kehilangan atas kepergian ibunya dan rasa penasaran, khawatir, putus asa, semua bersemayam memenuhi batinnya. Dia selalu membela Afi, sebagaimana dia tetap mencari pembenaran atas perbuatan Afi yang kurang bertanggung jawab. "Pasti ada penyebabnya kamu begini, Fi. Ayo cerita".Afi justru membalas pinta tulus Asha dengan tawa. Kepalanya menggeleng, Kedua tangan Afi meraih pipi gadis di hadapannya. "Aku hanya orang yang lemah, Sha. Tak akan aku biarkan masalah yang kecil ini turut membebani kamu. Kalaupun kamu harus meninggalkan aku karena sifat burukku, aku rasa itu akan lebih baik dari pada aku yang meninggalkanmu dengan alasan yang tidak masuk akal".Rasa penasaran Asha semakin tak karuan. Dia masih belum memahami semua perkataan pria yang diam-diam begitu dia dambakan menjadi sosok pendamping. Kini, dia benar-benar menyaksikan seorang pria gagah mengeluarkan air mata untuk kedua kali setelah empat tahun lamanya. Ada masalah apa yang sakitnya setara dengan rasa sakit kehilangan sosok ayah seperti kala itu. Asha meraih kepala Afi dan membenamkan wajahnya di dada, seperti yang dilakukan Afi padanya ketika sedang menangis. Di bawah pancaran bulan sabit, keduanya larut dalam kesedihan ditambah rasa penasaran Asha yang belum terpecahkan karena Afi masih bungkam.Menyadari akan malam yang semakin larut, Asha mendorong kepala afi dari dekapannya tiba-tiba. Khawatir kalau saja ada orang yang menduga buruk setelah melihat mereka berdua. Sontak membuat Afi yang sudah sempat mengatupkan matanya terbelalak."Orang-orang sudah tertidur, Sha. Mana sempat mereka memergoki kita, untuk buang air saja mereka enggan bangun." Suaranya parau, khas orang mengantuk. Tepat setelah Asha berhasil mencapai posisi berdiri, masih menghadap pria yang kini terlihat kelimpungan. Jika bukan kepergok warga, maka angin malam menjadi hal kedua yang juga membahayakan. Untuk itu, Asha masih tetap pada pendiriannya. Bergegas pulang."Tidakkah kamu merasa kalau ini waktu yang tepat untuk melepas rindu?" Afi berlagak ingin di melas."Kita sudah bertemu selama tujuh hari, Afi. Bagaimana bisa kamu bicara seperti baru bertemu saja.""Aku akan masuk dan istirahat. Aku harap kamu pun begitu. Melihatmu seperti ini, tidak kalah menyakitkannya
Afi menyodorkan salah satu botol yang digenggamnya tersebut. Tatapannya bebas menjelajahi setiap sudut di wajah Asha. Guratan kecewa tergambar jelas dari pancaran matanya. "Duduklah sedikit lebih lama. Cara melupakan seseorang yang cukup berarti bagi kita itu ibarat tobatnya perokok hebat. Mereka tidak bisa serta merta menghentikan kebiasaan merokok hanya dalam sekali percobaan. Melainkan mengurangi satu per satu setiap jumlah yang biasa dikonsumsi setiap hari, sampai mereka benar-benar kehilangan selera untuk merokok." Sambil menunjuk sebuah tempat dibawah bayangan pohon kelapa, berharap Asha bersedia duduk bersamanya di sana. Afi mencoba memberi pesan tersirat dibalik kalimat yang baru saja terucap dari bibirnya. Mudah saja bagi Asha menangkap pesan itu, sehingga genangan air sudah menyebar di muara matanya. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, melirik botol yang sudah teracung padanya pun tidak. Asha segera membalikkan badan, menuju tempat yang dimaksud
Cinta merupakan sepenggal kata yang selalu basah dalam benak setiap insan. Ia melunakkan hati yang semula batu. Ia memberi udara pada gurun yang semula gersang. Ia mengembalikan yang semula hilang. Namun ia juga menjadi tajam yang semula tumpul. Menghunus yang semula mendekap erat. Membakar habis yang semula menerangi jalan. Asha selamat dari niat buruk seseorang yang mengaku cinta. ** Asha menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayang-bayang dua orang yang sedang bertarung di dalam pikirannya. Walau bagaimanapun, itu hanya dugaan yang belum tentu kebenarannya. Dia tidak mau dengan berbekal tebakan semata justru membuat dirinya salah tingkah pada orang yang salah. Hanya betapa beruntungnya dia, jika bisa dekat dengan orang itu. Mengerjap-ngerjap mata, meraih kembali seluruh fokus, saatnya menghadap papan ketik. Lembaran demi lembaran telah tersusun dengan rapi. Dia beranjak ke pabrik setelah menyelesaikan lembaran terakhirnya. Asha ak
"Asha, seandainya buku ini aku bawa dulu bagaimana? Aku sudah tidak sabar mendapat pengganti baru supaya bisa dipamerkan juga ke mantanku." Rayu Dewi. Asha pasrah saja, Kalau amalan itu memang manjur mendatangkan jodoh untuk Dewi, itu adalah kabar baik. Pasalnya, Asha sudah terlampau sering mendengar cerita Dewi yang selalu sama hingga membuatnya muak."Boleh saja, sebelum kamu bawa, aku mau mencatat dulu amalannya.""Yeay. Terima kasih sahabatku. Doakan aku bisa dapet pacar ya." Seraya menciumi kedua pipi Asha, dia menaruh harapan penuh pada amalan itu."Aku mau keluar dulu, mengecek barang masuk. Tunggulah disini sebentar." Baru saja Asha beranjak dari tempat duduknya, Dewi segera membentangkan kedua tangannya. Mencoba menghentikan langkah Asha."Tidak usah repot-repot. Catatannya sudah ada bersamaku."Dewi menyerahkan sebuah buku catatan yang tidak terlalu besar, dengan sampul berwarna gelap dan di tengahnya terdapa
Aris mencoba menyimpulkan apakah Zaki ada hubungannya dengan ketakutan yang dialami perempuan yang tengah dibocengnya. Apa yang baru saja dia lakukan. Aris belum berani menanyakan apapun, karena gemetar di tubuh Asha masih berasa di punggungnya. Tetapi, entah bagaimanpun dia harus bertanya. Dia ingin menjadi garda terdepan untuk melindungi perempuan yang diincarnya sedari lama." Apa kamu masih punya waktu untuk membicarakan yang terjadi sore ini?" Aris melembutkan nada bicaranya supaya hati Asha tergarak."Mas, sepertinya untuk saat ini yang saya inginkan hanya pulang. Maaf ya."Aris mengerti. Dirinya bukanlah seseorang yang bisa dibilang dekat dengan Sekretaris di pabriknya tersebut. Jadi wajar saja jika Asha belum bisa mempercayainya sebagai teman cerita. Bahkan ini untuk pertama kali motornya berhasil diboncengi Asha, setelah sekian lama dia berusaha untuk memberanikan diri mengajaknya pulang bersama. Namun urung. Usahanya hanya sampai pada menunggunya
Aris meraih buku dari tangan Asha. Alisnya terangkat, tanda ingin tahu apa yang terjadi pada perempuan di hadapannya yang mendadak bertingkah aneh, seperti habis melihat hantu. Begitu lah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan ekspresi Asha.Asha menyibak anak rambut yang terurai menghalangi pandangan. Senyum di bibirnya nampak kaku. Dia sungguh kehilangan kata-kata untuk sekedar basa-basi. Sementara Aris yang menyadari bahwa Asha berada dalam keadaan yang tidak nyaman, segera mempersilahkan Asha untuk kembali. Dia membentangkan tangannya ke arah pintu keluar gedung produksi. Sangat pengertian.“Tt..terima kasih, Mmas.”“Lain waktu mari bicara.” Anggukan kepala Asha menjadi akhir dari percakapan mereka.Di ruang kerja, Asha menggeledah sebuah rak yang di sana dia menyimpan surat-surat pemberian dari para penggemar. Mengeceknya satu per satu, hingga pada sebuah surat dengan gambar burung merpati, dia membawa
Giliran Asha yang memperhatikan Aris dengan saksama, matanya tak berkedip. Aris justru dengan santainya memanggil si pedagang untuk mengisi ulang cangkirnya. Seperti sedang berusaha lari dari pertanyaan Asha.“Kenapa kamu menanyakan itu dan apa pentingnya? Bukannya yang menulis surat untukmu banyak yaa? Apa semua karyawan kamu tanyai untuk memastikan siapa saja pengirimnya”.Pertanyaan polos Aris mengundang gelak tawa Asha. Bagaimana tidak, secara tidak langsung dia telah membuka kartunya sendiri.“Sayangnya, hanya ada satu surat tanpa identitas. Makanya aku penasaran. Jadi apa perlu aku menanyakan kepada semua karyawan untuk memastikan apakah mereka menulis surat, sedangkan suratnya sudah tercantum identitas mereka. Kecuali suratmu.”Aris nampak kesulitan menelan ludah. Beruntungnya pedagang kaki lima mengirim kopinya tepat waktu. Dia tercekat untuk beberapa saat. Sementara Asha masih kesulitan menahan dirinya agar tidak ter
Siang ini, Asha tampak kurang menikmati makanannya. Matanya tidak bisa berhenti mengawasi satu sudut yang di sana Dewi tampak begitu dekat dengan Zaki. Dalam benak Asha, dia terus bertanya sejak kapan hubungan mereka menjadi dekat. Atau mereka sebenarnya bertetangga.Belum selesai Asha menghabiskan makanannya, Zaki dan Dewi terlihat berlalu meninggalkan warteg. Asha yang menyadari kepergian mereka, secepat kilat menyusul dan mengabaikan nasi yang masih menggunung di piringnya. Dia terus mengamati kedua punggung yang nampak bergerak seirama dengan langkah kaki, lamat-lamat dari kejauhan. Ketika hampir mencapai pintu masuk gedung produksi, mereka berpisah lantaran Zaki menghentikan langkahnya sementara Dewi sudah masuk terlebih dahulu.Asha tercekat ketika Zaki berbalik badan. Kini mereka saling berhadapan, meski terpisah jarak yang cukup jauh. Sepertinya Zaki menyadari keberadaan Asha yang mengawasinya sedari masih di warteg. Tubuh Asha semakin gemetar tak k
“Apa Zaki berbuat sesuatu kepadamu?” Asha bertanya sekenanya. Dia hampir kehabisan topik. Sementara Aris dari bangku sopir hanya terlihat melempar senyum miring, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Asha menggigit jarinya begitu menyaksikan raut wajah Aris, apa pertanyaanku salah? Dalam benaknya dia bertanya.“Sesuatu seperti apa yang kamu maksud?” Akhirnya ada tanda kehidupan disana, mengundang Asha untuk segera menoleh. Semula dia berpikir tidak akan bertanya lagi jika Aris masih mengabaikannya.“Kamu lebih banyak diam hari ini, jadi aku mencoba menebak. Jangan-jangan Zaki juga meracunimu supaya tidak berhubungan denganku lagi. Atau kamu sedang sariawan sehingga malas bicara?”Lagi-lagi Aris hanya menyeringai. Detik itu juga, Asha bertekad untuk tidak bertanya lagi sebelum Aris yang terlebih dahulu memulai percakapan.Mobil box sudah kembali terparkir di kandangnya. Tepat sebelum mereka turun dari mobil, Aris menyem
Jauh sebelum pertemuan malam itu terjadi.Semenjak keberangkatan Asha ke kota, kehidupan Afi nampak carut-marut. Dia bisa saja menahan rindu kepada kekasihnya di saat menjalani hubungan jarak jauh seperti yanag biasa dia lakukan, tapi kali ini bukan sebatas itu. Afi putus harapan. Mungkin ketika kepulangan Asha berikutnya bukan menjadi haknya lagi untuk menuntut waktu bersama, sekedar melepas rindu. Afi terlihat begitu tertekan setelah berpisah dengan perempuan kesayangannya. Karena hal itu, dia menjadi laki-laki yang tempramen, emosinya menggila tak terkendali. Hal sepele saja cukup mampu menyulut amarahnya dan seringkali dia melampiaskannya dengan berbuat kasar kepada orang-orang terdekat.Terlebih ketika ibunya memutuskan untuk menjodohkannya dengan anak seorang juragan bernama Sheli. Sosok perempuan yang tidak kalah cantik dengan perempuan dambaannya. Sayangnya, Sheli adalah jenis manusia yang hanya diam saja ketika seseorang berbuat sesuatu terhadapnya. Dengan beg
Asha berjalan gontai menuju pangkalan angkutan umum setelah bersikeras menolak tawaran Aris untuk mengantarnya pulang. Dia yang paling tahu cara untuk menyembuhkan lukanya sendiri. Aris menyerah, dia tidak mau tindakannya justru membuat Asha semakin kesulitan. Berulangkali tangannya sigap mengusap air mata yang berhasil membobol benteng pertahannannya. Dalam benaknya, dia terus bertanya-tanya, apakah Dewi melakukannya secara sadar? bahkan setelahnya pun dia tidak sedikitpun berinisiatif menemui Asha unutk sekedar meminta maaf atau memastikkan keadaan Asha, meskipun jawabannya jelas tidak baik-baik saja. Dengan begitu, sedikitnya Asha merasa lega mungkin temannya hanya tak sengaja melakukannya.Dia menarik nafas panjang, memulihakan kondisi batinnya. Dia akan bergabung dengan beberapa orang yang sudah memposisikan diri di sudut ternyamannya masing-masing di dalam angkutan umum. Beruntung sopir tidak menyalakan lampu mobil, sehingga dia bisa menyembunyikan mata sembabnya. Selam
Siang ini, Asha tampak kurang menikmati makanannya. Matanya tidak bisa berhenti mengawasi satu sudut yang di sana Dewi tampak begitu dekat dengan Zaki. Dalam benak Asha, dia terus bertanya sejak kapan hubungan mereka menjadi dekat. Atau mereka sebenarnya bertetangga.Belum selesai Asha menghabiskan makanannya, Zaki dan Dewi terlihat berlalu meninggalkan warteg. Asha yang menyadari kepergian mereka, secepat kilat menyusul dan mengabaikan nasi yang masih menggunung di piringnya. Dia terus mengamati kedua punggung yang nampak bergerak seirama dengan langkah kaki, lamat-lamat dari kejauhan. Ketika hampir mencapai pintu masuk gedung produksi, mereka berpisah lantaran Zaki menghentikan langkahnya sementara Dewi sudah masuk terlebih dahulu.Asha tercekat ketika Zaki berbalik badan. Kini mereka saling berhadapan, meski terpisah jarak yang cukup jauh. Sepertinya Zaki menyadari keberadaan Asha yang mengawasinya sedari masih di warteg. Tubuh Asha semakin gemetar tak k
Giliran Asha yang memperhatikan Aris dengan saksama, matanya tak berkedip. Aris justru dengan santainya memanggil si pedagang untuk mengisi ulang cangkirnya. Seperti sedang berusaha lari dari pertanyaan Asha.“Kenapa kamu menanyakan itu dan apa pentingnya? Bukannya yang menulis surat untukmu banyak yaa? Apa semua karyawan kamu tanyai untuk memastikan siapa saja pengirimnya”.Pertanyaan polos Aris mengundang gelak tawa Asha. Bagaimana tidak, secara tidak langsung dia telah membuka kartunya sendiri.“Sayangnya, hanya ada satu surat tanpa identitas. Makanya aku penasaran. Jadi apa perlu aku menanyakan kepada semua karyawan untuk memastikan apakah mereka menulis surat, sedangkan suratnya sudah tercantum identitas mereka. Kecuali suratmu.”Aris nampak kesulitan menelan ludah. Beruntungnya pedagang kaki lima mengirim kopinya tepat waktu. Dia tercekat untuk beberapa saat. Sementara Asha masih kesulitan menahan dirinya agar tidak ter
Aris meraih buku dari tangan Asha. Alisnya terangkat, tanda ingin tahu apa yang terjadi pada perempuan di hadapannya yang mendadak bertingkah aneh, seperti habis melihat hantu. Begitu lah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan ekspresi Asha.Asha menyibak anak rambut yang terurai menghalangi pandangan. Senyum di bibirnya nampak kaku. Dia sungguh kehilangan kata-kata untuk sekedar basa-basi. Sementara Aris yang menyadari bahwa Asha berada dalam keadaan yang tidak nyaman, segera mempersilahkan Asha untuk kembali. Dia membentangkan tangannya ke arah pintu keluar gedung produksi. Sangat pengertian.“Tt..terima kasih, Mmas.”“Lain waktu mari bicara.” Anggukan kepala Asha menjadi akhir dari percakapan mereka.Di ruang kerja, Asha menggeledah sebuah rak yang di sana dia menyimpan surat-surat pemberian dari para penggemar. Mengeceknya satu per satu, hingga pada sebuah surat dengan gambar burung merpati, dia membawa
Aris mencoba menyimpulkan apakah Zaki ada hubungannya dengan ketakutan yang dialami perempuan yang tengah dibocengnya. Apa yang baru saja dia lakukan. Aris belum berani menanyakan apapun, karena gemetar di tubuh Asha masih berasa di punggungnya. Tetapi, entah bagaimanpun dia harus bertanya. Dia ingin menjadi garda terdepan untuk melindungi perempuan yang diincarnya sedari lama." Apa kamu masih punya waktu untuk membicarakan yang terjadi sore ini?" Aris melembutkan nada bicaranya supaya hati Asha tergarak."Mas, sepertinya untuk saat ini yang saya inginkan hanya pulang. Maaf ya."Aris mengerti. Dirinya bukanlah seseorang yang bisa dibilang dekat dengan Sekretaris di pabriknya tersebut. Jadi wajar saja jika Asha belum bisa mempercayainya sebagai teman cerita. Bahkan ini untuk pertama kali motornya berhasil diboncengi Asha, setelah sekian lama dia berusaha untuk memberanikan diri mengajaknya pulang bersama. Namun urung. Usahanya hanya sampai pada menunggunya
"Asha, seandainya buku ini aku bawa dulu bagaimana? Aku sudah tidak sabar mendapat pengganti baru supaya bisa dipamerkan juga ke mantanku." Rayu Dewi. Asha pasrah saja, Kalau amalan itu memang manjur mendatangkan jodoh untuk Dewi, itu adalah kabar baik. Pasalnya, Asha sudah terlampau sering mendengar cerita Dewi yang selalu sama hingga membuatnya muak."Boleh saja, sebelum kamu bawa, aku mau mencatat dulu amalannya.""Yeay. Terima kasih sahabatku. Doakan aku bisa dapet pacar ya." Seraya menciumi kedua pipi Asha, dia menaruh harapan penuh pada amalan itu."Aku mau keluar dulu, mengecek barang masuk. Tunggulah disini sebentar." Baru saja Asha beranjak dari tempat duduknya, Dewi segera membentangkan kedua tangannya. Mencoba menghentikan langkah Asha."Tidak usah repot-repot. Catatannya sudah ada bersamaku."Dewi menyerahkan sebuah buku catatan yang tidak terlalu besar, dengan sampul berwarna gelap dan di tengahnya terdapa
Cinta merupakan sepenggal kata yang selalu basah dalam benak setiap insan. Ia melunakkan hati yang semula batu. Ia memberi udara pada gurun yang semula gersang. Ia mengembalikan yang semula hilang. Namun ia juga menjadi tajam yang semula tumpul. Menghunus yang semula mendekap erat. Membakar habis yang semula menerangi jalan. Asha selamat dari niat buruk seseorang yang mengaku cinta. ** Asha menggeleng-gelengkan kepala, mengusir bayang-bayang dua orang yang sedang bertarung di dalam pikirannya. Walau bagaimanapun, itu hanya dugaan yang belum tentu kebenarannya. Dia tidak mau dengan berbekal tebakan semata justru membuat dirinya salah tingkah pada orang yang salah. Hanya betapa beruntungnya dia, jika bisa dekat dengan orang itu. Mengerjap-ngerjap mata, meraih kembali seluruh fokus, saatnya menghadap papan ketik. Lembaran demi lembaran telah tersusun dengan rapi. Dia beranjak ke pabrik setelah menyelesaikan lembaran terakhirnya. Asha ak