Malam itu aku baru saja selesai mandi, tubuhku segar setelah berendam air hangat. Mahendra masih di ruang kerja, menelepon pengacaranya. Aku berjalan ke balkon kamar, menikmati angin malam sambil memandang langit berbintang.Tiba-tiba, suara gemerisik terdengar di bawah. Aku melongokkan kepala, mataku membelalak saat melihat sosok pria berjubah hitam sedang memanjat pagar rumah! Jantungku langsung berdetak kencang.“Mas…!” Aku baru mau teriak, tangan kuat tiba-tiba membekap mulutku dari belakang. Seseorang sudah masuk ke kamar dan menyeretku ke dalam gelap.Aku meronta sekuat tenaga, kaki dan tanganku menendang membabi buta. Tapi penculik itu kuat, dan aku merasakan kain basah menempel di hidungku—aroma menyengat menusuk masuk ke paru-paruku.Semuanya gelap.---Aku terbangun dengan kepala pusing, tangan dan kaki terikat di kursi. Ruangan ini gelap dan bau apak. Mataku menyipit berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya remang dari lampu gantung tua di atas.“Selamat pagi, Laila.”Suara
Aku masih duduk di balkon, memeluk lutut sambil menatap langit malam yang gelap. Angin dingin menusuk kulitku, tapi pikiranku lebih dingin lagi. Semua kenangan masa kecilku berkelebat—ibu yang wajahnya samar di ingatan, ayah yang keras dan jarang tersenyum, lalu aku yang tumbuh dengan banyak tanda tanya.Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Mahendra datang membawa selimut dan secangkir teh hangat. Dia menyelimuti tubuhku pelan, tanpa bicara. Hanya menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan—penuh sesal, sayang, juga takut.“Aku tahu ini berat buat kamu.” Suaranya serak, seperti menahan gejolak dalam hatinya sendiri. “Tapi aku nggak pernah berniat nyakitin kamu. Aku cuma takut kehilangan kamu.”Aku menghela napas panjang. “Kenapa nggak cerita dari awal, Mas? Kenapa harus menyimpan semua ini sendirian?”Mahendra duduk di sampingku, jemarinya menggenggam tanganku erat. “Karena aku pengecut. Aku takut kamu salah paham, takut kamu pikir aku menikahi kamu cuma karena kamu anak dari cin
Kami kembali ke hotel malam itu dengan kepala penuh tanda tanya. Surat-surat itu, suara misterius di telepon, dan foto-foto lama yang tiba-tiba muncul seperti hantu dari masa lalu—semua seolah membentuk jaring rahasia yang siap membelit kami berdua.Mahendra duduk di tepi ranjang, wajahnya tegang. Aku duduk di sampingnya, menyandarkan kepala di bahunya. “Aku nggak ngerti… kenapa semua ini tiba-tiba muncul? Siapa wanita yang menelepon tadi? Kenapa dia tahu soal kita?”Mahendra mengusap rambutku lembut. “Aku juga bingung, Sayang. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Rahasia apapun yang bakal kita temuin nanti, aku bakal hadapi bareng kamu.”Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri. Di tengah semua ketakutan itu, setidaknya aku punya Mahendra. Sosok yang dulu aku pikir cuma mimpi, tapi sekarang nyata di sisiku.Tiba-tiba, Mahendra menarik tanganku, menggiringku berdiri di depan cermin besar di kamar. Dia berdiri di belakangku, memeluk pinggangku erat, dagunya b
Aku membuka mataku perlahan. Kepalaku pusing, tubuhku terasa pegal, dan tanganku terikat di kursi kayu yang sudah lapuk. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi terakhir kali sebelum semuanya gelap. Ada suara bentakan, lalu Mahendra berteriak memanggil namaku, dan setelah itu… aku di sini.Ruangan ini gelap dan lembab. Aroma tanah basah bercampur asap rokok menusuk hidungku. Di sudut ruangan, ada seorang pria bertubuh kekar dengan wajah penuh luka bekas sayatan. Dia menatapku tajam, seolah aku ini mangsa yang sudah lama dia incar.“Bangun sudah, Neng?” Suaranya berat dan serak.“Siapa kalian? Mau apa kalian?” Suaraku gemetar, tapi aku berusaha tegar.Pria itu tersenyum miring. “Nggak usah banyak tanya. Yang jelas, ini bukan urusan pribadi. Ini balas dendam lama.”“Balas dendam apa?” Aku semakin bingung. “Aku nggak pernah punya musuh!”Pria itu mendekat, mengangkat daguku paksa. “Kamu nggak salah apa-apa, Neng. Tapi dosa orang tua itu kadang ditanggung anak-anaknya.”Aku semakin ngeri.
Aku duduk di sofa ruang tamu, masih menggenggam tangan Mahendra. Setelah kejadian tadi malam, kami memutuskan pulang ke rumah Mahendra, karena aku terlalu takut pulang sendiri. Mahendra terus menggenggam tanganku, seolah takut aku menghilang jika dia lengah sedetik saja.“Mas, aku masih nggak ngerti… kenapa semua ini harus kejadian sama kita?” tanyaku lirih.Mahendra menghela napas panjang. Matanya menerawang jauh, seolah mencoba menghubungkan semua kepingan puzzle masa lalu yang baru saja terbuka. “Aku juga nggak nyangka, Laila. Aku pikir masa lalu orang tua kita udah terkubur, tapi ternyata dendam mereka hidup sampai sekarang.”Suasana hening sesaat. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan tapi menambah rasa mencekam. Aku menyandarkan kepalaku di bahu Mahendra, mencoba mencari sedikit ketenangan di tengah kekacauan yang baru saja terjadi.Tiba-tiba, ponsel Mahendra bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Mau tau kenapa semua ini terjadi? Temui aku di mak
Pagi datang lebih cepat dari dugaanku. Aku terbangun dalam pelukan Mahendra, di sebuah gubuk kecil dekat kebun milik salah satu kenalan Mahendra di pinggiran desa. Semalam, setelah berhasil kabur dari kejaran Sarman, kami memutuskan untuk menginap di sini, mencari tempat yang aman sementara.“Mas…” Aku membisik pelan, mengelus pipinya yang penuh goresan kecil akibat berlari menembus semak-semak semalam.Mahendra membuka mata perlahan, senyumnya tipis tapi hangat. “Selamat pagi, calon istriku.”Jantungku berdegup kencang. Kata ‘calon istri’ itu membuat wajahku langsung merona.Baru saja aku ingin menjawab, tiba-tiba pintu gubuk diketuk keras. Kami berdua langsung terlonjak kaget. Mahendra buru-buru bangkit, melindungi tubuhku yang masih meringkuk di sudut.“Siapa?!” teriak Mahendra.Tak ada jawaban. Suasana hening, hanya terdengar suara angin dan gesekan daun bambu. Perlahan Mahendra membuka pintu, tapi tak ada siapapun di luar.Aku menghela napas lega, mengira itu hanya angin. Tapi be
Aku berlari sekuat tenaga, menyusuri jalan setapak yang penuh ranting dan batu tajam. Kakiku berkali-kali terpeleset, lututku lecet, tapi aku tak peduli. Nafasku berat, dada terasa sesak, tapi suara teriakan Sarman yang membahana di belakangku membuatku tak punya pilihan selain terus berlari.Di tengah kegelapan hutan, hanya cahaya bulan yang menjadi penerang. Udara malam terasa dingin menusuk, membuat bajuku yang basah kuyup semakin menggigilkan tubuhku.“Mahendra…” nama itu terus terucap lirih dari bibirku. Aku tak tahu bagaimana nasibnya sekarang. Apakah dia berhasil melawan Sarman? Atau malah—aku menggeleng cepat, menepis pikiran buruk itu.Tiba-tiba, langkahku terhenti. Di depan, berdiri sosok yang membuat jantungku nyaris copot. Aku langsung mundur selangkah, bersiap lari lagi, tapi suara lembutnya menahanku.“Laila… ini aku.”Mahendra.Aku langsung menubruknya, memeluknya erat seolah tak mau melepaskan lagi. “Mas! Kamu nggak apa-apa? Aku kira kamu—”Mahendra menempelkan telunju
Pagi itu, suasana di vila terasa sunyi, terlalu sunyi. Bahkan suara burung-burung yang biasa berkicau di pepohonan sekitar terasa asing di telingaku. Aku duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil memandangi jendela yang masih dipenuhi embun pagi. Udara dingin menusuk kulit, seolah mengingatkanku bahwa kenyataan yang kuhadapi jauh lebih menusuk daripada hawa pagi yang menusuk tulang.Reynand masih terlelap di sisi ranjang, wajahnya yang tampan tampak begitu tenang, kontras dengan badai yang berkecamuk di pikiranku. Semalam, setelah kejadian penculikan itu, kami memang berusaha saling menguatkan. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu bahwa ketakutan masa laluku kembali mengintai.Ketika aku hendak melangkah keluar kamar, ponsel Reynand bergetar di meja nakas. Awalnya aku tak berniat peduli, tapi nama yang tertera di layar membuat langkahku terhenti. "Diana." Satu nama yang begitu asing sekaligus familiar. Hatiku mencelos. Aku ingat betul, Diana adalah wanita dari masa lalu Reynand—wanita
Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamu… tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi—seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.“Lama tidak bertemu, Laura,” suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Kenapa kau di sini?”Dia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.“Kau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,” katanya sambil menatapku tajam. “Aku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat dulu… atau justru lebih lemah.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”Dia tertawa kecil. “Permainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan
Malam itu, suasana di sekitar mereka begitu mencekam. Angin bertiup kencang, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Langkah kaki yang terburu-buru menggema di gang sempit, memantulkan bayang-bayang mereka yang bergerak dengan waspada."Kita tidak bisa terus seperti ini. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita," bisik Adrian dengan napas terengah-engah.Laura menggigit bibirnya, matanya memantau sekitar. "Aku tahu. Tapi kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini. Aku tidak bisa lari tanpa jawaban."Tiba-tiba, ponsel Laura bergetar. Sebuah pesan anonim muncul di layar: *“Jangan percaya siapa pun. Bahkan dia yang kau pikir bisa melindungimu.”*Darah Laura berdesir. Siapa yang mengirim pesan ini? Dia menatap Adrian yang tengah memeriksa keadaan sekitar, kemudian menggenggam ponselnya erat.***Sementara itu, di tempat lain, seseorang sedang mengamati layar monitor dengan senyum penuh arti. Sosok pria bertubuh tegap dengan bekas luka di alisny
Aku bisa merasakan darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Udara di ruangan ini terasa semakin menekan. Aku berdiri di antara Adrian dan pria misterius itu, sementara para pria bersenjata yang baru saja masuk membentuk barisan di belakangnya."Apa yang sebenarnya kau inginkan?" suaraku terdengar lebih tajam dari yang kukira.Pria itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. "Aku hanya ingin memberimu jawaban, Laura. Jawaban yang selama ini kau cari."Aku mengepalkan tangan. "Kau bilang ayahku bukan orang yang selama ini kukira. Apa maksudmu?!"Dia menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat dengan langkah santai. "Ayahmu adalah bagian dari organisasi rahasia, Laura. Organisasi yang selama ini kau anggap musuh."Aku mencengkeram lengan Adrian dengan kuat, mencoba menenangkan diri."Kau bohong."Dia menggeleng pelan. "Aku tahu ini sulit diterima. Tapi kau harus tahu… bukan hanya ayahmu yang terlibat."Aku menatapnya tajam. "Maksudmu apa?"Dia menatapku dalam-dalam, lalu berka
Aku menatap pria di depanku dengan napas memburu. Cahaya bulan menyorot wajahnya, dan aku tak bisa mempercayai penglihatanku."Kau..." suaraku hampir bergetar. "Ini tidak mungkin. Kau seharusnya sudah mati."Dia hanya menyeringai, wajahnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya—hanya saja ada bekas luka panjang di pelipisnya, seakan membuktikan bahwa dia telah melalui sesuatu yang buruk."Kau benar-benar mengira aku mati?" suaranya terdengar penuh ejekan. "Kau naif sekali."Jantungku berdetak semakin cepat. Sierra, Adrian, dan Reynand masih bertarung di dalam rumah. Aku harus berpikir cepat."Apa maumu?" aku berusaha tetap tenang.Dia mendekat, berjongkok agar bisa menatapku lebih jelas. "Aku hanya ingin mengobrol. Kau tahu, tentang masa lalu kita. Dan... tentang bagaimana aku masih hidup."Aku merasakan dingin menjalar di tulang punggungku. Ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Dia ada di sini karena alasan tertentu.Sebelum aku bisa merespons, aku mendengar suara langkah k