Nada bicara Gavin tegas dan mendominasi. Dia tidak memberikan Luna kesempatan untuk menolak, dia langsung bangkit dan pergi ke kamar mandi.Sebelum Luna tersadar, ponselnya berdering.Ibunya, Mila Effendi menelepon.Luna menjawab telepon, lalu berjalan ke arah sofa dan duduk."Ibu, ada apa?""Luna, kamu di mana? Kenapa malam ini kamu nggak datang ke rumah sakit untuk menjenguk adikmu?""Aku sedang dinas, besok sore baru pulang. Karena besok pagi masih harus pergi ke Kota Bantar."Sebagai sekretaris Gavin, dua atau tiga hari dalam sebulan dia harus mengikuti Gavin melakukan perjalanan bisnis.Dia sudah terbiasa."Oh, ternyata begitu. Bibi Sinta punya anak laki-laki yang bertugas di ketentaraan. Besok, dia akan kembali. Dia lumayan tampan dan sangat berbakti. Aku mau suruh kamu pergi menemuinya."Ini adalah keempat kalinya dia berkencan buta dalam bulan ini.Namun, dia tidak bisa menyalahkan ibunya.Sekarang, dia sudah berusia 28 tahun. Teman-teman yang sebaya dengannya sudah melahirkan
Ponsel di tangan Luna masih berdering. Dia menatap wajah Gavin dan perlahan-lahan termenung.Tanpa sadar, dia kembali teringat akan kejadian malam itu.Di tengah pikirannya mengembara, Gavin yang berada di sofa sudah membuka mata.Begitu membuka mata, Gavin melihat Luna sedang menatapnya. Saat ini, wajah Luna pun memerah.Entah sudah berapa kali Luna menatapnya bulan ini.Dia sudah bangun, tetapi Luna masih menatapnya.Sepasang tangannya berada di atas perut. Seketika, dia ingin mengulurkan tangan untuk memeluk Luna.Namun, dia mengetahui sifat Luna. Kalau dia bertindak seperti itu, Luna pasti akan menjauhinya.Jadi, dia terpaksa mengurungkan keinginannya.Sekarang, Luna sudah mengandung anaknya. Dia harus bersabar dan tidak boleh membuat Luna merasa tidak nyaman.Segala sesuatu ada prosesnya."Bu Luna?" Gavin membuka bibirnya untuk memanggil Luna.Luna tersadar. "Ya? Pak Gavin, kamu sudah bangun? Adikmu menelepon, cepat telepon balik."Dia menyerahkan ponsel itu pada Gavin.Gavin meng
Luna berjalan ke arah ruang ganti dan melihat lemari dipenuhi dengan berbagai jenis pakaian.Bahkan terdapat banyak baju hamil.Dia bertanya pada Umar, lalu Umar pun menjelaskan bahwa pakaian hamil itu disiapkan untuk semua tahap kehamilan.Selain itu, tersedia banyak jenis sepatu datar.Luna memasuki ruang ganti, lalu menyadari semua pakaian dan sepatu yang tersedia berasal dari merek terkenal.Selama hidup lebih dari 20 tahun, Luna tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan memiliki pakaian-pakaian ini.Luna mengerutkan kening. Dia menatap Umar sambil bertanya, "Pak Umar, kenapa Pak Gavin membelikan begitu banyak pakaian dan sepatu untukku?"Gavin sudah berjanji akan mengundang dokter terbaik di dunia untuk menangani operasi adiknya. Selain itu, Gavin juga membayar semua biaya operasi adiknya. Kalau dipikir-pikir, seharusnya Gavin tidak perlu membelikan begitu banyak barang untuknya.Namun, Gavin malah menyiapkan segala sesuatu untuknya.Umar menyilangkan jari-jarinya sambil menata
"Kamu nggak mau tidur denganku?" tanya Gavin dengan lantang. Sepasang matanya yang tajam tertuju pada Luna. Menghadapi tatapan ini, Luna pun gugup.Apa masih perlu ditanyakan?Mereka bukan suami istri sungguhan. Mereka hanya menikah karena anak dan tidak memiliki perasaan pada satu sama lain. Bukankah terlalu canggung untuk tidur bersama?"Pak Gavin, aku nggak terbiasa tidur dengan orang lain."Gavin berdiri, lalu melangkah ke hadapan Luna. Hanya dengan berdiri di hadapan Luna, auranya yang mencekam terpancar dari sekujur tubuhnya.Untungnya, Luna sudah bekerja sebagai sekretarisnya selama setengah tahun dan mengetahui karakternya. Oleh karena itu, Luna tidak menunjukkan rasa takut.Gavin berdiri di hadapan Luna, tatapannya tertuju pada wajah Luna. Di bola matanya yang gelap, terukir wajah Luna yang selalu dia pikirkan."Kamu sedang hamil, butuh seseorang buat jaga kamu. Jangan khawatir, aku nggak akan menyentuhmu. Pergilah beristirahat, nanti aku akan memanggilmu.""..."Aku tidak aka
Mendengar SMA Lavia di Kota Jarsa, Nisa teringat akan suatu hal.Sudut bibirnya otomatis terangkat, bahkan matanya pun dibaluti dengan senyuman."Mungkin ini adalah takdir.""Takdir apaan?" Shilla tidak memahami maksud Nisa."Wajar kalau kamu nggak tahu. Dulu, kakakmu satu SMA dengan Luna. Kelas mereka bersebelahan.""Apa? Mereka teman sekolah?" Shilla kaget. Karena dia tidak menyangka bahwa Luna dan Gavin pernah sekolah di SMA yang sama."Sudah kubilang nama Luna sangat familier. Kalau kamu nggak sebut SMA Lavia, aku nggak akan ingat kejadian itu.""Jadi, mereka pernah pacaran waktu SMA?" Shilla duduk di samping ranjang dengan penasaran.Setahu Shilla, sekalipun Gavin tinggal di luar negeri selama bertahun-tahun, dia tidak pernah pacaran.Dia mengira Gavin akan melajang seumur hidup.Kalau Gavin pernah pacaran saat SMA, hal itu membuktikan bahwa pandangan Shilla salah."Pacaran apaan? Dulu, kakakmu naksir dengan Luna. Dia mengejar Luna selama setahun, tapi nggak diterima."Mendengar p
Luna masuk ke dalam mobil. Setelah Riko menyalakan mobil, dia baru mengeluarkan perjanjian pranikah dari tasnya dan menyerahkan dokumen itu pada Gavin."Pak Gavin, ini perjanjian pranikah, silakan lihat.""Ya."Gavin mengulurkan tangannya yang ramping untuk mengambil perjanjian pranikah yang diberikan Luna, lalu membaca dokumen itu.Terdapat banyak ketentuan di dalamnya, tetapi perhatian Gavin tertuju pada ketentuan nomor 12.Bercerai setelah melahirkan anak.Bercerai?Mereka baru saja menikah, Luna sudah berencana untuk menceraikannya?Jangan-jangan, sebelumnya Luna menikah dengannya hanya untuk mengobati Moris?Ini juga adalah anaknya, bagaimana boleh dia sekejam itu?Bukankah sebagian besar ibu akan melakukan apa pun untuk memiliki anak?Atau Luna tidak memiliki perasaan apa pun pada Gavin, hanya ingin menyelamatkan adiknya?Terdapat halaman kedua di balik halaman ini.Hanya tertera satu ketentuan di halaman tersebut. "Kalau wanita ingin mengunjungi anak, pria tidak boleh menolak."
Di tengah perjalanan kembali ke Kompleks Ansari, ponsel Gavin berdering.Temannya, Nathan Dargo menelepon.Gavin bersandar di kursi, lalu menjawab panggilan."Gavin, sudah kuatur. Kapan kamu berencana membawanya datang ke sini?" Terdengar suara Nathan dari ujung lain telepon."Besok pagi.""Oke, kabari aku, aku akan turun untuk menjemput kalian.""Oke."Gavin mengakhiri panggilan, lalu menatap Luna yang duduk di sampingnya, "Besok pagi, aku temani kamu pergi ke rumah sakit untuk mengurus berkas."Sekarang, Luna dan Gavin sudah mendaftarkan pernikahan. Jadi, mereka bisa membawa surat nikah pergi ke rumah sakit untuk mengurus berkas kehamilan."Nggak usah, aku bisa sendiri.""Yakin nggak perlu kutemani?""Nggak perlu, cuma urus berkas, aku bisa sendiri."Luna tahu besok pagi Gavin akan menghadiri rapat multinasional. Rapat ini sangat penting dan tidak boleh dilewatkan.Dia adalah sekretaris Gavin. Kalau dia tidak hadir, para staf di kantor sekretaris pasti akan membicarakannya.Setelah d
Nathan bekerja di rumah sakit. Dia kenal dengan staf Departemen Ginekologi dan sudah membuat jadwal, mereka tidak perlu mengantre seperti pasien lainnya.Dalam waktu kurang dari dua jam, proses pembuatan berkas sudah selesai.Nathan mengantar Luna ke pintu keluar rumah sakit, lalu menyerahkan buku panduan kesehatan ibu hamil dan asam folat kepada Luna."Ke depannya, suruh Gavin temani kamu periksa kandungan tepat waktu. Selain itu, jangan lupa konsumsi asam folat," kata Nathan sambil tersenyum."Oke, aku nggak akan lupa." Luna tampak sangat tenang, dia tersenyum ramah.Nathan melipat tangannya sambil menatap Luna dengan penasaran. "Kamu sekretarisnya? Kok kalian bisa bersama?"Nathan sudah lama ingin menanyakan hal ini.Karena situasi di dalam rumah sakit sangat ramai, dia mengurungkan niatnya."Ini ...." Luna mengerutkan bibirnya. Seketika, dia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan ini.Melihatnya begitu tertekan, Nathan pun mengalihkan topik pembicaraan.Dia berkata sambil t
Para tamu yang menghadiri pesta hari ini berasal dari kalangan sosialita.Karena Luna akan hadir bersama Gavin, Gavin tidak akan membiarkannya mempermalukan diri sendiri.Jadi, selain membelikan pakaian untuk Luna, dia juga menyewa penata rias untuk Luna.Satu jam kemudian, Luna muncul di hadapan Gavin dengan mengenakan gaun panjang berwarna sampanye.Wajahnya yang dirias dengan rapi tampak sangat menawan.Luna berjalan ke hadapan Gavin sambil tersenyum cerah. Senyuman ini menyebar di seluruh wajahnya, bahkan sudut matanya pun sedikit terangkat.Ketika melihatnya, jantung Gavin berdebar kencang. Dia termenung dan hampir tidak bisa mengendalikan diri."Pak Gavin, bagaimana menurutmu?" tanya Luna sambil tersenyum tipis."Sangat cantik. Gavin berdiri, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Seberkas cahaya lembut melintas di matanya. "Ayo.""Ya." Luna mengangguk, lalu berjalan mengikuti Gavin.Setelah masuk ke dalam mobil dan mobil sudah melaju di jalan raya, Luna bertanya, "Pak Ga
Pesta ulang tahun berlangsung pada malam hari. Sore hari, Luna masih perlu kembali ke kantor. Jadi, dia memakai kembali pakaiannya.Setelah membayar tagihan dan membawa barang belanjaan Luna, Gavin mengajaknya kembali ke mobil.Riko langsung berkendara menuju Grup Harris.Luna kembali ke kantor sekretaris. Ketika dia baru selesai bekerja, Mila meneleponnya.Mila meneleponnya di saat seperti ini, jangan-jangan karena James memberi tahu Mila soal pernikahan dan kehamilannya?Luna menjawab panggilan itu dengan gugup.Sebelum dia berbicara, terdengar suara nyaring Mila dari ujung lain telepon."Luna! James bilang kamu sudah hamil? Sudah menikah? Kapan?"Hati Luna tersentak, amarahnya pun meluap.James sungguh berengsek, bisa-bisanya memberitahukan hal ini pada ibunya.Menyebalkan."Nggak, aku bohongi dia.""Kenapa kamu bohongi dia? Luna, sekalipun kamu berdoa setiap hari, kamu nggak akan bisa temukan pria sebaik dia. Selain itu, kamu menolaknya dengan alasan seperti ini, apa Ibu masih bisa
"Apa ukuran Anda? Biar saya ambilkan ukuran Anda," tanya pelayan toko itu dengan sopan.Luna berkata, "Nggak usah, aku sedang hamil, nggak bisa pakai gaun seperti ini."Pelayan toko itu tersenyum cerah. "Ternyata Anda istri bapak itu. Maaf, Anda terlalu cantik. Saya kira Anda adalah pacarnya."Pelayan toko ini sungguh pandai berbicara.Gavin kembali. Dia melirik gaun di tangan pelayan toko, lalu menatap Luna sambil bertanya, "Nggak cocok?"Luna mengangguk, "Ya, agak ketat."Gavin menatap pelayan toko itu dengan tenang. "Pilihkan baju yang lebih longgar, dia sedang hamil."Pelayan itu menjawab sambil tersenyum, "Baik, Pak."Pelayan toko itu mengangguk, lalu pergi memilihkan gaun untuk Luna.Sebenarnya, ukuran gaun itu sudah pas. Apalagi dia baru hamil, perutnya belum membesar, gaun itu cocok di badannya.Luna tidak ingin membelinya karena harganya terlalu marah.Luna tidak berani memakai gaun semahal itu.Luna mengerutkan kening sambil berkata pada Gavin dengan heran, "Pak Gavin, nggak
"Pak Gavin, aku ingat." Luna mengerutkan keningnya dengan waspada."Ayo pergi." Gavin bangkit dan meninggalkan ruangan.Luna mengikutinya dari belakang.Mobil diparkir di luar restoran, Gavin membuka pintu. Setelah Luna masuk ke dalam mobil, dia pun masuk.Ketika Riko sedang berkendara menuju perusahaan, terdengar suara Gavin dari belakang."Pergi ke Harbor Plaza.""Baik, Pak Gavin," jawab Riko. Kemudian, dia melaju menuju pusat perbelanjaan Harbor Plaza.Awalnya, Luna ingin menanyakan tujuan mereka pergi ke Harbor Plaza. Namun, mengingat betapa marahnya Gavin tadi, dia tidak berani bertanya.Di tengah perjalanan, Gavin tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresinya sangat serius, alisnya berkerut hebat dan sorot matanya sangat dingin.Melihat sikapnya ini, Luna makin tidak berani bertanya.Mobil segera tiba di Harbor Plaza.Riko membuka pintu mobil. Setelah Luna keluar, Gavin pun keluar dari sisi lain."Ikut aku," kata Gavin dengan nada dingin."Baik." Luna mengikutinya.Aneh sekali.
Mila pernah tersakiti dalam hubungan percintaan. Kalau dia tahu mereka akan bercerai, dia pasti tidak bisa menerima hal ini.Cepat atau lambat, mereka akan bercerai. Jadi, kenapa dia harus memberi tahu Mila?Melihat ekspresi Luna, Gavin menarik napas dalam-dalam dan mengusap keningnya. Sepertinya dia tidak bisa memaksa Luna."Ini adalah terakhir kalinya, jangan sampai terulang."Luna seolah-olah mendapatkan pengampunan, sarafnya yang tegang pun kembali rileks."Jangan khawatir, Pak Gavin. Kujamin nggak akan terjadi lagi.""Sudah makan?" Tatapan Gavin padanya menjadi lebih rileks dan tidak semenakutkan sebelumnya lagi."Sudah makan," jawab Luna dengan jujur."Ayo pergi." Gavin bangkit dan keluar. Namun, dia tidak meninggalkan restoran, melainkan pergi ke ruangan tempat Nathan dan yang lainnya berada.Luna berdiri di depan pintu. Ketika melihat Timo, Nathan dan yang lainnya, dia pun tercengang.Dia mengira Gavin datang dengan keluarga atau bos perusahaan lain. Tak disangka, Gavin datang
Luna bersandar ke dinding dan menundukkan kepalanya. Dia menggigit kukunya sambil berkata dengan pelan, "Ibuku memaksaku datang, aku nggak punya pilihan. Selain itu, sekalipun aku datang, aku juga menolaknya. Aku nggak berencana menjalin hubungan dengannya."Gavin menatapnya dengan tatapan dingin, dia menyipitkan matanya sambil bertanya, "Kalau aku nggak muncul, kamu akan bertukar kontak dengannya?""..."Bagaimana mungkin?Dia sudah menolak.Lagi pula, sekalipun Gavin tidak datang, dia tidak akan bertukar kontak dengan James."Kalau kamu nggak datang, aku akan memberitahunya aku sudah menikah. Dengan begitu, dia nggak akan meminta nomorku lagi.""Hebat kamu!" Mata Gavin dipenuhi dengan amarah.Luna kembali membenamkan kepalanya.Dia tidak pernah melihat Gavin begitu marah, ini adalah pertama kalinya.Gavin marah karena dia menyembunyikan pernikahan mereka dan pergi berkencan buta.Dia agak kebingungan.Gavin tidak menyukainya, mereka menikah hanya karena anak hasil kecelakaan satu mal
Tidak terlihat sedikit pun emosi di garis wajahnya yang tegas. Seketika, Luna pun gelisah.Luna mengepalkan tangannya sambil menjawab, "Benar, Pak Gavin."Gavin melirik Luna, tatapannya sangat tajam, seolah-olah menembus isi hati Luna dan membuat Luna tidak berani menyembunyikan apa pun.Tatapan itu membuat Luna gugup.Dia menundukkan kepalanya sambil berkata, "Ibuku memaksaku datang berkencan buta."James mengerutkan keningnya sambil berkata dengan lantang, "Pak Gavin, dia cuma sekretarismu. Aktivitasnya di luar nggak ada hubungannya denganmu, bukan?""Diam!" Gavin menatap James. Dia mengangkat kelopak matanya dengan acuh tak acuh. Sikapnya yang arogan membuat James merasa tertekan.Begitu dibentak Gavin, hati James bergetar.Dia mengetahui nama Gavin dan sering melihat Gavin di televisi, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan Gavin secara langsung.Sejujurnya, aura Gavin sangat kuat. Ini adalah pertama kalinya dia takut pada seseorang.Gavin bertanya dengan suara berat, "Kamu pasanga
James tidak menyangka Luna akan memberikan jawaban seperti ini.Dia mengira dengan kondisinya yang unggul dan dapat menerima situasi keluarga Luna, Luna akan memilih untuk bersamanya. Tak disangka, Luna malah menolaknya!James mengerutkan kening. Dia menatap Luna dengan kaget. "Nona Luna, bolehkah aku tahu alasannya?"Luna menjawab, "Tadi, aku sudah katakan alasannya."Alis James berkerut hebat. "Aku bersedia menerima keluargamu dan berjanji akan membiayai pengobatan adikmu, aku bisa mengatasi masalahmu, kamu nggak usah khawatirkan hal ini.""Kamu memang bisa mengatasi masalahku, tapi aku masih harus merawatnya. Kalau kita bersama, aku pasti nggak bisa fokus. Jadi, Pak James, harap maklum.""Merawatnya bukan masalah. Aku bisa mempekerjakan tenaga profesional untuk merawatnya. Dengan begitu, Nona Luna bisa bekerja dengan tenang."James ini ....Sulit ditangani.Apa pun tanggapannya, James selalu memberinya solusi.Luna mengusap keningnya. Ketika dia menurunkan tangannya dan menatap Jame
"Ya." Gavin mengiakan dengan pelan.Timo berkata, "Pak Gavin, kudengar Sindy akan kembali?"Selain adalah manajer Grup Harris, Timo juga adalah teman sekelas Gavin yang menuntun ilmu bersama di luar negeri.Alasan mengapa dia tidak berkarier di luar negeri adalah karena dia ingin berkarier di Negara Targa.Kebetulan, dia bekerja di Grup Harris.Ketika perusahaan perhiasan yang didirikan Gavin menghasilkan banyak uang di luar negeri, Timo sudah dipromosikan menjadi manajer Grup Harris dengan mengandalkan kemampuannya sendiri.Perlu diakui dia sangat unggul.Sedangkan Sindy yang dibicarakan Timo, mereka mengenalnya ketika kuliah di luar negeri. Meskipun dia mempelajari hukum, karena dia berasal dari Negara Targa, mereka pun berteman.Gavin menggelengkan kepalanya sambil berkata dengan nada dingin, "Nggak tahu."Sejak kembali ke Negara Targa, Gavin tidak pernah berinteraksi dengan Sindy. Dia tidak mengetahui kabar Sindy."Kupikir kamu tahu," kata Timo."Sindy?" Nathan mengerutkan kening.