Ayudia menatap selembar kertas di hadapannya. Namanya tertulis disana dan nama seorang lainnya tertulis sebagai dosen pembimbing tesisnya.
"Adam Mahendra? Pak Adam yang killer itu?" Seru Ayudia heboh.Kepalanya seketika terasa pusing. Ia kira perjalanan S2nya akan lebih baik dan mudah dibandingkan saat S1. Awalnya memang begitu. Tapi seharusnya Ayudia sudah curiga. Hidupnya tidak pernah manis jika berkaitan dengan hal akademis. Lulus terlambat saat S1 karena dosen pembimbing yang sensitif dan seringkali bersuasana hati buruk.Dan sekarang? Saat perjalanannya untuk meraih gelar S2 sudah di depan mata, hambatan satu lagi muncul di hadapannya! Dan hambatan itu bernama Adam Mahendra!"Serius, Yu? Dosen pembimbingmu sungguh Pak Adam?" Maya, sahabatnya, melirik ke arah kertas yang ia pegang.Ayudia mengangguk lemah. Seketika ia merasa lemas memikirkan betapa sulitnya ia akan menyelesaikan studi S2nya ini. Adam Mahendra adalah dosen paling terkenals seantero Fakultas Ekonomi Universitas Bhinneka.Tidak, bukan terkenal karena keramahan apalagi kebaikan hatinya. Tapi karena sifatnya yang menyebalkan, mulutnya yang tajam, dan rautnya yang selalu tampak seperti akan menelan siapapun yang ada di hadapannya. Meskipun demikian, Ayudia dan mahasiswi lainnya mengakui bahwa Adam memiliki paras yang luar biasa rupawan. Perpaduan sempurna antara Jawa dan Arab. Dan otak pria itu pun sangat cemerlang. Tentu saja, lulusan Inggris untuk gelar masternya dan lulusan Amerika Serikat untuk gelar doktoralnya.Tapi semuanya berhenti sampai disitu. Adam memang tampan dan cerdas. Cukup. Tidak ada lagi pujian untuknya karena dia adalah si brengsek Fakultas Ekonomi Bhinneka.Dan sekarang Ayudia harus menyelesaikan tesisnya di bawah bimbingan pria menyebalkan itu. Bukankah semuanya terasa seperti mimpi buruk yang menjadi nyata?Dengan kesal Ayudia melemparkan tasnya ke lantai dan menangis di koridor kampusnya. Ia menenggelamkan kepalanya di antara kedua lututnya sembari berkali-kali mengutuk nasib buruknya. Mungkinkah Ayudia pernah menjadi penjahat besar di masa lalunya? Kenapa hidupnya buruk sekali?Maya duduk di sampingnya sembari mengusap punggung Ayudia. Ia berusaha keras menghibur sahabatnya itu, namun Maya lebih tahu daripada siapapun bahwa hidup Ayudia tidak akan berjalan mulus setelah ini. Yah, tapi setidaknya ia harus tetap menjalankan tugas sebagai sahabat yang baik, bukan?"Sabar ya, Ayu. Sepertinya Pak Adam tidak seburuk itu kok."Ayudia mengangkat wajahnya dan menatap Maya dengan wajah berkerut."Benar, tidak seburuk itu. Tapi sangat buruk! Kamu lihat, pesanku untuk menemuinya saja belum dibalas sejak tadi, Maya. Padahal statusnya online!" Gerutu Ayudia sembari terisak sedih.Gadis itu kembali menangis lagi. Ah, sialan. Ayudia menjalani studi S2nya dengan beasiswa dan dia memiliki tenggat waktu kelulusan yang harus ia penuhi. Mendapatkan dosen pembimbing seperti Adam sama saja dengan membuat beasiswa Ayudia akan melayang dengan sia-sia. Tentu saja. Hingga sekarang tidak ada seorang pun mahasiswa bimbingan Adam Mahendra yang lulus tepat waktu.Dan entah kenapa Ayudia yakin ia akan bernasib sama dengan mereka."Apa yang kalian lakukan? Menangis di koridor seperti anak remaja saja."Sebuah suara membuat Ayudia dan Maya tersentak. Tubuh keduanya seketika membeku saat menyadari siapa pemilik suara itu. Adam Mahendra berdiri di hadapan mereka dengan pandangan menyelidik dan tangan yang disilangkan di depan dada.Iblis sudah datang.Iblis yang baru saja mereka bicarakan sekarang muncul di hadapan mereka. Sial sekali nasib mereka. Apakah mungkin tadi pagi Ayudia kejatuhan cicak hingga nasibnya seburuk ini?Ayudia dan Maya buru-buru berdiri dan tertawa canggung. Gadis itu dengan cepat menyeka air matanya dan segera menyunggingkan senyum kepada dosen pembimbingnya."Ah, tidak, Pak. Saya tadi sedang tidak enak badan saja."Tanpa menunggu kata-kata Ayudia selesai, pria itu langsung melangkah pergi dengan tampang tak peduli. Ayudia dan Maya saling bertatapan namun seketiak, Maya memukul bahu Ayudia dan membuat gadis itu mendelik kepada Maya."Apa sih, May?!""Dosen pembimbingmu, Bodoh! Cepat kejar Pak Adam dan minta tanda tangannya!" Seru Maya panik sembari menunjuk kertas yang ada di tangan Ayudia.Ayudia menepuk keningnya. Bodoh sekali dirinya. Alasan ia ingin menemui Adam karena ia ingin meminta tanda tangan pria itu di berkas pengajuan tesisnya. Kenapa ia malah diam saja saat melihat Adam tadi?"Ah, sialan! Tunggu disini, May. Aku akan mengejar Pak Adam." Seru Ayudia seraya berlari cepat ke arah dimana Adam tampak berjalan.Gadis itu memacu langkahnya dengan sangat cepat. Kedua matanya terpaku pada sosok Adam yang berjalan beberapa meter di depannya.Sialan, kenapa langkah pria itu cepat sekali? Ayudia sampai terengah-engah mengejarnya hingga akhirnya ia berhasil menyamakan posisinya dengan Adam. Pria itu berhenti dan melihat ke arah Ayudia dengan tatapan aneh. Seolah Ayudia adalah seekor fauna langka yang baru muncul dari permukaan tanah."Apa lagi?" Tanyanya sebal.Ayudia mengatur nafasnya yang memburu cepat. Jantungnya terasa seperti akan meledak karena ia terus menerus berlari selama tiga menit."Sebentar, Pak. Saya harus bernafas dulu.""Memangnya kamu tadi tidak bernafas?" Balas Adam ketus.Pria itu melirik jam tangannya sekali dan memandang Ayudia lagi."Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan, saya akan pergi." Ujarnya hendak membuka pintu mobilnya.Ayudia panik dan segera berdiri tegap menghadap ke arah Adam."Tunggu dulu, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan Bapak." Ucapnya buru-buru sambil menyodorkan selembar kertas ke arah Adam.Adam mengambil kertas itu dan membacanya. Formulir persetujuan dosen pembimbing. Ah, rupanya Adam akan menjadi dosen pembimbing dari gadis ini? Ia mengangkat wajahnya dari kertas dan melihat ke arah Ayudia yang memandangnya dengan penuh harap."Ini? Saya harus tanda tangan ini?" Tanya Adam sekali lagi.Ayudia mengangguk mantap. Adam melihat ke arah kertas itu sekali lagi. Lalu tanpa menandatanganinya, ia menyerahkan kembali dokumen tersebut kepada Ayudia. Gadis itu membelalak dan menatap Adam dengan begitu terkejut. Matanya membulat hingga tampak seperti dua bola berwarna hitam di balik kacamatanya."Pak, tanda tangannya?" Ucap Ayudia tak mengerti."Besok saja." Jawab Adam singkat."Ta-tapi saya sudah ada disini, Pak. Tidak bisakah Bapak menandatanganinya sebentar saja?" Bujuk Ayudia lagi."Saya tidak membawa pena." Balas Adam tak peduli.Namun Ayudia tidak mau kalah. Ia sudah begitu letih memacu kakinya hingga tiba disini. Dan ia tidak akan menyerah hanya karena Adam Mahendra menggunakan alasan konyol itu untuk menolaknya."Pakai pena saya saja, Pak."Adam menaikkan sebelah alisnya dan memandang Ayudia dengan tatapan yang menurut Ayudia sangat menyebalkan. Jika saja pria di hadapannya itu bukan dosennya, mungkin Ayudia sudah akan melayangkan pukulan tepat di perut Adam."Besok, Ayu. Bukan hari ini tapi besok."Begitu saja Adam berkata. Tanpa mempedulikan Ayudia yang menatapnya tak percaya, Adam masuk ke mobilnya. Tak lama kemudian, kereta besi itu melaju meninggalkan Ayudia yang memandangnya dengan tatapan melongo."Sialan! Sialan! Sialan!" Sejak tadi Ayudia terus menerus mengumpat seperti orang gila. Wajahnya memerah karena amarah dan nafasnya menderu bagaikan seseorang yang baru saja lari maraton sejauh sepuluh kilometer. Maya hanya menatapnya dengan perasaan campur aduk. Kasihan karena sahabatnya ini harus mengalami kesialan luar biasa siang tadi. Tapi Maya juga merasa lucu melihat Ayudia yang terus meracau seperti sebuah radio rusak. "Psikopat! Aku yakin Adam pasti psikopat!" Seru Ayudia lagi dengan emosi. Kali ini Maya tertawa terbahak-bahak mendengar umpatan ajaib itu. Pipinya yang tembam tampak bergerak karen tawanya barusan. "Wah, gila, Yu! Psikopat? Bisa jadi!" Seru Maya memanas-manasi Ayudia. Ayudia meloncat dan duduk di kasur bersama Maya. "Benar, kan?! Mana mungkin ada manusia yang begitu kejam dan tidak berhati seperti Adam! Kalaupun ada, pasti dia adalah psikopat! Pasti ada mayat yang disembunyikan di rumahnya, May!" Balas Ayudia lagi tak mau kalah. Tawa Maya terdengar maki
"Gila, kamu gila sekali, Ayu!" Maya bertepuk tangan heboh saat melihat sahabatnya yang duduk termenung di kantin kampus. Gosipnya sudah menyebar luas ke seantero fakultas. Adam Mahendra baru saja dilabrak oleh seorang mahasiswi. Dan mahasiswi itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ayudia. "Iya, sepertinya aku memang sudah gila, May." Ujar Ayudia dengan tatapan kosong ke depan. "Loh? Kenapa? Kok kamu seperti tidak senang? Kamu baru saja jadi mahasiswa paling terkenal di kampus, Yu!" Seru Maya heboh. Ayudia meletakkan gelas yang ia pegang sejak tadi dengan heboh. Ia lalu menatap Maya dengan mendelik. "May! Aku baru saja melabrak Pak Adam, May! Pembimbingku! Aduh, bisa mati aku! Lagipula kenapa aku bisa sampai kesetanan seperti itu tadi?!" Keluh Ayudia dengan kepanikannya sendiri. Gadis itu meracau dalam rasa khawatir. Sepersekian detik setelah Adam menandatangani dokumen tersebut dan meninggalkannya, Ayudia baru menyadari kesalahan apa yang ia perbuat. Ia baru saja dengan gilanya m
Rasa gugup menyelimuti sekujur tubuh Ayudia. Ia berdiri di depan pintu kantor Adam dengan memeluk map berisi proposal tesisnya. Hari ini genap tiga hari sejak hari ia melabrak Adam di pagi hari. Dan sungguh, sekarang Ayudia tidak tahu harus berkata apa dan bereaksi bagaimana kepada dosen pembimbingnya itu. Ayudia menarik nafas dalam beberapa kali. Berusaha membuat rasa gugupnya menguap. "Tenang, Ayu! Prof. Eko kan sudah mengatakan judulmu luar biasa!" Batin Ayudia meyakinkan dirinya sendiri. Setelah merasa lebih baik, ia mengangkat tangannya dan mengetuk pintu di depannya dengan yakin. TOK! TOK! TOK! Tak perlu waktu lama, suara Adam terdengar dari dalam ruangan. "Iya, masuk saja." Ayudia menarik nafas dalam sekali lagi. Baiklah, sekarang atau tidak sama sekali. Lagipula Adam masih manusia dan bukannya monster yang akan memakan Ayudia dalam sedetik. Ayudia meyakinkan dirinya bahwa ia harus sedikit tenang dan melupakan semua kejadian itu. Semoga saja Adam juga melakukan hal yang
Keyakinan seratus persen memenuhi hati Ayudia. Kali ini dia yakin benar Adam tidak akan memiliki alasan untuk menolak penelitiannya lagi. Ayudia sudah mempersiapkan berbagai dokumen yang akan menolong setiap argumentasinya. Dan pisau lipat di sakunya, berjaga-jaga jika ia kehabisan kesabaran dan ingin menusuk pria sialan itu. Ayudia duduk di hadapan Adam dengan senyum penuh kepercayaan diri. Ia menyerahkan map berisi judul penelitian terbarunya dan Adam segera mengambilnya. Pria itu membaca dengan saksama dan hendak berkomentar. "Judul kamu terlalu pasaran. Saya tidak menyetujuinya." Senyum kemenangan merekah di bibir Ayudia. Ia lalu mengeluarkan sebundel dokumen dari tasnya dan meletakkannya di hadapan Adam. "Sebenarnya, tidak, Pak. Saya sudah melakukan pemeriksaan ulang di semua situs dan melakukan pengecekan plagiarisme. Dan hasilnya nol persen. Judul saya benar-benar otentik dan belum pernah diteliti oleh siapapun." Ujar Ayudia dengan mantap. Adam mengangkat wajahnya dan mena