"Bu, kenapa belum ada makanan? Apa wanita sialan itu belum memasak untuk kita?" tanya Echa sambil kedua tangan melipat di dada.
"Hah, benarkah? Sialan sekali wanita itu!" "Veronika!" teriak Margareth sambil memasuki dapur rumahnya. "Apa kau tuli, hah?" "Tck. Kemana wanita tidak berguna ini?" tanya Margareth sambil tangannya bergerak menumpahkan air ke dalam gelas. Ia memiliki niat untuk menyiramkan air itu pada Veronika. Segera, Margareth menaiki tangga menuju kamar Veronika. Setibanya di depan pintu kamar, tanpa mengetuk atau melakukan apa pun, Margareth menendang pintu kamar tersebut hingga terbuka dengan keras. Mendapati sebuah tali yang terikat kuat pada tiang ranjang, Margareth langsung memeriksa semua isi lemari Veronika, yang ternyata hanya tersisa pakaian sedikit saja. "Sialan! Wanita itu rupanya berani kabur dari sini," ucap Margareth, wajahnya memerah karena emosi. "Sayang!" teriak Margareth, mengejutkan Demon yang tengah berada di dalam kamar. "Ada apa, Sayang? Kenapa kau berteriak keras sepagi ini?" tanya Demon, keningnya mengerut bingung. "Veronika! Dia kabur dari rumah ini, Ayah!" kata Echa, mengejutkan Demon. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Echa lagi. "Kabur? Jangan bercanda kalian berdua. Tidak mungkin anak itu berani kabur dari rumah ini. Mau tinggal di mana lagi, memangnya dia?!" ucap Demon, menunjukkan raut ketidakpercayaan. "Terserah jika Ayah tidak percaya, tapi kenyataannya, wanita itu memang telah pergi dari sini," ucap Echa, tidak ingin berdebat dengan ayahnya. Mendengar itu, tentu saja Demon tidak kalah marahnya akibat ulah Veronika yang begitu berani meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan siapa pun. "Jika aku berhasil menemui anak itu, maka kupastikan akan menyeretnya kembali ke sini," ucap Demon, yang tidak akan membiarkan Veronika bebas darinya. "Ayah memang harus menyeret wanita itu ke mari," sambung Margareth, yang langsung mendapat anggukan dari Echa. "Baiklah, Sayang. Kalau begitu, aku akan kembali ke kamar untuk menghubungi seseorang yang bisa membantuku menemukan Vero," ucap Demon, segera berlenggang pergi menuju kamarnya. Di sisi lain, di depan sebuah bangunan besar milik Rudiarth Company, kini Veronika tengah berdiri diam sambil menatap sebuah poster. Poster itu menampilkan informasi bahwa perusahaan Rudiarth tengah membutuhkan seorang sekretaris. Tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung menghubungi nomor yang tertera. Dari panggilan, Veronika diminta untuk datang dengan membawa surat lamaran dan CV, yang nantinya akan diserahkan kepada CEO di perusahaan tersebut. Dengan langkah yang gugup, Veronika mulai menginjakkan kakinya di perusahaan besar itu dan langsung ke bagian resepsionis. "Selamat pagi, maaf mengganggu waktu Anda. Kedatangan saya kesini untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris," ucap Veronika. "Pagi juga, Nona! Silakan menunggu sebentar, saya akan menghubungi Tuan Aldrich." Mendengar itu, Veronika mengangguk. Sambil menunggu, Veronika menatap ke sekeliling, memandangi betapa indahnya desain interior perusahaan tersebut. Tak lama kemudian, resepsionis itu memanggil, "Nona, silakan naik ke lantai empat untuk menemui Tuan Aldrich. Beliau adalah direktur utama yang akan memutuskan apakah lamaran pekerjaan Anda diterima atau tidak," ucap resepsionis itu. Tak menyia-nyiakan waktu, Veronika segera memasuki lift. Setelah lift tertutup, ia mulai mengatur napas sambil meremas jari-jemarinya—rasa gugup benar-benar menguasai. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Veronika sudah berada di lantai empat, tempat di mana ruangan direktur berada. Di dalam... "Apakah wanita yang ingin melamar sebagai sekretaris itu kau?" tanya Aldrich, matanya menyipit memandangi Veronika. Veronika mengangguk pelan, menjawab dengan lirih, "Iya," sambil menundukkan pandangan. "Angkat kepalamu jika berbicara, dan tatap lawan bicaramu!" perintah Aldrich, yang membuat Veronika segera melaksanakannya. Aldrich menatap Veronika sejenak, lalu beralih menatap CV wanita itu. "Baiklah! Karena kau memenuhi semua kriteria untuk menjadi sekretaris, maka aku terima lamaranmu. Mulai besok, kau sudah bisa mulai bekerja," ucap Aldrich, yang langsung disambut senyum merekah dari Veronika. "Terima kasih, Tuan. Saya akan bekerja dengan sangat baik," ucap Veronika, yang langsung diangguki. "Besok adalah pertemuan pertamamu dengan CEO di perusahaan ini. Aku minta kamu untuk tidak terlambat datang, karena CEO kita sangat membenci keterlambatan," peringat Aldrich tegas. "Baik, Tuan. Saya akan berusaha untuk tidak membuat kesalahan di hari pertama saya bekerja," jawab Veronika. "Baiklah, sepertinya tidak ada lagi yang perlu saya bicarakan. Selamat bergabung di perusahaan kami," ucap Aldrich. "Terima kasih, Tuan. Kalau begitu, saya permisi," ucap Veronika, lalu bergegas keluar dari ruangan tersebut. Tanpa ingin berlama-lama menikmati kebahagiaan di dalam gedung kantor Rudiarth yang megah, Veronika segera melangkah keluar, merasakan angin sore yang lembut menerpa wajahnya. Ia memilih berjalan kaki saja ke tempat tinggal sementaranya yang tidak terlalu jauh. Namun, di tengah keasyikannya berjalan, Veronika mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Sekelompok laki-laki yang berada di belakangnya tampak seperti sedang mengikutinya. Merasa waspada dan ketakutan, Veronika pun segera mempercepat langkah, sembari sesekali menoleh ke belakang. Jantungnya berdebar kencang, dan pikirannya mulai dipenuhi rasa cemas. Ia menduga, para pria itu bukanlah orang asing. Bisa jadi mereka adalah suruhan dari paman dan bibinya—dua orang yang selama ini selalu ingin mengendalikan hidupnya. Dengan langkah yang semakin cepat, Veronika berusaha menghilangkan bayang-bayang kekhawatiran yang terus membayangi, meskipun rasa takut itu kian menyesakkan. Dalam ketidaksadaran Vero akan lingkungan sekitar, ia tidak memperhatikan seorang pria yang tengah berjalan dari arah berlawanan di koridor. Tubuh Veronika yang gemetar tanpa sengaja menabrak dada bidang seorang pria. Sontak, Veronika merasa tubuhnya akan segera terjatuh, namun pria itu dengan sigap menahan pinggangnya dengan tangan yang kuat. Refleks, Veronika mendekap pria tersebut untuk mencari keseimbangan. Dalam situasi yang singkat namun intens itu, mata Veronika bertemu dengan mata pria asing tersebut. Ada sorot membunuh yang sempat terlintas di matanya—dingin dan tajam—namun sekejap kemudian berganti menjadi tatapan lembut, seolah ingin menenangkan. Napas Veronika tercekat. Bukan karena takut, melainkan karena perasaan asing yang mulai tumbuh di dadanya—perasaan yang sulit dijelaskan—saat pria itu masih memegangi tubuhnya erat, seperti sedang melindunginya dari dunia. "Terima kasih, Tuan. Kalau boleh..." ucap Veronika lirih, suara gugupnya menyatu dengan degup jantung yang belum juga tenang. Namun, belum lagi pria itu menjawab ucapannya, ia berlalu pergi begitu saja. Veronika dibuat bingung karenanya. "Pria yang aneh!" gumam Veronika sambil melangkah memasuki kamar apartemennya. Ia menutup pintu, melemparkan tas ke sofa, lalu menuju dapur untuk menuang segelas air. Di luar apartemennya, pria tadi berdiri beberapa meter dari pintu, menyunggingkan senyum tipis. Matanya menatap pintu yang baru saja tertutup rapat, seolah-olah menyimpan rahasia yang hanya dia dan takdir yang tahu. "Aku akhirnya menemukanmu..." bisik pria itu pelan."Argh! Aku terlambat!" pekik Veronika sambil melompat turun dari tempat tidurnya. "Dasar bodoh! Bisa-bisanya aku terlambat di hari pertamaku bekerja. Aku bisa mampus dimarahi habis-habisan oleh atasanku." Dengan gerak cepat, Vero meluncur memasuki kamar mandi. Wanita itu membersihkan diri ala kadarnya. Waktu ke kantor begitu mepet, belum lagi ia harus menunggu taksi jemputan. Sambil mengenakan pakaiannya, Vero sesekali menatap jam. Ia begitu takut dimarahi oleh atasannya. Benar-benar memalukan bagi Vero jika harus menjadi pusat perhatian di kantor karena keterlambatannya itu. Usai dengan semuanya, Vero bergegas keluar dari kamar apartemen sambil memesan taksi. Beruntung, ia tidak perlu menunggu lama sampai taksi itu datang menjemputnya. "Tolong secepatnya antar aku ke perusahaan Rudiarth Company, Pak! Aku benar-benar terlambat!" kata Vero dengan wajah memelas. "Semoga saja tidak macet, Nona!" katanya sambil menatap Vero dari kaca spion. Mendengarnya, membuat Vero mengangguk. °°°
Veronika duduk membeku di dalam mobil yang terparkir di depan restoran, mata terus menatap ke pintu masuk. Napasnya berat, detak jantungnya berpacu saat dia melihat atasannya meninggalkan mobil. "Aku takut," bisiknya lirih, "Kalau Echa tahu aku di sini, dia pasti akan cerita ke paman dan bibi." Napas Veronika memburu, rasa cemas menyelimuti seluruh pikirannya. Jemari Veronika bergerak tak karuan, meremas-remas ujung baju. Kulit wajahnya memutih, bagai tersapu kabut ketakutan saat memikirkan kembali ke rumah yang selama ini ia sebut neraka itu. "Naren, aku bisa hadapi, tapi Echa... itu yang tak bisa ku terima," gumamnya dalam hati, seraya menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Di tengah lamunannya, suara pintu mobil yang tertutup keras membuat Veronika terkejut bukan main. Ia lantas menatap ke arah atasannya, yang membungkuk untuk menatapnya. Tatapan atasannya begitu tajam, membuat Veronika takut. Namun, ia tidak dapat membohongi dirinya kalau atasannya itu memiliki pesona
Seorang wanita cantik, kini tengah mematut dirinya di depan cermin yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu, dia adalah Veronika Anastasia. Kini, Veronika tengah menatap refleksi dirinya di cermin dengan sorot mata yang penuh kesedihan. Rambut panjangnya yang tergerai indah dan kulitnya yang putih bersih seharusnya menjadi sumber kebanggaan, namun bagi Veronika, itu adalah kutukan. Di sudut kamarnya, Vero bisa merasakan aura kelam yang selalu mengikuti kecantikannya. Paman, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengganti ayah kandungnya yang telah meninggal, kini berubah menjadi ancaman terbesar. Pada setiap kesempatan, pamannya selalu mencari cara untuk mendekati Veronika dengan niat yang tidak terpuji. Wanita malang itu sering kali harus mengunci pintu kamarnya, bersembunyi di balik lemari, atau bahkan melompat keluar jendela hanya untuk menghindari tangan jahat paman yang selalu mencoba merenggut kesuciannya. Di depan cermin, air mata Veronika menetes, membasahi pipinya yang mu
Veronika duduk membeku di dalam mobil yang terparkir di depan restoran, mata terus menatap ke pintu masuk. Napasnya berat, detak jantungnya berpacu saat dia melihat atasannya meninggalkan mobil. "Aku takut," bisiknya lirih, "Kalau Echa tahu aku di sini, dia pasti akan cerita ke paman dan bibi." Napas Veronika memburu, rasa cemas menyelimuti seluruh pikirannya. Jemari Veronika bergerak tak karuan, meremas-remas ujung baju. Kulit wajahnya memutih, bagai tersapu kabut ketakutan saat memikirkan kembali ke rumah yang selama ini ia sebut neraka itu. "Naren, aku bisa hadapi, tapi Echa... itu yang tak bisa ku terima," gumamnya dalam hati, seraya menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Di tengah lamunannya, suara pintu mobil yang tertutup keras membuat Veronika terkejut bukan main. Ia lantas menatap ke arah atasannya, yang membungkuk untuk menatapnya. Tatapan atasannya begitu tajam, membuat Veronika takut. Namun, ia tidak dapat membohongi dirinya kalau atasannya itu memiliki pesona
"Argh! Aku terlambat!" pekik Veronika sambil melompat turun dari tempat tidurnya. "Dasar bodoh! Bisa-bisanya aku terlambat di hari pertamaku bekerja. Aku bisa mampus dimarahi habis-habisan oleh atasanku." Dengan gerak cepat, Vero meluncur memasuki kamar mandi. Wanita itu membersihkan diri ala kadarnya. Waktu ke kantor begitu mepet, belum lagi ia harus menunggu taksi jemputan. Sambil mengenakan pakaiannya, Vero sesekali menatap jam. Ia begitu takut dimarahi oleh atasannya. Benar-benar memalukan bagi Vero jika harus menjadi pusat perhatian di kantor karena keterlambatannya itu. Usai dengan semuanya, Vero bergegas keluar dari kamar apartemen sambil memesan taksi. Beruntung, ia tidak perlu menunggu lama sampai taksi itu datang menjemputnya. "Tolong secepatnya antar aku ke perusahaan Rudiarth Company, Pak! Aku benar-benar terlambat!" kata Vero dengan wajah memelas. "Semoga saja tidak macet, Nona!" katanya sambil menatap Vero dari kaca spion. Mendengarnya, membuat Vero mengangguk. °°°
"Bu, kenapa belum ada makanan? Apa wanita sialan itu belum memasak untuk kita?" tanya Echa sambil kedua tangan melipat di dada. "Hah, benarkah? Sialan sekali wanita itu!" "Veronika!" teriak Margareth sambil memasuki dapur rumahnya. "Apa kau tuli, hah?" "Tck. Kemana wanita tidak berguna ini?" tanya Margareth sambil tangannya bergerak menumpahkan air ke dalam gelas. Ia memiliki niat untuk menyiramkan air itu pada Veronika. Segera, Margareth menaiki tangga menuju kamar Veronika. Setibanya di depan pintu kamar, tanpa mengetuk atau melakukan apa pun, Margareth menendang pintu kamar tersebut hingga terbuka dengan keras. Mendapati sebuah tali yang terikat kuat pada tiang ranjang, Margareth langsung memeriksa semua isi lemari Veronika, yang ternyata hanya tersisa pakaian sedikit saja. "Sialan! Wanita itu rupanya berani kabur dari sini," ucap Margareth, wajahnya memerah karena emosi. "Sayang!" teriak Margareth, mengejutkan Demon yang tengah berada di dalam kamar. "Ada apa, Sayang
Seorang wanita cantik, kini tengah mematut dirinya di depan cermin yang berada di dalam kamarnya. Wanita itu, dia adalah Veronika Anastasia. Kini, Veronika tengah menatap refleksi dirinya di cermin dengan sorot mata yang penuh kesedihan. Rambut panjangnya yang tergerai indah dan kulitnya yang putih bersih seharusnya menjadi sumber kebanggaan, namun bagi Veronika, itu adalah kutukan. Di sudut kamarnya, Vero bisa merasakan aura kelam yang selalu mengikuti kecantikannya. Paman, yang seharusnya menjadi pelindung dan pengganti ayah kandungnya yang telah meninggal, kini berubah menjadi ancaman terbesar. Pada setiap kesempatan, pamannya selalu mencari cara untuk mendekati Veronika dengan niat yang tidak terpuji. Wanita malang itu sering kali harus mengunci pintu kamarnya, bersembunyi di balik lemari, atau bahkan melompat keluar jendela hanya untuk menghindari tangan jahat paman yang selalu mencoba merenggut kesuciannya. Di depan cermin, air mata Veronika menetes, membasahi pipinya yang mu