Setelah pertemuan dengan ibunya, Reynand diam sepanjang perjalanan pulang. Aku bisa merasakan betapa kacaunya pikirannya. Aku menggenggam tangannya yang masih berada di setir. “Rey, kalau kamu mau bicara…” Dia menghela napas. “Aku nggak tahu harus merasa apa sekarang.” Aku hanya menatapnya, memberi dia ruang untuk berbicara lebih jauh kalau dia mau. Begitu sampai di rumahnya, dia langsung melepas jas dan duduk di sofa dengan tangan menutupi wajah. Aku ikut duduk di sampingnya. “Jadi selama ini aku hidup dengan kebohongan,” katanya pelan. “Aku tumbuh dengan berpikir ibuku sudah mati. Ayahku selalu bilang dia meninggalkan kami karena nggak ingin terikat dengan keluarga.” Aku mengusap punggungnya pelan. “Itu pasti berat buatmu.” Dia mengangguk. “Dan sekarang, dia kembali… bilang kalau selama ini dia dipaksa pergi.” Dia menatapku, matanya penuh emosi. “Aku nggak tahu harus percaya siapa.” Aku menggenggam tangannya. “Kamu nggak harus buru-buru memutuskan. Ambil waktu yang k
Reynand menatap pria itu tajam, rahangnya mengeras. “Siapa kamu?”Pria itu melirikku sekilas sebelum kembali menatap Reynand. “Kita harus bicara. Ini tentang masa lalu keluargamu.”Aku menggenggam lengan Reynand dengan cemas. “Rey, hati-hati.”Dia mengangguk, lalu melangkah keluar. Aku mengikuti dari belakang, tapi pria itu menatapku dengan ekspresi ragu. “Ini sebaiknya antara aku dan dia.”Aku langsung bersedekap. “Maaf, tapi kalau ini menyangkut Reynand, aku juga harus tahu.”Reynand menatapku sejenak, lalu menghela napas. “Apa pun yang kau katakan padaku, dia juga harus dengar.”Pria itu mendesah, lalu mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam jaketnya. “Ini…” Dia menyerahkannya pada Reynand. “Buka dan lihat sendiri.”Dengan tangan gemetar, Reynand membuka amplop itu dan menarik keluar beberapa foto lama. Matanya membelalak saat melihat isinya.Aku mengintip dari samping. Foto-foto itu menunjukkan seorang pria—mirip Reynand, hanya saja lebih tua—bersama seorang wanita yang terl
Malam itu, kami menonton film komedi romantis di sofa, tapi aku bisa merasakan bahwa pikiran Reynand masih kacau. Tangannya tetap menggenggam jemariku erat, seolah-olah aku adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tenang.Aku mencuri pandang ke arahnya. Biasanya, dia selalu terlihat dingin dan terkendali, tapi malam ini… dia tampak seperti seseorang yang sedang menahan beban berat di pundaknya."Rey," aku memanggil pelan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tahu kau mencoba bersikap tenang, tapi aku bisa merasakan kalau sesuatu mengganggumu."Dia menghela napas panjang, lalu menatapku. Matanya yang tajam kini tampak lebih lembut, tapi tetap menyimpan ketegangan."Aku baru saja mengetahui sesuatu tentang ayahku," katanya akhirnya. "Dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk menerimanya."Aku menggenggam tangannya lebih erat. "Apa maksudmu?"Dia menoleh ke layar TV, menatap film tanpa benar-benar melihatnya. "Aku pikir selama ini ayahku adalah pria yang tegas tapi adil. Tapi ternyata…
Cahaya kilat dari luar jendela menerangi siluet sosok yang berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, dan di tangannya tergenggam sesuatu—sebuah pisau.Aku menahan napas, sementara Reynand langsung bergerak cepat. Dalam sekejap, dia menarikku ke belakangnya, menjadi tameng di antara aku dan orang asing itu."Siapa kau?" Reynand bertanya dengan suara rendah, penuh ancaman.Orang itu tidak menjawab. Cahaya dari koridor hanya memperlihatkan wajahnya sebagian. Tapi saat dia melangkah maju, aku bisa melihat sesuatu yang mengerikan—senyum sinis di wajahnya."Akhirnya kita bertemu, Reynand," suaranya serak, seperti seseorang yang sudah lama menunggu momen ini. "Sudah siap kehilangan segalanya?"Aku bisa merasakan ketegangan di tubuh Reynand. Rahangnya mengeras, matanya menyipit tajam. "Apa maumu?"Orang itu mengayunkan pisaunya dengan santai. "Hanya ingin memastikan kau membayar semua hutang lama."Aku mengernyit. Hutang? Reynand tidak pernah bercerita tentang ini.Tanpa pering
Di dalam vila yang sepi itu, aku bisa merasakan detak jantung Reynand yang masih cepat. Pelukannya erat, seolah takut kehilangan. Aku diam di dalam dekapannya, mencoba menenangkan diri dari ketegangan yang baru saja terjadi."Kau baik-baik saja?" suaranya rendah dan hangat di telingaku.Aku mengangguk pelan. "Ya… hanya masih sedikit shock."Dia mengusap rambutku lembut. "Maaf, aku tidak bisa mencegah ini lebih awal. Seharusnya aku lebih berhati-hati."Aku menarik diri sedikit, menatapnya. "Ini bukan salahmu, Rey. Kau sudah melindungiku sejauh ini."Matanya menatapku penuh perasaan. Tapi sebelum ada yang bisa dikatakan lagi, suara ponsel Reynand bergetar di saku celananya.Dia menghela napas dan mengangkatnya. "Ya?"Aku memperhatikan ekspresinya yang langsung berubah serius. "Kau yakin?" Reynand menatapku sekilas sebelum menjauh sedikit untuk berbicara lebih lanjut.Aku tidak bisa mendengar semuanya, tapi beberapa kata yang terdengar cukup membuatku tegang. "Target utama… pergerakan… p
Aku bisa merasakan ketegangan di udara, seolah waktu melambat. Reynand berdiri tegap di depanku, melindungiku dari pria-pria bersenjata itu. Tristan, di sisi lain, tampak jauh lebih santai, seolah sudah terbiasa menghadapi situasi hidup dan mati seperti ini. "Jangan bertindak bodoh," salah satu pria bersenjata itu berkata, matanya menyipit ke arah kami. "Serahkan barangnya, dan mungkin kami akan membiarkan kalian pergi dengan selamat." Reynand menoleh tajam ke arah Tristan. "Apa yang mereka maksud? Barang apa yang kau miliki?" Tristan terkekeh pelan. "Oh, itu. Sesuatu yang sangat mereka inginkan, tapi sayangnya aku tidak berniat menyerahkannya begitu saja." Aku menelan ludah. "Kau bercanda, kan?" Namun sebelum Tristan bisa menjawab, salah satu pria itu mengangkat senjatanya, mengarahkannya langsung ke kepala Reynand. Jantungku hampir berhenti. "TUNGGU!" Aku berteriak tanpa sadar. Mereka semua menoleh ke arahku. Reynand menatapku dengan ekspresi penuh kekhawatiran, sementara Tri
Malam itu, setelah semua kekacauan berakhir, kami kembali ke rumah persembunyian Tristan. Semua orang diam, masih terjebak dalam adrenalin dari kejadian tadi. Aku duduk di sofa, masih mencoba mencerna semuanya—dari baku tembak, taruhan hidup Reynand, hingga… ciuman kami.Reynand berdiri di dekat jendela, menatap ke luar dengan ekspresi serius. Aku tahu dia masih waspada, seolah Leonard bisa muncul kapan saja. Tristan sibuk berbicara dengan seseorang di telepon, mungkin mengatur rencana untuk langkah selanjutnya.Lalu, tiba-tiba, ada ketukan di pintu.Kami semua langsung menegang. Reynand bergerak cepat, mengambil pistolnya. Tristan memberikan isyarat agar kami tetap diam.Ketukan itu terdengar lagi.Tristan bergerak lebih dulu, membuka pintu dengan hati-hati—dan sosok yang berdiri di ambang pintu membuat darahku membeku."Ayah?"Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat. Seorang pria dengan rambut sedikit beruban, mengenakan jas hitam yang tampak berdebu, berdiri di sana dengan
Ketegangan memenuhi ruangan setelah ayahku mengucapkan kata-kata itu."Ada pengkhianat di antara kita."Mataku menatap satu per satu orang yang ada di ruangan ini. Tristan, Reynand, ayahku sendiri. Aku tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang."Siapa?" suara Tristan terdengar tajam, penuh kecurigaan.Ayahku menghela napas panjang, lalu duduk di kursi seberangku. "Aku tidak bisa memastikan. Tapi aku tahu seseorang telah membocorkan keberadaan kita kepada Leonard. Itulah kenapa dia selalu selangkah lebih maju."Aku menelan ludah. Itu masuk akal. Berapa kali kami harus melarikan diri? Berapa kali Leonard berhasil muncul di saat yang tidak seharusnya?Tristan mengepalkan tangannya. "Kita perlu mencari tahu siapa si pengkhianat sebelum semuanya terlambat."Reynand bersedekap, ekspresinya gelap. "Dan bagaimana kita melakukannya? Tidak ada bukti yang bisa kita pegang sekarang.""Kita akan membuat rencana," kata ayahku. "Memancing pengkhianat itu keluar."Aku menghela napas panjang, otakk
Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamu… tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi—seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.“Lama tidak bertemu, Laura,” suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Kenapa kau di sini?”Dia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.“Kau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,” katanya sambil menatapku tajam. “Aku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat dulu… atau justru lebih lemah.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”Dia tertawa kecil. “Permainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan
Malam itu, suasana di sekitar mereka begitu mencekam. Angin bertiup kencang, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Langkah kaki yang terburu-buru menggema di gang sempit, memantulkan bayang-bayang mereka yang bergerak dengan waspada."Kita tidak bisa terus seperti ini. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita," bisik Adrian dengan napas terengah-engah.Laura menggigit bibirnya, matanya memantau sekitar. "Aku tahu. Tapi kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini. Aku tidak bisa lari tanpa jawaban."Tiba-tiba, ponsel Laura bergetar. Sebuah pesan anonim muncul di layar: *“Jangan percaya siapa pun. Bahkan dia yang kau pikir bisa melindungimu.”*Darah Laura berdesir. Siapa yang mengirim pesan ini? Dia menatap Adrian yang tengah memeriksa keadaan sekitar, kemudian menggenggam ponselnya erat.***Sementara itu, di tempat lain, seseorang sedang mengamati layar monitor dengan senyum penuh arti. Sosok pria bertubuh tegap dengan bekas luka di alisny
Aku bisa merasakan darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Udara di ruangan ini terasa semakin menekan. Aku berdiri di antara Adrian dan pria misterius itu, sementara para pria bersenjata yang baru saja masuk membentuk barisan di belakangnya."Apa yang sebenarnya kau inginkan?" suaraku terdengar lebih tajam dari yang kukira.Pria itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. "Aku hanya ingin memberimu jawaban, Laura. Jawaban yang selama ini kau cari."Aku mengepalkan tangan. "Kau bilang ayahku bukan orang yang selama ini kukira. Apa maksudmu?!"Dia menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat dengan langkah santai. "Ayahmu adalah bagian dari organisasi rahasia, Laura. Organisasi yang selama ini kau anggap musuh."Aku mencengkeram lengan Adrian dengan kuat, mencoba menenangkan diri."Kau bohong."Dia menggeleng pelan. "Aku tahu ini sulit diterima. Tapi kau harus tahu… bukan hanya ayahmu yang terlibat."Aku menatapnya tajam. "Maksudmu apa?"Dia menatapku dalam-dalam, lalu berka
Aku menatap pria di depanku dengan napas memburu. Cahaya bulan menyorot wajahnya, dan aku tak bisa mempercayai penglihatanku."Kau..." suaraku hampir bergetar. "Ini tidak mungkin. Kau seharusnya sudah mati."Dia hanya menyeringai, wajahnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya—hanya saja ada bekas luka panjang di pelipisnya, seakan membuktikan bahwa dia telah melalui sesuatu yang buruk."Kau benar-benar mengira aku mati?" suaranya terdengar penuh ejekan. "Kau naif sekali."Jantungku berdetak semakin cepat. Sierra, Adrian, dan Reynand masih bertarung di dalam rumah. Aku harus berpikir cepat."Apa maumu?" aku berusaha tetap tenang.Dia mendekat, berjongkok agar bisa menatapku lebih jelas. "Aku hanya ingin mengobrol. Kau tahu, tentang masa lalu kita. Dan... tentang bagaimana aku masih hidup."Aku merasakan dingin menjalar di tulang punggungku. Ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Dia ada di sini karena alasan tertentu.Sebelum aku bisa merespons, aku mendengar suara langkah k