Pagi datang lebih cepat dari dugaanku. Aku terbangun dalam pelukan Mahendra, di sebuah gubuk kecil dekat kebun milik salah satu kenalan Mahendra di pinggiran desa. Semalam, setelah berhasil kabur dari kejaran Sarman, kami memutuskan untuk menginap di sini, mencari tempat yang aman sementara.âMasâĶâ Aku membisik pelan, mengelus pipinya yang penuh goresan kecil akibat berlari menembus semak-semak semalam.Mahendra membuka mata perlahan, senyumnya tipis tapi hangat. âSelamat pagi, calon istriku.âJantungku berdegup kencang. Kata âcalon istriâ itu membuat wajahku langsung merona.Baru saja aku ingin menjawab, tiba-tiba pintu gubuk diketuk keras. Kami berdua langsung terlonjak kaget. Mahendra buru-buru bangkit, melindungi tubuhku yang masih meringkuk di sudut.âSiapa?!â teriak Mahendra.Tak ada jawaban. Suasana hening, hanya terdengar suara angin dan gesekan daun bambu. Perlahan Mahendra membuka pintu, tapi tak ada siapapun di luar.Aku menghela napas lega, mengira itu hanya angin. Tapi be
Aku berlari sekuat tenaga, menyusuri jalan setapak yang penuh ranting dan batu tajam. Kakiku berkali-kali terpeleset, lututku lecet, tapi aku tak peduli. Nafasku berat, dada terasa sesak, tapi suara teriakan Sarman yang membahana di belakangku membuatku tak punya pilihan selain terus berlari.Di tengah kegelapan hutan, hanya cahaya bulan yang menjadi penerang. Udara malam terasa dingin menusuk, membuat bajuku yang basah kuyup semakin menggigilkan tubuhku.âMahendraâĶâ nama itu terus terucap lirih dari bibirku. Aku tak tahu bagaimana nasibnya sekarang. Apakah dia berhasil melawan Sarman? Atau malahâaku menggeleng cepat, menepis pikiran buruk itu.Tiba-tiba, langkahku terhenti. Di depan, berdiri sosok yang membuat jantungku nyaris copot. Aku langsung mundur selangkah, bersiap lari lagi, tapi suara lembutnya menahanku.âLailaâĶ ini aku.âMahendra.Aku langsung menubruknya, memeluknya erat seolah tak mau melepaskan lagi. âMas! Kamu nggak apa-apa? Aku kira kamuââMahendra menempelkan telunju
Pagi itu, suasana di vila terasa sunyi, terlalu sunyi. Bahkan suara burung-burung yang biasa berkicau di pepohonan sekitar terasa asing di telingaku. Aku duduk di tepi ranjang, memeluk lutut sambil memandangi jendela yang masih dipenuhi embun pagi. Udara dingin menusuk kulit, seolah mengingatkanku bahwa kenyataan yang kuhadapi jauh lebih menusuk daripada hawa pagi yang menusuk tulang.Reynand masih terlelap di sisi ranjang, wajahnya yang tampan tampak begitu tenang, kontras dengan badai yang berkecamuk di pikiranku. Semalam, setelah kejadian penculikan itu, kami memang berusaha saling menguatkan. Tapi jauh di dalam hati, aku tahu bahwa ketakutan masa laluku kembali mengintai.Ketika aku hendak melangkah keluar kamar, ponsel Reynand bergetar di meja nakas. Awalnya aku tak berniat peduli, tapi nama yang tertera di layar membuat langkahku terhenti. "Diana." Satu nama yang begitu asing sekaligus familiar. Hatiku mencelos. Aku ingat betul, Diana adalah wanita dari masa lalu Reynandâwanita
Mobil yang kami tumpangi melaju kencang, tapi suasana di dalam mobil justru terasa canggung. Aku duduk diam sambil memeluk tas, sementara Reynand berkonsentrasi menyetir dengan wajah tegang. Aku tahu pikirannya dipenuhi berbagai masalah, tapi suasana hening ini malah bikin aku makin gugup.Aku meliriknya sekilas. âRey, kamu marah sama aku?â tanyaku pelan.Reynand melirikku cepat lalu tersenyum tipis. âKenapa aku harus marah?âAku mengangkat bahu. âYaâĶ tadi aku sempet nuduh kamu yang enggak-enggak. Aku nyesel.âReynand menepikan mobil ke bahu jalan tiba-tiba. Jantungku nyaris copot. âEh, kenapa berhenti?âReynand memutar tubuhnya menghadapku. Tiba-tiba dia meraih kedua pipiku, menangkupnya lembut. âSayang, aku ngerti kamu takut dan bingung. Kamu enggak salah kok. Aku malah bangga kamu berani ngomongin rasa curiga kamu langsung ke aku.âPipiku langsung panas. Ini cowok, kenapa bisa se-romantis itu sih? Aku menggigit bibir menahan senyum malu. âTapi aku nyesel udah mikir kamu selingkuh.â
Setelah insiden Maya yang basah kuyup disemprot Ayah, aku pikir masalah sudah selesai. Aku salah.Malam itu, aku dan Reynand duduk di teras rumah, menikmati udara desa yang sejuk. Ayah sudah tidur, sementara aku bersandar di bahu Reynand, menikmati ketenangan yang akhirnya datang setelah drama seharian.Tiba-tiba Reynand menarik napas panjang. âAiraâĶ ada sesuatu yang harus aku ceritain ke kamu.âAku langsung menegakkan tubuhku. Wajahnya serius, matanya menatap lurus ke depan.âAda apa?â tanyaku, mulai cemas.Reynand mengusap wajahnya dengan frustrasi. âAda seseorang dari masa lalu aku yang mungkin bakal ganggu kita lagi.âAku mengerutkan dahi. âSiapa?âReynand diam sejenak, lalu berkata pelan, âIbuku.âJantungku berhenti sejenak. âIbumu? BukannyaâĶ beliau sudah meninggal?âReynand menggeleng, senyumnya pahit. âItulah yang aku kira selama ini. Tapi aku baru dapat kabarâĶ dia masih hidup.âAku terdiam. IniâĶ kejutan yang sama sekali gak aku duga.âJadi selama ini dia di mana?â tanyaku hati
Setelah pertemuan dengan ibunya, Reynand diam sepanjang perjalanan pulang. Aku bisa merasakan betapa kacaunya pikirannya. Aku menggenggam tangannya yang masih berada di setir. âRey, kalau kamu mau bicaraâĶâ Dia menghela napas. âAku nggak tahu harus merasa apa sekarang.â Aku hanya menatapnya, memberi dia ruang untuk berbicara lebih jauh kalau dia mau. Begitu sampai di rumahnya, dia langsung melepas jas dan duduk di sofa dengan tangan menutupi wajah. Aku ikut duduk di sampingnya. âJadi selama ini aku hidup dengan kebohongan,â katanya pelan. âAku tumbuh dengan berpikir ibuku sudah mati. Ayahku selalu bilang dia meninggalkan kami karena nggak ingin terikat dengan keluarga.â Aku mengusap punggungnya pelan. âItu pasti berat buatmu.â Dia mengangguk. âDan sekarang, dia kembaliâĶ bilang kalau selama ini dia dipaksa pergi.â Dia menatapku, matanya penuh emosi. âAku nggak tahu harus percaya siapa.â Aku menggenggam tangannya. âKamu nggak harus buru-buru memutuskan. Ambil waktu yang k
Reynand menatap pria itu tajam, rahangnya mengeras. âSiapa kamu?âPria itu melirikku sekilas sebelum kembali menatap Reynand. âKita harus bicara. Ini tentang masa lalu keluargamu.âAku menggenggam lengan Reynand dengan cemas. âRey, hati-hati.âDia mengangguk, lalu melangkah keluar. Aku mengikuti dari belakang, tapi pria itu menatapku dengan ekspresi ragu. âIni sebaiknya antara aku dan dia.âAku langsung bersedekap. âMaaf, tapi kalau ini menyangkut Reynand, aku juga harus tahu.âReynand menatapku sejenak, lalu menghela napas. âApa pun yang kau katakan padaku, dia juga harus dengar.âPria itu mendesah, lalu mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari dalam jaketnya. âIniâĶâ Dia menyerahkannya pada Reynand. âBuka dan lihat sendiri.âDengan tangan gemetar, Reynand membuka amplop itu dan menarik keluar beberapa foto lama. Matanya membelalak saat melihat isinya.Aku mengintip dari samping. Foto-foto itu menunjukkan seorang priaâmirip Reynand, hanya saja lebih tuaâbersama seorang wanita yang terl
Malam itu, kami menonton film komedi romantis di sofa, tapi aku bisa merasakan bahwa pikiran Reynand masih kacau. Tangannya tetap menggenggam jemariku erat, seolah-olah aku adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap tenang.Aku mencuri pandang ke arahnya. Biasanya, dia selalu terlihat dingin dan terkendali, tapi malam iniâĶ dia tampak seperti seseorang yang sedang menahan beban berat di pundaknya."Rey," aku memanggil pelan. "Apa yang sebenarnya terjadi? Aku tahu kau mencoba bersikap tenang, tapi aku bisa merasakan kalau sesuatu mengganggumu."Dia menghela napas panjang, lalu menatapku. Matanya yang tajam kini tampak lebih lembut, tapi tetap menyimpan ketegangan."Aku baru saja mengetahui sesuatu tentang ayahku," katanya akhirnya. "Dan aku tidak tahu apakah aku siap untuk menerimanya."Aku menggenggam tangannya lebih erat. "Apa maksudmu?"Dia menoleh ke layar TV, menatap film tanpa benar-benar melihatnya. "Aku pikir selama ini ayahku adalah pria yang tegas tapi adil. Tapi ternyataâĶ
Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunyaâseseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamuâĶ tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagiâseseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.âLama tidak bertemu, Laura,â suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. âKenapa kau di sini?âDia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.âKau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,â katanya sambil menatapku tajam. âAku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat duluâĶ atau justru lebih lemah.âAku mengepalkan tangan. âAku tidak punya waktu untuk permainanmu.âDia tertawa kecil. âPermainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan
Malam itu, suasana di sekitar mereka begitu mencekam. Angin bertiup kencang, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Langkah kaki yang terburu-buru menggema di gang sempit, memantulkan bayang-bayang mereka yang bergerak dengan waspada."Kita tidak bisa terus seperti ini. Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita," bisik Adrian dengan napas terengah-engah.Laura menggigit bibirnya, matanya memantau sekitar. "Aku tahu. Tapi kita harus memastikan dulu siapa yang benar-benar ada di belakang semua ini. Aku tidak bisa lari tanpa jawaban."Tiba-tiba, ponsel Laura bergetar. Sebuah pesan anonim muncul di layar: *âJangan percaya siapa pun. Bahkan dia yang kau pikir bisa melindungimu.â*Darah Laura berdesir. Siapa yang mengirim pesan ini? Dia menatap Adrian yang tengah memeriksa keadaan sekitar, kemudian menggenggam ponselnya erat.***Sementara itu, di tempat lain, seseorang sedang mengamati layar monitor dengan senyum penuh arti. Sosok pria bertubuh tegap dengan bekas luka di alisny
Aku bisa merasakan darahku berdesir lebih cepat dari biasanya. Udara di ruangan ini terasa semakin menekan. Aku berdiri di antara Adrian dan pria misterius itu, sementara para pria bersenjata yang baru saja masuk membentuk barisan di belakangnya."Apa yang sebenarnya kau inginkan?" suaraku terdengar lebih tajam dari yang kukira.Pria itu tersenyum kecil, seolah menikmati situasi ini. "Aku hanya ingin memberimu jawaban, Laura. Jawaban yang selama ini kau cari."Aku mengepalkan tangan. "Kau bilang ayahku bukan orang yang selama ini kukira. Apa maksudmu?!"Dia menghela napas pelan, lalu berjalan mendekat dengan langkah santai. "Ayahmu adalah bagian dari organisasi rahasia, Laura. Organisasi yang selama ini kau anggap musuh."Aku mencengkeram lengan Adrian dengan kuat, mencoba menenangkan diri."Kau bohong."Dia menggeleng pelan. "Aku tahu ini sulit diterima. Tapi kau harus tahuâĶ bukan hanya ayahmu yang terlibat."Aku menatapnya tajam. "Maksudmu apa?"Dia menatapku dalam-dalam, lalu berka
Aku menatap pria di depanku dengan napas memburu. Cahaya bulan menyorot wajahnya, dan aku tak bisa mempercayai penglihatanku."Kau..." suaraku hampir bergetar. "Ini tidak mungkin. Kau seharusnya sudah mati."Dia hanya menyeringai, wajahnya masih sama seperti terakhir kali aku melihatnyaâhanya saja ada bekas luka panjang di pelipisnya, seakan membuktikan bahwa dia telah melalui sesuatu yang buruk."Kau benar-benar mengira aku mati?" suaranya terdengar penuh ejekan. "Kau naif sekali."Jantungku berdetak semakin cepat. Sierra, Adrian, dan Reynand masih bertarung di dalam rumah. Aku harus berpikir cepat."Apa maumu?" aku berusaha tetap tenang.Dia mendekat, berjongkok agar bisa menatapku lebih jelas. "Aku hanya ingin mengobrol. Kau tahu, tentang masa lalu kita. Dan... tentang bagaimana aku masih hidup."Aku merasakan dingin menjalar di tulang punggungku. Ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Dia ada di sini karena alasan tertentu.Sebelum aku bisa merespons, aku mendengar suara langkah k