Nathan bekerja di rumah sakit. Dia kenal dengan staf Departemen Ginekologi dan sudah membuat jadwal, mereka tidak perlu mengantre seperti pasien lainnya.Dalam waktu kurang dari dua jam, proses pembuatan berkas sudah selesai.Nathan mengantar Luna ke pintu keluar rumah sakit, lalu menyerahkan buku panduan kesehatan ibu hamil dan asam folat kepada Luna."Ke depannya, suruh Gavin temani kamu periksa kandungan tepat waktu. Selain itu, jangan lupa konsumsi asam folat," kata Nathan sambil tersenyum."Oke, aku nggak akan lupa." Luna tampak sangat tenang, dia tersenyum ramah.Nathan melipat tangannya sambil menatap Luna dengan penasaran. "Kamu sekretarisnya? Kok kalian bisa bersama?"Nathan sudah lama ingin menanyakan hal ini.Karena situasi di dalam rumah sakit sangat ramai, dia mengurungkan niatnya."Ini ...." Luna mengerutkan bibirnya. Seketika, dia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan ini.Melihatnya begitu tertekan, Nathan pun mengalihkan topik pembicaraan.Dia berkata sambil t
Luna tahu betapa menakutkan omongan orang. Jadi, dia mengabaikan mereka.Namun, hal ini tidak membuat mereka berhenti membicarakannya, mereka bahkan makin keterlaluan.Fanny berkata sambil terkekeh, "Luna, kalau kamu nikah sama orang kaya, jangan lupakan kami."Yuri berkata sambil tersenyum, "Kalian bukan temannya, juga bukan kerabatnya, bagaimana mungkin dia ingat kalian?"Winnie melipat tangannya sambil menatap punggung Luna dengan tatapan menghina. "Kalian jangan senang dulu. Mungkin setelah anak itu lahir, Tuan Muda Nathan langsung campakkan dia.""Pfft ...." Fanny menutup mulutnya sambil tertawa. "Jadi, dia hanya alat untuk melahirkan anak?"Kalau orang lain ditindas seperti ini di kantor, mereka pasti sudah depresi dan mengundurkan diri.Namun, mereka sudah berulang kali mengatai Luna dan Luna masih bertahan. Kesabaran Luna patut dikagumi.Awalnya, dia berencana untuk mengabaikan mereka. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin mengatainya sepanjang hari, bukan?Selanjutnya, mereka men
Begitu Luna selesai makan, Timo datang ke kantor sekretaris untuk menemuinya."Bu Luna."Luna berdiri dengan sopan. "Pak Timo, ada urusan apa?"Timo mengangguk sambil berkata, "Bu Luna, aku sudah membuat janji dengan Grup Lingga. Lusa, pukul 6 sore. Jangan lupa sampaikan pada Pak Gavin.""..."Luna agak kebingungan, apa dia tidak salah dengar?Sebelumnya juga seperti ini. Memangnya Timo tidak bisa masuk ke kantor untuk mengabari Gavin? Kenapa selalu menitipkan pesan padanya?"Pak Timo ...."Di tengah Luna berbicara, ponsel Timo berdering.Dia menjawab panggilan sambil tersenyum ramah. "Pak Joseph, lama nggak jumpa. Apa kabar?""..."Panggilan ini datang di waktu yang tepat.Setelah mengobrol sejenak, Timo menatap Luna sambil berkata, "Bu Luna, maaf sudah merepotkanmu. Aku masih ada urusan lain, aku pergi dulu."Sebelum Luna menjawab, Timo sudah pergi sambil melanjutkan obrolan dengan Joseph.Luna tidak bisa berkata-kata. Ini bukan ketiga kalinya Luna menghadapi situasi seperti ini, dia
Luna menatap punggung Gavin sambil mengerutkan bibirnya, dia tampak sangat tidak berdaya.Dia diam-diam menghela napas. Setelah kembali ke kantor sekretaris, dia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Wilson dari Grup Sora."Halo, Pak Wilson. Aku adalah sekretaris Pak Gavin dari Grup Harris, Luna. Pak Gavin tiba-tiba punya urusan mendadak, nggak punya waktu senggang. Bagaimana kalau kujadwalkan pertemuan kalian pada pukul setengah enam sore besok?"Bukan hanya Wilson dari Grup Sora yang ingin bertemu dengan Gavin, masih ada banyak bos dari perusahaan lain yang ingin bertemu dengan Gavin untuk membicarakan kerja sama.Tidak semua orang memiliki kesempatan seperti ini.Namun, Wilson memperoleh kesempatan ini.Meski ditunda satu hari, dia tetap akan bertemu dengan Gavin.Hanya satu hari, bukan masalah besar."Boleh, nggak masalah. Bu Luna, kalau gitu kita undurkan ke besok sore. Maaf sudah merepotkanmu."Nada bicara Wilson sangat sopan."Nggak masalah, Pak Wilson. Sampai jumpa besok."Lun
"Sebenarnya dia hanya mengajakku makan bersama. Tapi, karena kamu sedang hamil, aku sekalian mengajakmu ke sini."Gavin tidak menjelaskan lebih lanjut, dia langsung keluar dari mobil.Riko berjalan ke sisi Luna untuk membukakan pintu mobil.Luna keluar dari mobil, lalu mengangguk pada Riko untuk mengucapkan terima kasih.Kemudian, Luna memasuki restoran bersama Gavin.Sebenarnya, Luna tidak memercayai alasan Gavin. Namun, karena Gavin adalah atasannya, dia tidak berani lanjut bertanya dan terpaksa menuruti Gavin.Melihat Gavin dan Luna datang, Nisa langsung berdiri dan melambaikan tangan pada mereka. "Gavin, Bu Luna, kami di sini."Selain Nisa, Shilla pun hadir.Luna berdiri di samping meja, lalu menatap Nisa dengan hormat. "Halo, Nyonya Nisa. Namaku Luna, aku adalah sekretarisnya Pak Gavin."Nisa sangat ramah, dia tersenyum santai. "Aku tahu. Shilla pernah menceritakan soal kamu. Duduklah, Bu Luna.""Baik." Luna mengangguk, lalu duduk di samping Gavin.Shilla memanggil pelayan dan mer
Luna tertegun sejenak, lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Belum."Nisa memandang Shilla, Shilla pun sedang memandangnya. Kemudian, mereka tersenyum dengan penuh maksud.Nisa lanjut bertanya, "Bu Luna, kamu mau cari pacar seperti apa?""..."Mendengar pertanyaan ini, entah mengapa Luna merasa Nisa ingin memperkenalkan pasangan untuknya.Sayangnya, sekarang dia sedang mengandung anak Gavin. Sekalipun dia ingin mencari pacar, keadaan tidak memungkinkan."Aku nggak punya syarat khusus. Selama dia baik dan bisa menerima aku berasal dari keluarga tunggal, itu sudah cukup," jawab Luna.Shilla mengerutkan keningnya sambil bertanya dengan heran, "Orang tuamu bercerai?"Cahaya dingin melintas di mata Gavin, dia menatap Shilla dengan kesal, "Shilla!"Pertanyaan ini terlalu terang-terangan.Gavin tahu Luna tidak ingin membicarakan soal ayahnya. Shilla mengajukan pertanyaan seperti ini, Luna mungkin akan marah.Sekarang, Luna sedang mengandung anaknya, dia harus menjaga emosi Luna.Shill
Setelah selesai makan, Nisa menatap Gavin sambil bertanya, "Gavin, kamu sudah lama nggak pulang. Bagaimana kalau malam ini kamu pulang bersamaku?"Shilla menimpali, "Benar, Kak. Kakek, Ayah dan Ibu merindukanmu. Pulanglah bersama kami malam ini.""Nggak dulu." Gavin menjelaskan dengan tenang, "Belakangan ini, aku agak sibuk. Kalau pekerjaanku sudah selesai, aku akan pulang. Siapa antar kalian datang?"Sebenarnya, mereka ingin melihat reaksi keluarga mereka ketika Gavin membawa Luna pulang.Namun, karena Gavin menolak untuk pulang, mereka tidak memaksanya.Shilla berkata, "Pak Eko antar kami datang. Kak, kalau kamu sibuk, pergilah dulu. Biar kutelepon Pak Eko, dia akan segera menjemput kami.""Oke." Gavin memandang Luna yang berdiri di sampingnya. "Ayo.""Baik." Luna mengangguk, lalu berdiri di samping. Setelah Gavin pergi, dia baru menyusul.Nisa mengalihkan pandangannya dan mulai merenung."Nenek, menurutmu, apa mereka akan bersama?""Bagaimana menurutmu?" tanya Nisa.Shilla mengerutk
"Hah? Maaf." Sony melempar puntung rokok ke lantai. Setelah memadamkan rokok itu dengan kakinya, dia berkata, "Itu ...."Ketika dia hendak berbicara, ponsel Luna berdering.Luna melihat layar ponselnya, Marvel yang menelepon."Pak Sony, maaf. Aku jawab telepon dulu."Luna berjalan ke samping untuk menjawab panggilan."Ada urusan apa? Katakan. Apa?" Luna membelalakkan matanya dengan kaget.Setelah mengakhiri panggilan, Luna berjalan ke hadapan Sony dengan ekspresi muram."Pak Sony, apa yang ingin kamu katakan?""Bu Luna, aku datang untuk membicarakan soal Livy. Livy adalah asistenku, belakangan ini aku terus mencarinya, aku juga sudah mengirim orang ke rumahnya, tapi nggak ada yang membuka pintu. Kami kira nggak ada orang di rumah. Semalam, orang tuanya pergi mencarinya dan menemukan ....""Menemukan dia tewas di bak mandi?"Sony tertegun sejenak, lalu bertanya dengan heran, "Bu Luna, kok kamu tahu?"Luna menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, "Pak Gavin juga sudah mengirim orang unt
Para tamu yang menghadiri pesta hari ini berasal dari kalangan sosialita.Karena Luna akan hadir bersama Gavin, Gavin tidak akan membiarkannya mempermalukan diri sendiri.Jadi, selain membelikan pakaian untuk Luna, dia juga menyewa penata rias untuk Luna.Satu jam kemudian, Luna muncul di hadapan Gavin dengan mengenakan gaun panjang berwarna sampanye.Wajahnya yang dirias dengan rapi tampak sangat menawan.Luna berjalan ke hadapan Gavin sambil tersenyum cerah. Senyuman ini menyebar di seluruh wajahnya, bahkan sudut matanya pun sedikit terangkat.Ketika melihatnya, jantung Gavin berdebar kencang. Dia termenung dan hampir tidak bisa mengendalikan diri."Pak Gavin, bagaimana menurutmu?" tanya Luna sambil tersenyum tipis."Sangat cantik. Gavin berdiri, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Seberkas cahaya lembut melintas di matanya. "Ayo.""Ya." Luna mengangguk, lalu berjalan mengikuti Gavin.Setelah masuk ke dalam mobil dan mobil sudah melaju di jalan raya, Luna bertanya, "Pak Ga
Pesta ulang tahun berlangsung pada malam hari. Sore hari, Luna masih perlu kembali ke kantor. Jadi, dia memakai kembali pakaiannya.Setelah membayar tagihan dan membawa barang belanjaan Luna, Gavin mengajaknya kembali ke mobil.Riko langsung berkendara menuju Grup Harris.Luna kembali ke kantor sekretaris. Ketika dia baru selesai bekerja, Mila meneleponnya.Mila meneleponnya di saat seperti ini, jangan-jangan karena James memberi tahu Mila soal pernikahan dan kehamilannya?Luna menjawab panggilan itu dengan gugup.Sebelum dia berbicara, terdengar suara nyaring Mila dari ujung lain telepon."Luna! James bilang kamu sudah hamil? Sudah menikah? Kapan?"Hati Luna tersentak, amarahnya pun meluap.James sungguh berengsek, bisa-bisanya memberitahukan hal ini pada ibunya.Menyebalkan."Nggak, aku bohongi dia.""Kenapa kamu bohongi dia? Luna, sekalipun kamu berdoa setiap hari, kamu nggak akan bisa temukan pria sebaik dia. Selain itu, kamu menolaknya dengan alasan seperti ini, apa Ibu masih bisa
"Apa ukuran Anda? Biar saya ambilkan ukuran Anda," tanya pelayan toko itu dengan sopan.Luna berkata, "Nggak usah, aku sedang hamil, nggak bisa pakai gaun seperti ini."Pelayan toko itu tersenyum cerah. "Ternyata Anda istri bapak itu. Maaf, Anda terlalu cantik. Saya kira Anda adalah pacarnya."Pelayan toko ini sungguh pandai berbicara.Gavin kembali. Dia melirik gaun di tangan pelayan toko, lalu menatap Luna sambil bertanya, "Nggak cocok?"Luna mengangguk, "Ya, agak ketat."Gavin menatap pelayan toko itu dengan tenang. "Pilihkan baju yang lebih longgar, dia sedang hamil."Pelayan itu menjawab sambil tersenyum, "Baik, Pak."Pelayan toko itu mengangguk, lalu pergi memilihkan gaun untuk Luna.Sebenarnya, ukuran gaun itu sudah pas. Apalagi dia baru hamil, perutnya belum membesar, gaun itu cocok di badannya.Luna tidak ingin membelinya karena harganya terlalu marah.Luna tidak berani memakai gaun semahal itu.Luna mengerutkan kening sambil berkata pada Gavin dengan heran, "Pak Gavin, nggak
"Pak Gavin, aku ingat." Luna mengerutkan keningnya dengan waspada."Ayo pergi." Gavin bangkit dan meninggalkan ruangan.Luna mengikutinya dari belakang.Mobil diparkir di luar restoran, Gavin membuka pintu. Setelah Luna masuk ke dalam mobil, dia pun masuk.Ketika Riko sedang berkendara menuju perusahaan, terdengar suara Gavin dari belakang."Pergi ke Harbor Plaza.""Baik, Pak Gavin," jawab Riko. Kemudian, dia melaju menuju pusat perbelanjaan Harbor Plaza.Awalnya, Luna ingin menanyakan tujuan mereka pergi ke Harbor Plaza. Namun, mengingat betapa marahnya Gavin tadi, dia tidak berani bertanya.Di tengah perjalanan, Gavin tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresinya sangat serius, alisnya berkerut hebat dan sorot matanya sangat dingin.Melihat sikapnya ini, Luna makin tidak berani bertanya.Mobil segera tiba di Harbor Plaza.Riko membuka pintu mobil. Setelah Luna keluar, Gavin pun keluar dari sisi lain."Ikut aku," kata Gavin dengan nada dingin."Baik." Luna mengikutinya.Aneh sekali.
Mila pernah tersakiti dalam hubungan percintaan. Kalau dia tahu mereka akan bercerai, dia pasti tidak bisa menerima hal ini.Cepat atau lambat, mereka akan bercerai. Jadi, kenapa dia harus memberi tahu Mila?Melihat ekspresi Luna, Gavin menarik napas dalam-dalam dan mengusap keningnya. Sepertinya dia tidak bisa memaksa Luna."Ini adalah terakhir kalinya, jangan sampai terulang."Luna seolah-olah mendapatkan pengampunan, sarafnya yang tegang pun kembali rileks."Jangan khawatir, Pak Gavin. Kujamin nggak akan terjadi lagi.""Sudah makan?" Tatapan Gavin padanya menjadi lebih rileks dan tidak semenakutkan sebelumnya lagi."Sudah makan," jawab Luna dengan jujur."Ayo pergi." Gavin bangkit dan keluar. Namun, dia tidak meninggalkan restoran, melainkan pergi ke ruangan tempat Nathan dan yang lainnya berada.Luna berdiri di depan pintu. Ketika melihat Timo, Nathan dan yang lainnya, dia pun tercengang.Dia mengira Gavin datang dengan keluarga atau bos perusahaan lain. Tak disangka, Gavin datang
Luna bersandar ke dinding dan menundukkan kepalanya. Dia menggigit kukunya sambil berkata dengan pelan, "Ibuku memaksaku datang, aku nggak punya pilihan. Selain itu, sekalipun aku datang, aku juga menolaknya. Aku nggak berencana menjalin hubungan dengannya."Gavin menatapnya dengan tatapan dingin, dia menyipitkan matanya sambil bertanya, "Kalau aku nggak muncul, kamu akan bertukar kontak dengannya?""..."Bagaimana mungkin?Dia sudah menolak.Lagi pula, sekalipun Gavin tidak datang, dia tidak akan bertukar kontak dengan James."Kalau kamu nggak datang, aku akan memberitahunya aku sudah menikah. Dengan begitu, dia nggak akan meminta nomorku lagi.""Hebat kamu!" Mata Gavin dipenuhi dengan amarah.Luna kembali membenamkan kepalanya.Dia tidak pernah melihat Gavin begitu marah, ini adalah pertama kalinya.Gavin marah karena dia menyembunyikan pernikahan mereka dan pergi berkencan buta.Dia agak kebingungan.Gavin tidak menyukainya, mereka menikah hanya karena anak hasil kecelakaan satu mal
Tidak terlihat sedikit pun emosi di garis wajahnya yang tegas. Seketika, Luna pun gelisah.Luna mengepalkan tangannya sambil menjawab, "Benar, Pak Gavin."Gavin melirik Luna, tatapannya sangat tajam, seolah-olah menembus isi hati Luna dan membuat Luna tidak berani menyembunyikan apa pun.Tatapan itu membuat Luna gugup.Dia menundukkan kepalanya sambil berkata, "Ibuku memaksaku datang berkencan buta."James mengerutkan keningnya sambil berkata dengan lantang, "Pak Gavin, dia cuma sekretarismu. Aktivitasnya di luar nggak ada hubungannya denganmu, bukan?""Diam!" Gavin menatap James. Dia mengangkat kelopak matanya dengan acuh tak acuh. Sikapnya yang arogan membuat James merasa tertekan.Begitu dibentak Gavin, hati James bergetar.Dia mengetahui nama Gavin dan sering melihat Gavin di televisi, tetapi dia tidak pernah bertemu dengan Gavin secara langsung.Sejujurnya, aura Gavin sangat kuat. Ini adalah pertama kalinya dia takut pada seseorang.Gavin bertanya dengan suara berat, "Kamu pasanga
James tidak menyangka Luna akan memberikan jawaban seperti ini.Dia mengira dengan kondisinya yang unggul dan dapat menerima situasi keluarga Luna, Luna akan memilih untuk bersamanya. Tak disangka, Luna malah menolaknya!James mengerutkan kening. Dia menatap Luna dengan kaget. "Nona Luna, bolehkah aku tahu alasannya?"Luna menjawab, "Tadi, aku sudah katakan alasannya."Alis James berkerut hebat. "Aku bersedia menerima keluargamu dan berjanji akan membiayai pengobatan adikmu, aku bisa mengatasi masalahmu, kamu nggak usah khawatirkan hal ini.""Kamu memang bisa mengatasi masalahku, tapi aku masih harus merawatnya. Kalau kita bersama, aku pasti nggak bisa fokus. Jadi, Pak James, harap maklum.""Merawatnya bukan masalah. Aku bisa mempekerjakan tenaga profesional untuk merawatnya. Dengan begitu, Nona Luna bisa bekerja dengan tenang."James ini ....Sulit ditangani.Apa pun tanggapannya, James selalu memberinya solusi.Luna mengusap keningnya. Ketika dia menurunkan tangannya dan menatap Jame
"Ya." Gavin mengiakan dengan pelan.Timo berkata, "Pak Gavin, kudengar Sindy akan kembali?"Selain adalah manajer Grup Harris, Timo juga adalah teman sekelas Gavin yang menuntun ilmu bersama di luar negeri.Alasan mengapa dia tidak berkarier di luar negeri adalah karena dia ingin berkarier di Negara Targa.Kebetulan, dia bekerja di Grup Harris.Ketika perusahaan perhiasan yang didirikan Gavin menghasilkan banyak uang di luar negeri, Timo sudah dipromosikan menjadi manajer Grup Harris dengan mengandalkan kemampuannya sendiri.Perlu diakui dia sangat unggul.Sedangkan Sindy yang dibicarakan Timo, mereka mengenalnya ketika kuliah di luar negeri. Meskipun dia mempelajari hukum, karena dia berasal dari Negara Targa, mereka pun berteman.Gavin menggelengkan kepalanya sambil berkata dengan nada dingin, "Nggak tahu."Sejak kembali ke Negara Targa, Gavin tidak pernah berinteraksi dengan Sindy. Dia tidak mengetahui kabar Sindy."Kupikir kamu tahu," kata Timo."Sindy?" Nathan mengerutkan kening.