"Pelakunya Bik Mur," jawab Satria.Semua orang terkejut mendengar hal itu, bagaimana tidak Bik Mur merupakan pembantu yang sudah lama bekerja di keluarga Sudiro."Loh kok bisa aku, Den," kata Bik Mur tampak terkejut. "Coba aku lihat nomornya," kata Bik Mur memberanikan diri mendekati Satria.Satria memperlihatkan nomor yang semalam mengirimnya pesan."Itu memang nomor saya, tapi sudah saya buang di tong sampah kemarin," kata Bik Mur. "Nomor itu sering di teror mantan suami saya, jadi saya buang," sambung Bik Mur. "Sumpah, Den. Bukan saya yang ngirim pesan itu," kata Bik Mur."Di mana Bibi membuangnya?" tanya Satria."Bentar, pagi ini aku belum buang sampah. Mungkin saja masih di tong sampah," jawab Bik Mur lalu pergi ke arah Ting sama di mana dia membuang kartu itu.Bik Mur mengobrak-abrik isi sampah, tetapi barang yang dia cari tidak ada di sana. Dia masih mencari tapi tetap tidak ada."Mas, pelakunya kan sudah ketemu dia juga mengaku kalau itu nomornya. Usir saja dia," kata Safira.
"Sebenarnya aku...," Maisya terdiam sejenak. Dia hendak melanjutkan ucapannya tetapi mendengar pintu kamar diketuk. "Siapa?" tanya Maisya."Hanum," jawab Hanum dari luar kamar.Maisya segera mengakhiri panggilannya dengan sang Papa dan berjanji akan menelfonnya lagi nanti."Sedang apa kamu di dalam?" tanya Hanum saat Maisya membuka pintu."Papa ku sedang menelfon tadi, dia menanyakan kabarku," jawab Maisya."Oh ya, awas ya jangan sampai nanti kamu bocorkan rencana kita. Aku tidak mau semuanya gagal total," kata Hanum.Maisya melihat ke arah perut Hanum yang tampak membuncit. Dia tak menyangka kalau Hanum rela pura-pura hamil saat keluar rumah demi rencananya.Hanum duduk di kursi, sebelumnya dia melepaskan perut palsunya. Dia bercerita pada Maisya bagaimana dia mengharapkan keturunan. Maisya merasa sedih, ternyata Hanum mendapatkan tekanan dari keluarga Satya.Setelah beberapa saat, Maisya meminta untuk istirahat. Dia merasa tidak enak badan jadi Hanum keluar dari kamar Maisya."Aku l
Alma mendapat antrian lebih dulu, jadi dua masuk ke ruangan dokter lebih dulu."Sore Bu Alma," sapa Dokter cantik yang tengah duduk."Sore, Dokter," balas Alma."Mari saya periksa!" ajak Dokter. Alma mengikuti Dokter ke ruangan periksa, di sana dokter memeriksa kandungan Alma.Tidak berapa lama, Alma dan Dokter keluar dari ruang periksa."Dok, usia kandungan istri saya sudah 6 bulan. Sudah kelihatan jenis kelaminnya kan, Dok? Bagaimana kalau USG sekalian Dok," kata Satria."Mas, gak usah ya. Kata Dokter bayinya sehat kok. Entar aja kalau udah mau lahiran," tolak Alma."Jangan gitu dong! Aku kan juga pengantin lihat. Apa kamu gak penasaran?" tanya Satria."Boleh kalau mau USG sekarang," kata Dokter.Satria membujuk Alma, begitu juga dengan Naomi. Mereka kompak memaksa Alma untuk USG. Akhirnya Alma mengalah dan setuju untuk USG.Alma masuk ke ruangan USG, setelah Alma berbaring perut Alma di olesi gel lalu di periksa dengan alat USG."Janinnya sehat, detak jantungnya normal, BB dan posi
Selang beberapa hari kemudian, Alma dan Satria menghadiri undangan Bara dan Karin. Sebagai teman lama mereka tak mungkin mengabaikan undangan tersebut.Sampai di halaman rumah Bara, Satria memarkir mobilnya. Mereka di sambut bahagia oleh keluarga Bara."Nah gitu dong datang, ada teman kita yang lain di dalam loh," kata Karin.Karin menggandeng Alma ke dalam rumah diikuti Bara dan Satria. Ternyata Bara dan Karin hamil anak kedua mereka. Anak pertama mereka laki-laki usianya seumuran dengan Naomi."Kia, sini sayang. Kenalin ini Tante Alma dan Om Satria. Mereka teman mama dan papa waktu SMA," kata Karin. "Oh ya kenalin ini Naomi anak mereka," kata Karin. Kia menyalami teman-teman Karin termasuk Naomi.Kia mengajak Naomi menyusul teman yang lain. Mereka tampak akrab sekali meskipun baru pertama kali bertemu."Karin, tadi suami aku parkir di depan rumah tetangga sebelah kamu. Apa gak masalah ya?" tanya Alma."Oh gak apa-apa, lagian orangnya jarang bepergian," jawab Karin. "Setahu aku orang
Saat Alma dan Satria berada di depan rumah muncul seorang pria dan wanita. Usianya sedikit lebih tua dari Alma."Ada apa ya, Mbak? Kok Mbak dan Mas berdiri di depan rumah kami?" tanya Sang pria."Maaf, Mas. Kami kira ini rumah saudara kami yang baru pindah. Ternyata ini rumah Mas ya," jawab Satria. "Sayang, ayo balik!" ajak Satria."Tapi...," Alma masih belum percaya."Kalau Mbak tidak percaya mari ikut masuk!" ajaknya.Satria menolak karena dia merasa tidak enak dengan pemilik rumah. Lagi pula hari sudah siang saatnya Alma istirahat."Sayang kita pulang saja ya, Mas ini kan baru dari luar pasti perlu istirahat," bujuk Satria.Tiba-tiba Bibi Roh keluar dari dalam rumah. Dia menyambut majikannya itu."Nyonya sama tuan sudah pulang," ucapnya. "Eh ada Mas dan Mbaknya, ada apa ini?" tanya Bibi Roh."Biasa Bi, istri saya masih mengira ini rumah saudara kami," jawab Satria. "Sayang, kita pulang ya!" ajak Satria.Dengan enggan Alma mengikuti Satria. Sebagai suami Satria meminta maaf pada ma
"Yakin sekali kamu ingin cerai denganku, tidak semudah itu Sania," jawab Sudiro."Kenapa, Mas? Bukannya dulu kamu tidak menyukaiku? Bahkan mungkin sampai saat ini," kata Sania."Kamu tidak perlu tahu," kata Sudiro lalu meninggalkan Sania.Sania merasa senang karena Sudiro tidak mau menceraikannya. Berarti Sudiro mulai ada rasa dengan dirinya itu yang Sania pikirkan."Bodoh...kenapa tidak aku talak saja dia tadi?" tanya Sudiro pada dirinya sendiri. "Kenapa saat dia minta cerai justru aku gak berani?" tanyanya lagi.Sudiro berbicara sendiri layaknya orang gila. Satria yang melihat hal itu mendekati Sudiro."Siapa yang minta cerai, Pa? Sania? Kenapa papa tidak mau?" tanya Satria."Entahlah, Papa sendiri tidak tahu," jawab Sudiro."Apa Papa mulai mencintai dia?" tanya Satria."Ah tidak mungkin," jawab Sudiro. Tetapi Sudiro sendiri tidak tahu mengapa dia enggan bercerai dari Sania. "Sudahlah, lupakan saja," kata Sudiro.Safira yang diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka merasa kesal. Pa
Safira mengabaikan Sania, dia menyeret kopernya keluar kamar. Dimas yang melihat istrinya keberatan membawa koper langsung membantunya."Mas, sekali lagi terima kasih kamu sudah menampung Safira selama ini," kata Dimas."Sudah, udah tanggang jawab aku sebagai saudara," kata Sudiro."Kamu pamit, Mas," kata Dimas.Dimas dan Safira pergi menggunakan taxi online. Sebenarnya Sudiro ingin mengantar tetapi Dimas menolak. Dimas dan Safira dua orang yang sangat berbeda."Suami Tante Safira baik ya, ramah dan gak terlalu neko-neko," kata Alma."Ya begitulah, makanya dia sering kena marah sama Tante Safira," kata Satria. "Ayo masuk!" ajak Satria.Mereka masuk ke dalam rumah setelah melihat mobil yang ditumpangi Safira dan Dimas pergi."Mas, aku pengen minum es dawet. Beliin ya!" pinta Alma."Hah es dawet?" tanya Satria. "Ini udah malam sayang," kata Satria."Tapi aku pengen," kata Alma."Udah turutin saja," ucap Sudiro.Mau tak mau Satria pergi mencari es dawet agar nyidam istrinya keturutan. Sa
"Oh dia udah biasa tinggal sama ibu, Mas. Lagian apa kata orang kalau kamu menikah dengan aku yang sudah punya anak," kata Sania."Loh kok gitu, apa salahnya? Harusnya kamu yang malu punya suami tua kaya aku," kata Sudiro.Ponsel Sania berdering, dia meminta izin mengangkat panggilan tersebut. Sania menjauh dari Sudiro sehingga membuat Sudiro semakin penasaran. Tampaknya panggilan itu sangat penting sekali.Sementara Sudiro dan Sania tengah menikmati bulan madunya, Alma dan Satria tengah menyiapkan acara tujuh bulanan. Rencananya setelah Sudiro kembali akan di gelar acara tujuh bulanan."Mas, Bara sama Karin jangan lupa diundang loh," kata Alma mengingatkan."Tenang sayang," ucap Satria sambil mencium pipi Alma.Alma tersipu malu, sejak hamil Satria semakin mesra pada Alma. Dia selalu memanjakan Alma, bahkan Naomi terkadang sampai cemburu."Mama terus yang di sayang, buat Naomi mana, Pa?" tanya Naomi mulai cemburu."Sayang, lihat tuh ada yang cemburu," kata Satria. "Gak mau ah, Naomi