Bab 3: Di Antara Rahasia dan PerasaanBeberapa minggu berlalu sejak hari pertama Sophie bekerja di Ward Corporation. Meskipun ia merasa mulai terbiasa dengan rutinitasnya, ada satu hal yang terus menghantuinya—perasaan yang semakin kuat terhadap Adrian Ward. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula ia menemukan sisi-sisi kecil dari sang CEO yang jarang terungkap pada orang lain.Meskipun tetap dingin dan tertutup, Adrian seolah memiliki cara untuk membuat Sophie merasa spesial, walaupun tak pernah diucapkan secara terang-terangan.Pagi ini, seperti biasa, Sophie tiba lebih awal dari yang lain. Ia tahu bahwa Adrian akan datang tepat waktu, dan ia ingin memastikan segalanya siap. Namun, hari ini ada yang berbeda. Pada rapat yang dijadwalkan siang nanti, Adrian sudah meminta Sophie untuk mempersiapkan presentasi penting—sesuatu yang cukup jarang terjadi. Biasanya, ia hanya diberi tugas administratif, tetapi kali ini ada sesuatu yang mengarah pada tanggung jawab yang lebih besar
Bab 4: Getaran yang Tak Bisa DijelaskanSuasana kantor mulai lengang saat jam menunjukkan pukul lima sore. Beberapa karyawan mulai berkemas, ada yang masih duduk menyelesaikan pekerjaan, tetapi kebanyakan sudah menghela napas lega, bersiap menyambut kebebasan usai jam kerja.Sophie masih duduk di balik mejanya, jemarinya menari di atas keyboard laptop, menyelesaikan laporan keuangan mingguan yang harus masuk malam ini. Namun, bukan angka-angka yang memenuhi pikirannya. Sejak pagi, pikirannya sudah tidak sinkron dengan tubuhnya. Semua bermula dari ucapan Adrian kemarin sore di ruangannya.“Lebih dari sekadar sekretaris.”Kalimat itu berulang kali terngiang di kepalanya, seperti gema yang menolak reda. Ia berusaha menepisnya, menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan mengganti playlist Spotify-nya ke lagu-lagu rock agar tidak terlalu larut dalam pikiran, tetapi tetap saja bayangan Adrian datang seperti siluet yang enggan pergi.Apalagi pagi tadi, pria itu muncul dengan memegang kopi han
Bab 5: Rahasia di Balik Tatapan DinginHari-hari setelah pertemuan di rooftop berubah menjadi teka-teki baru bagi Sophie. Tatapan Adrian kini berbeda. Tak lagi sekadar menilai atau memberi perintah—ada kelembutan tersembunyi di sana, seolah ia berbicara tanpa suara. Namun, kedekatan mereka tak sepenuhnya bebas. Mereka masih berada dalam ruang lingkup profesional, terikat etika kantor, dan kerumitan perasaan yang masih samar.Pagi itu, Sophie tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyelesaikan laporan presentasi untuk dewan direksi, tapi juga ada rasa tak sabar untuk sekadar melihat Adrian lagi—meski hanya sekilas, dari balik kaca ruangannya.Namun, suasana kantor hari ini tampak berbeda. Ada bisik-bisik di antara karyawan, dan suasana terasa agak tegang. Beberapa staf terlihat membicarakan sesuatu dengan ekspresi serius.Sophie melirik ke arah ruang rapat kecil di ujung koridor. Terdapat dua orang pria berjas yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mereka membawa berkas teb
Bab 6: Di Antara Sorotan dan RahasiaSuasana kantor berubah drastis dalam waktu kurang dari tiga hari. Media mulai mencium aroma skandal yang menguar dari balik dinding kaca gedung megah tempat Adrian memimpin. Sebuah artikel anonim muncul di salah satu portal berita finansial, menyebutkan "seorang CEO muda dari perusahaan teknologi ternama" yang menyembunyikan masa lalu kelam di Eropa. Meski nama Adrian tidak disebutkan langsung, deskripsi dalam artikel itu terlalu rinci untuk dianggap kebetulan.Sophie membacanya di ruang pantry, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Kata demi kata seperti pisau yang mengiris bayangan sempurna yang selama ini berusaha Adrian bangun."Kalau berita ini benar, bisa jadi perusahaan kita bakal jatuh," gumam Rina, salah satu staf keuangan."Gila ya... masa lalu kayak gitu bisa keangkat lagi," sahut Leo, staf marketing.Sophie menutup peramban di ponselnya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu ini bukan saatnya panik. Namun, dalam hatinya, ada kecemasan
Bab 7 - Paris, Rahasia, dan Sebuah PelukanSophie menatap boarding pass di tangannya dengan detak jantung tak menentu. Paris. Kota yang hanya pernah ia lihat dari layar laptop dan mimpi-mimpinya yang paling liar. Tapi sekarang, ia akan terbang ke sana—bukan sebagai turis, melainkan sebagai satu-satunya orang yang dipercaya Adrian untuk menemani perjalanan menghadapi masa lalu.Bandara Soekarno-Hatta malam itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Adrian muncul dengan setelan kasual serba hitam, tanpa pengawalan. Ia terlihat berbeda—lebih tenang, tapi juga lebih rapuh. Ia menatap Sophie dari kejauhan, lalu mengangguk pelan. Sophie membalas dengan langkah mantap, walau dalam hatinya ada gejolak yang tak bisa ia redam."Siap?" tanya Adrian singkat."Siap," jawab Sophie, meski kakinya terasa gemetar.Mereka duduk berdampingan di business class, tetapi tak banyak bicara. Hanya sesekali saling menatap, saling memahami bahwa tak semua rasa perlu dijelaskan dengan kata-kata.---Paris menyambut m
Bab 8 – Dinding yang Retak di Balik Kilau Kemewahan Paris memang kota cinta. Tapi tidak semua cinta yang bersemi di Paris berakhir dengan tawa. Ada pula yang berbalut luka, terselubung dalam senyum manis, dan disimpan rapat di balik dinding marmer hotel berbintang lima. Sophie duduk di balkon kamar hotel, menatap langit sore Paris yang mulai meremang kejinggaan. Secangkir teh yang mulai dingin terletak di meja kecil di sampingnya, nyaris tak tersentuh sejak Adrian keluar dua jam yang lalu. Ia tak bilang hendak ke mana, hanya mengatakan ada pertemuan penting yang harus dihadiri. Pertemuan penting. Kalimat itu terdengar terlalu akrab di telinga Sophie selama beberapa bulan terakhir. Selalu ada yang 'penting', yang mengalahkan kebersamaan mereka. Ia memutar cincinnya di jari manis. Masih di sana. Tapi rasanya makin longgar. Pintu kamar berderit pelan. Adrian masuk, menenteng jaket dan koper kecil. Wajahnya terli
Bab 9 – Ketika Masa Lalu Mengetuk Pintu Paris telah mengubah arah angin hubungan mereka. Tapi angin yang tenang pun bisa menyimpan badai. Hari-hari setelah percakapan di balkon terasa seperti embun pagi: sejuk, damai, namun mudah menguap. Adrian benar-benar berubah. Ia menyempatkan waktu untuk menemani Sophie, berjalan berdua menyusuri Montmartre, mengabadikan momen di bawah Menara Eiffel, hingga bersantai bersama di taman Tuileries. Mereka kembali menjadi pasangan, bukan hanya dua orang yang tinggal di kamar hotel yang sama. Namun, Sophie tahu: sesuatu masih disembunyikan Adrian. Tatapannya yang kadang kosong, telepon yang tiba-tiba harus dijawab di balkon, dan nama “Elena” yang terucap pelan saat Adrian mengigau di malam hari. ** Hari ke-7 di Paris, mereka berada di sebuah restoran Italia klasik di Rue Cler. Lampu-lampu temaram berpendar lembut, menyinari pasta dan gelas anggur yang belum disentuh.
Bab 10 – Jejak Bayangan di Antara Kita Hening menyergap mobil yang melaju pulang ke Paris malam itu. Sophie menyadari perubahan ekspresi Adrian. Tangannya yang tadinya menggenggam setir dengan tenang, kini mulai mengencang. Matanya tidak lagi hangat seperti tadi sore di danau. Ia menegang, seperti seseorang yang baru mendengar kabar buruk dari dunia yang lama ingin ia lupakan. Sophie melirik ponselnya, berharap bisa mengintip pesan yang membuat kekasihnya begitu gelisah. Namun Adrian dengan cepat menyembunyikannya di balik jaket. “Semua baik-baik saja?” tanya Sophie, berusaha lembut. Adrian hanya mengangguk. Tapi diamnya lebih keras dari teriakan. Sophie tahu, ia baru saja kalah oleh sesuatu yang belum ia kenali. ** Keesokan paginya, Sophie bangun di hotel tanpa Adrian di sisinya. Sebuah catatan diletakkan di meja dekat tempat tidur: Aku harus menemui seseorang. Jangan khawatir.
Bab 10 – Jejak Bayangan di Antara Kita Hening menyergap mobil yang melaju pulang ke Paris malam itu. Sophie menyadari perubahan ekspresi Adrian. Tangannya yang tadinya menggenggam setir dengan tenang, kini mulai mengencang. Matanya tidak lagi hangat seperti tadi sore di danau. Ia menegang, seperti seseorang yang baru mendengar kabar buruk dari dunia yang lama ingin ia lupakan. Sophie melirik ponselnya, berharap bisa mengintip pesan yang membuat kekasihnya begitu gelisah. Namun Adrian dengan cepat menyembunyikannya di balik jaket. “Semua baik-baik saja?” tanya Sophie, berusaha lembut. Adrian hanya mengangguk. Tapi diamnya lebih keras dari teriakan. Sophie tahu, ia baru saja kalah oleh sesuatu yang belum ia kenali. ** Keesokan paginya, Sophie bangun di hotel tanpa Adrian di sisinya. Sebuah catatan diletakkan di meja dekat tempat tidur: Aku harus menemui seseorang. Jangan khawatir.
Bab 9 – Ketika Masa Lalu Mengetuk Pintu Paris telah mengubah arah angin hubungan mereka. Tapi angin yang tenang pun bisa menyimpan badai. Hari-hari setelah percakapan di balkon terasa seperti embun pagi: sejuk, damai, namun mudah menguap. Adrian benar-benar berubah. Ia menyempatkan waktu untuk menemani Sophie, berjalan berdua menyusuri Montmartre, mengabadikan momen di bawah Menara Eiffel, hingga bersantai bersama di taman Tuileries. Mereka kembali menjadi pasangan, bukan hanya dua orang yang tinggal di kamar hotel yang sama. Namun, Sophie tahu: sesuatu masih disembunyikan Adrian. Tatapannya yang kadang kosong, telepon yang tiba-tiba harus dijawab di balkon, dan nama “Elena” yang terucap pelan saat Adrian mengigau di malam hari. ** Hari ke-7 di Paris, mereka berada di sebuah restoran Italia klasik di Rue Cler. Lampu-lampu temaram berpendar lembut, menyinari pasta dan gelas anggur yang belum disentuh.
Bab 8 – Dinding yang Retak di Balik Kilau Kemewahan Paris memang kota cinta. Tapi tidak semua cinta yang bersemi di Paris berakhir dengan tawa. Ada pula yang berbalut luka, terselubung dalam senyum manis, dan disimpan rapat di balik dinding marmer hotel berbintang lima. Sophie duduk di balkon kamar hotel, menatap langit sore Paris yang mulai meremang kejinggaan. Secangkir teh yang mulai dingin terletak di meja kecil di sampingnya, nyaris tak tersentuh sejak Adrian keluar dua jam yang lalu. Ia tak bilang hendak ke mana, hanya mengatakan ada pertemuan penting yang harus dihadiri. Pertemuan penting. Kalimat itu terdengar terlalu akrab di telinga Sophie selama beberapa bulan terakhir. Selalu ada yang 'penting', yang mengalahkan kebersamaan mereka. Ia memutar cincinnya di jari manis. Masih di sana. Tapi rasanya makin longgar. Pintu kamar berderit pelan. Adrian masuk, menenteng jaket dan koper kecil. Wajahnya terli
Bab 7 - Paris, Rahasia, dan Sebuah PelukanSophie menatap boarding pass di tangannya dengan detak jantung tak menentu. Paris. Kota yang hanya pernah ia lihat dari layar laptop dan mimpi-mimpinya yang paling liar. Tapi sekarang, ia akan terbang ke sana—bukan sebagai turis, melainkan sebagai satu-satunya orang yang dipercaya Adrian untuk menemani perjalanan menghadapi masa lalu.Bandara Soekarno-Hatta malam itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Adrian muncul dengan setelan kasual serba hitam, tanpa pengawalan. Ia terlihat berbeda—lebih tenang, tapi juga lebih rapuh. Ia menatap Sophie dari kejauhan, lalu mengangguk pelan. Sophie membalas dengan langkah mantap, walau dalam hatinya ada gejolak yang tak bisa ia redam."Siap?" tanya Adrian singkat."Siap," jawab Sophie, meski kakinya terasa gemetar.Mereka duduk berdampingan di business class, tetapi tak banyak bicara. Hanya sesekali saling menatap, saling memahami bahwa tak semua rasa perlu dijelaskan dengan kata-kata.---Paris menyambut m
Bab 6: Di Antara Sorotan dan RahasiaSuasana kantor berubah drastis dalam waktu kurang dari tiga hari. Media mulai mencium aroma skandal yang menguar dari balik dinding kaca gedung megah tempat Adrian memimpin. Sebuah artikel anonim muncul di salah satu portal berita finansial, menyebutkan "seorang CEO muda dari perusahaan teknologi ternama" yang menyembunyikan masa lalu kelam di Eropa. Meski nama Adrian tidak disebutkan langsung, deskripsi dalam artikel itu terlalu rinci untuk dianggap kebetulan.Sophie membacanya di ruang pantry, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Kata demi kata seperti pisau yang mengiris bayangan sempurna yang selama ini berusaha Adrian bangun."Kalau berita ini benar, bisa jadi perusahaan kita bakal jatuh," gumam Rina, salah satu staf keuangan."Gila ya... masa lalu kayak gitu bisa keangkat lagi," sahut Leo, staf marketing.Sophie menutup peramban di ponselnya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu ini bukan saatnya panik. Namun, dalam hatinya, ada kecemasan
Bab 5: Rahasia di Balik Tatapan DinginHari-hari setelah pertemuan di rooftop berubah menjadi teka-teki baru bagi Sophie. Tatapan Adrian kini berbeda. Tak lagi sekadar menilai atau memberi perintah—ada kelembutan tersembunyi di sana, seolah ia berbicara tanpa suara. Namun, kedekatan mereka tak sepenuhnya bebas. Mereka masih berada dalam ruang lingkup profesional, terikat etika kantor, dan kerumitan perasaan yang masih samar.Pagi itu, Sophie tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Ia ingin menyelesaikan laporan presentasi untuk dewan direksi, tapi juga ada rasa tak sabar untuk sekadar melihat Adrian lagi—meski hanya sekilas, dari balik kaca ruangannya.Namun, suasana kantor hari ini tampak berbeda. Ada bisik-bisik di antara karyawan, dan suasana terasa agak tegang. Beberapa staf terlihat membicarakan sesuatu dengan ekspresi serius.Sophie melirik ke arah ruang rapat kecil di ujung koridor. Terdapat dua orang pria berjas yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mereka membawa berkas teb
Bab 4: Getaran yang Tak Bisa DijelaskanSuasana kantor mulai lengang saat jam menunjukkan pukul lima sore. Beberapa karyawan mulai berkemas, ada yang masih duduk menyelesaikan pekerjaan, tetapi kebanyakan sudah menghela napas lega, bersiap menyambut kebebasan usai jam kerja.Sophie masih duduk di balik mejanya, jemarinya menari di atas keyboard laptop, menyelesaikan laporan keuangan mingguan yang harus masuk malam ini. Namun, bukan angka-angka yang memenuhi pikirannya. Sejak pagi, pikirannya sudah tidak sinkron dengan tubuhnya. Semua bermula dari ucapan Adrian kemarin sore di ruangannya.“Lebih dari sekadar sekretaris.”Kalimat itu berulang kali terngiang di kepalanya, seperti gema yang menolak reda. Ia berusaha menepisnya, menyibukkan diri dengan pekerjaan, bahkan mengganti playlist Spotify-nya ke lagu-lagu rock agar tidak terlalu larut dalam pikiran, tetapi tetap saja bayangan Adrian datang seperti siluet yang enggan pergi.Apalagi pagi tadi, pria itu muncul dengan memegang kopi han
Bab 3: Di Antara Rahasia dan PerasaanBeberapa minggu berlalu sejak hari pertama Sophie bekerja di Ward Corporation. Meskipun ia merasa mulai terbiasa dengan rutinitasnya, ada satu hal yang terus menghantuinya—perasaan yang semakin kuat terhadap Adrian Ward. Semakin sering mereka bertemu, semakin banyak pula ia menemukan sisi-sisi kecil dari sang CEO yang jarang terungkap pada orang lain.Meskipun tetap dingin dan tertutup, Adrian seolah memiliki cara untuk membuat Sophie merasa spesial, walaupun tak pernah diucapkan secara terang-terangan.Pagi ini, seperti biasa, Sophie tiba lebih awal dari yang lain. Ia tahu bahwa Adrian akan datang tepat waktu, dan ia ingin memastikan segalanya siap. Namun, hari ini ada yang berbeda. Pada rapat yang dijadwalkan siang nanti, Adrian sudah meminta Sophie untuk mempersiapkan presentasi penting—sesuatu yang cukup jarang terjadi. Biasanya, ia hanya diberi tugas administratif, tetapi kali ini ada sesuatu yang mengarah pada tanggung jawab yang lebih besar
Bab 2 – Dinginnya Hati, Hangatnya LangkahHari-hari pertama Sophie di Ward Corporation berlalu dengan cepat, namun tak sedikit pun ia merasa bisa menyesuaikan diri sepenuhnya. Setiap kali bertemu Adrian, sikap dinginnya yang penuh misteri terus mengguncang perasaan Sophie. Meskipun mereka hanya berbicara tentang pekerjaan, jadwal rapat, pengaturan dokumen, atau soal telepon yang perlu diurus—ada sebuah ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka.Pagi ini, Sophie masuk lebih awal dari biasanya. Ia ingin memastikan semuanya terorganisasi dengan baik sebelum Adrian tiba di kantor. Suara klakson mobil dan keramaian kota sudah mulai mengalun di luar gedung, sementara Sophie mempersiapkan secangkir kopi panas di pantry kecil dekat ruangannya. Ketika ia kembali ke mejanya, ia mendengar langkah kaki yang mendekat—langkah yang sudah sangat familiar.Adrian Ward. Tentu saja, siapa lagi yang akan datang lebih awal selain dia?Sophie menahan napas, mencoba tetap tenang, dan melanjutkan peker